Pagi ini, udara di sekolah terasa agak lebih cerah dari biasanya. Aku baru saja sampai di parkiran dan menyimpan helm ketika Zavier tiba-tiba menghampiriku. Dia tersenyum lebar menyambutku, tetapi hanya kubalas dengan senyum seadanya. Tadinya mau mengomel padanya, tetapi ingat kalau kemarin kami baru saja berpacaran ceritanya. Jadi, kudu lembut sedikit, biar terkesan manis. Huek .... “Selamat pagi, Pacar,” ucap Zavier dengan nada manis justru membuatku merinding geli. Aku mendesis kecil sambil berjalan mendahului Zavier. “Geli tau lo ngomong gitu.” Zavier tertawa kecil, terus mengikuti langkahku. Kami berjalan beriringan menuju kelas. Jujur saja, aku merasa sedikit canggung. Namun, berbeda dengan Zavier, dia justru terlihat sangat santai bak tak ada beban. Entahlah, mungkin pembawaan dia memang seperti itu. Santai, meskipun dalam situasi yang rumit. Kami terus melangkah, Zavier sesekali menarik tasku, membuatku yang berada di depannya terpaksa mundur sedikit karena dia ba
Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling begitu jam istirahat kedua sudah tiba. Mencari-cari sosok Zavier yang menghilang bagai ditelan bumi. Tadinya, dia bilang padaku mau ke kantin. Ia lapar gara-gara tak sarapan sebelum ke sekolah. Namun, hingga mata pelajaran di jam kedua usai, dia tak kunjung kembali ke kelas. Mustahil, kalau lupa jalan pulang ke kelas, kan? Entah dapat dorongan dari mana sehingga aku melangkah menuju kantin untuk mencarinya. Namun, tak kutemukan sosoknya. Di perpustakaan, tidak ada juga. Di lapangan, sama saja. Ke mana rupanya cowok resek itu? Apa jangan-jangan, dia ... bolos? Ah, tidak salah lagi, dia pasti bolos. Apalagi, jam kedua tadi Fisika. Aku ingat, dia tidak begitu suka dengan pelajaran yang berbau perhitungan, apalagi materi kami sudah masuk rumus-rumusnya. Akan tetapi, masa iya dia bolos? Sudah beberapa pertemuan semenjak aku memergokinya manjat pagar, dia sudah tak pernah bolos lagi. Semenjak saat itu, dia jadi rajin ikut mata pela
Aku mendorong pintu di sebuah ruang rawat VIP dengan perlahan, mencoba mengatur napas yang tiba-tiba terasa berat. Begitu pintu terbuka dan menimbulkan bunyi, semua kepala yang ada di dalam langsung menoleh ke arahku.Di samping ranjang, Tante Sofia sedang duduk dengan seorang wanita cantik berdiri anggun di sisinya. Aku menebak kalau dia pasti kakaknya Zavier---kakak iparku.Dan tentu saja, Papa mertua yang duduk di sofa dekat jendela, satu kakinya berada di atas kaki lainnya.Sementara itu, di sisi lain hospital bad, Zavier juga duduk seraya mengelus tangan Oma yang terbaring lemah. Ya, setelah mendapat informasi dari Ibu mertuaku kalau Oma dirawat karena pingsan akibat terjatuh dan hingga kini belum sadar, aku langsung menuju ke rumah sakit.Melihatku berdiri gamang di ambang pintu, Zavier langsung berdiri dan melangkah mendekat. Ekspresinya tampak bingung sekaligus heran. Mungkin dalam hatinya bertanya-tanya, kena
Setelah semua orang pulang untuk beristirahat, kini tinggal aku dan Zavier yang menjaga Oma, sesuai permintaannya tadi yang ingin ditemani kami berdua. Aku pun pasrah saja meskipun harus menginap di rumah sakit malam ini, bersama Zavier, karena memang tidak memiliki pilihan lain. “Jadi ....” Zavier yang bersandar di sofa sambil melipat tangan di dadanya memecah keheningan ketika Oma sudah tidur. Dia menatapku yang duduk di sebelahnya dengan senyum setengah mengejek agaknya. “Kenapa lo tiba-tiba telepon Ibu tadi? Khawatir sama gue, ya?” Memicing, tampak penasaran. Aku memutar bola mata, mencoba menyembunyikan rasa panas di wajahku. “Heh, enggak usah kepedean. Gue tadi nyari lo cuma buat bilang kalau pekan depan kita ada ulangan Fisika.” Zavier terkekeh pelan, mencondongkan tubuh sedikit lebih dekat padaku. “Oh, ya? Lo bela-belain nelpon Ibu cuma buat ngasih tau gue soal ulangan? Perhatian amat istriku, ya ampun.” Dia malah mengusap-usap kepalaku. Aku mendesis dan langsun
