“Tetap aja kurang ajar. Mau sampai kapan lo nikah sama cowok modelan begitu?”
Aku menghela napas berat, sungguh sebenarnya sangat malas untuk membicarakan sesuatu yang berkaitan dengan masalah tadi malam karena lelah, butuh istirahat. Namun, aku yang hendak menjawab, seketika terdiam saat mendengar suara Bunda tiba-tiba menengahi.“Aidan.” Nada suaranya lembut, tetapi masih terdengar tegas. “Kamu enggak boleh bicara seperti itu pada adikmu.”“Kamu sudah dewasa, seharusnya tau apa yang baik atau tidak. Dengan kata-katamu tadi, itu seolah-olah kamu meminta adikmu mempermainkan pernikahan.”Kak Aidan menghela napas panjang, wajahnya tak berubah dari ekspresi kesalnya. “Bun, aku enggak bermaksud begitu, tap—”“Mau bagaimanapun juga, adikmu sudah terikat hubungan pernikahan, walaupun belum tercatat secara sipil, tapi itu resmi secara agama. Kita harus menghormati aturan agama dan tidak boleh mempermainkannya,” potong Bunda, menatap Kak AidanPara pria itu menoleh ke arahku. Salah satu di antara mereka yang tubuhnya paling besar, tertawa keras sambil berjalan mendekat. “Cewek kayak lo memang bisa apa? Mending lo balik sana, sebelum lo kami bawa juga!”Bukannya takut, aku justru turun dari motor tanpa melepas helm. Kudekati mereka seolah-olah sengaja menantangnya. “Lo bisa bawa gue ....” Aku sengaja menggantung ucapan, biar mereka senang. Ternyata benar, pria tak tahu malu itu menyeringai menyebalkan, bahkan menyebalkannya Zavier, lebih menyebalkan mereka. “Itu pun kalau bisa," lanjutkan disertai senyum licik. “Lagian, apa lo-lo pada, enggak malu beraninya sama cewek. Badang doang gede, tapi dalamnya banci!” Aku sengaja menyindir yang tampaknya langsung tepat sasaran, terlihat dari gelagat mereka yang mulai kesal.“Wah, nyolot ini cewek!” Pria lain yang tubuhnya lebih kurus mendekatiku dengan langkah cepat. “Denger, ya, kalau lo enggak tau apa-apa, enggak usah ikut campur, sebelum lo
Lila terdiam, menunduk sambil memainkan ujung jaketnya. Aku memperhatikan raut wajahnya yang mendadak muram, tak seperti biasa yang selalu menunjukkan wajah angkuhnya ketika di hadapanku. Kali ini, ia tampak seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat. “Bokap gue mana peduli, Lun,” katanya, tersenyum masam. Membuatku terdiam, menunggunya mengatakan sesuatu yang mungkin bisa memperjelas kalimatnya itu.Dia menghela napas panjang sebelum melanjutkan. “Dia pulang ketika lapar, ngantuk, atau mau marah-marah doang.” Suara Lila hampir tak terdengar.Aku mengernyit, mencoba memahami kata-katanya lebih dalam. “Maksud lo gimana?” tanyaku hati-hati.Lila hanya menggeleng pelan. Buru-buru mengalihkan tatapan matanya yang mulai berkaca. “Maaf, enggak seharusnya gue ceritain masalah keluarga gue sama lo. Kita enggak begitu dekat, Lun.”“Setidaknya, gue bisa jadi pendengar yang baik. Lo butuh tempat cerita, mungkin,” kataku, berusaha menebak keingina
Aku menghentikan laju motor matic-ku dengan sekali rem halus, menatap lapangan parkir yang ternyata sudah penuh sesak. Mencari-cari tempat kosong hingga aku melihat satu ruang yang cukup luas. Tanpa pikir panjang, aku mengarah ke sana dan memarkirkan motor di tempat yang menurutku cukup nyaman untuk parkir. Helm kulepas lalu menyimpannya di spion sambil memperhatikan suasana sekitar. Tidak lama, deru mesin mobil berhenti tak jauh dari tempatku berdiri. Aku mendengar suara pintu mobil dibuka sedikit kasar, disusul langkah kaki yang makin mendekat. Begitu menoleh, seorang cowok tinggi sedang berjalan ke arahku dengan wajah merah padam. “Heh!” bentaknya, “ini tempat parkir gue!” “Kenapa lo parkir di situ, hah?” tanyanya penuh emosi. Aku berbalik, menatapnya dengan tenang, sama sekali tidak merasa terintimidasi oleh gertakannya dan gerak tubuh yang seolah-olah mengisyaratkan kalau ia paling berkuasa di sini. Aku belum mengatakan apa pun ketika dia yang justru tampak sedikit tersen
