Aku menghentikan laju motor matic-ku dengan sekali rem halus, menatap lapangan parkir yang ternyata sudah penuh sesak. Mencari-cari tempat kosong hingga aku melihat satu ruang yang cukup luas.
Tanpa pikir panjang, aku mengarah ke sana dan memarkirkan motor di tempat yang menurutku cukup nyaman untuk parkir. Helm kulepas lalu menyimpannya di spion sambil memperhatikan suasana sekitar. Tidak lama, deru mesin mobil berhenti tak jauh dari tempatku berdiri. Aku mendengar suara pintu mobil dibuka sedikit kasar, disusul langkah kaki yang makin mendekat. Begitu menoleh, seorang cowok tinggi sedang berjalan ke arahku dengan wajah merah padam. “Heh!” bentaknya, “ini tempat parkir gue!” “Kenapa lo parkir di situ, hah?” tanyanya penuh emosi. Aku berbalik, menatapnya dengan tenang, sama sekali tidak merasa terintimidasi oleh gertakannya dan gerak tubuh yang seolah-olah mengisyaratkan kalau ia paling berkuasa di sini. Aku belum mengatakan apa pun ketika dia yang justru tampak sedikit tersentak begitu melihatku. “Loh? Lo Alina, ‘kan? Alina Permata Putri yang pendiam itu?” Aku tak melakukan apa-apa, termasuk menanggapi pertanyaannya hingga pria muda itu kembali berbicara. “Kok lo bisa di sini? Bukannya, kata anak-anak lo udah ....” Dia menatapku penuh selidik, tampak berpikir keras. Aku hanya tersenyum tipis melihatnya berusaha memahami situasi. Sesaat kemudian, hendak pergi, tetapi dia malah mencegatku. “Mau ke mana lo?” “Pasar,” jawabku kesal. “Ya ke kelas, dong. Gue ke sini untuk sekolah. Masa gitu aja masih tanya?” “Motor lo di tempat parkir mobil gue. Pindahin, gak?” “Terus kenapa?” jawabku santai, menatapnya dari kepala sampai kaki. “Ini parkiran sekolah, bukan milik Bapak lo, ‘kan? Jadi sebagai siswa di sini, gue bebas parkir di mana aja, dong!” Rahangnya mengeras mendengar perkataanku. Dia menatap motorku dengan tatapan seolah-olah ingin menendangnya. “Lo gak liat ini?” Dia menunjuk tanda kecil di tembok yang bertuliskan nama ‘Zavier’ membuatku langsung mengerti maksudnya. Mataku menyipit, berusaha untuk tidak tertawa melihatnya seperti anak kecil. Memangnya dia siapa memakai papan nama untuk di parkiran? Kayak orang penting saja. Kurang kerjaan sekali hidup cowok satu ini. “Oh, maksudnya lo parkir di sini tiap hari, terus tempat ini otomatis jadi milik lo? Lucu,” jawabku sinis, sambil melipat tangan di depan dada. “Dan, lo pikir gue bakal peduli cuma gara-gara nama lo terpampang di situ?” Kulihat rahangnya makin mengeras, matanya menatapku dingin dan tajam seolah-olah aku baru saja menghina sesuatu yang suci. “Heh! Jaga ucapan lo, ya! Lo bukan siswi baru di sini. Harusnya lo tau siapa gue di sekolah ini?” Nada suaranya meninggi. Tangannya ikut terkepal seakan-akan tidak percaya ada orang yang berani bicara seperti itu kepadanya, tetapi aku sama sekali tak takut. Kali ini, aku benar-benar tertawa kecil dibuatnya. “Gak penting banget gue harus tau lo!” “Benar-benar gak tau aturan sekolah lo! Lo akan nyesel kalau berani macam-macam sama gue,” geramnya. Aku menaikkan satu alis, menatapnya dengan tatapan meremehkan. “Aturan lo, mungkin. Bukan aturan sekolah. Gue gak peduli juga ya, mau lo Zavier, kafir, sapi kek, terserah! Kalo lo gak suka motor gue di situ, ya lo aja yang pindah tempat sana.” Zavier mengerang sebal, terlihat jelas dia menahan diri agar tidak berbuat lebih jauh. Dia menatapku dengan sorot mata paling tajam, tetapi aku tetap tenang. Tidak bakal mundur cuma gara-gara cowok sok penting seperti dia. “Awas lo ya, Alina! Gue akan bikin perhitungan sama lo!” ancamnya. Aku mengangkat bahu