Aku menarik napas sambil berjalan menuju bangku kayu di belakang sekolah yang sepi.
Larissa dan Maya masih mengikuti dari belakang, tatapan bingung mereka seperti dua anak hilang yang tidak tahu arah tujuannya? Aku duduk bersama Larissa, sementara Maya masih mondar-mandir di hadapan kami sambil mengusap-usap dagu. Sudah seperti Bu RT yang memikirkan cara agar kampungnya dapat bantuan pemerintah. Aku menatap mereka dengan serius sambil berpikir sejenak. Menurut pengamatanku kurang lebih sepekan sekolah di sini, sepertinya mereka berdua orang baik-baik. Tidak seperti si Zavier yang sangat mengesalkan. Maksudku, tidak ada salahnya menjadikan Maya dan Larissa sebagai teman. Mana tahu dengan begitu, aku bisa mendapatkan informasi lebih banyak lagi tentang Kak Alina seperti saran Tama. Dan, itu akan mempermudah misi pertamaku untuk mengetahui siapa-siapa saja yang pernah terlibat mengganggu saudara kembarku? “Bagaimana mungkin lo bukan Alina?” tanya Maya tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya. Aku tak menjawab, hanya tersenyum tipis begitu melihat mereka saling berpandangan seperti baru saja mendengar plot twist paling absurd. “Kalau bukan Alina, terus lo siapa?” Larissa ikut bertanya, dahinya berkerut. “Kalian itu mirip banget, kayak berbagi tubuh dan wajah yang sama. Hanya saja, karakter kalian memang berbeda, tapi bisa saja lo itu Alina versi upgrade-nya.” Aku menarik napas panjang. Menatap mereka bergantian lalu bertanya, “Apakah kalian bisa dipercaya?” Mereka mengangguk kompak membuatku menyeringai lebar. “Baguslah. Gue harap kalian berdua bisa bantu dan kerja sama dengan gue.” “Buat apa?” tanya Larissa penasaran Aku mengulas senyum tipis. “Pertama, gue ngasih tau kalian, kalau gue benar-benar bukan Alina, tapi gue Aluna. Kedua, kami saudara kembar.” Mereka langsung membeku, mulut terbuka lebar seperti baru saja melihat alien mendarat di depan mereka. Maya bahkan sampai kedip-kedip seperti menungguku meralat kalimat. “Cuma bercanda, kok!” “Serius lo? Alina punya kembaran? Dia gak pernah cerita kalau punya kembaran.” Suara Maya naik setengah oktaf. “Semua orang ngira lo itu Alina yang tiba-tiba muncul lagi, terus gue pikir Alina dapet kekuatan super buat bangkit dari kematian atau apa?” “Mana ada manusia yang bisa bangkit dari kematian selain di Yaumul Ba’ats?” cibir Larissa. Aku tertawa kecil sambil menggeleng. “Nah, Larissa benar karena Kak Alina benar-benar udah meninggal.” “Pantas saja awal kita ketemu, lo ngatain kita SKSD karena emang iya, sih.” Maya menunduk, tersipu. “Kok setiap presensi di kelas nama lo gak pernah disebut?” “Belum diperbarui datanya kali. Gue kan siswi baru,” jawabku asal sambil terkekeh pelan. “Sebelumnya lo sekolah di mana?” tanya Maya. “Luar negeri. Orang tua mengasingkan gue ke sana setelah dua pekan masuk SMP di sini. Soalnya gue pernah nonjok anak cowok sampai pingsan di sekolah.” Mereka tampak tersentak mendengar pengakuanku. “Gue baru sadar sekarang kalo ternyata lo dan Alina itu berbeda dari segi karakter. Lo cerewet dan sepertinya juga pemberani, sedangkan Alina