Setelah bel pulang berbunyi, aku bergegas ke parkiran. Namun, begitu mendekati bekas motor kesayangan Kak Alina yang sudah aku modifikasi sedikit, biar terlihat keren, tiba-tiba perasaan tidak enak langsung muncul. Ternyata ban belakang kempes. Mataku menyipit, mengingat tadi pagi bannya masih baik-baik saja. Tidak mungkin ada paku bertebaran di parkiran sekolah elit ini, ‘kan? Sebab, yang biasanya bertebaran itu janji manis pemilik kumis tipis. Kecuali, ada yang sengaja iseng. Ah, aku tahu! Pasti ini ulah si Zavier. Siapa lagi yang punya niat buruk padaku sejak tadi pagi kalau bukan dia? Memang resek itu orang. Aku menghela napas, mencoba meredam amarah, hingga terdengar tawa keras dari belakang. “Wah, kasian banget, bannya kempes, ya?” Suara Zavier terdengar jelas. Dia datang bersama dua orang temannya, mereka tertawa mengejek. Zavier menatapku dengan senyum puas di wajahnya. “Kayaknya ada yang gak bakal bisa pulang, nih?” Aku menggertakkan gigi, menahan diri agar
Begitu malam tiba, aku duduk sambil memandangi laptop di meja belajarku. Memikirkan seseorang yang mungkin bisa membantuku mencari tahu lebih banyak tentang Alina, seperti saran Tama--sepupuku tadi siang. “Coba cari teman yang paling dekat dengan Alina dulu. Lo bisa dapat setidaknya informasi penting dari situ.” “Astaga, gue baru di sini. Mana gue tau siapa yang paling dekat dengan Kak Alina?” Aku memijat-mijat kepala lalu mengusap-usap dagu. Sambil berpikir keras, aku menarik napas panjang dan membuangnya perlahan. Dan, seketika itu aku mengingat dua orang yang tadi mengaku sebagai sahabat Kak Alina. Sesaat, aku merasa senang, tetapi detik berikutnya, aku kembali cemberut. “Tapi, bagaimana kalau mereka cuma ngaku-ngaku?” Di tengah lamunanku itu, tiba-tiba ada ketukan dari pintu kamarku. Tanpa perlu mendapat izin dariku, pintu terbuka dan Bunda masuk sambil membawa segelas susu. “Aluna Sayang, kamu lagi apa?” tanyanya. “Eh, nggak ngapa-ngapain kok, Bun. Cuma lagi ... browsin
Aku fokus mengikuti pelajaran meskipun sesekali mendapat gangguan dari setan di sebelahku. Zavier kerap diam-diam melemparku menggunakan gulungan kertas kecil. Dan, itu tak hanya dilakukan sekali dua kali, tetapi berlanjut di hari-hari berikutnya. Entah kenapa orang yang sangat menyebalkan seperti Zavier bisa-bisanya menjadi ketua kelas? Konyol sekali! Ketika jam istirahat tiba, aku memilih istirahat di belakang sekolah. Lumayan, di sana ada pohon jambu air yang buahnya banyak dan sudah matang. Maling sedikit, tidak apa-apa. Lagipula, kalau dibiarkan begitu saja nanti buahnya busuk. Jadi, mending aku makan saja, biar lebih berkah buat yang tanam. Kini, aku duduk pada salah satu cabang pohon sambil menggoyang-goyangkan kaki, memetik beberapa buahnya untuk kudiamkan di pangkuan. Sembari menikmati kedamaian ini, mataku tiba-tiba menangkap gerakan di bawah. Ada Zavier dan teman-temannya sedang berjalan melewati area itu. Tanpa pikir panjang, ide iseng langsung muncul di benakku
