“Kalau gue yang nyingkirin lo gimana?” tanyaku balik menantangnya. Tawa yang tadinya meremehkanku seketika hening. Dapat kulihat mereka saling bertatapan satu sama lain seolah-olah tak percaya dengan apa yang baru saja kukatakan. Barangkali, mereka merasa herman karena aku berani melawan ketidakadilan. Kutatap mereka satu persatu sambil tersenyum sinis. Giliranku tertawa mengejek begitu melihat raut wajah mereka mulai kesal. “Berani lo nyingkirin gue? Punya nyali dari mana lo?” Mira memandangku sengit bak ingin menelanku hidup-hidup. Cengkeramannya pada kerah bajuku makin kuat, tetapi aku sama sekali tak merasa terintimidasi dengan perbuatannya. Aku hanya tertawa pelan sambil membalas tatapannya yang tajam itu. Dalam beberapa saat kami saling berbalas tatapan sengit seakan-akan ingin saling menerkam. “Berani,” jawabku pada akhirnya. Tanpa sedikit pun merasa takut ataupun gentar. Raut wajah Mira makin terlihat murka. Dengan percaya dirinya berkata, “Berani lo bilang? Be
Tiba di rumah, aku melempar tas ke tempat tidur, lalu mengganti pakaian yang basah ini lebih dulu karena dinginnya masih terasa menyusup ke kulitku.Setelah itu, menghempaskan tubuh di tempat tidur. Pikiranku berkecamuk, memutar ulang perbuatan Mira dan teman-temannya yang membuat amarahku makin berkobar.Kurang ajar sekali mereka. Sepertinya, mereka belum tahu siapa Aluna sebenarnya?Aku menghela napas dalam-dalam, berusaha meredakan sedikit amarah yang terasa membakar di dada. “Oke, agaknya mereka memang perlu diberi sedikit pelajaran,” gumamku sambil menggigit bibir, menatap kosong ke langit-langit kamar. Dalam pikiranku, nama pertama yang muncul adalah Lila yang tampaknya paling lemah di antara mereka. Apalagi, kami satu kelas. Jadi, mudah saja untuk kugoyahkan.Dia juga tadi yang berani-beraninya membawa nama guru untuk menipuku. Lihat saja nanti, apa yang akan kulakukan padanya?Ah, memikirkan cara halu
Di rumah Zavier, kami memulai diskusi untuk tugas kelompok yang diberikan Pak Jeff. Di mana setiap kelompok diminta untuk menanam tanaman dari benih biji-bijian yang nantinya bakal diamati setiap hari dan diukur tingginya dari mulai kecambah. Ya, begitulah risiko masik jurusan exact yang katanya ilmu pasti, kadang mengukur tumbuhan, mengukur setetes air, hingga mengukur kecepatan jatuhnya buah. Sayangnya, tidak bisa mengukur berapa lama yang dibutuhkan seseorang untuk bisa melupakan mantannya. Eya! “Jadi, sore ini, kita nyiapin tanahnya saja untuk bibit. Besok harus dibawa ke sekolah sekaligus bibitnya juga akan ditanam saat pelajaran Biologi.” Sambil memegang catatan, aku mulai menjelaskan rencana dengan serius. Hanya saja, ada seseorang yang terus mengalihkan perhatianku. Tepat di sofa lain, kulihat Zavier menatapku dengan pandangan yang tidak kutahu apa artinya? Bibirnya sesekali tersenyum tipis tiap kali aku berbicara. Rasanya seperti ada api yang membakar wajahku kerap k
