Sejak pembicaraan di meja makan itu, pikiranku jadi tak ada habisnya menerka-nerka. Ah, sudah kayak judul lagu saja.
Keluarga mertuaku, semua tampak biasa saja, seolah-olah tidak ada yang terjadi, tetapi aku justru merasa ada yang tidak beres.Zavier yang meskipun aku sudah menikah dengannya, tetapi aku belum terlalu mengenal terlalu dalam seperti apa warna aslinya yang sebenarnya.Satu hal yang kutahu, dia adalah sosok yang sangat kejinya melenyapkan kakak kembarku. Dan, aku tentu tidak akan melupakan hal itu karena tujuan awalku masuk ke sekolah Kak Alina adalah untuk balas dendam atas kematiannya.Pikiranku masih tetap tertuju pada pembicaraan tadi, bahkan sampai kami berangkat ke sekolah. Zavier yang mengemudikan mobil sibuk berceloteh. Sesekali aku membalas celotehannya, tanpa benar-benar memperhatikan perkataannya.“Lun, lo kenapa, sih?” tanya Zavier begitu kami tiba di parkiran sekolah. Mungkin, dia baru menyadari perubahan sikapku“Tetap aja kurang ajar. Mau sampai kapan lo nikah sama cowok modelan begitu?”Aku menghela napas berat, sungguh sebenarnya sangat malas untuk membicarakan sesuatu yang berkaitan dengan masalah tadi malam karena lelah, butuh istirahat. Namun, aku yang hendak menjawab, seketika terdiam saat mendengar suara Bunda tiba-tiba menengahi. “Aidan.” Nada suaranya lembut, tetapi masih terdengar tegas. “Kamu enggak boleh bicara seperti itu pada adikmu.”“Kamu sudah dewasa, seharusnya tau apa yang baik atau tidak. Dengan kata-katamu tadi, itu seolah-olah kamu meminta adikmu mempermainkan pernikahan.”Kak Aidan menghela napas panjang, wajahnya tak berubah dari ekspresi kesalnya. “Bun, aku enggak bermaksud begitu, tap—”“Mau bagaimanapun juga, adikmu sudah terikat hubungan pernikahan, walaupun belum tercatat secara sipil, tapi itu resmi secara agama. Kita harus menghormati aturan agama dan tidak boleh mempermainkannya,” potong Bunda, menatap Kak Aidan
Para pria itu menoleh ke arahku. Salah satu di antara mereka yang tubuhnya paling besar, tertawa keras sambil berjalan mendekat. “Cewek kayak lo memang bisa apa? Mending lo balik sana, sebelum lo kami bawa juga!” Bukannya takut, aku justru turun dari motor tanpa melepas helm. Kudekati mereka seolah-olah sengaja menantangnya. “Lo bisa bawa gue ....” Aku sengaja menggantung ucapan, biar mereka senang. Ternyata benar, pria tak tahu malu itu menyeringai menyebalkan, bahkan menyebalkannya Zavier, lebih menyebalkan mereka. “Itu pun kalau bisa," lanjutkan disertai senyum licik. “Lagian, apa lo-lo pada, enggak malu beraninya sama cewek. Badang doang gede, tapi dalamnya banci!” Aku sengaja menyindir yang tampaknya langsung tepat sasaran, terlihat dari gelagat mereka yang mulai kesal. “Wah, nyolot ini cewek!” Pria lain yang tubuhnya lebih kurus mendekatiku dengan langkah cepat. “Denger, ya, kalau lo enggak tau apa-apa, enggak usah ikut campur, sebelum lo terima akibatnya!” Aku tak ge