Aku menarik napas sambil berjalan menuju bangku kayu di belakang sekolah yang sepi. Larissa dan Maya masih mengikuti dari belakang, tatapan bingung mereka seperti dua anak hilang yang tidak tahu arah tujuannya? Aku duduk bersama Larissa, sementara Maya masih mondar-mandir di hadapan kami sambil mengusap-usap dagu. Sudah seperti Bu RT yang memikirkan cara agar kampungnya dapat bantuan pemerintah. Aku menatap mereka dengan serius sambil berpikir sejenak. Menurut pengamatanku kurang lebih sepekan sekolah di sini, sepertinya mereka berdua orang baik-baik. Tidak seperti si Zavier yang sangat mengesalkan. Maksudku, tidak ada salahnya menjadikan Maya dan Larissa sebagai teman. Mana tahu dengan begitu, aku bisa mendapatkan informasi lebih banyak lagi tentang Kak Alina seperti saran Tama. Dan, itu akan mempermudah misi pertamaku untuk mengetahui siapa-siapa saja yang pernah terlibat mengganggu saudara kembarku? “Bagaimana mungkin lo bukan Alina?” tanya Maya tak bisa menyembunyik
Wanita bertubuh sintal itu berjalan menghampiri kami membuat Zavier buru-buru berdiri, hendak kabur, tetapi tanganku lebih sigap bergerak menarik tasnya agar ia tak pergi begitu saja. Enak saja, setelah ada upaya bolos dari jam pelajaran, dia mau kabur seenaknya ketika ketahuan. Jangan mimpi! Dia mendengus sebal, dengan terpaksa berdiri menunduk begitu Bu Mila--guru BK sudah berada di hadapan kami. “Ngapain kalian di sini?” tanya wanita berhijab itu tegas. “Ini, Bu. Zavier mau bolos dari pelajaran Fisika,” kataku tanpa menyembunyikan apa pun. Biar tahu rasa si Zavier dihukum. Aku tak sabar ingin melihatnya hormat pada tiang bendera di bawah teriknya mentari di jam 9 pagi ini. Hahaha. Bu Mila mengembuskan napas berat. “Apa benar begitu, Zavier?” tanyanya ingin memastikan. Zavier menggeleng cepat. Berusaha membela dirinya. “Sebenarnya, e ... anu, saya, itu cuma ... eh, lagi ngetes Hukum Newton I, Bu. Katanya benda diam akan tetap diam kalau nggak ada yang ganggu, tapi
Lila terdiam, menunduk sambil memainkan ujung jaketnya. Aku memperhatikan raut wajahnya yang mendadak muram, tak seperti biasa yang selalu menunjukkan wajah angkuhnya ketika di hadapanku. Kali ini, ia tampak seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat. “Bokap gue mana peduli, Lun,” katanya, tersenyum masam. Membuatku terdiam, menunggunya mengatakan sesuatu yang mungkin bisa memperjelas kalimatnya itu.Dia menghela napas panjang sebelum melanjutkan. “Dia pulang ketika lapar, ngantuk, atau mau marah-marah doang.” Suara Lila hampir tak terdengar.Aku mengernyit, mencoba memahami kata-katanya lebih dalam. “Maksud lo gimana?” tanyaku hati-hati.Lila hanya menggeleng pelan. Buru-buru mengalihkan tatapan matanya yang mulai berkaca. “Maaf, enggak seharusnya gue ceritain masalah keluarga gue sama lo. Kita enggak begitu dekat, Lun.”“Setidaknya, gue bisa jadi pendengar yang baik. Lo butuh tempat cerita, mungkin,” kataku, berusaha menebak keingina
Para pria itu menoleh ke arahku. Salah satu di antara mereka yang tubuhnya paling besar, tertawa keras sambil berjalan mendekat. “Cewek kayak lo memang bisa apa? Mending lo balik sana, sebelum lo kami bawa juga!”Bukannya takut, aku justru turun dari motor tanpa melepas helm. Kudekati mereka seolah-olah sengaja menantangnya. “Lo bisa bawa gue ....” Aku sengaja menggantung ucapan, biar mereka senang. Ternyata benar, pria tak tahu malu itu menyeringai menyebalkan, bahkan menyebalkannya Zavier, lebih menyebalkan mereka. “Itu pun kalau bisa," lanjutkan disertai senyum licik. “Lagian, apa lo-lo pada, enggak malu beraninya sama cewek. Badang doang gede, tapi dalamnya banci!” Aku sengaja menyindir yang tampaknya langsung tepat sasaran, terlihat dari gelagat mereka yang mulai kesal.“Wah, nyolot ini cewek!” Pria lain yang tubuhnya lebih kurus mendekatiku dengan langkah cepat. “Denger, ya, kalau lo enggak tau apa-apa, enggak usah ikut campur, sebelum lo