Aku masih memandangi kertas ulangan Zavier di tanganku. Bukan karena takjub, tetapi tak bisa berkata-kata. Mataku terpaku pada angka besar yang tertulis di sana. Persis seperti nilaiku. 100. Namun, untuk nilainya Zavier, angka nolnya ditendang satu. Astaga. Rupanya tadi, dia memandangi lembar soal cuma memandangi saja, bukan serius mengerjakan. Lebih tepatnya, dia pura-pura serius. Lihatlah, nilainya bahkan sukar dipercaya untuk ukuran seorang siswa yang konon populer di kalangan para gadis di sekolah ini. Aku mengalihkan pandangan ke arahnya, sedikitnya menuntut penjelasannya yang masih terlihat santai seperti biasa, seolah-olah nilai itu adalah hal yang paling biasa baginya. “Zav-Zav.” Aku memanggilnya pelan. Dia menoleh dengan alis terangkat. Saat matanya menangkap kertas ulangannya di tanganku, dia langsung merebutnya dengan sedikit kasar. “Eh, kembalikan!” Aku memelototinya. “Seriusan, nilai lo segitu? Lo enggak belajar tadi malam?” “Belajar, tapi pas liat soal m
Aku melepas tangan Mira dengan kasar begitu Bu Erna---guru Seni makin mendekat. Dia mengusap-usap lengannya, sudah pasti kesakitan karena tadi aku mencengkeramnya sangat kuat. “Ada apa ini?” Suara tegas Bu Erna memecah ketegangan. Kami semua menoleh, sekilas dapat kulihat Mira masih mengusap lengan. Bu Erna menatapku seakan-akan menaruh curiga. “Aluna, bajumu kenapa?” Aku menunduk melihat bajuku yang basah dan terlihat ada noda bekas tumpahan minuman ulah si Mira. Kualihkan pandangan ke arah Mira dan teman-temannya yang mulai terlihat gelisah. Mungkin takut kalau aku mengadu. “Enggak apa-apa, Bu. Tadi, ketumpahan minuman aja,” kataku berbohong. Hanya tidak ingin memperpanjang masalah. Bukan takut pada Mira, tetapi biar dia senang sedikit karena aku tak mengadukan perbuatannya. Setelah ini, baru akan kubalas pelan-pelan. “Oh, ya sudah. Kalau begitu, bubar. Jangan bikin keributan di sini.” Saat semua orang mulai berpencar, Mira mendekatkan wajah padaku, berbisik agar
Aku terus mencari sepatuku dengan panik. Sisa waktu makin menipis dan aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana? Sepatu yang hilang itu bukan cuma masalah penampilan, tetapi juga bagian dari kostum yang harus sesuai tema.Curiga ada yang sengaja menyembunyikan sepatuku. Aku menyeru frustrasi. “Siapa yang ngumpetin sepatu gue?!”Tak ada yang menjawab, meskipun semua tampak menoleh padaku.Kecuali, satu orang. Zavier, dia langsung menghampiriku. Wajahnya yang biasanya terlihat santai, berubah serius.“Kenapa teriak-teriak?” tanyanya.“Sepatu gue hilang.”“Taro di mana tadi?”“Di sini.” Aku menunjuk tempatku menyimpan sepatu. “Harusnya ada di sini, tapi enggak ada.”Zavier menyentuh bahuku pelan sambil berkata, “Kamu tenang dulu, ya.” Dia berdiri tegap,menatap tajam yang lainnya satu per satu.“Siapa yang nyembunyiin sepatunya Aluna?” Suaranya rendah, tetapi penuh tekanan. “Jawab!” Kal