pendiam banget,” ujar Maya. “Sayangnya, Alina udah gak ada,” kata Larissa dengan raut sedihnya. “Ngomong-ngomong lo mau dibantu apa tadi?” Aku terdiam sejenak sebelum akhirnya berbicara. “Gue ngerasa ada yang ganjal dari meninggalnya Kak Alina. Apakah ada hal yang kalian ketahui tentang dia di sekolah ini?” Mereka saling berpandangan, setidaknya kali ini juga aku melihat tangan Larissa saling meremas dan raut wajah Maya pun langsung berubah. “Kami ....” Maya tercekat, dia mengedarkan pandangan barangkali memastikan tidak ada orang di sekitar kami. Gadis gembul itu segera mengambil tempat di tengah aku dan Larissa. Dia membisikkan sesuatu padaku, tetapi bersamaan dengan itu bel yang menandakan waktu istirahat sudah berakhir tiba-tiba berbunyi. Aku kesal gagal mendapat informasi lebih banyak karena kami kembali ke kelas dan mengikuti pelajaran seperti biasa. Meskipun begitu, sesekali pikiranku tertumbuk pada perkataan Maya tadi. Setidaknya, pelan-pelan aku pasti akan menemukan sasaran dendamku. Hari berlalu begitu saja. Akhir pekan terlewat seperti kentut. Dan, kini para siswa kembali pada awal pekan yang berat. Aku yang sedang berjalan santai menuju kelas setelah upacara selesai tak sengaja pandanganku tertuju ke belakang sekolah, di mana ada seseorang yang sedang ... memanjat pagar. Mataku menyipit, pikiran buruk langsung terlintas di benakku. Perlahan, aku mendekat untuk memergoki orang yang sepertinya berniat kabur dari sekolah. Tanpa berpikir panjang, aku berlari ke arah pagar, sontak menarik kakinya yang masih tergantung. Dia yang sudah hampir sampai puncak langsung tergelincir. “Woi! Lepasin kaki gue, kam*ret!” Dia mengerang, mencoba sekuat tenaga tetap bertahan di pagar sambil melihatku yang terus menarik kakinya. “Loh, Zavier?” Aku terkejut melihat wajah pria yang mencoba kabur ini. “Astaga, Alina! Lo lagi! Kan, gue udah bilang jauh-jauh sana. Hidup gue sial mulu kalau ada lo!” geram Zavier masih mencoba bertahan di atas pagar. “Lo juga ngapain manjat pagar?” Aku memicing. “Oh, gue tau ... jangan-jangan lo mau bolos, ya?” “Bukan urusan lo! Lepasin kaki gue!” bentaknya. Aku tak peduli, tetap menarik kakinya, biar dia tidak bolos. Enak saja mau bolos? Katanya punya prestasi di sekolah ini, kenapa malah jadi contoh buruk siswa lain? “Lo itu ketua kelas, Zavier. Harusnya lo ngasih contoh yang baik.” “Gak peduli!” “Oh, jangan-jangan setiap lo ilang di pelajaran perhitungan, lo itu bolos ternyata, ya?” Aku ingat pekan lalu, dia juga tiba-tiba menghilang saat pelajaran perhitungan, padahal di jam lain dia hadir. Dan, sekarang di jam pertama ada Fisika. Terus dia manjat pagar lagi. Zavier menoleh ke bawah, tatapannya kesal. “Lah, emang! Masalah buat lo? Lagipula, gue gak suka Fisika.” Aku tertawa kecil. “Ya kalo gak suka, ngapain lo masuk jurusan IPA? Selain resek, goblok juga lo ternyata!” Zavier menggeram seakan-akan tak terima kalimatku itu. Dia terus berusaha mengayunkan kakinya supaya aku melepaskannya tetapi aku tak membiarkan dia lepas begitu saja. Satu ... dua ... tiga, aku menariknya sekuat tenaga. BRAK! Dia