Share

Bab 6

Wanita bertubuh sintal itu berjalan menghampiri kami membuat Zavier buru-buru berdiri, hendak kabur, tetapi tanganku lebih sigap bergerak menarik tasnya agar ia tak pergi begitu saja.

Enak saja, setelah ada upaya bolos dari jam pelajaran, dia mau kabur seenaknya ketika ketahuan. Jangan mimpi!

Dia mendengus sebal, dengan terpaksa berdiri menunduk begitu Bu Mila--guru BK sudah berada di hadapan kami.

“Ngapain kalian di sini?” tanya wanita berhijab itu tegas.

“Ini, Bu. Zavier mau bolos dari pelajaran Fisika,” kataku tanpa menyembunyikan apa pun. Biar tahu rasa si Zavier dihukum.

Aku tak sabar ingin melihatnya hormat pada tiang bendera di bawah teriknya mentari di jam 9 pagi ini. Hahaha.

Bu Mila mengembuskan napas berat. “Apa benar begitu, Zavier?” tanyanya ingin memastikan.

Zavier menggeleng cepat. Berusaha membela dirinya. “Sebenarnya, e ... anu, saya, itu cuma ... eh, lagi ngetes Hukum Newton I, Bu. Katanya benda diam akan tetap diam kalau nggak ada yang ganggu, tapi ya ini, Alina malah ganggu dan saya jadi jatuh Bu.” Wajahnya memelas. Berharap Bu Mila percaya padanya.

Pandai juga beralibi dia. Cocok jadi pemeran figuran di film azab.

“Drama lo!” sungutku, “kalau saya nggak narik dia mungkin udah bolos duluan, Bu!”

Bu Mila menggeleng pelan. Kini, gilirannya menatapku dengan tajam. “Dan kamu Aluna, kenapa bisa di sini juga? Mau ikut bolos?”

“Aluna? Kok Aluna, sih, Bu. Nama dia, kan, Alina,” protes Zavier.

“Ibu sedang tidak bicara sama kamu!”

Zavier langsung terdiam. Inginku tertawa melihat raut wajahnya yang tegang bercampur bingung.

“Nggak, Bu. Saya tadi melihat Zavier mau bolos, jadi saya mencegatnya. Sejarah, dia ini ketua kelas di IPA 1, Bu. Harusnya jadi contoh yang baik untuk anak-anak yang lain. Apalagi kami sudah kelas 3, sebentar lagi lulus. Sepatutnya Zavier menjadi suri tauladan untuk adik-adik kelas, tapi dia malah bikin ulah. Pekan lalu, dia juga bolos saat jam pelajaran perhitungan, Bu. Saya yakin, pasti sebelumnya, dia sering bolos,” tuturku sok bijak. Nyatanya hanya mengompori Bu Mila, biar makin memberatkan hukuman Zavier. Suruh siapa resek?

“Nggak begitu, Bu. Saya ....”

“Cukup, nggak usah ribut!” tegas Bu Mila. “Zavier, ikut saya ke ruang BK. Dan, kamu Aluna ... kembali ke kelas!”

“Bu, kalau saya mau dihukum, rasanya nggak adil. Harusnya Alina, eh ... maksud saya Aluna juga dihukum, Bu.” Zavier tak terima. Dia memicing tajam ke arahku.

Apa-apaan dia? Maksudnya mau menyeretku untuk dihukum bersamanya? Salahku di mana? Bukankah aku sudah membela kebenaran di sini?

“Ibu tidak mungkin menghukum siswa tanpa kesalahan, Zavier.”

“Kata siapa dia tidak punya kesalahan, Bu? Kemarin saya melihatnya mencoret-coret tembok di belakang sekolah.”

Deg!

Mampus!

Aku menatap Zavier bengis seakan-akan mencari sesuatu dari wajah yang sebenarnya tampan itu. Dari mana dia tahu kalau aku mencoret-coret tembok di belakang sekolah? Apa jangan-jangan, dia sengaja ... menguntitku?

Mati aku!

Bu Mila menatapku marah dan dengan tegas bertanya, “Benar begitu, Aluna?”

Aku menelan ludah susah payah, tak tahu harus berbohong atau jujur? Hanya saja, aku juga tidak dapat mengelak, karena sebenarnya yang dikatakan Zavier memang benar, tetapi itu ... aku melakukannya karena gabut.

“Kalau Ibu nggak percaya, mending kita cek ke sana sekarang,” ujar Zavier antusias, sepertinya dia memang ingin sekali melihatku dihukum.

Benar-benar, ya? Tidak tenang hidupnya sehari saja tanpa membuatku kesal.