Lila terdiam, menunduk sambil memainkan ujung jaketnya. Aku memperhatikan raut wajahnya yang mendadak muram, tak seperti biasa yang selalu menunjukkan wajah angkuhnya ketika di hadapanku. Kali ini, ia tampak seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat. “Bokap gue mana peduli, Lun,” katanya, tersenyum masam. Membuatku terdiam, menunggunya mengatakan sesuatu yang mungkin bisa memperjelas kalimatnya itu.Dia menghela napas panjang sebelum melanjutkan. “Dia pulang ketika lapar, ngantuk, atau mau marah-marah doang.” Suara Lila hampir tak terdengar.Aku mengernyit, mencoba memahami kata-katanya lebih dalam. “Maksud lo gimana?” tanyaku hati-hati.Lila hanya menggeleng pelan. Buru-buru mengalihkan tatapan matanya yang mulai berkaca. “Maaf, enggak seharusnya gue ceritain masalah keluarga gue sama lo. Kita enggak begitu dekat, Lun.”“Setidaknya, gue bisa jadi pendengar yang baik. Lo butuh tempat cerita, mungkin,” kataku, berusaha menebak keingina
Tak butuh waktu lama, suara dari seberang pun terdengar. “Halo,” katanya dengan nada yang terdengar kesal.“Ada apa, sih, sampai missed call dan pesan lo banyak banget?” tanyaku to the point.“Lo dari mana aja?” Zavier langsung menyemprotku tanpa basa-basi. “Ditelpon enggak diangkat, di-chat enggak dibalas. Gue bahkan udah mau nyusul ke rumah lo, tapi untung lo nelepon duluan. Kebiasaan banget ngilang kayak punya jurus menghilang aja lo!”Aku memutar bola mata, mendesah pelan mendengar omelannya. “Gue cuma keluar sebentar cari udara segar. Ponsel enggak gue bawa. Kenapa emang? Ada yang penting?"“Iya, ada,” jawabnya, tiba-tiba nada suaranya lebih pelan dari sebelumnya, tetapi tetap terdengar tegas.Aku mengernyit, kemudian bertanya lagi. “Apa?”Dia terdiam cukup lama, membuatku sedikit heran. Kenapa dia?“Halo, Zav-Zav. Kenapa?” tanyaku sedikit mendesaknya. Akhirnya, setelah beberapa saat, dia pun bersuara, te
“Lila?!”Aku dan Lila kompak menoleh ke sumber suara. Tampak Larissa dan Maya melangkah mendekat. Jangan ditanya ekspresinya bagaimana? Mereka tampak terkejut, mungkin karena melihatku bersama dengan Lila, padahal selama ini, Lila termasuk salah satu orang yang selalu menggangguku.“Ngapain lo di sini sama Aluna?” Maya langsung menyerang Lila dengan tatapan mengintimidasi.Kulihat Lila menunduk. Tangannya tanpa sadar memainkan ujung seragamnya seolah-olah itu bisa mengurangi kegugupannya. “Gue cuma ... cuma ....”“Cuma apa?” Larissa memotong dengan suara tajam. Sorot matanya seperti menuntut jawaban yang lebih jelas. “Mau gangguin Aluna lagi lo?” Maya menyeringai sinis, seakan-akan menyakini kalau Lila hanya akan membuat masalah di sini.Aku mendengus pelan, menarik Larissa dan Maya agar menjauh dari Lila yang tampak tertekan dengan tatapan kedua temanku itu. “Udah-udah, Lila enggak ganggu gue,” ujarku, membuat mereka
“Oh, pantesan enggak mau gabung kita lagi karena udah punya teman lain. Penghianat lo!” murka Mira sambil menunjuk Lila.Suaranya yang melengking keras itu membuat beberapa orang di sekitar mulai melirik ke arah kami.Kulihat Lila tampak ingin menjelaskan, bibirnya terbuka seolah mencari kata-kata yang tepat untuk membela diri. “Enggak ... bukan gitu, Mir. Gue ....”“Apa?!” Mira memotong kasar. Tangannya terangkat, siap memukul Lila yang menunduk ketakutan.Hanya saja, aku yang melihatnya, refleks meraih pergelangan tangan Mira sebelum tangannya menyentuh Lila. “Lo mau ngapain?” tanyaku ketus.Tatapan tajam kami bertemu seakan-akan ingin saling menelan hidup-hidup. Mira mendengus, mencoba menarik tangannya, tetapi aku tidak melepaskannya begitu saja, justru makin mencengkeram dengan sekuat tenaga. Hitung-hitung untuk memberinya peringatan agar tak seenaknya jadi orang.“Emang ada aturan Lila enggak boleh berte