terjatuh. Dan, bokongnya mencium tanah dengan mesra. Aku tertawa puas melihatnya. Sama sekali tak takut meskipun ia menatapku penuh dendam. “Sialan lo!” “Zavier, Aluna! Ada apa ini?” Suara tegas itu membuat kami tersentak dan spontan menoleh ke sumber suara.Wanita bertubuh sintal itu berjalan menghampiri kami membuat Zavier buru-buru berdiri, hendak kabur, tetapi tanganku lebih sigap bergerak menarik tasnya agar ia tak pergi begitu saja. Enak saja, setelah ada upaya bolos dari jam pelajaran, dia mau kabur seenaknya ketika ketahuan. Jangan mimpi! Dia mendengus sebal, dengan terpaksa berdiri menunduk begitu Bu Mila--guru BK sudah berada di hadapan kami. “Ngapain kalian di sini?” tanya wanita berhijab itu tegas. “Ini, Bu. Zavier mau bolos dari pelajaran Fisika,” kataku tanpa menyembunyikan apa pun. Biar tahu rasa si Zavier dihukum. Aku tak sabar ingin melihatnya hormat pada tiang bendera di bawah teriknya mentari di jam 9 pagi ini. Hahaha. Bu Mila mengembuskan napas berat. “Apa benar begitu, Zavier?” tanyanya ingin memastikan. Zavier menggeleng cepat. Berusaha membela dirinya. “Sebenarnya, e ... anu, saya, itu cuma ... eh, lagi ngetes Hukum Newton I, Bu. Katanya benda diam akan tetap diam kalau nggak ada yang ganggu, tapi
Aku memilih duduk di tangga taman sekolah sekitar lapangan futsal sambil merenggangkan otot-otot kaki yang ternyata pegal juga dihukum berdiri sampai jam istirahat. Ngeri sekali Bu Mila, tuh! Untung fisik aku kuat meskipun tak suka makan semen tiga roda, jadi tak sampai pingsan. “Kok bisa, sih, lo dihukum bareng Zavier? Bikin masalah apa lo, Lun?” tanya Maya yang kini sudah duduk di sebelahku. “Bukan suatu masalah sebenarnya. Bu Mila aja yang nggak paham sisi kreatif seseorang. Harusnya bersyukur, ada yang mau bikin sketsa cetar membahana di tembok sekolah tanpa digaji.” “Jangan bilang lo coret-coret tembok?” “Emang iya,” jawabku entang. “Astaga Aluna!” Maya menepuk jidat frustrasi. Kupilih tak memperpanjang pembahasan yang membuatku kesal sampai ubun-ubun itu. Ingat saja, aku akan membalas Zavier! Gara-gara dia mengadu ke Bu Mila, aku harus membuang malu pada tiang bendera. Sebab merasa bosan, aku mengambil novel dari tas dan membukanya perlahan sesekali mendengarkan Maya d
Aku menunduk diam sambil meremas jari-jari mendengarkan Bu Mila yang sedang menceramahiku habis-habisan. Ya, tadi setelah mengakui kepemilikan ular mainan itu pada Bu Sri yang menjadi korban keganasan benda tersebut, guru Fisika itu langsung membawaku ke ruang BK untuk di-konseling, padahal aku sudah setengah mati minta maaf, tetapi tidak termaafkan. Belum juga sebulan sekolah di sini, tetapi entah yang ke berapa kalinya aku keluar masuk ruang BK? “Aluna ... Aluna, kamu lagi. Kamu ini sebenarnya nge-fans sama Ibu atau gimana? Doyan sekali masuk ruang BK.” Bu Mila menggeleng berulang kali. Dia lalu bangkit dan berdiri di hadapanku. “Coba kamu jelaskan, apa motivasi kamu membawa ular mainan ke sekolah? Kamu merasa masih anak TK yang lagi lucu-lucunya segala mainan dikoleksi semua?” Suara Bu Mila terdengar tegas membuat suasana di ruangan yang sepi ini terasa cukup mencekam. Aku menelan ludah, berusaha menenangkan diri. Nyatanya, aku tidak punya motivasi apa-apa. Tadinya, aku mem