“Tetap aja kurang ajar. Mau sampai kapan lo nikah sama cowok modelan begitu?”Aku menghela napas berat, sungguh sebenarnya sangat malas untuk membicarakan sesuatu yang berkaitan dengan masalah tadi malam karena lelah, butuh istirahat. Namun, aku yang hendak menjawab, seketika terdiam saat mendengar suara Bunda tiba-tiba menengahi. “Aidan.” Nada suaranya lembut, tetapi masih terdengar tegas. “Kamu enggak boleh bicara seperti itu pada adikmu.”“Kamu sudah dewasa, seharusnya tau apa yang baik atau tidak. Dengan kata-katamu tadi, itu seolah-olah kamu meminta adikmu mempermainkan pernikahan.”Kak Aidan menghela napas panjang, wajahnya tak berubah dari ekspresi kesalnya. “Bun, aku enggak bermaksud begitu, tap—”“Mau bagaimanapun juga, adikmu sudah terikat hubungan pernikahan, walaupun belum tercatat secara sipil, tapi itu resmi secara agama. Kita harus menghormati aturan agama dan tidak boleh mempermainkannya,” potong Bunda, menatap Kak Aidan
Sejak pembicaraan di meja makan itu, pikiranku jadi tak ada habisnya menerka-nerka. Ah, sudah kayak judul lagu saja.Keluarga mertuaku, semua tampak biasa saja, seolah-olah tidak ada yang terjadi, tetapi aku justru merasa ada yang tidak beres.Zavier yang meskipun aku sudah menikah dengannya, tetapi aku belum terlalu mengenal terlalu dalam seperti apa warna aslinya yang sebenarnya.Satu hal yang kutahu, dia adalah sosok yang sangat kejinya melenyapkan kakak kembarku. Dan, aku tentu tidak akan melupakan hal itu karena tujuan awalku masuk ke sekolah Kak Alina adalah untuk balas dendam atas kematiannya.Pikiranku masih tetap tertuju pada pembicaraan tadi, bahkan sampai kami berangkat ke sekolah. Zavier yang mengemudikan mobil sibuk berceloteh. Sesekali aku membalas celotehannya, tanpa benar-benar memperhatikan perkataannya.“Lun, lo kenapa, sih?” tanya Zavier begitu kami tiba di parkiran sekolah. Mungkin, dia baru menyadari perubahan sikapku
‘Duh, apa yang harus gue katakan pada Oma?’ Aku berdehem pelan mencoba bersikap tenang. “Eh, anu, Oma ... kami, eh ... iya, tidur sekamar, tapi kami enggak ngapa-ngapain, kok! Suer!” Aku mengangkat dua jari untuk menyakinkan Oma dan orang tuaku. “Enggak ngapa-ngapain, tapi suara teriakannya nyampe ke bawah tadi,” cibir Oma membuatku seketika meneguk ludah. Itu pasti teriakan Aluna saat kaget kami tidur bareng. Aku melirik Mama dan Papa yang hanya mesem-mesem, sedangkan Aluna, dia hanya menunduk, malu-malu kucing, terlihat dari pipinya yang makin memerah. “Ingat, ya, kalian berdua itu masih harus sangat hati-hati, jangan sampai terjadi hal-hal yang enggak diinginkan. Sederhananya, jangan sampai Aluna hamil. Kalian masih SMA. Kalau ketahuan menikah, kalian bisa dikeluarin dari sekolah,” tutur Mama menatapku dan Aluna bergantian, memberikan pengertian. “Kami enggak ngapa-ngapain, kok, Ma. Tadi malam, Zavier hanya minta ditemani karena takut butuh apa-apa,” kata Aluna membela dir
