Wanita bertubuh sintal itu berjalan menghampiri kami membuat Zavier buru-buru berdiri, hendak kabur, tetapi tanganku lebih sigap bergerak menarik tasnya agar ia tak pergi begitu saja.
Enak saja, setelah ada upaya bolos dari jam pelajaran, dia mau kabur seenaknya ketika ketahuan. Jangan mimpi! Dia mendengus sebal, dengan terpaksa berdiri menunduk begitu Bu Mila--guru BK sudah berada di hadapan kami. “Ngapain kalian di sini?” tanya wanita berhijab itu tegas. “Ini, Bu. Zavier mau bolos dari pelajaran Fisika,” kataku tanpa menyembunyikan apa pun. Biar tahu rasa si Zavier dihukum. Aku tak sabar ingin melihatnya hormat pada tiang bendera di bawah teriknya mentari di jam 9 pagi ini. Hahaha. Bu Mila mengembuskan napas berat. “Apa benar begitu, Zavier?” tanyanya ingin memastikan. Zavier menggeleng cepat. Berusaha membela dirinya. “Sebenarnya, e ... anu, saya, itu cuma ... eh, lagi ngetes Hukum Newton I, Bu. Katanya benda diam akan tetap diam kalau nggak ada yang ganggu, tapi ya ini, Alina malah ganggu dan saya jadi jatuh Bu.” Wajahnya memelas. Berharap Bu Mila percaya padanya. Pandai juga beralibi dia. Cocok jadi pemeran figuran di film azab. “Drama lo!” sungutku, “kalau saya nggak narik dia mungkin udah bolos duluan, Bu!” Bu Mila menggeleng pelan. Kini, gilirannya menatapku dengan tajam. “Dan kamu Aluna, kenapa bisa di sini juga? Mau ikut bolos?” “Aluna? Kok Aluna, sih, Bu. Nama dia, kan, Alina,” protes Zavier. “Ibu sedang tidak bicara sama kamu!” Zavier langsung terdiam. Inginku tertawa melihat raut wajahnya yang tegang bercampur bingung. “Nggak, Bu. Saya tadi melihat Zavier mau bolos, jadi saya mencegatnya. Sejarah, dia ini ketua kelas di IPA 1, Bu. Harusnya jadi contoh yang baik untuk anak-anak yang lain. Apalagi kami sudah kelas 3, sebentar lagi lulus. Sepatutnya Zavier menjadi suri tauladan untuk adik-adik kelas, tapi dia malah bikin ulah. Pekan lalu, dia juga bolos saat jam pelajaran perhitungan, Bu. Saya yakin, pasti sebelumnya, dia sering bolos,” tuturku sok bijak. Nyatanya hanya mengompori Bu Mila, biar makin memberatkan hukuman Zavier. Suruh siapa resek? “Nggak begitu, Bu. Saya ....” “Cukup, nggak usah ribut!” tegas Bu Mila. “Zavier, ikut saya ke ruang BK. Dan, kamu Aluna ... kembali ke kelas!” “Bu, kalau saya mau dihukum, rasanya nggak adil. Harusnya Alina, eh ... maksud saya Aluna juga dihukum, Bu.” Zavier tak terima. Dia memicing tajam ke arahku. Apa-apaan dia? Maksudnya mau menyeretku untuk dihukum bersamanya? Salahku di mana? Bukankah aku sudah membela kebenaran di sini? “Ibu tidak mungkin menghukum siswa tanpa kesalahan, Zavier.” “Kata siapa dia tidak punya kesalahan, Bu? Kemarin saya melihatnya mencoret-coret tembok di belakang sekolah.” Deg! Mampus! Aku menatap Zavier bengis seakan-akan mencari sesuatu dari wajah yang sebenarnya tampan itu. Dari mana dia tahu kalau aku mencoret-coret tembok di belakang sekolah? Apa jangan-jangan, dia sengaja ... menguntitku? Mati aku! Bu Mila menatapku marah dan dengan tegas bertanya, “Benar begitu, Aluna?” Aku menelan ludah susah payah, tak tahu harus berbohong atau jujur? Hanya saja, aku juga tidak dapat mengelak, karena sebenarnya yang dikatakan Zavier memang benar, tetapi itu ... aku melakukannya karena gabut. “Kalau Ibu nggak percaya, mending kita cek ke sana sekarang,” ujar Zavier antusias, sepertinya dia memang ingin sekali melihatku dihukum. Benar-benar, ya? Tidak tenang hidupnya