Gara-gara kemarin pulang dari sekolah hujan-hujanan, akhirnya sepanjang malam aku terkena demam tinggi. Badanku nyaris seperti dipanggang. Bunda harus turun tangan untuk mengompres demamku walaupun diikuti dengan omelan karena aku pulang dalam keadaan basah kuyup. Belum lagi dengan semua sendi dan otot terasa pegal-pegal sekarang, terutama di bagian punggung dan bokong, mungkin akibat insiden terjungkal ditabrak Zavier juga kemarin. Ditambah sebelum itu, bersih-bersih 4 WC sekolah hingga menjelang petang, lengkap sudah penderitaan hari itu. Untungnya pagi ini, demamku sudah sedikit turun meskipun masih terbaring lemas di tempat tidur, meringkuk sambil menarik selimut sampai dagu. Selang beberapa saat, suara langkah kaki terdengar dari luar, diikuti ketukan pelan di pintu kamar. “Masuk aja .…” Suaraku hampir tak terdengar, lemah. Kak Aidan dan Tama, yang sudah kubilang mereka itu seperti sepasang sepatu, ke mana-mana selalu bersama. Lihatlah, mereka bersama lagi. Keduanya
Aku mendengus, menepis tangan Zavier dengan kasar. “Punya mata, kan? Liat sendiri keadaan gue!”Bukannya iba, Zavier malah tertawa terkesan mengejekku. “Nggak nyangka aja gadis tengil, resek, kayak lo bisa sakit juga.”“Gue manusia, bukan robot!” ketusku.“Gue pikir energi lo itu nggak abis-abis. Ngeselin, sih, makanya kena karma.”“Banyak omong lo! Cepat katakan, ada perlu apa ke rumah gue?” tanyaku disambut Zavier dengan senyum tipis sebelum akhirnya beralih duduk di sofa. Lagi-lagi, sebelum aku memintanya, membuatku makin jengkel. Datang-datang belagak tuan rumah saja dia.“Sekolah sepi gak ada lo yang bikin rusuh.”Sontak, aku menganga mendengar perkataan pria yang masih berseragam sekolah itu. Serius, dia jauh-jauh datang ke sini cuma mau bilang itu?“Oh, jadi maksudnya lo ke sini buat nyariin gue? Rindu lo sama gue? Atau jangan-jangan, lo jatuh cinta sama gue, gitu?” Aku memicing tajam ke arahnya. Mencari tahu bara
Aku duduk bersisian dengan Zavier di ruang tamu, menunduk dalam-dalam sambil meremas jari-jariku.Suasana tegang.Papa berdiri sambil berkacak pinggang, sesekali kulihat ia menatap kami seperti menimbang seribu kata yang tak kunjung keluar. Beliau menarik napas panjang, berkali-kali lalu memijat keningnya. Bulu kudukku sampai meremang memikirkan nasibku setelah ini.Ya, setelah melihatku berduaan dengan Zavier di kamar tadi, Bunda langsung menghubungi Papa dan memintanya pulang tanpa mau mendengarkan pembelaan diriku.“Anak muda ....” Suara Papa akhirnya terdengar. Nada tegasnya membuat aku menelan ludah. “Bisa kau hubungi orang tuamu? Minta mereka datang ke sini, sekarang juga.”Sebelum Zavier sempat mengeluarkan ponsel, aku buru-buru angkat bicara, panik, dan tak ingin suasana semakin runyam. Apalagi tadi Papa sempat menyinggung pernikahan. Tidak mungkin aku menikah di usia sekarang yang bahkan SMA saja belum lulus.“Papa … dengerin Luna dulu. Semua ini gak seperti yang Papa duga.
