Share

Suami Rahasiaku Calon Pewaris Kaya Raya
Suami Rahasiaku Calon Pewaris Kaya Raya
Penulis: Kharamiza

Bab 1

Aku menghentikan laju motor matic-ku dengan sekali rem halus, menatap lapangan parkir yang ternyata sudah penuh sesak. Mencari-cari tempat kosong hingga aku melihat satu ruang yang cukup luas.

Tanpa pikir panjang, aku mengarah ke sana dan memarkirkan motor di tempat yang menurutku cukup nyaman untuk parkir.

Helm kulepas lalu menyimpannya di spion sambil memperhatikan suasana sekitar.

Tidak lama, deru mesin mobil berhenti tak jauh dari tempatku berdiri. Aku mendengar suara pintu mobil dibuka sedikit kasar, disusul langkah kaki yang makin mendekat.

Begitu menoleh, seorang cowok tinggi sedang berjalan ke arahku dengan wajah merah padam.

“Heh!” bentaknya, “ini tempat parkir gue!”

“Kenapa lo parkir di situ, hah?” tanyanya penuh emosi.

Aku berbalik, menatapnya dengan tenang, sama sekali tidak merasa terintimidasi oleh gertakannya dan gerak tubuh yang seolah-olah mengisyaratkan kalau ia paling berkuasa di sini.

Aku belum mengatakan apa pun ketika dia yang justru tampak sedikit tersentak begitu melihatku. “Loh? Lo Alina, ‘kan? Alina Permata Putri yang pendiam itu?”

Aku tak melakukan apa-apa, termasuk menanggapi pertanyaannya hingga pria muda itu kembali berbicara.

“Kok lo bisa di sini? Bukannya, kata anak-anak lo udah ....” Dia menatapku penuh selidik, tampak berpikir keras.

Aku hanya tersenyum tipis melihatnya berusaha memahami situasi. Sesaat kemudian, hendak pergi, tetapi dia malah mencegatku.

“Mau ke mana lo?”

“Pasar,” jawabku kesal. “Ya ke kelas, dong. Gue ke sini untuk sekolah. Masa gitu aja masih tanya?”

“Motor lo di tempat parkir mobil gue. Pindahin, gak?”

“Terus kenapa?” jawabku santai, menatapnya dari kepala sampai kaki. “Ini parkiran sekolah, bukan milik Bapak lo, ‘kan? Jadi sebagai siswa di sini, gue bebas parkir di mana aja, dong!”

Rahangnya mengeras mendengar perkataanku. Dia menatap motorku dengan tatapan seolah-olah ingin menendangnya. “Lo gak liat ini?” Dia menunjuk tanda kecil di tembok yang bertuliskan nama ‘Zavier’ membuatku langsung mengerti maksudnya.

Mataku menyipit, berusaha untuk tidak tertawa melihatnya seperti anak kecil. Memangnya dia siapa memakai papan nama untuk di parkiran? Kayak orang penting saja. Kurang kerjaan sekali hidup cowok satu ini.

“Oh, maksudnya lo parkir di sini tiap hari, terus tempat ini otomatis jadi milik lo? Lucu,” jawabku sinis, sambil melipat tangan di depan dada. “Dan, lo pikir gue bakal peduli cuma gara-gara nama lo terpampang di situ?”

Kulihat rahangnya makin mengeras, matanya menatapku dingin dan tajam seolah-olah aku baru saja menghina sesuatu yang suci.

“Heh! Jaga ucapan lo, ya! Lo bukan siswi baru di sini. Harusnya lo tau siapa gue di sekolah ini?” Nada suaranya meninggi. Tangannya ikut terkepal seakan-akan tidak percaya ada orang yang berani bicara seperti itu kepadanya, tetapi aku sama sekali tak takut.

Kali ini, aku benar-benar tertawa kecil dibuatnya. “Gak penting banget gue harus tau lo!”

“Benar-benar gak tau aturan sekolah lo! Lo akan nyesel kalau berani macam-macam sama gue,” geramnya.