sebagai respons. “Uuh, takut, tapi ... boong.” “Cewek sialan!” Kami saling beradu pandangan sengit beberapa detik sebelum akhirnya aku berbalik, meninggalkan Zavier yang masih berdiri di parkiran, terdiam dengan emosi tertahan. Hari pertama berada di sekolah ini sudah apes ketemu orang seperti dia. Segala parkiran dipermasalahkan, kayak tidak punya masalah hidup yang lebih penting saja. Untungnya, aku bisa mengikuti pelajaran dengan tenang meskipun sedikit badmood karena ternyata aku satu kelas dengan si Zavier. Konyolnya kami malah duduk bersebelahan. Dan, yang lebih konyolnya lagi ternyata dia ketua kelas di IPA 1--di mana itu kelasku juga. Namun, aku berlagak bodo amat walaupun menyadari kalau dia selalu melirikku penuh dendam. Beberapa orang sesekali juga melihat ke arahku dengan raut bertanya-tanya, ada yang saling berbisik satu sama lain. Aku menduga kalau mereka semua berpikir sama dengan yang Zavier pikirkan tentangku di parkiran tadi. Mereka mengira aku Alina, padahal bukan. Ketika jam istirahat tiba, aku yang akan mencari amunisi perut ke kantin tiba-tiba didekati oleh dua perempuan yang tentunya tidak kukenal namanya, tetapi aku sempat melihat mereka tadi di kelas. Satunya berkacamata, rambut keriting, dan badannya cukup berisi. Terus, yang satu lagi pakai hijab, kulitnya eksotis, khas Asia banget. “Alina, ini beneran lo, ‘kan?” Si gendut ini bertanya sambil memutar-mutar tubuhku untuk memastikan kalau aku benar-benar Alina yang dimaksud. Rada kesal dengan sikapnya yang sok akrab, aku sontak menghempas tangannya dari tubuhku, menatap keduanya dengan sinis. “Gue gak kenal kalian. Gak usah SKSD!” “Alina, kami sedih lo sebulan ini gak ada kabar dan tiba-tiba ada kabar kalo lo meninggal,” katanya memelas, “tapi kami senang banget kalau ternyata lo masih hidup.” “Apaan, sih? Gak jelas banget kalian!” Aku berlalu pergi, tetapi mereka masih saja mengikuti. “Alina, kok, lo berubah?” Wanita berhijab itu ikut bertanya, menatapku tak percaya. “Kami sahabat lo. Lo baik-baik aja, kan?” Sahabat? Sontak saja, aku tertawa sinis dalam diam, tak percaya dengan itu semua. Kalau benar Kak Alina punya sahabat di sini, lantas mengapa ada kasus perundungan yang membuatnya sampai meninggal? Tanpa memedulikan mereka, aku tetap pergi. Namun, Belum juga sampai di kantin, tiba-tiba ponselku berdering. Begitu melihat layar, aku mengurungkan niat dan berbelok arah ke sudut sekolah yang sepi untuk menjawab telepon. Suara berat itu bertanya dari seberang. “Ada apa? Gue baru bangun, tapi liat ada telepon dari lo tadi pagi.” Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, memastikan tak ada yang mendengar pembicaraanku. “Oh, itu, gue mau minta tolong ke lo. Bantu selidiki siapa-siapa aja yang pernah terlibat dalam kasus Kak Alina, tanpa terkecuali. Gue akan balas mereka satu-satu!”Setelah bel pulang berbunyi, aku bergegas ke parkiran. Namun, begitu mendekati bekas motor kesayangan Kak Alina yang sudah aku modifikasi sedikit, biar terlihat keren, tiba-tiba perasaan tidak enak langsung muncul. Ternyata ban belakang kempes. Mataku menyipit, mengingat tadi pagi bannya masih baik-baik saja. Tidak mungkin ada paku bertebaran di parkiran sekolah elit ini, ‘kan? Sebab, yang biasanya bertebaran itu janji manis pemilik kumis tipis. Kecuali, ada yang sengaja iseng. Ah, aku tahu! Pasti ini ulah si Zavier. Siapa lagi yang punya niat buruk padaku sejak tadi pagi kalau bukan dia? Memang resek itu orang. Aku menghela napas, mencoba meredam amarah, hingga terdengar tawa keras dari belakang. “Wah, kasian banget, bannya kempes, ya?” Suara Zavier terdengar jelas. Dia datang bersama dua orang temannya, mereka tertawa mengejek. Zavier menatapku dengan senyum puas di wajahnya. “Kayaknya ada yang gak bakal bisa pulang, nih?” Aku menggertakkan gigi, menahan diri agar