Setelah Zavier dan keluarganya pulang--sudah jadi keluargaku juga--aku diminta Bunda kembali ke kamar untuk istirahat karena tubuh ini masih lemas. Orang tuaku itu menyusul sesaat kemudian. Keduanya sempat kulihat sama-sama menghela napas begitu melihatku berbaring menatap langit-langit kamar, mencoba mencerna semua yang terjadi barusan. Bunda mengambil tempat di tepi ranjang, perlahan mengusap lembut kepalaku tanpa kata. “Papa melakukan ini bukan karena tega atau tidak sayang sama Aluna. Justru karena Papa sayang makanya selalu ingin yang terbaik untuk Aluna. Apa yang terjadi barusan itu semata-mata untuk kebaikan Aluna sendiri dan juga keluarga kita.” Papa memecah keheningan. Suaranya cukup menenangkan kali ini. Tak seperti tadi yang bahkan dari ekspresinya sudah membuat batinku bergidik ngeri. Aku mengangkat sedikit kepala, menatap sosok yang konon adalah cinta pertama anak perempuan itu. Benar, sama sekali tidak kutemukan sorot yang menandakan kalau Papa tidak sayang padak
“Gue udah bobol CCTV sekolah sesuai permintaan Tuan Putri, tetapi gue belum menemukan bukti pembunuhan Aluna. Kemungkinan pelaku melancarkan aksinya di luar sekolah.”Aku baru membaca pesan Tama ketika berada di garasi rumah, hendak berangkat ke sekolah karena tak ingin Bunda curiga kalau aku memiliki misi rahasia yang tidak boleh diketahui olehnya.Kulirik jam tangan, waktu masuk kelas masih lama. Jadi, aku membuka kembali video itu untuk memastikan sesuatu.Sengaja, aku memperbesar layarnya biar lebih jelas. Dari rekaman CCTV itu memperlihatkan Kak Alina--kakak kembarku sedang berjalan memeluk buku di lorong sekolah yang sepi. Tiba-tiba 3 cowok dan 4 cewek, berseragam SMA Pelita Nusantara muncul dari ujung lorong. Kak Alina tampak berusaha menghindari, tetapi salah satu dari cewek itu menarik tasnya membuat Kak Alina terdorong ke belakang.Video itu berlanjut, memperlihatkan Kak Alina dikelilingi oleh 7 orang. Tak lama, dia didorong k
Aku yang terkejut langsung menarik tanganku yang berada di bawah tangan Zavier. Sontak, pura-pura menggaruk tengkuk dan melihat sekeliling. Untungnya, teman-teman yang lain pada fokus dengan aktivitasnya masing-masing. Jadi, sepertinya insiden yang terjadi barusan tak dilihat oleh mereka. Anehnya, Zavier justru tak terlihat panik sama sekali. Malah tersenyum santai sambil menaik-turunkan alis seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Agaknya, dia memang sengaja memanfaatkan kesempitan yang penting ada kesempatan. Aku memilih bergabung dengan Maya dan Larissa. Zavier pun menyusul. Kami mulai memasukkan tanah ke dalam kantong bibit. “Lun, lo takut sama ulat, enggak?” Suara Zavier yang tak jauh dariku membuatku menoleh padanya sekilas. “Enggak,” jawabku singkat dan tentunya berbohong. Nyatanya, aku takut sama ulat. Geli. Hanya saja, tidak ingin menunjukkan kelemahanku padanya. “Kalau ini lo takut enggak?” Zavier mengangkat tangan berisi cacing hidup tepat di dekat wajahku. A
Di rumah Zavier, kami memulai diskusi untuk tugas kelompok yang diberikan Pak Jeff. Di mana setiap kelompok diminta untuk menanam tanaman dari benih biji-bijian yang nantinya bakal diamati setiap hari dan diukur tingginya dari mulai kecambah. Ya, begitulah risiko masik jurusan exact yang katanya ilmu pasti, kadang mengukur tumbuhan, mengukur setetes air, hingga mengukur kecepatan jatuhnya buah. Sayangnya, tidak bisa mengukur berapa lama yang dibutuhkan seseorang untuk bisa melupakan mantannya. Eya! “Jadi, sore ini, kita nyiapin tanahnya saja untuk bibit. Besok harus dibawa ke sekolah sekaligus bibitnya juga akan ditanam saat pelajaran Biologi.” Sambil memegang catatan, aku mulai menjelaskan rencana dengan serius. Hanya saja, ada seseorang yang terus mengalihkan perhatianku. Tepat di sofa lain, kulihat Zavier menatapku dengan pandangan yang tidak kutahu apa artinya? Bibirnya sesekali tersenyum tipis tiap kali aku berbicara. Rasanya seperti ada api yang membakar wajahku kerap k