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan jantung yang berdegup lebih cepat dari biasanya. Bersama Zavier, kami melangkah menuju panggung, mengenakan busana adat yang telah ditentukan sebelumnya. “Santai, Lun. Kita cuma perlu jalan,” bisik Zavier dengan nada santai di dekatku. Dia ini sepertinya memiliki keahlian menebak isi hati. “Tunjukkan pesonamu, Istriku,” lanjutnya membuatku mengerucutkan bibir kesal dan mencuri kesempatan mencubit pinggangnya. “Diam enggak lo!” ucapku pelan, tetapi penuh penekanan. Waktu berlalu, kami mulai berjalan beriringan, langkah kami seolah-olah mengikuti irama musik tradisional yang dimainkan. Pada langkah kami di atas panggung ini juga langsung disambut teriakan riuh dari siswa-siswa di barisan penonton. Suasana begitu ramai, sampai beberapa celetukan yang jelas-jelas membicarakan aku dan Zavier terdengar hingga ke panggung.
Pulang dari rumah Lila, kami mampir di sebuah kafe yang konon jadi favoritnya Zavier. Tempatnya memang lumayan tenang. Aku mengaduk-aduk es kopi susu di depanku sesekali melihat keluar jendela. Rasanya bisa bernapas lega karena berhasil menolong Lila meskipun sebelumnya orang tuaku sempat ragu untuk memberi uang. Bukan terlalu sayang pada uangnya, tetapi takut Lila akan memanfaatkanku di kemudian hari. Namun, pada akhirnya mereka luluh setelah aku mencoba menyakinkannya.“Gue salut sama lo.” Zavier membuka suara, membuatku spontan menoleh padanya yang berada di sebelahku.“Salut kenapa?”“Karena lo suka menolong. Enggak nyangka aja, kalau lo sampai punya pikiran buat bantu Lila keluar dari masalahnya. Jujur, Lila beruntung ketemu orang kayak lo saat dia sedang kesulitan. Bayangin, kalo dia ketemu sama gue, mungkin cuma bakal nyuruh dia sabar.”Aku tertawa kecil. Tidak sepenuhnya menyalahkan pikiran Zavier. Sebelumnya, aku juga
Dia didorong hingga tersungkur ke tanah. Ibunya menangis histeris, hendak menolong tetapi seorang pria bertubuh kekar dengan rokok terselip di bibirnya menahan dengan kasar.Aku tebak, dia ayahnya Lila.Helm kulepas begitu motor Zavier berhenti. Beberapa saat, semua orang melihat kedatangan kami penuh tanya. Namun, seolah tak peduli, mereka tetap melanjutkan kekacauan yang terjadi itu.Wanita yang tak lain ibunya Lila terlihat lelah berusaha melepaskan diri dari cengkeraman suaminya. “Bagaimana bisa kau mengorbankan anak kita sendiri demi utang-utangmu? Dia masih sekolah! Dia masih anak-anak! Dia tidak boleh menikah dengan siapa pun!”Perlindungan itu justru mendapat balasan berupa makian dari suaminya. “Diam! Dia hanya anak perempuan! Tidak penting sekolah tinggi-tinggi, ngabisin uang saja. Daripada aku dipenjara, biarkan dia mengerahkan dirinya untuk berbakti padaku sebagai ayahnya! Itu lebih bermanfaat daripada dia sekolah!”Kata-kata
Aku menelan ludah. Memijat tengkuk sambil tertawa cengengesan sebelum akhirnya memberanikan diri berkata, “Kak, gue butuh bantuan. Uang, tepatnya.”Pria 28 tahun itu langsung menoleh padaku dengan alis terangkat, tatapannya jangan ditanya. Dia seperti hendak menelanku hidup-hidup. Tajam, bahkan bisa dibilang lebih tajam dari omongan tetangga. Ih, hus! “Uang? Buat apa? Bunda enggak ngasih lo jajan?” Kak Aidan bertanya seperti itu karena pasti dia berpikir Bunda selalu rutin memberiku jajan setiap bulan, tidak pernah telat.“Ada, kok. Ta—tapi, gue ada keperluan mendesak, Kak. Uang jajan gue enggak cukup buat itu.” Tatapan Kak Aidan makin curiga, terlebih melihatku yang tersenyum terpaksa dan refleks menggaruk pelipis yang sebenarnya tak gatal.“Keperluan apa?”“Ada, Kak. Penting banget pokoknya.” Semoga Kak Aidan tak terlalu banyak tanya setelah ini. So, aku ragu jika mengatakan yang sebenarnya, Kak Aidan tak akan memberikannya.