Aku menaikkan satu alis, menatapnya dengan tatapan meremehkan. “Aturan lo, mungkin. Bukan aturan sekolah. Gue gak peduli juga ya, mau lo Zavier, kafir, sapi kek, terserah! Kalo lo gak suka motor gue di situ, ya lo aja yang pindah tempat sana.”

Zavier mengerang sebal, terlihat jelas dia menahan diri agar tidak berbuat lebih jauh. Dia menatapku dengan sorot mata paling tajam, tetapi aku tetap tenang. Tidak bakal mundur cuma gara-gara cowok sok penting seperti dia.

“Awas lo ya, Alina! Gue akan bikin perhitungan sama lo!” ancamnya.

Aku mengangkat bahu sebagai respons. “Uuh, takut, tapi ... boong.”

“Cewek sialan!”

Kami saling beradu pandangan sengit beberapa detik sebelum akhirnya aku berbalik, meninggalkan Zavier yang masih berdiri di parkiran, terdiam dengan emosi tertahan.

Hari pertama berada di sekolah ini sudah apes ketemu orang seperti dia. Segala parkiran dipermasalahkan, kayak tidak punya masalah hidup yang lebih penting saja.

Untungnya, aku bisa mengikuti pelajaran dengan tenang meskipun sedikit badmood karena ternyata aku satu kelas dengan si Zavier.

Konyolnya kami malah duduk bersebelahan. Dan, yang lebih konyolnya lagi ternyata dia ketua kelas di IPA 1--di mana itu kelasku juga. Namun, aku berlagak bodo amat walaupun menyadari kalau dia selalu melirikku penuh dendam.

Beberapa orang sesekali juga melihat ke arahku dengan raut bertanya-tanya, ada yang saling berbisik satu sama lain.

Aku menduga kalau mereka semua berpikir sama dengan yang Zavier pikirkan tentangku di parkiran tadi.

Mereka mengira aku Alina, padahal bukan.

Ketika jam istirahat tiba, aku yang akan mencari amunisi perut ke kantin tiba-tiba didekati oleh dua perempuan yang tentunya tidak kukenal namanya, tetapi aku sempat melihat mereka tadi di kelas.

Satunya berkacamata, rambut keriting, dan badannya cukup berisi. Terus, yang satu lagi pakai hijab, kulitnya eksotis, khas Asia banget.

“Alina, ini beneran lo, ‘kan?” Si gendut ini bertanya sambil memutar-mutar tubuhku untuk memastikan kalau aku benar-benar Alina yang dimaksud.

Rada kesal dengan sikapnya yang sok akrab, aku sontak menghempas tangannya dari tubuhku, menatap keduanya dengan sinis. “Gue gak kenal kalian. Gak usah SKSD!”

“Alina, kami sedih lo sebulan ini gak ada kabar dan tiba-tiba ada kabar kalo lo meninggal,” katanya memelas, “tapi kami senang banget kalau ternyata lo masih hidup.”

“Apaan, sih? Gak jelas banget kalian!” Aku berlalu pergi, tetapi mereka masih saja mengikuti.

“Alina, kok, lo berubah?” Wanita berhijab itu ikut bertanya, menatapku tak percaya. “Kami sahabat lo. Lo baik-baik aja, kan?”

Sahabat?

Sontak saja, aku tertawa sinis dalam diam, tak percaya dengan itu semua. Kalau benar Kak Alina punya sahabat di sini, lantas mengapa ada kasus perundungan yang membuatnya sampai meninggal?

Tanpa memedulikan mereka, aku tetap pergi. Namun, Belum juga sampai di kantin, tiba-tiba ponselku berdering.

Begitu melihat layar, aku mengurungkan niat dan berbelok arah ke sudut sekolah yang sepi untuk menjawab telepon.

Suara berat itu bertanya dari seberang. “Ada apa? Gue baru bangun, tapi liat ada telepon dari lo tadi pagi.”

Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, memastikan tak ada yang mendengar pembicaraanku. “Oh, itu, gue mau minta tolong ke lo. Bantu selidiki siapa-siapa aja yang pernah terlibat dalam kasus Kak Alina, tanpa terkecuali. Gue akan balas mereka satu-satu!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status