Aku yang terkejut langsung menarik tanganku yang berada di bawah tangan Zavier. Sontak, pura-pura menggaruk tengkuk dan melihat sekeliling. Untungnya, teman-teman yang lain pada fokus dengan aktivitasnya masing-masing. Jadi, sepertinya insiden yang terjadi barusan tak dilihat oleh mereka. Anehnya, Zavier justru tak terlihat panik sama sekali. Malah tersenyum santai sambil menaik-turunkan alis seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Agaknya, dia memang sengaja memanfaatkan kesempitan yang penting ada kesempatan. Aku memilih bergabung dengan Maya dan Larissa. Zavier pun menyusul. Kami mulai memasukkan tanah ke dalam kantong bibit. “Lun, lo takut sama ulat, enggak?” Suara Zavier yang tak jauh dariku membuatku menoleh padanya sekilas. “Enggak,” jawabku singkat dan tentunya berbohong. Nyatanya, aku takut sama ulat. Geli. Hanya saja, tidak ingin menunjukkan kelemahanku padanya. “Kalau ini lo takut enggak?” Zavier mengangkat tangan berisi cacing hidup tepat di dekat wajahku. A
Keesokan harinya--di jam pelajaran Biologi, semua siswa di kelasku berkumpul di belakang sekolah untuk tawuran. Eh, bukan ... bukan, maksudku untuk menanam bibit yang sudah kami persiapkan sebelumnya. Semua siswa pada sibuk mencari tempat yang pas untuk menyimpan kantong bibitnya masing-masing.Aku dan kelompokku memilih tempat di dekat pagar. Adnan dan Raka sudah sibuk menata kantong bibit menjadi 3 bagian.Untungnya, karena mereka berdua tak banyak protes ketika diminta melakukan sesuatu. Tidak seperti Zavier yang terkadang protes dulu baru mengerjakannya, itu pun terpaksa setelah diancam namanya akan kucoret dari kelompok.“Sa, tanamnya jangan terlalu dalam, nanti tumbuhnya kelamaan,” seruku tatkala melihat Larissa menggali tanah pada kantong bibit dengan sangat dalam. Aktivitas Larissa sontak terhenti. Dengan raut polosnya ia menoleh padanya dan bertanya, “Loh, emang ngaruh?”“Ngaruh, dong,” sahut Maya, “sesuatu yang dilaku
Begitu jam istirahat tiba, aku, Maya dan Larissa langsung menuju warung yang di sebelah sekolah kami. Sebenarnya, bisa saja kami makan di kantin yang berada di dalam area sekolah. Hanya saja, kami butuh menu berbeda kali ini. Kami mengambil meja di sudut yang setidaknya sedikit menghindari dari keramaian dan tempatnya juga lumayan nyaman di sini. “Apa cuma gue yang ngerasa materi Biologi tadi lebih seru belajarnya langsung praktek daripada teori?” Larissa membuka pembicaraan sambil menaruh dagunya di atas tangan. “Biasanya, praktek emang lebih seru. Apalagi Biologi yang sedikit banyaknya berhubungan dengan alam. Asalkan jangan bagian bab reproduksi aja yang lo minta praktek,” kekeh Maya. Aku yang hendak menyeruput es teh yang baru saja kubeli, lantas menyemburkan tawa mendengar perkataan Maya. Bisa-bisanya sampai berpikir ke sana? Namun, sebelum sempat berkomentar, suara langkah beberapa orang mendekat. Aku mendongak dan langsung melihat Zavier dan teman-temannya berdiri d
Aku menatap Maya dan Larissa bergantian, menuntut penjelasan. Namun, bukannya penjelasan yang kudapati, Maya justru menggeleng pelan. “Kita enggak tau, Lun. Pas datang tadi, udah kayak gini.”Larissa mengangguk dan menambahkan. “Iya, padahal kemarin masih baik-baik aja. Masalahnya, cuma tanaman kita aja yang rusak begini, yang lain aman-aman aja, tuh.”“Enggak mungkin ada sapi atau babi yang masuk sini. Bekasnya aja enggak ada. Jujur, ini aneh,” imbuh Maya tanpa bisa menyembunyikan kesedihannya. Aku menggigit bibir bawah, menahan emosi yang mulai membakar. Ketika aku memandang sekeliling, mata ini seketika menangkap Lila dan Diana yang berdiri di dekat tanaman mereka di dekat tembok. Keduanya tampak cekikikan, berbisik satu sama lain sesekali melihat ke arah kami, seolah-olah menertawakan sebuah lelucon rahasia.Darahku mendidih. Tanpa pikir panjang, aku mengepalkan tangan, melangkah cepat menghampiri mereka, hingga jarak di antara kami