Aku berdiri terpaku di ruang tamu, tangan terkepal erat di sisi tubuhku. Kata-kata dari dalam kamar itu terus terngiang di telingaku. “Mau sampai kapan, kamu nyembunyiin kebenaran soal kematian kakaknya Aluna, Zavier? Dia harus tau itu.”Napasku tiba-tiba terasa sesak. Jantungku berdegup kencang, seolah-olah hendak meledak. Tentang kematian Kak Alina? Jadi, benar dugaanku kalau mereka sebenarnya mengetahui semuanya, tetapi sengaja menyembunyikan. Dan, kebaikan yang diperlihatkan di depanku, semua hanya ... palsu, demi menutupi kebobrokan keluarga mereka.“Lihat saja, apa yang akan kulakukan nanti untuk membalas perbuatan kalian?” geramku dalam hati, penuh dengan emosi yang membara.Aku ingin langsung menerobos pintu kamar yang sedikit terbuka itu, menuntut penjelasan mereka sekarang juga. Akan tetapi, tubuhku hanya terpaku di tempat seolah-olah sulit untuk sekadar melangkah.Sisi lain diriku ingin mendengar lebih banyak, mencari kepastia
“Gue rasa, dia dan gengnya dibiarin makin ngelunjak. Kayaknya emang perlu dikasi pelajaran!” tegas Zavier sambil mengepalkan tangan. Raut wajahnya, tampak sangat emosi.Aku menghela napas pelan, tanpa berpikir panjang, menyentuh tangan Zavier yang masih mengepal di atas meja. Maksudku untuk menenangkannya, dia sedang salah paham. “Hei, lo enggak usah marah-marah begitu juga. Gue ngajak ngobrol buat minta bantuan, bukan ngajakin tawuran,” ujarku tersenyum geli, “lagipula, Lila enggak gangguin gue.”Zavier menoleh padaku. Ekspresinya terlihat tenang, meskipun keningnya masih mengerut, seakan-akan menuntut penjelasan.“Lalu, ada apa?”Aku menarik napas panjang, sebelum akhirnya berkata jujur. “Lila sedang dalam masalah. Jadi ....”Mulai kuceritakan masalah Lila secara detail, tajam, terpercaya, tanpa digoreng sampai kriuk-kriuk. Semua ceritaku sesuai dengan fakta yang ada. Tentunya, yang kudengar dari Lila tadi malam.Tata
“Mengapa kamu kekeh membela pembawa sial ini, Zavier?!” Kak Zeny masih tak terima Zavier membelaku. Tatapannya tajam, seakan ingin menelanku hidup-hidup.Aku tertunduk dengan mata yang mulai memanas. Lagi-lagi batin ini merasa sangat terluka mendengar perkataan Kak Zeny. Namun, aku tak bisa melawan, walau sebenarnya mampu. Tak ingin makin memperkeruh suasana.Seraya menggigit bibir, aku menahan air mata yang hendak menerobos keluar. Namun, semakin kutahan, semakin deras butiran-butiran itu jatuh tanpa bisa kucegah.“Heh! Tidak usah menangis! Palingan itu air mata palsu untuk cari perhatian atau pembelaan Zavier!” Kak Zeny mendengus sinis. “Dasar munafik!”Sebuah tamparan keras seperti menghantamku. Namun, bukan di pipi, melainkan di hatiku.Aku tertegun. Tak bisa berkata-kata. Hanya bisa menelan mentah-mentah perkataan Kak Zeny yang terus memojokkanku.“Pergi dari sini cewek sialan! Kamu tid—”“Kak, cukup!” seru Zavier.