Begitu malam tiba, aku duduk sambil memandangi laptop di meja belajarku. Memikirkan seseorang yang mungkin bisa membantuku mencari tahu lebih banyak tentang Alina, seperti saran Tama--sepupuku tadi siang. “Coba cari teman yang paling dekat dengan Alina dulu. Lo bisa dapat setidaknya informasi penting dari situ.” “Astaga, gue baru di sini. Mana gue tau siapa yang paling dekat dengan Kak Alina?” Aku memijat-mijat kepala lalu mengusap-usap dagu. Sambil berpikir keras, aku menarik napas panjang dan membuangnya perlahan. Dan, seketika itu aku mengingat dua orang yang tadi mengaku sebagai sahabat Kak Alina. Sesaat, aku merasa senang, tetapi detik berikutnya, aku kembali cemberut. “Tapi, bagaimana kalau mereka cuma ngaku-ngaku?” Di tengah lamunanku itu, tiba-tiba ada ketukan dari pintu kamarku. Tanpa perlu mendapat izin dariku, pintu terbuka dan Bunda masuk sambil membawa segelas susu. “Aluna Sayang, kamu lagi apa?” tanyanya. “Eh, nggak ngapa-ngapain kok, Bun. Cuma lagi ... browsin
Aku fokus mengikuti pelajaran meskipun sesekali mendapat gangguan dari setan di sebelahku. Zavier kerap diam-diam melemparku menggunakan gulungan kertas kecil. Dan, itu tak hanya dilakukan sekali dua kali, tetapi berlanjut di hari-hari berikutnya. Entah kenapa orang yang sangat menyebalkan seperti Zavier bisa-bisanya menjadi ketua kelas? Konyol sekali! Ketika jam istirahat tiba, aku memilih istirahat di belakang sekolah. Lumayan, di sana ada pohon jambu air yang buahnya banyak dan sudah matang. Maling sedikit, tidak apa-apa. Lagipula, kalau dibiarkan begitu saja nanti buahnya busuk. Jadi, mending aku makan saja, biar lebih berkah buat yang tanam. Kini, aku duduk pada salah satu cabang pohon sambil menggoyang-goyangkan kaki, memetik beberapa buahnya untuk kudiamkan di pangkuan. Sembari menikmati kedamaian ini, mataku tiba-tiba menangkap gerakan di bawah. Ada Zavier dan teman-temannya sedang berjalan melewati area itu. Tanpa pikir panjang, ide iseng langsung muncul di benakku
Aku menarik napas sambil berjalan menuju bangku kayu di belakang sekolah yang sepi. Larissa dan Maya masih mengikuti dari belakang, tatapan bingung mereka seperti dua anak hilang yang tidak tahu arah tujuannya? Aku duduk bersama Larissa, sementara Maya masih mondar-mandir di hadapan kami sambil mengusap-usap dagu. Sudah seperti Bu RT yang memikirkan cara agar kampungnya dapat bantuan pemerintah. Aku menatap mereka dengan serius sambil berpikir sejenak. Menurut pengamatanku kurang lebih sepekan sekolah di sini, sepertinya mereka berdua orang baik-baik. Tidak seperti si Zavier yang sangat mengesalkan. Maksudku, tidak ada salahnya menjadikan Maya dan Larissa sebagai teman. Mana tahu dengan begitu, aku bisa mendapatkan informasi lebih banyak lagi tentang Kak Alina seperti saran Tama. Dan, itu akan mempermudah misi pertamaku untuk mengetahui siapa-siapa saja yang pernah terlibat mengganggu saudara kembarku? “Bagaimana mungkin lo bukan Alina?” tanya Maya tak bisa menyembunyik