Jalanan sore itu sangat sepi, hanya suara angin yang berisik menemani perjalanan pulangku dari sekolah. Aku melaju santai dengan motor berknalpot suara besar, tetapi tak terlalu bising, menikmati embusan angin yang sesekali menerpa wajah, membuat rambutku hilir mudik. Namun, seketika ketenanganku sirna saat sebuah mobil sedan hitam yang sepertinya tak asing dalam pandangan melaju cepat dan berhenti mendadak di depanku, memblokir jalan.Aku menekan rem kuat-kuat. Motor berhenti dengan suara mendecit, nyaris saja aku kehilangan keseimbangan dan menabrak pembatas jalan.Di depan sana, pintu mobil terbuka dan seperti yang sudah kuduga, Mira dan teman-temannya keluar dengan ekspresi marahnya.“Sini lo!” bentak Mira sambil menunjuk wajahku. Aku melepas helm, mencoba tetap tenang meskipun dadaku mulai terasa panas. Bertanya dalam hati. “Mau apa lagi dia?”Belum juga turun dari motor, Mira dan Nadia menghampiriku, menarik kasar lengan
“Mengapa kamu kekeh membela pembawa sial ini, Zavier?!” Kak Zeny masih tak terima Zavier membelaku. Tatapannya tajam, seakan ingin menelanku hidup-hidup.Aku tertunduk dengan mata yang mulai memanas. Lagi-lagi batin ini merasa sangat terluka mendengar perkataan Kak Zeny. Namun, aku tak bisa melawan, walau sebenarnya mampu. Tak ingin makin memperkeruh suasana.Seraya menggigit bibir, aku menahan air mata yang hendak menerobos keluar. Namun, semakin kutahan, semakin deras butiran-butiran itu jatuh tanpa bisa kucegah.“Heh! Tidak usah menangis! Palingan itu air mata palsu untuk cari perhatian atau pembelaan Zavier!” Kak Zeny mendengus sinis. “Dasar munafik!”Sebuah tamparan keras seperti menghantamku. Namun, bukan di pipi, melainkan di hatiku.Aku tertegun. Tak bisa berkata-kata. Hanya bisa menelan mentah-mentah perkataan Kak Zeny yang terus memojokkanku.“Pergi dari sini cewek sialan! Kamu tid—”“Kak, cukup!” seru Zavier.
Aku masih berdiri, mengerjap beberapa kali, memastikan kalau tidak salah dengar. Namun, tatapan Zavier padaku tidak berubah, tetap serius. Sesaat, tetap bergeming ketika Zavier menepuk kasur di sampingnya, seolah ingin memastikan aku mengerti maksudnya.“Kalau lo tidur di sofa yang ada besok tubuh lo sakit semua. Jadi, tidur di sini. Gue enggak bakal macem-macem,” katanya dengan nada santai. Namun, aku tetap melihat kilatan nakal di sana. “Yang benar aja? Nanti lo sempit kalau gue tidur di situ.”“Enggak. Ini luas, kok. Bisa nampung kita berdua.”Aku memutar bola mata. Berusaha mencari alasan agar tidak sampai tidur bersamanya. Ngadi-ngadi saja Zavier itu. “Gue tidur di sofa aja, deh, Zav. Biar lo lebih leluasa.”Dia mendengus, tampak kesal. Sebelum benar-benar berbalik, tangannya terulur menarikku mendekat. Kali ini, genggamannya lebih erat dari tadi. Jarak kami tinggal beberapa senti sekarang, bahkan aku bisa menciu