Aku masih berdiri, mengerjap beberapa kali, memastikan kalau tidak salah dengar. Namun, tatapan Zavier padaku tidak berubah, tetap serius. Sesaat, tetap bergeming ketika Zavier menepuk kasur di sampingnya, seolah ingin memastikan aku mengerti maksudnya.“Kalau lo tidur di sofa yang ada besok tubuh lo sakit semua. Jadi, tidur di sini. Gue enggak bakal macem-macem,” katanya dengan nada santai. Namun, aku tetap melihat kilatan nakal di sana. “Yang benar aja? Nanti lo sempit kalau gue tidur di situ.”“Enggak. Ini luas, kok. Bisa nampung kita berdua.”Aku memutar bola mata. Berusaha mencari alasan agar tidak sampai tidur bersamanya. Ngadi-ngadi saja Zavier itu. “Gue tidur di sofa aja, deh, Zav. Biar lo lebih leluasa.”Dia mendengus, tampak kesal. Sebelum benar-benar berbalik, tangannya terulur menarikku mendekat. Kali ini, genggamannya lebih erat dari tadi. Jarak kami tinggal beberapa senti sekarang, bahkan aku bisa menciu
POV AlunaAku membuka pintu ruang rawat VIP di mana Zavier berada dengan sangat hati-hati setelah meminta izin pada dua pria yang berjaga di depan ruangan.Aku mendapat kabar dari Adnan kalau Zavier terus mencariku. Pesannya masuk begitu ponselku aktif, membuatku kepikiran. Tak bisa tenang jika belum melihat keadaannya secara langsung. Sebab itu, aku nekat datang ke rumah sakit untuk menemuinya. Meminta maaf padanya lagi dan lagi, walaupun mungkin ia sulit untuk membuka pintu maaf untukku. Aku sadar, kesalahanku cukup fatal. Wajar jika aku tak bisa mendapatkan maafnya. Namun, setidaknya aku bisa menemuinya sebelum benar-benar kembali ke Melbourne.Pandanganku menyapu sekeliling. Ruangan cukup sepi. Orang tua Zavier tak ada. Kak Zeny pun tak ada sesuai dengan perkataan Adnan saat mengirimkan pesan padaku tadi.Zavier hanya sendirian. Hanya dijaga dua orang penjaga. Itu pun di luar ruangannya.Napasku sedikit tercekat sa
POV ZavierAku menatap Bunda Amira dengan dahi berkerut. “Apa maksud Bunda?” tanyaku, berusaha memahami perkataan beliau.Bunda Amira menatapku dengan sorot mata lembut. Dia menepuk bahuku pelan. “Maksud Bunda, jika Nak Zavier ingin berpisah dari Aluna, itu hak Nak Zavier. Kami tidak akan ikut campur ataupun mencoba melarang Nak Zavier meninggalkan Aluna karena kami paham perbuatan Aluna kemarin sulit untuk dimaafkan,” tuturnya, “kami juga berencana akan mengirim Aluna kembali ke Melbourne.”Aku tersentak mendengarnya.Berpisah dari Aluna?Kutatap mertuaku bergantian, berharap mereka mengatakan bahwa ini hanya gurauan. Namun, tidak ada ada tanda-tanda sedang bercanda. Justru, keduanya menunjukkan raut serius.Aku menggeleng, mencoba menahan gemuruh emosi di dalam dadaku, meskipun tak bisa menahan mata yang kian memanas.“Tidak! Aku tidak ingin berpisah dari Aluna, Pa, Bun,” kataku mantap, “aku mencintainya dan ingin hidu
POV ZAVIERKelopak mataku terasa berat saat mencoba membukanya. Pandanganku masih buram, tetapi perlahan, aku bisa menangkap sosok-sosok yang berdiri di sekeliling tempat tidurku.Papa, Ibu, dan Kak Zeny.Di sudut lain, Adnan dan Raka juga tampak ada di sana, menatapku dengan raut khawatir.Aku menghela napas pelan, mencoba memahami keadaanku. Rasa nyeri menusuk di beberapa bagian tubuh, jelas itu akibat hantaman pria-pria berbadan besar tadi. Akan tetapi, bukan itu hal yang paling menggangguku sekarang. Aku merasa ada sesuatu yang kurang.Aku mengedarkan pandangan, menyapu seluruh ruangan. Mencari-cari seseorang. Namun, tak kutemukan sosoknya. Ke mana dia? Bukankah tadi, dia membawaku ke rumah sakit. Aku sempat sadar dan mendengar suara tangisnya saat kami di mobil, tetapi setelah itu, aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya.“Aluna mana?” tanyaku dengan suara serak. Papa dan Ibu saling berpandangan, seakan saling bertanya satu sama lain. Kulihat, Ibu menoleh, seperti mencari-