sehari saja tanpa membuatku kesal. “Kalian berdua, ikut Ibu ke ruang BK, sekarang!” tegas Bu Mila, lantas berjalan mendahului kami seolah-olah tak menerima penolakan. Aku mengepalkan tangan, menatap Zavier yang susah payah menahan tawanya. “Gara-gara lo, gue juga dihukum!” cecarku sontak mengayunkan kaki menendangnya, tetapi dia dengan cepat berlari mengikuti Bu Mila. Aku mengejar dan berhasil menarik tasnya. Kini, aku berhasil mensejajarkan langkah dengannya. “Lo udah ngerusak fasilitas sekolah, jadi lo harus dihukum.” “Tapi, di situ coretannya udah banyak. Gue cuma nambahin aja.” “Sama aja lo nyoret juga!” “Tau dari mana lo kalo gue coret-coret tembok? Ngikutin gue lo, ya?” “Amit-amit! Kepedean lo!” Zavier mendorong jidatku menggunakan jari telunjuknya, lantas pergi tanpa sedikit pun merasa bersalah. Pada akhirnya, kami berdua dihukum--berdiri di lapangan sambil hormat ke tiang bendera. Mana di atas sudah berkibar bendera merah putih yang melambai-lambai seolah-olah menertawai kami. Aku mulai bisa merasakan teriknya matahari yang menyorot langsung ke punggung. Di sebelahku, Zavier menatap lurus ke depan dengan ekspresi bosan. Sesaat kemudian, dia mendesah pelan dan menoleh ke arahku. “Oi, gadis tengil!” Aku celingak-celinguk, mencari dengan siapa pria berponi itu berbicara. Namun, tidak menemukan siapa pun di sini, selain kami berdua. “Cari siapa lo? Gue bicara sama lo tau!” katanya seakan-akan paham isi kepalaku. “Oh, makanya kalau manggil yang benar, dong. Masa gadis tengil!” protesku. “Lah, emang iya! Panggilan itu cocok buat lo yang tengilan! Betewe, gue mau tanya, tadi Bu Mila manggil lo Aluna. Jadi, lo tuh Aluna atau Alina, sih?” tanyanya, alisnya saling tertaut, penasaran. “Aluna, dong. Alina udah meninggal,” kataku tanpa menutup-nutupi statusku. Dia terdiam sejenak, sebelum akhirnya bertanya lagi. “Lo siapanya Alina? Kok bisa mirip banget?” “Adik kembarnya,” kataku sekilas meliriknya yang tengah mengangguk-angguk. “Oh, kembar, tapi beda banget.” “Apanya?” “Alina setahu gue pendiam, tapi lo tengilan, udah gitu bar-bar.” Aku memutar bola mata lantas mencibir pelan. “Lagipula nggak ada aturan kalau kembar harus sama karakter, kan?” Hening. Namun, kulihat dari sudut mata, tampaknya Zavier masih menatapku penuh rasa ingin tahu. “Tapi, kenapa lo tiba-tiba masuk sekolah ini? Sebelumnya lo sekolah di mana?" Aku berdecak pelan, melirik Zavier dengan ekspresi malas. “Duh, kepo amat, sih? Kayak nggak ada kerjaan lain aja nanya-nanya gitu.” Dia terkekeh, masih menatapku dengan mata menyipit. “Ya, gue cuma penasaran aja. Sebulan yang lalu gue dengar kabar kalo Alina meninggal, terus pas masuk tahun ajaran baru, tiba-tiba muncul lo yang mirip banget sama dia. Gue kira mayatnya Alina bangkit lagi.” Aku memutar badan, menatapnya dengan raut kesal. “Ngadi-ngadi lo! Asal lo tau, gue gak punya kewajiban buat jelasin riwayat hidup gue ke lo.” Zavier cuma mengangkat bahu, bibirnya melengkung membentuk senyum miring. “Oke, oke. Santai! Gue cuma tanya, kok, tapi gue akan ingat ini. Lo Aluna, bukan Alina.” Aku tersenyum tipis lalu kembali menatap lurus ke depan. “Good! Simpan itu baik-baik di otak lo, jangan sampai otak berharga lo itu isinya cuma cara kreatif buat bolos lagi besok-besok.” Zavier tertawa sinis. Sepertinya, setelah ini, dia masih akan bolos lagi. Tampangnya tidak ada rasa bersalah sama sekali. Mentang-mentang, perusahaan