“Kalian berdua, ikut Ibu ke ruang BK, sekarang!” tegas Bu Mila, lantas berjalan mendahului kami seolah-olah tak menerima penolakan.

Aku mengepalkan tangan, menatap Zavier yang susah payah menahan tawanya.

“Gara-gara lo, gue juga dihukum!” cecarku sontak mengayunkan kaki menendangnya, tetapi dia dengan cepat berlari mengikuti Bu Mila.

Aku mengejar dan berhasil menarik tasnya. Kini, aku berhasil mensejajarkan langkah dengannya.

“Lo udah ngerusak fasilitas sekolah, jadi lo harus dihukum.”

“Tapi, di situ coretannya udah banyak. Gue cuma nambahin aja.”

“Sama aja lo nyoret juga!”

“Tau dari mana lo kalo gue coret-coret tembok? Ngikutin gue lo, ya?”

“Amit-amit! Kepedean lo!” Zavier mendorong jidatku menggunakan jari telunjuknya, lantas pergi tanpa sedikit pun merasa bersalah.

Pada akhirnya, kami berdua dihukum--berdiri di lapangan sambil hormat ke tiang bendera.

Mana di atas sudah berkibar bendera merah putih yang melambai-lambai seolah-olah menertawai kami.

Aku mulai bisa merasakan teriknya matahari yang menyorot langsung ke punggung. Di sebelahku, Zavier menatap lurus ke depan dengan ekspresi bosan.

Sesaat kemudian, dia mendesah pelan dan menoleh ke arahku. “Oi, gadis tengil!”

Aku celingak-celinguk, mencari dengan siapa pria berponi itu berbicara. Namun, tidak menemukan siapa pun di sini, selain kami berdua.

“Cari siapa lo? Gue bicara sama lo tau!” katanya seakan-akan paham isi kepalaku.

“Oh, makanya kalau manggil yang benar, dong. Masa gadis tengil!” protesku.

“Lah, emang iya! Panggilan itu cocok buat lo yang tengilan! Betewe, gue mau tanya, tadi Bu Mila manggil lo Aluna. Jadi, lo tuh Aluna atau Alina, sih?” tanyanya, alisnya saling tertaut, penasaran.

“Aluna, dong. Alina udah meninggal,” kataku tanpa menutup-nutupi statusku.

Dia terdiam sejenak, sebelum akhirnya bertanya lagi. “Lo siapanya Alina? Kok bisa mirip banget?”

“Adik kembarnya,” kataku sekilas meliriknya yang tengah mengangguk-angguk.

“Oh, kembar, tapi beda banget.”

“Apanya?”

“Alina setahu gue pendiam, tapi lo tengilan, udah gitu bar-bar.”

Aku memutar bola mata lantas mencibir pelan. “Lagipula nggak ada aturan kalau kembar harus sama karakter, kan?”

Hening. Namun, kulihat dari sudut mata, tampaknya Zavier masih menatapku penuh rasa ingin tahu. “Tapi, kenapa lo tiba-tiba masuk sekolah ini? Sebelumnya lo sekolah di mana?"

Aku berdecak pelan, melirik Zavier dengan ekspresi malas. “Duh, kepo amat, sih? Kayak nggak ada kerjaan lain aja nanya-nanya gitu.”

Dia terkekeh, masih menatapku dengan mata menyipit. “Ya, gue cuma penasaran aja. Sebulan yang lalu gue dengar kabar kalo Alina meninggal, terus pas masuk tahun ajaran baru, tiba-tiba muncul lo yang mirip banget sama dia. Gue kira mayatnya Alina bangkit lagi.”

Aku memutar badan, menatapnya dengan raut kesal. “Ngadi-ngadi lo! Asal lo tau, gue gak punya kewajiban buat jelasin riwayat hidup gue ke lo.”

Zavier cuma mengangkat bahu, bibirnya melengkung membentuk senyum miring. “Oke, oke. Santai! Gue cuma tanya, kok, tapi gue akan ingat ini. Lo Aluna, bukan Alina.”

Aku tersenyum tipis lalu kembali menatap lurus ke depan. “Good! Simpan itu baik-baik di otak lo, jangan sampai otak berharga lo itu isinya cuma cara kreatif buat bolos lagi besok-besok.”

Zavier tertawa sinis. Sepertinya, setelah ini, dia masih akan bolos lagi. Tampangnya tidak ada rasa bersalah sama sekali. Mentang-mentang, perusahaan keluarganya donatur tetap di sekolah ini udah seenaknya. Dasar!

“Kalo Alina bar-bar kayak lo, mungkin gak bakal ada yang berani gangguin dia.”

Aku tersentak dan sontak menoleh mendengar perkataannya. Mungkinkah Zavier mengetahui sesuatu?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status