Tiba di rumah, aku melempar tas ke tempat tidur, lalu mengganti pakaian yang basah ini lebih dulu karena dinginnya masih terasa menyusup ke kulitku.Setelah itu, menghempaskan tubuh di tempat tidur. Pikiranku berkecamuk, memutar ulang perbuatan Mira dan teman-temannya yang membuat amarahku makin berkobar.Kurang ajar sekali mereka. Sepertinya, mereka belum tahu siapa Aluna sebenarnya?Aku menghela napas dalam-dalam, berusaha meredakan sedikit amarah yang terasa membakar di dada. “Oke, agaknya mereka memang perlu diberi sedikit pelajaran,” gumamku sambil menggigit bibir, menatap kosong ke langit-langit kamar. Dalam pikiranku, nama pertama yang muncul adalah Lila yang tampaknya paling lemah di antara mereka. Apalagi, kami satu kelas. Jadi, mudah saja untuk kugoyahkan.Dia juga tadi yang berani-beraninya membawa nama guru untuk menipuku. Lihat saja nanti, apa yang akan kulakukan padanya?Ah, memikirkan cara halu
“Kalau gue yang nyingkirin lo gimana?” tanyaku balik menantangnya. Tawa yang tadinya meremehkanku seketika hening. Dapat kulihat mereka saling bertatapan satu sama lain seolah-olah tak percaya dengan apa yang baru saja kukatakan. Barangkali, mereka merasa herman karena aku berani melawan ketidakadilan. Kutatap mereka satu persatu sambil tersenyum sinis. Giliranku tertawa mengejek begitu melihat raut wajah mereka mulai kesal. “Berani lo nyingkirin gue? Punya nyali dari mana lo?” Mira memandangku sengit bak ingin menelanku hidup-hidup. Cengkeramannya pada kerah bajuku makin kuat, tetapi aku sama sekali tak merasa terintimidasi dengan perbuatannya. Aku hanya tertawa pelan sambil membalas tatapannya yang tajam itu. Dalam beberapa saat kami saling berbalas tatapan sengit seakan-akan ingin saling menerkam. “Berani,” jawabku pada akhirnya. Tanpa sedikit pun merasa takut ataupun gentar. Raut wajah Mira makin terlihat murka. Dengan percaya dirinya berkata, “Berani lo bilang? Be
“Kenapa harus satu kelompok sama si Zavier and the gang, sih?” Maya menggerutu sambil melipat tangannya di depan dada. Wajahnya terlihat sangat kesal sesekali menghentakkan kaki ke tanah ketika kami tengah berjalan menuju kantin. “Ya, mending kalau Adnan dan Raka, masih bisa diajak kerja sama, tapi Zavier? Dia itu sombong banget, sok berkuasa pula. Dari kelas 1 siapa pun yang jadi teman kelompoknya pasti pada ngeluh karena dia gak ada kontribusinya sama sekali. Sok penting banget jadi orang,” imbuhnya lantas mendaratkan bokong di kursi kantin dengan sedikit kasar. Larissa yang kini duduk di sebelahnya hanya bisa menghela napas dan mencoba menenangkan. “May, nggak boleh begitu tau. Kita harus menerima siapa pun teman kelompok kita seperti arahan Pak Jeff tadi. Nanti Ibu Ketua kita coba deh obrolin dengan Zavier supaya mau ngerjain tugas kita bareng-bareng. Nggak cuma numpang nama doang.” “Masih mending malau mau dengerin. Orang dari dulu dia nggak pernah mau dibilangin,” ketus