keluarganya donatur tetap di sekolah ini udah seenaknya. Dasar! “Kalo Alina bar-bar kayak lo, mungkin gak bakal ada yang berani gangguin dia.” Aku tersentak dan sontak menoleh mendengar perkataannya. Mungkinkah Zavier mengetahui sesuatu?Aku memilih duduk di tangga taman sekolah sekitar lapangan futsal sambil merenggangkan otot-otot kaki yang ternyata pegal juga dihukum berdiri sampai jam istirahat. Ngeri sekali Bu Mila, tuh! Untung fisik aku kuat meskipun tak suka makan semen tiga roda, jadi tak sampai pingsan. “Kok bisa, sih, lo dihukum bareng Zavier? Bikin masalah apa lo, Lun?” tanya Maya yang kini sudah duduk di sebelahku. “Bukan suatu masalah sebenarnya. Bu Mila aja yang nggak paham sisi kreatif seseorang. Harusnya bersyukur, ada yang mau bikin sketsa cetar membahana di tembok sekolah tanpa digaji.” “Jangan bilang lo coret-coret tembok?” “Emang iya,” jawabku entang. “Astaga Aluna!” Maya menepuk jidat frustrasi. Kupilih tak memperpanjang pembahasan yang membuatku kesal sampai ubun-ubun itu. Ingat saja, aku akan membalas Zavier! Gara-gara dia mengadu ke Bu Mila, aku harus membuang malu pada tiang bendera. Sebab merasa bosan, aku mengambil novel dari tas dan membukanya perlahan sesekali mendengarkan Maya d
Aku menunduk diam sambil meremas jari-jari mendengarkan Bu Mila yang sedang menceramahiku habis-habisan. Ya, tadi setelah mengakui kepemilikan ular mainan itu pada Bu Sri yang menjadi korban keganasan benda tersebut, guru Fisika itu langsung membawaku ke ruang BK untuk di-konseling, padahal aku sudah setengah mati minta maaf, tetapi tidak termaafkan. Belum juga sebulan sekolah di sini, tetapi entah yang ke berapa kalinya aku keluar masuk ruang BK? “Aluna ... Aluna, kamu lagi. Kamu ini sebenarnya nge-fans sama Ibu atau gimana? Doyan sekali masuk ruang BK.” Bu Mila menggeleng berulang kali. Dia lalu bangkit dan berdiri di hadapanku. “Coba kamu jelaskan, apa motivasi kamu membawa ular mainan ke sekolah? Kamu merasa masih anak TK yang lagi lucu-lucunya segala mainan dikoleksi semua?” Suara Bu Mila terdengar tegas membuat suasana di ruangan yang sepi ini terasa cukup mencekam. Aku menelan ludah, berusaha menenangkan diri. Nyatanya, aku tidak punya motivasi apa-apa. Tadinya, aku mem
Gara-gara kemarin pulang dari sekolah hujan-hujanan, akhirnya sepanjang malam aku terkena demam tinggi. Badanku nyaris seperti dipanggang. Bunda harus turun tangan untuk mengompres demamku walaupun diikuti dengan omelan karena aku pulang dalam keadaan basah kuyup. Belum lagi dengan semua sendi dan otot terasa pegal-pegal sekarang, terutama di bagian punggung dan bokong, mungkin akibat insiden terjungkal ditabrak Zavier juga kemarin. Ditambah sebelum itu, bersih-bersih 4 WC sekolah hingga menjelang petang, lengkap sudah penderitaan hari itu. Untungnya pagi ini, demamku sudah sedikit turun meskipun masih terbaring lemas di tempat tidur, meringkuk sambil menarik selimut sampai dagu. Selang beberapa saat, suara langkah kaki terdengar dari luar, diikuti ketukan pelan di pintu kamar. “Masuk aja .…” Suaraku hampir tak terdengar, lemah. Kak Aidan dan Tama, yang sudah kubilang mereka itu seperti sepasang sepatu, ke mana-mana selalu bersama. Lihatlah, mereka bersama lagi. Keduanya