POV AlunaAku membuka pintu ruang rawat VIP di mana Zavier berada dengan sangat hati-hati setelah meminta izin pada dua pria yang berjaga di depan ruangan.Aku mendapat kabar dari Adnan kalau Zavier terus mencariku. Pesannya masuk begitu ponselku aktif, membuatku kepikiran. Tak bisa tenang jika belum melihat keadaannya secara langsung. Sebab itu, aku nekat datang ke rumah sakit untuk menemuinya. Meminta maaf padanya lagi dan lagi, walaupun mungkin ia sulit untuk membuka pintu maaf untukku. Aku sadar, kesalahanku cukup fatal. Wajar jika aku tak bisa mendapatkan maafnya. Namun, setidaknya aku bisa menemuinya sebelum benar-benar kembali ke Melbourne.Pandanganku menyapu sekeliling. Ruangan cukup sepi. Orang tua Zavier tak ada. Kak Zeny pun tak ada sesuai dengan perkataan Adnan saat mengirimkan pesan padaku tadi.Zavier hanya sendirian. Hanya dijaga dua orang penjaga. Itu pun di luar ruangannya.Napasku sedikit tercekat sa
POV ZavierAku menatap Bunda Amira dengan dahi berkerut. “Apa maksud Bunda?” tanyaku, berusaha memahami perkataan beliau.Bunda Amira menatapku dengan sorot mata lembut. Dia menepuk bahuku pelan. “Maksud Bunda, jika Nak Zavier ingin berpisah dari Aluna, itu hak Nak Zavier. Kami tidak akan ikut campur ataupun mencoba melarang Nak Zavier meninggalkan Aluna karena kami paham perbuatan Aluna kemarin sulit untuk dimaafkan,” tuturnya, “kami juga berencana akan mengirim Aluna kembali ke Melbourne.”Aku tersentak mendengarnya.Berpisah dari Aluna?Kutatap mertuaku bergantian, berharap mereka mengatakan bahwa ini hanya gurauan. Namun, tidak ada ada tanda-tanda sedang bercanda. Justru, keduanya menunjukkan raut serius.Aku menggeleng, mencoba menahan gemuruh emosi di dalam dadaku, meskipun tak bisa menahan mata yang kian memanas.“Tidak! Aku tidak ingin berpisah dari Aluna, Pa, Bun,” kataku mantap, “aku mencintainya dan ingin hidu
POV ZAVIERKelopak mataku terasa berat saat mencoba membukanya. Pandanganku masih buram, tetapi perlahan, aku bisa menangkap sosok-sosok yang berdiri di sekeliling tempat tidurku.Papa, Ibu, dan Kak Zeny.Di sudut lain, Adnan dan Raka juga tampak ada di sana, menatapku dengan raut khawatir.Aku menghela napas pelan, mencoba memahami keadaanku. Rasa nyeri menusuk di beberapa bagian tubuh, jelas itu akibat hantaman pria-pria berbadan besar tadi. Akan tetapi, bukan itu hal yang paling menggangguku sekarang. Aku merasa ada sesuatu yang kurang.Aku mengedarkan pandangan, menyapu seluruh ruangan. Mencari-cari seseorang. Namun, tak kutemukan sosoknya. Ke mana dia? Bukankah tadi, dia membawaku ke rumah sakit. Aku sempat sadar dan mendengar suara tangisnya saat kami di mobil, tetapi setelah itu, aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya.“Aluna mana?” tanyaku dengan suara serak. Papa dan Ibu saling berpandangan, seakan saling bertanya satu sama lain. Kulihat, Ibu menoleh, seperti mencari-
Tiba di rumah, Bunda dan Papa sudah menyambut di ruang tamu. Mereka tak mengatakan apa pun, tetapi tatapan keduanya sangat tajam.Mungkin Kak Aidan sudah mengatakan semuanya pada mereka. Dan, sekarang aku sudah pasrah jika setelah ini akan dimarahi habis-habisan.“Kenapa kamu melakukan itu?” Bunda memberondong dengan pertanyaan begitu aku tiba di hadapan mereka.“Aku hanya ingin mereka yang udah nyiksa Kak Alina merasakan hal yang sama,” kataku tanpa sedikit pun berniat menutup-nutupi kebenaran.“Kamu meminta pindah sekolah ke sini untuk itu?” Bunda bertanya tegas, tetapi tetap saja tak dapat menyembunyikan nada kekecewaan pada suaranya. Aku jadi merasa bersalah karena membuatnya kecewa.“Kami sudah mengikhlaskan kepergian kakakmu, tapi kamu malah berbuat seperti ini. Mau jadi jagoan? Apa kamu puas dengan apa yang sudah kamu lakukan sekarang? Kamu mencelakai orang yang tidak bersalah, Aluna. Kamu melukai Zavier, suamimu sendiri.”Aku hanya diam, habis sudah kata-kataku untuk sekadar