Wanita bertubuh sintal itu berjalan menghampiri kami membuat Zavier buru-buru berdiri, hendak kabur, tetapi tanganku lebih sigap bergerak menarik tasnya agar ia tak pergi begitu saja. Enak saja, setelah ada upaya bolos dari jam pelajaran, dia mau kabur seenaknya ketika ketahuan. Jangan mimpi! Dia mendengus sebal, dengan terpaksa berdiri menunduk begitu Bu Mila--guru BK sudah berada di hadapan kami. “Ngapain kalian di sini?” tanya wanita berhijab itu tegas. “Ini, Bu. Zavier mau bolos dari pelajaran Fisika,” kataku tanpa menyembunyikan apa pun. Biar tahu rasa si Zavier dihukum. Aku tak sabar ingin melihatnya hormat pada tiang bendera di bawah teriknya mentari di jam 9 pagi ini. Hahaha. Bu Mila mengembuskan napas berat. “Apa benar begitu, Zavier?” tanyanya ingin memastikan. Zavier menggeleng cepat. Berusaha membela dirinya. “Sebenarnya, e ... anu, saya, itu cuma ... eh, lagi ngetes Hukum Newton I, Bu. Katanya benda diam akan tetap diam kalau nggak ada yang ganggu, tapi
Aku memilih duduk di tangga taman sekolah sekitar lapangan futsal sambil merenggangkan otot-otot kaki yang ternyata pegal juga dihukum berdiri sampai jam istirahat. Ngeri sekali Bu Mila, tuh! Untung fisik aku kuat meskipun tak suka makan semen tiga roda, jadi tak sampai pingsan. “Kok bisa, sih, lo dihukum bareng Zavier? Bikin masalah apa lo, Lun?” tanya Maya yang kini sudah duduk di sebelahku. “Bukan suatu masalah sebenarnya. Bu Mila aja yang nggak paham sisi kreatif seseorang. Harusnya bersyukur, ada yang mau bikin sketsa cetar membahana di tembok sekolah tanpa digaji.” “Jangan bilang lo coret-coret tembok?” “Emang iya,” jawabku entang. “Astaga Aluna!” Maya menepuk jidat frustrasi. Kupilih tak memperpanjang pembahasan yang membuatku kesal sampai ubun-ubun itu. Ingat saja, aku akan membalas Zavier! Gara-gara dia mengadu ke Bu Mila, aku harus membuang malu pada tiang bendera. Sebab merasa bosan, aku mengambil novel dari tas dan membukanya perlahan sesekali mendengarkan Maya d
Aku menunduk diam sambil meremas jari-jari mendengarkan Bu Mila yang sedang menceramahiku habis-habisan. Ya, tadi setelah mengakui kepemilikan ular mainan itu pada Bu Sri yang menjadi korban keganasan benda tersebut, guru Fisika itu langsung membawaku ke ruang BK untuk di-konseling, padahal aku sudah setengah mati minta maaf, tetapi tidak termaafkan. Belum juga sebulan sekolah di sini, tetapi entah yang ke berapa kalinya aku keluar masuk ruang BK? “Aluna ... Aluna, kamu lagi. Kamu ini sebenarnya nge-fans sama Ibu atau gimana? Doyan sekali masuk ruang BK.” Bu Mila menggeleng berulang kali. Dia lalu bangkit dan berdiri di hadapanku. “Coba kamu jelaskan, apa motivasi kamu membawa ular mainan ke sekolah? Kamu merasa masih anak TK yang lagi lucu-lucunya segala mainan dikoleksi semua?” Suara Bu Mila terdengar tegas membuat suasana di ruangan yang sepi ini terasa cukup mencekam. Aku menelan ludah, berusaha menenangkan diri. Nyatanya, aku tidak punya motivasi apa-apa. Tadinya, aku mem
Gara-gara kemarin pulang dari sekolah hujan-hujanan, akhirnya sepanjang malam aku terkena demam tinggi. Badanku nyaris seperti dipanggang. Bunda sampai turun tangan untuk mengompres demamku walaupun dibarengi dengan omelan karena aku pulang dalam keadaan basah kunyup.Belum lagi dengan semua sendi dan otot terasa pegal-pegal sekarang, terutama di bagian punggung dan bokong, mungkin akibat insiden terjungkal ditabrak Zavier juga kemarin. Ditambah sebelum itu, bersih-bersih 4 WC sekolah sampai menjelang petang, lengkap sudah penderitaan hari itu.Untungnya pagi ini, demamku sudah sedikit turun meskipun masih terbaring lemas di tempat tidur, meringkuk sambil menarik selimut sampai dagu. Selang beberapa saat, suara langkah kaki terdengar dari luar, diikuti ketukan pelan di pintu kamar.“Masuk aja .…” Suaraku hampir tak terdengar, lemah.Kak Aidan dan Tama, yang sudah kubilang mereka itu seperti sepasang sepatu, ke mana-mana selalu