Aku mendengus, menepis tangan Zavier dengan kasar. “Punya mata, kan? Liat sendiri keadaan gue!”Bukannya iba, Zavier malah tertawa terkesan mengejekku. “Nggak nyangka aja gadis tengil, resek, kayak lo bisa sakit juga.”“Gue manusia, bukan robot!” ketusku.“Gue pikir energi lo itu nggak abis-abis. Ngeselin, sih, makanya kena karma.”“Banyak omong lo! Cepat katakan, ada perlu apa ke rumah gue?” tanyaku disambut Zavier dengan senyum tipis sebelum akhirnya beralih duduk di sofa. Lagi-lagi, sebelum aku memintanya, membuatku makin jengkel. Datang-datang belagak tuan rumah saja dia.“Sekolah sepi gak ada lo yang bikin rusuh.”Sontak, aku menganga mendengar perkataan pria yang masih berseragam sekolah itu. Serius, dia jauh-jauh datang ke sini cuma mau bilang itu?“Oh, jadi maksudnya lo ke sini buat nyariin gue? Rindu lo sama gue? Atau jangan-jangan, lo jatuh cinta sama gue, gitu?” Aku memicing tajam ke arahnya. Mencari tahu bara
Aku duduk bersisian dengan Zavier di ruang tamu, menunduk dalam-dalam sambil meremas jari-jariku.Suasana tegang.Papa berdiri sambil berkacak pinggang, sesekali kulihat ia menatap kami seperti menimbang seribu kata yang tak kunjung keluar. Beliau menarik napas panjang, berkali-kali lalu memijat keningnya. Bulu kudukku sampai meremang memikirkan nasibku setelah ini.Ya, setelah melihatku berduaan dengan Zavier di kamar tadi, Bunda langsung menghubungi Papa dan memintanya pulang tanpa mau mendengarkan pembelaan diriku.“Anak muda ....” Suara Papa akhirnya terdengar. Nada tegasnya membuat aku menelan ludah. “Bisa kau hubungi orang tuamu? Minta mereka datang ke sini, sekarang juga.”Sebelum Zavier sempat mengeluarkan ponsel, aku buru-buru angkat bicara, panik, dan tak ingin suasana semakin runyam. Apalagi tadi Papa sempat menyinggung pernikahan. Tidak mungkin aku menikah di usia sekarang yang bahkan SMA saja belum lulus.“Papa … dengerin Luna dulu. Semua ini gak seperti yang Papa duga.
Setelah Zavier dan keluarganya pulang--sudah jadi keluargaku juga--aku diminta Bunda kembali ke kamar untuk istirahat karena tubuh ini masih lemas. Orang tuaku itu menyusul sesaat kemudian. Keduanya sempat kulihat sama-sama menghela napas begitu melihatku berbaring menatap langit-langit kamar, mencoba mencerna semua yang terjadi barusan. Bunda mengambil tempat di tepi ranjang, perlahan mengusap lembut kepalaku tanpa kata. “Papa melakukan ini bukan karena tega atau tidak sayang sama Aluna. Justru karena Papa sayang makanya selalu ingin yang terbaik untuk Aluna. Apa yang terjadi barusan itu semata-mata untuk kebaikan Aluna sendiri dan juga keluarga kita.” Papa memecah keheningan. Suaranya cukup menenangkan kali ini. Tak seperti tadi yang bahkan dari ekspresinya sudah membuat batinku bergidik ngeri. Aku mengangkat sedikit kepala, menatap sosok yang konon adalah cinta pertama anak perempuan itu. Benar, sama sekali tidak kutemukan sorot yang menandakan kalau Papa tidak sayang padak
“Gue udah bobol CCTV sekolah sesuai permintaan Tuan Putri, tetapi gue belum menemukan bukti pembunuhan Aluna. Kemungkinan pelaku melancarkan aksinya di luar sekolah.”Aku baru membaca pesan Tama ketika berada di garasi rumah, hendak berangkat ke sekolah karena tak ingin Bunda curiga kalau aku memiliki misi rahasia yang tidak boleh diketahui olehnya.Kulirik jam tangan, waktu masuk kelas masih lama. Jadi, aku membuka kembali video itu untuk memastikan sesuatu.Sengaja, aku memperbesar layarnya biar lebih jelas. Dari rekaman CCTV itu memperlihatkan Kak Alina--kakak kembarku sedang berjalan memeluk buku di lorong sekolah yang sepi. Tiba-tiba 3 cowok dan 4 cewek, berseragam SMA Pelita Nusantara muncul dari ujung lorong. Kak Alina tampak berusaha menghindari, tetapi salah satu dari cewek itu menarik tasnya membuat Kak Alina terdorong ke belakang.Video itu berlanjut, memperlihatkan Kak Alina dikelilingi oleh 7 orang. Tak lama, dia didorong k