“Gue rasa, dia dan gengnya dibiarin makin ngelunjak. Kayaknya emang perlu dikasi pelajaran!” tegas Zavier sambil mengepalkan tangan. Raut wajahnya, tampak sangat emosi.Aku menghela napas pelan, tanpa berpikir panjang, menyentuh tangan Zavier yang masih mengepal di atas meja. Maksudku untuk menenangkannya, dia sedang salah paham. “Hei, lo enggak usah marah-marah begitu juga. Gue ngajak ngobrol buat minta bantuan, bukan ngajakin tawuran,” ujarku tersenyum geli, “lagipula, Lila enggak gangguin gue.”Zavier menoleh padaku. Ekspresinya terlihat tenang, meskipun keningnya masih mengerut, seakan-akan menuntut penjelasan.“Lalu, ada apa?”Aku menarik napas panjang, sebelum akhirnya berkata jujur. “Lila sedang dalam masalah. Jadi ....”Mulai kuceritakan masalah Lila secara detail, tajam, terpercaya, tanpa digoreng sampai kriuk-kriuk. Semua ceritaku sesuai dengan fakta yang ada. Tentunya, yang kudengar dari Lila tadi malam.Tata
Aku berdiri terpaku di ruang tamu, tangan terkepal erat di sisi tubuhku. Kata-kata dari dalam kamar itu terus terngiang di telingaku. “Mau sampai kapan, kamu nyembunyiin kebenaran soal kematian kakaknya Aluna, Zavier? Dia harus tau itu.”Napasku tiba-tiba terasa sesak. Jantungku berdegup kencang, seolah-olah hendak meledak. Tentang kematian Kak Alina? Jadi, benar dugaanku kalau mereka sebenarnya mengetahui semuanya, tetapi sengaja menyembunyikan. Dan, kebaikan yang diperlihatkan di depanku, semua hanya ... palsu, demi menutupi kebobrokan keluarga mereka.“Lihat saja, apa yang akan kulakukan nanti untuk membalas perbuatan kalian?” geramku dalam hati, penuh dengan emosi yang membara.Aku ingin langsung menerobos pintu kamar yang sedikit terbuka itu, menuntut penjelasan mereka sekarang juga. Akan tetapi, tubuhku hanya terpaku di tempat seolah-olah sulit untuk sekadar melangkah.Sisi lain diriku ingin mendengar lebih banyak, mencari kepastia
“Oh, pantesan enggak mau gabung kita lagi karena udah punya teman lain. Penghianat lo!” murka Mira sambil menunjuk Lila.Suaranya yang melengking keras itu membuat beberapa orang di sekitar mulai melirik ke arah kami.Kulihat Lila tampak ingin menjelaskan, bibirnya terbuka seolah mencari kata-kata yang tepat untuk membela diri. “Enggak ... bukan gitu, Mir. Gue ....”“Apa?!” Mira memotong kasar. Tangannya terangkat, siap memukul Lila yang menunduk ketakutan.Hanya saja, aku yang melihatnya, refleks meraih pergelangan tangan Mira sebelum tangannya menyentuh Lila. “Lo mau ngapain?” tanyaku ketus.Tatapan tajam kami bertemu seakan-akan ingin saling menelan hidup-hidup. Mira mendengus, mencoba menarik tangannya, tetapi aku tidak melepaskannya begitu saja, justru makin mencengkeram dengan sekuat tenaga. Hitung-hitung untuk memberinya peringatan agar tak seenaknya jadi orang.“Emang ada aturan Lila enggak boleh berte