Aku tidak tahu sudah berapa lama memperhatikannya, tetapi satu hal yang pasti, aku tidak ingin kehilangan momen langka ini. “Lo selalu bikin gue gila, Lun,” gumamku pelan. “Entah sejak kapan, tapi ... gue harus akui kalau udah jatuh cinta sama lo, bahkan sebelum insiden yang mengharuskan kita harus terikat pernikahan dini,” kataku pelan, sangat menjaga suara agar tak sampai membuatnya terbangun, “gue tau, lo itu kadang ngeselin, tapi ... ada sisi lain dari lo yang bikin hati gue malah tertarik dan ingin selalu berada di dekat lo.” Tanganku perlahan terulur untuk sedikit merapikan rambutnya yang menutupi wajahnya. Tak ketinggalan jari-jariku perlahan mengusap pipinya, lembut. Sesaat, aku menatap wajahnya, ingin sekali dia tahu perasaanku yang sangat tulus mencintainya, walaupun aku bukan Tulus yang bisa bernyanyi. “Lun ...,” lanjutku, lebih pelan lagi, “soal Alina, Kakak kembar lo, gue ... minta maaf. Pasti lo sangat terluka kehilangan dia.” Setelah beberapa saat, aku bangkit
“Iya, gue tau,” ujarku penuh penyesalan, “terus ini gue kudu gimana, Lun? Kak Aidan pasti marah banget sama gue?”Pertanyaanku sepertinya hanya dianggap angin lalu oleh Aluna. Dia hanya terdiam, bahkan untuk menggerakkan sedikit bibirnya saja tidak. Namun, aku tetap menunggunya membuka suara.Paling tidak, berharap sedikit penjelasan atau jawaban yang setidaknya bisa menenangkan hatiku, tetapi dia tetap diam, padahal dia tak bisa. Hanya suara napasnya yang sesekali terdengar berat.Akhirnya, aku tidak tahan lagi. Aku membuka mulut, kembali memecah keheningan. “Lun, please. Gue enggak tau lagi harus gimana? Lo bantuin gue, ya? Bilang ke Kak Aidan kalau gue kemarin itu enggak sengaja.”Kali ini, Aluna memutar bola matanya, lalu melihatku sekilas. Dia mengangkat bahu sambil tersenyum tipis. “Iya, nanti gue bilangin Kak Aidan, kalau lo sengaja nantangin dia.”Aku membelalakkan mata, tidak percaya dengan responsnya yang bertolak belakang dengan permintaanku. “Heh, kok gitu?” tanyaku, sedik
POV Zavier“Zav, dia Kak Aidan. Kakak gue.” Suara lembut Aluna seketika membuatku mematung. Tubuhku merasa kaku, seakan-akan tak mampu untuk digerakkan.Kakak? Kata itu seperti sengaja menghantam kepalaku dengan keras. Rasanya, lebih menakutkan, daripada pukulan lawan saat aku berkelahi tadi.Mata ini langsung membesar, sesekali menelan ludah yang terasa kelu, bahkan suara yang keluar dari mulutku sangat pelan, hampir seperti sebuah bisikan. “Ka—kak?” Aku bertanya dengan nada tak percaya. Pikiranku berputar-putar bagai bola menggelinding pada tangga. Jadi, lelaki yang kupikir sedang mencoba mendekati istriku itu ternyata kakak iparku? Astaga, aku sampai lupa, kalau sebelumnya memang tak pernah bertatap muka secara langsung dengan Kak Aidan. Kemarin, ketika menginap di rumah Aluna, dia tak ada karena katanya lagi ke luar kota.Saat dia pulang pun, aku justru diminta Aluna bersembunyi karena Kak Aidan akan menghantam ji
Aku berdiri di depan pintu apartemen Tama, siap-siap pulang dengan perasaan yang setidaknya sedikit puas karena sudah mengantongi bantuan dan beberapa ide licik untuk melancarkan rencana balas dendamku. Hanya saja, begitu hendak masuk ke lift, tiba-tiba Kak Aidan muncul dari sana dengan ekspresi kaku khasnya.“Loh, Lun ... lo ngapain di sini?” Dia menatapku penuh selidik.Aku mengangkat bahu. “Biasa, ada bisnis dengan Tama,” jawabku berusaha santai, walaupun perasaanku setidaknya mulai tidak enak melihat raut wajah Kak Aidan.Pria tinggi itu melirik jam tangannya. “Lo tau sekarang udah malam?”“Tau.”“Lalu, kenapa masih juga keluyuran di luar? Lama-lama gue kurung lo di rumah.” Dia mencecar membuatku mengerucutkan bibir mendengarnya. Sudah kuduga kalau dia akan mengomeliku. Dasar cerewet!Di sisi lain, Tama hanya menutup mulut, tertawa kecil. Aku tahu pasti dia yang memberitahu Kak Aidan kalau aku ada di apartemennya. K