Perlahan, aku membuka mata. Langit-langit ruangan yang tampak asing menyambut pandanganku, refleks kupegang kepala saat masih merasakan nyeri. Entah aku di mana? Intinya aku tidak sedang berada di kelas. Aku mengedarkan pandangan hingga melihat lemari kaca yang tampak di dalamnya terdapat perlengkapan P3K. Artinya, aku sedang berada di UKS. Siapa yang membawaku ke sini? Terakhir tadi, aku mendengar suara Zavier. Jangan-jangan .... Segera kutepis praduga itu dan melihat kalau di sebelahku Maya dan Larissa berdiri dan sontak melempar senyum ke arahku dengan raut berbinarnya. “Akhirnya lo sadar, Lun.” Maya berseru antusias. Aku tak menjawab, tetapi berusaha duduk, menahan nyeri yang masih sedikit terasa di kepala. Sepertinya, tadi bola itu terlalu kencang menghadang. “Memangnya gue kenapa?” “Lo pingsan kena bola tadi,” jawab Larissa membuatku melongo. Seakan-akan tak percaya dengan kenyataan itu. Bisa-bisanya aku yang dulunya pernah hantam cowok sampai masuk ruang BK
Setelah orang suruhanku kembali dan melaporkan kalau sudah menyelesaikan misi, aku pun berjalan untuk memastikan.Kini, aku berdiri di balik pintu, mengamati dengan saksama. Mira dan teman-temannya terduduk di lantai yang penuh tumpukan debu itu. Mara mereka tertutup kain hitam, jelas tak bisa melihatku. Mulut ditutupi menggunakan plaster hitam agar tak berteriak. Tangan mereka diikat erat di belakang punggung. Ada semacam kelegaan mengalir dalam diriku saat melihat mereka terperangkap seperti ini. Aku senang, meskipun sisi lain hatiku merasa perbuatanku ini cukup jahat. Namun, perbuatan mereka lebih jahat pada kakakku. Dan, juga telah berniat ingin membuatku seperti Kak Alina. Jadi, biar aku saja yang membuatnya merasakan itu.Aku tersenyum tipis. Tidak kasihan sama sekali. Tidak juga menyesal. Mereka semua harus tahu seperti apa rasanya disiksa, seperti yang telah mereka lakukan pada Kak Alina.Aku berbalik dan tanpa berkata banyak, aku memerintahkan dengan suara yang tegas, “Bik
Aku langsung melempar tubuh ke sofa begitu tiba di apartemen Tama seolah-olah menghempas segala beban yang sejak tadi menumpuk di dada. Aku bisa merasakan Kak Aidan yang saat ini sedang fokus ke laptopnya, beralih menatapku. Sementara itu, Tama hanya berdiri di dekat dapur dengan tangan terlipat di depan dada.“Tumben kalian udah pulang kantor jam segini?” tanyaku sambil melirik jam tangan. Sudah menunjukkan pukul 4 lebih 30 menit.“Entah siapa yang nyuruh kami berdua pulang cepat?” cibir Tama yang membuatku tertawa cengengesan. Sebelumnya, aku memang meminta mereka pulang cepat karena ingin berbicara perihal investasi terselebungku malam ini. Paling tidak, aku akan meminta bantuan, meskipun sepertinya ini agak sulit. Soalnya, mereka pernah bilang tidak mau ikut campur, bahkan sudah memperingatiku berulang kali agar tak melanjutkan misiku.Tanpa basa-basi, aku pun berkata, “Malam ini, gue mau nyulik orang-orang yang udah nyakitin Kak Alina.”Kak Aidan langsung menatapku tajam. Ada r