Aku berbaring di atas kasur dengan posisi telentang sesaat setelah pulang dari toko buku diantar Zavier.Sesekali memejamkan mata, masih tak percaya kalau sekarang aku sudah memiliki suami di usia yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Takdir semesta benar-benar tak bisa ditebak.Beberapa saat kemudian, aku berganti posisi menjadi tengkurap. Mulai menyalakan laptop dan membuka pesan dari Tama di sana. Dengan tangan sedikit bergetar, aku membuka pesan itu dan mendapati dua video yang baru saja diunduh. Napasku terasa berat saat mulai memutar video tersebut. Gambar demi gambar memenuhi layar, memperlihatkan Mira dan teman-temannya menganiaya Kak Alina di belakang sekolah. Mereka mendorong, bahkan sampai menampar Kak Alina seolah-olah kakakku tak lebih dari boneka yang bisa mereka permainkan. Aku bisa melihat ketakutan di gerak-geriknya—ketakutan yang kini membuat dadaku terasa sesak.Rasa marah menumpu
Kami masih bersembunyi di balik patung display di toko baju yang tak jauh dari toko buku ini, berdiri berhimpitan di antara deretan etalase dan pajangan yang cukup sempit. Untungnya, karena pengunjung toko tak terlalu ramai, jadi kami bisa bebas bersembunyi. Bodoh amat dengan CCTV yang mungkin akan menangkap kegiatan kami yang kayak sedang main petak umpet dari kenyataan. Sekarang, yang paling penting adalah Mira and the gang tidak melihatku dan Zavier sedang bersama. Begitu napasku mulai terasa sesak dalam persembunyian ini, aku hendak menoleh pada Zavier yang berdiri tepat di belakangku. Hanya saja, ketika menolah, entah ada angin dari mana yang membuat pelipisku bertabrakan dengan bibirnya. Aku syok! Hampir saja berteriak memakinya, seandainya dia tak sigap menutup mulutku dengan telapak tangannya lalu menggeleng mengisyaratkan agar aku tak boleh berbicara. “Astaga, hampir l
Aku menoleh pada Zavier di sebelahku dengan tatapan meminta tolong, tetapi rupanya dia juga dilanda bingung dengan pertanyaan Oma yang begitu tiba-tiba. Untungnya, di tengah ketegangan pagi ini, Papa mertuaku membuka suara. “Bu, sarapan dulu. Nanti baru bicara lagi dengan Aluna.” “Loh, Ibu hanya bertanya pada Aluna. Memangnya tidak boleh?” tanya wanita tua itu sedikit ketus. Sepertinya, tadi malam aku salah menduga kalau Ibu mertua pemegang tahta tertinggi di rumah ini, melainkan Oma. Buktinya, Ibu tinggal diam saja sekarang. “Boleh, kok, Oma,” kataku tersenyum semanis mungkin, ngalah-ngalahin manisnya janji mantan saat awal berjumpa. Eya! “Tuh, Aluna aja boleh. Masa kamu nggak boleh?” Papa Kusuma hanya menghela napas pasrah. “Sebenarnya ....” Aku meremas ujung bajuku di bawah sana, sambil memikirkan jawaban yang paling tepat untuk men
“Zavier, antar Aluna ke kamar kamu,” titah Ibu mertua menoleh pada Zavier lalu ganti menatapku sambil tersenyum hangat. “Kamu istirahat dulu, ya, Sayang. Besok baru kita ngobrol-ngobrol. Soalnya sudah malam.”Aku mengangguk pelan. Namun, seketika terkejut kala mengingat sesuatu.Bukankah Ibu mertua meminta Zavier mengantarku ke kamarnya? Jadi, apa maksudnya, malam ini aku tidur di sana? Berdua dengan pria itu? Astaga! Tidak, tidak! Tidak mungkin aku berbagi kasur dengannya. Bagaimana kalau dia macam-macam padaku?Aku tau tabiatnya Zavier yang resek. Bukankah, dia juga tidak suka miliknya disentuh orang lain?Aku tak bisa membayangkan kalau tidur di kasurnya, terus dia kesal, besok aku tinggal nama.Hanya saja, mau menolak, tetapi tak ada daya. Apalagi masih baru di rumah mertua, bahkan untuk sekadar bernapas saja sungkan. “Ayo, gue temani,” ajak Zavier.“Loh, kok, ngomongnya lo gue, sih? Aku kamu, do