Tiba di rumah, Bunda dan Papa sudah menyambut di ruang tamu. Mereka tak mengatakan apa pun, tetapi tatapan keduanya sangat tajam.Mungkin Kak Aidan sudah mengatakan semuanya pada mereka. Dan, sekarang aku sudah pasrah jika setelah ini akan dimarahi habis-habisan.“Kenapa kamu melakukan itu?” Bunda memberondong dengan pertanyaan begitu aku tiba di hadapan mereka.“Aku hanya ingin mereka yang udah nyiksa Kak Alina merasakan hal yang sama,” kataku tanpa sedikit pun berniat menutup-nutupi kebenaran.“Kamu meminta pindah sekolah ke sini untuk itu?” Bunda bertanya tegas, tetapi tetap saja tak dapat menyembunyikan nada kekecewaan pada suaranya. Aku jadi merasa bersalah karena membuatnya kecewa.“Kami sudah mengikhlaskan kepergian kakakmu, tapi kamu malah berbuat seperti ini. Mau jadi jagoan? Apa kamu puas dengan apa yang sudah kamu lakukan sekarang? Kamu mencelakai orang yang tidak bersalah, Aluna. Kamu melukai Zavier, suamimu sendiri.”Aku hanya diam, habis sudah kata-kataku untuk sekadar
Tubuhku nyaris merosot ke lantai begitu Zavier sudah dibawa ke ruangan untuk mendapatkan perawatan. Untungnya, Maya sigap menahan tubuhku dan membantuku duduk di kursi.Rasanya dadaku sangat sesak mengingat perbuatanku sebelumnya.“Semua ini salah gue ....” Suaraku bergetar, air mata mulai mengalir tanpa bisa kukendalikan lagi. Maya meremas bahuku lembut, lantas membawaku ke dalam pelukannya. “Zavier akan baik-baik saja. Lo harus tenang, Lun,” katanya berusaha menenangkanku. “Iya, Lun. Kita harus tetap doakan Zavier segera pulih,” sahut Larissa.“Gue yang bikin dia seperti ini. Gue yang salah.”“Lun, lo tenang, ya. Lo enggak boleh nyalahin diri sendiri terus,” ujar Lila.Tenang? Bagaimana bisa aku tenang setelah apa yang kulakukan padanya? Aku sudah menyiksanya. Aku sudah menuduhnya melakukan hal keji itu pada kakakku.Aku sudah memperlakukannya seperti penjahat, padahal dia tidak bersalah!Sial! Kenapa aku begitu bodoh?!Tak begitu lama, terdengar suara langkah tergesa-gesa dari a
Kedatangan mereka tak sedikit pun mengurungkan niatku. Balok kayu di tangan kuangkat tinggi-tinggi, siap untuk menghajar Mira lagi, tetapi sebelum benda itu dapat menyentuh Mira, tubuhku langsung tertarik menjauh.“Cukup, Aluna, cukup!” tegas Kak Aidan yang langsung menarikku ke dalam pelukannya.Aku meronta di pelukannya, berusaha melawan. “Lepasin, Kak! Gue belum selesai sama mereka!”Kak Aidan tetap memelukku erat, menekan kepalaku ke dadanya seakan enggan membiarkanku lepas. “Sudah cukup, Lun. Lo akan kena masalah kalau melakukan yang lebih dari ini.”“Gue enggak peduli, Kak! Mereka sudah nyiksa Kak Alina. Gue harus membalas lebih dari itu!” bentakku.“Tapi lo salah orang, Lun! Lo menyiksa Zavier dan teman-temannya. Mereka enggak bersalah!”Deg!Aku langsung terpaku. Diam, mendengar perkataan Kak Aidan. Kenapa dia tiba-tiba mengatakan itu? Dari mana dia tahu Zavier tidak bersalah?Saat aku mulai lengah, Kak Aidan menarik balok kayu dari tanganku dan membuangnya ke sisi ruangan. “
Mendengar perkataanku, Zavier langsung terpaku. Mungkin sibuk mencerna maksudku.Tatapannya yang tajam, lurus ke arahku, seakan-akan memintaku menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.Suasana yang senyap ini makin terasa mencekam, Mira yang kini terduduk di lantai menatapku dengan tatapan beringas sambil menggerak-gerakkan tubuh dengan kesal berusaha melepaskan diri. “Lo gila, Aluna! Jadi, ini perbuatan lo. Brengsek lo?”Aku tersenyum bengis ke arahnya. Lantas berjalan mendekat dan mencengkeram wajah gadis yang membuatku sangat muak itu. “Gue sudah bilang, jangan macam-macam sama gue!” Plak! Aku menamparnya tanpa perasaan. Seperti yang pernah dilakukannya padaku, juga pada Kak Alina dulu.Aku bangkit, sempat menoleh ke arah Zavier yang menatapku seperti butuh penjelasan. Namun, aku tak peduli, hingga orang suruhanku kembali datang menyeret Adnan dan Raka masuk ke ruangan.Dengan satu dorongan keras, mereka be