POV ALUNA Hari yang mendebarkan itu sudah tiba, hal itu berarti sudah tiba saatnya juga aku mulai menjalankan misi terselebung yang sudah kurencanakan jauh-jauh hari, sebelum pindah ke sekolah ini. Soal Zavier, yang aku tahu terlibat penganiayaan Kak Alina, tetapi dia sepertinya tak berniat untuk menjelaskan padaku atau sekadar meminta maaf akan perbuatannya. Walau mulutnya berkata tidak tahu apa-apa, tetapi aku tahu kalau dia menyembunyikan sesuatu. Pembicaraan dengan ibunya saat itu menguatkan pradugaku. Sejauh ini, aku sudah cukup memberikan pria bergelar suamiku itu perhatian penuh. Puncaknya, saat hampir tiba waktu ujian. Aku setiap hari, mengajarinya pelajaran yang tidak dimengerti, mengulang materi yang dia malas pelajari, dan mengawasi dia agar tidak seenaknya sendiri. Meskipun semuanya tak berjalan mulus karena dia sangat menyebalkan. Masih jelas dalam ingatanku saat dia tiba-tiba merebut bukuku hanya karena dia bosan belajar. “Gue pusing banget, Lun. Kita ist
POV ZAVIERPintu ruangan tiba-tiba terbuka dengan keras dan saat itu juga, lampu yang temaram langsung menyala, menerangi seluruh ruangan.Hal yang membuatku lebih terkejut lagi saat 2 pria berbadan tinggi besar masuk dan langsung Mira dan teman-temannya hingga tersungkur di hadapan kami. Mereka tampak babak belur, dengan tangan terikat dan lakban yang menutupi mulut mereka.Salah satu pria itu melepas lakban dari mulut mereka membuat 3 gadis itu menjerit kesakitan.Mira menatap mereka emosi, napasnya memburu. “Brengsek kalian! Lepasin kami! Siapa yang nyuruh lo?!”Aku mengernyit bingung, menatap mereka satu per satu. Kalau Mira juga disekap … lantas, siapa yang sebenarnya melakukan semua ini?Perasaanku mulai tak nyaman. Aku berbalik ke arah Aluna, setidaknya mencari solusi darinya. Namun, Aluna yang seharusnya masih terikat di kursi, kini sudah berdiri. Dengan gerakan santai, melepas tali yang kukira mengikat erat tangannya tadi.Jantungku berdegup kencang. Merasa ada yang salah d
POV ZAVIER Pikiranku semakin kalut hingga memutuskan untuk pergi mencari Aluna ke tempat yang kemungkinan dia datangi. Namun, dalam perjalanan, tiba-tiba ponselku di saku celana bergetar, membuatku langsung menepikan motor dan berhenti, berharap ada kabar baik yang akan mempertemukan kami. Aku sempat ragu beberapa detik begitu melihat pesan dari nomor tak dikenal, tetapi karena penasaran akhirnya aku menggeser layar untuk membaca pesannya. “Halo, Zavier. Apa lo sedang mencari Aluna, pacar kesayangan lo?” Aku menelan ludah sambil berpikir kenapa orang ini tahu kalau aku sedang mencari Aluna? “Siapa lo?” balasku cepat. “Lo tidak perlu tau siapa gue. Tapi, lo harus tau tentang ini?” Ting! Pesan kembali masuk. Kali ini, beserta foto seorang perempuan yang duduk di kursi dengan tangan terikat. Mulutnya dilakban, terdapat beberapa luka di wajahnya. Deg! Aluna. Aku sontak melebarkan mata melihat istriku ternyata sedang dalam bahaya. “Pacar lo ada di tangan gue. Kalo ma
POV ZAVIERHari-hari berlalu begitu cepat, dan tanpa terasa, ujian akhir kami sebagai siswa akhirnya tiba. Deg-degan? Sudah pasti.Aku duduk di bangkuku, sambil memutar bolpoin tanpa sadar. Sesekali, pandanganku melirik ke arah Aluna yang duduk beberapa baris di depan.Pandangannya fokus ke kertas ujian. Raut wajahnya begitu tenang—terlalu tenang, malah. Mungkin soal-soal ujian kami sangat mudah baginya, pasalnya dia pintar. Hanya saja, ada hal yang membuatku bertanya-tanya dalam hati ketika melihatnya. Mengapa beberapa hari terakhir ini sikapnya cukup aneh?Dia berubah. Dingin. Tidak seperti Aluna yang kukenal sebelumnya. Padahal, sebelum ujian, dia masih baik-baik saja dan kami sering belajar bersama.Dia dengan sabar mengajariku materi yang tidak kumengerti, meskipun sesekali sengaja membuatnya kesal. Aku senang membuatnya kesal karena dia makin kesal, makin menggemaskan.Aku masih ingat saat dia kesal padaku sampai ngambek karena dia sudah sibuk menjelaskan, tetapi aku malah tert