“Lila?!”Aku dan Lila kompak menoleh ke sumber suara. Tampak Larissa dan Maya melangkah mendekat. Jangan ditanya ekspresinya bagaimana? Mereka tampak terkejut, mungkin karena melihatku bersama dengan Lila, padahal selama ini, Lila termasuk salah satu orang yang selalu menggangguku.“Ngapain lo di sini sama Aluna?” Maya langsung menyerang Lila dengan tatapan mengintimidasi.Kulihat Lila menunduk. Tangannya tanpa sadar memainkan ujung seragamnya seolah-olah itu bisa mengurangi kegugupannya. “Gue cuma ... cuma ....”“Cuma apa?” Larissa memotong dengan suara tajam. Sorot matanya seperti menuntut jawaban yang lebih jelas. “Mau gangguin Aluna lagi lo?” Maya menyeringai sinis, seakan-akan menyakini kalau Lila hanya akan membuat masalah di sini.Aku mendengus pelan, menarik Larissa dan Maya agar menjauh dari Lila yang tampak tertekan dengan tatapan kedua temanku itu. “Udah-udah, Lila enggak ganggu gue,” ujarku, membuat mereka
Tak butuh waktu lama, suara dari seberang pun terdengar. “Halo,” katanya dengan nada yang terdengar kesal.“Ada apa, sih, sampai missed call dan pesan lo banyak banget?” tanyaku to the point.“Lo dari mana aja?” Zavier langsung menyemprotku tanpa basa-basi. “Ditelpon enggak diangkat, di-chat enggak dibalas. Gue bahkan udah mau nyusul ke rumah lo, tapi untung lo nelepon duluan. Kebiasaan banget ngilang kayak punya jurus menghilang aja lo!”Aku memutar bola mata, mendesah pelan mendengar omelannya. “Gue cuma keluar sebentar cari udara segar. Ponsel enggak gue bawa. Kenapa emang? Ada yang penting?"“Iya, ada,” jawabnya, tiba-tiba nada suaranya lebih pelan dari sebelumnya, tetapi tetap terdengar tegas.Aku mengernyit, kemudian bertanya lagi. “Apa?”Dia terdiam cukup lama, membuatku sedikit heran. Kenapa dia?“Halo, Zav-Zav. Kenapa?” tanyaku sedikit mendesaknya. Akhirnya, setelah beberapa saat, dia pun bersuara, te
Lila terdiam, menunduk sambil memainkan ujung jaketnya. Aku memperhatikan raut wajahnya yang mendadak muram, tak seperti biasa yang selalu menunjukkan wajah angkuhnya ketika di hadapanku. Kali ini, ia tampak seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat. “Bokap gue mana peduli, Lun,” katanya, tersenyum masam. Membuatku terdiam, menunggunya mengatakan sesuatu yang mungkin bisa memperjelas kalimatnya itu.Dia menghela napas panjang sebelum melanjutkan. “Dia pulang ketika lapar, ngantuk, atau mau marah-marah doang.” Suara Lila hampir tak terdengar.Aku mengernyit, mencoba memahami kata-katanya lebih dalam. “Maksud lo gimana?” tanyaku hati-hati.Lila hanya menggeleng pelan. Buru-buru mengalihkan tatapan matanya yang mulai berkaca. “Maaf, enggak seharusnya gue ceritain masalah keluarga gue sama lo. Kita enggak begitu dekat, Lun.”“Setidaknya, gue bisa jadi pendengar yang baik. Lo butuh tempat cerita, mungkin,” kataku, berusaha menebak keingina