Tubuhku nyaris merosot ke lantai begitu Zavier sudah dibawa ke ruangan untuk mendapatkan perawatan. Untungnya, Maya sigap menahan tubuhku dan membantuku duduk di kursi.Rasanya dadaku sangat sesak mengingat perbuatanku sebelumnya.“Semua ini salah gue ....” Suaraku bergetar, air mata mulai mengalir tanpa bisa kukendalikan lagi. Maya meremas bahuku lembut, lantas membawaku ke dalam pelukannya. “Zavier akan baik-baik saja. Lo harus tenang, Lun,” katanya berusaha menenangkanku. “Iya, Lun. Kita harus tetap doakan Zavier segera pulih,” sahut Larissa.“Gue yang bikin dia seperti ini. Gue yang salah.”“Lun, lo tenang, ya. Lo enggak boleh nyalahin diri sendiri terus,” ujar Lila.Tenang? Bagaimana bisa aku tenang setelah apa yang kulakukan padanya? Aku sudah menyiksanya. Aku sudah menuduhnya melakukan hal keji itu pada kakakku.Aku sudah memperlakukannya seperti penjahat, padahal dia tidak bersalah!Sial! Kenapa aku begitu bodoh?!Tak begitu lama, terdengar suara langkah tergesa-gesa dari a
Kedatangan mereka tak sedikit pun mengurungkan niatku. Balok kayu di tangan kuangkat tinggi-tinggi, siap untuk menghajar Mira lagi, tetapi sebelum benda itu dapat menyentuh Mira, tubuhku langsung tertarik menjauh.“Cukup, Aluna, cukup!” tegas Kak Aidan yang langsung menarikku ke dalam pelukannya.Aku meronta di pelukannya, berusaha melawan. “Lepasin, Kak! Gue belum selesai sama mereka!”Kak Aidan tetap memelukku erat, menekan kepalaku ke dadanya seakan enggan membiarkanku lepas. “Sudah cukup, Lun. Lo akan kena masalah kalau melakukan yang lebih dari ini.”“Gue enggak peduli, Kak! Mereka sudah nyiksa Kak Alina. Gue harus membalas lebih dari itu!” bentakku.“Tapi lo salah orang, Lun! Lo menyiksa Zavier dan teman-temannya. Mereka enggak bersalah!”Deg!Aku langsung terpaku. Diam, mendengar perkataan Kak Aidan. Kenapa dia tiba-tiba mengatakan itu? Dari mana dia tahu Zavier tidak bersalah?Saat aku mulai lengah, Kak Aidan menarik balok kayu dari tanganku dan membuangnya ke sisi ruangan. “
Mendengar perkataanku, Zavier langsung terpaku. Mungkin sibuk mencerna maksudku.Tatapannya yang tajam, lurus ke arahku, seakan-akan memintaku menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.Suasana yang senyap ini makin terasa mencekam, Mira yang kini terduduk di lantai menatapku dengan tatapan beringas sambil menggerak-gerakkan tubuh dengan kesal berusaha melepaskan diri. “Lo gila, Aluna! Jadi, ini perbuatan lo. Brengsek lo?”Aku tersenyum bengis ke arahnya. Lantas berjalan mendekat dan mencengkeram wajah gadis yang membuatku sangat muak itu. “Gue sudah bilang, jangan macam-macam sama gue!” Plak! Aku menamparnya tanpa perasaan. Seperti yang pernah dilakukannya padaku, juga pada Kak Alina dulu.Aku bangkit, sempat menoleh ke arah Zavier yang menatapku seperti butuh penjelasan. Namun, aku tak peduli, hingga orang suruhanku kembali datang menyeret Adnan dan Raka masuk ke ruangan.Dengan satu dorongan keras, mereka be