POV ZAVIERAku sengaja datang malam-malam ke rumah Aluna karena di rumah lagi sepi. Orang rumah pergi tanpa mengajakku.Untungnya, karena aku bisa menggunakan alasan mengembalikan buku catatan yang kupinjam dan juga membawakan martabak telur keju untuk Aluna jika ditanya ada kepentingan apa datang malam-malam?Sebenarnya, alasan paling pokoknya karena lagi kangen. Berat banget tahu nikah saat masih sekolah, apalagi jika tinggalnya harus terpisah. Kudu nahan rindu setengah mati, padahal tiap hari juga ketemu sebenarnya.Sengaja, aku mengajaknya mengobrol hingga larut, biar banyak alasan untuk menginap di rumahnya. Cemerlang banget, kan, ide Zavier? Hehe.Hanya saja, aku sempat-sempatnya dibikin salting saat Aluna menyuapiku martabak. Duh, rasanya kayak terbang ke bulan. Ini pertama kali dia menyuapiku selama kami nikah. Sebelumnya, hanya sebatas mengambilkan makanan. Itu pun sudah cukup membuatku sesak napas. Ikan hiu melayang-layang. Makin ke sini, makin sayang. Eyaa!Setelah dapat i
Aku menyuapinya lagi dalam keheningan, hingga beberapa saat kemudian, Zavier bertanya, “Gimana rencana lo ke depan?” Aku mengerjap pelan, menatapnya sedikit curiga. Rencana apa yang dia maksud? Jangan-jangan … dia tahu sesuatu, soal rencana balas dendamku, mungkin? Tidak … tidak! Itu mustahil! Orang yang tahu rencanaku cuma Kak Aidan dan Tama. Aku berusaha tenang agar tak terlihat seperti sedang menyembunyikan sesuatu. “Rencana apa?” tanyaku menatapnya seakan-akan mencari sesuatu dari bola matanya itu. Zavier mengunyah sebentar, lalu menelan makanannya sebelum menjawab, “Ya, rencana lo. Gue belum mutusin mau kuliah di mana. Terus lo juga belum bilang mau lanjut kuliah di mana?” Aku memutar bola mata sambil menarik napas lega dalam diam. Kupikir rencana apa? “Harus banget gue bilang ke lo?” tanyaku malas. Dia mengangguk santai sambil tersenyum tipis. “Menurut gue, ya, harus. Soalnya, setelah gue pikir-pikir, gue mending kuliah di tempat lo aja. Biar kita bisa berangkat ba
Hari demi hari berganti tanpa henti, seperti angin yang berlalu begitu saja tanpa pernah kembali ke tempat asalnya. Dedaunan di halaman dekat jendela kamarku yang dulu hijau segar kini mulai berguguran, sebagai tanda pergantian musim yang telah tiba. Rutinitas sekolah, ujian-ujian kecil juga terus terjadi, serta proses belajar tambahan untuk persiapan ujian pun sudah dilakukan. Dan, yang paling penting status pernikahanku dengan Zavier, sejauh ini masih terpantau aman. Kini, aku duduk di dekat jendela kamarku sambil menatap layar ponsel, di mana ada foto bersamaku dengan Kak Alina di sana. Foto itu diambil saat ia mengunjungiku di Aussie beberapa bulan lalu. Aku tak menduga kalau pertemuan itu menjadi pertemuan terakhirku dengannya. “Selalu jaga diri, ya, Lun. Meskipun kami jauh di sana, kamu tetap kesayangan kami semua.” Aku ingat betul dia mengatakan itu saat akan pulang ke Indonesia. “Belajar baik-baik, biar nanti jadi arsitek terkenal. Kakak akan doakan yang terbaik,” katan