Begitu malam tiba, aku duduk sambil memandangi laptop di meja belajarku. Memikirkan seseorang yang mungkin bisa membantuku mencari tahu lebih banyak tentang Alina, seperti saran Tama--sepupuku tadi siang. “Coba cari teman yang paling dekat dengan Alina dulu. Lo bisa dapat setidaknya informasi penting dari situ.”
“Astaga, gue baru di sini. Mana gue tau siapa yang paling dekat dengan Kak Alina?” Aku memijat-mijat kepala lalu mengusap-usap dagu. Sambil berpikir keras, aku menarik napas panjang dan membuangnya perlahan. Dan, seketika itu aku mengingat dua orang yang tadi mengaku sebagai sahabat Kak Alina. Sesaat, aku merasa senang, tetapi detik berikutnya, aku kembali cemberut. “Tapi, bagaimana kalau mereka cuma ngaku-ngaku?” Di tengah lamunanku itu, tiba-tiba ada ketukan dari pintu kamarku. Tanpa perlu mendapat izin dariku, pintu terbuka dan Bunda masuk sambil membawa segelas susu. “Aluna Sayang, kamu lagi apa?” tanyanya. “Eh, nggak ngapa-ngapain kok, Bun. Cuma lagi ... browsing tugas,” jawabku dengan senyum kaku yang mungkin lebih mirip senyum bebek. Bunda mendekat dan langsung meletakkan gelas susu di meja. “Oh, gitu. Gimana hari pertama sekolah di sini? Lancar?” tanyanya sambil memandangku dengan tatapan perhatian. Aku mengangkat bahu, mencoba terlihat santai. “Ya, baik-baik aja sih, Bun, tapi namanya siswa baru harus adaptasi dikit-dikit, lah.” Bunda tersenyum lembut seraya mengelus rambutku. “Syukurlah, tapi ingat ya, Bunda menyetujui kamu kembali ke Indonesia itu karena kamu janji nggak akan nakal kayak dulu. Jadi, jangan sampai bikin onar. Kalau kamu mulai bikin masalah, Bunda nggak akan ragu-ragu buat kembalikan kamu ke luar negeri.” Aku mendengus sambil memanyunkan bibir, rasanya ingin protes, tetapi apa daya? "Ih, Bunda .... Kok, diungkit-ungkit, sih? Kan waktu itu aku cuma sedikit ... kreatif aja.” Aku tertawa cengengesan, mencari pembelaan diri. Bunda langsung menatapku dengan tatapan yang lebih tajam dari gunting dapur. “Kreatif apanya? Bolos sekolah buat nonton konser dan hampir ketangkep satpam itu bukan kreatif, itu namanya nekat. Terus anak cowok ditonjok sampai pingsan, kamu bilang kreatif?” Aku tertawa kecut lalu mengangkat tangan seolah menyerah. “Iya, deh, Bunda. Aku janji bakal jadi anak baik.” “Tapi, maaf karena tidak untuk sekarang, Bunda. Aku memohon-mohon untuk dipulangkan ke Indonesia untuk membalas dendam kematian Kak Alina. Mungkin, jadi anak baiknya dipending dulu,” lanjutku dalam hati. Bunda tersenyum lagi, mengecup keningku sebelum keluar kamar. “Jangan lupa diminum susunya. Jangan sampai kamu dehidrasi gara-gara mikir cara bikin onar lagi,” godanya sambil menutup pintu. Aku menghela napas, kembali berpikir. Sepertinya, aku harus benar-benar hati-hati dengan rencanaku ini. Jangan sampai Bunda tahu soal rencana investasi amatirku. Keesokan harinya, gara-gara tidur terlalu larut, aku jadi ketiban apes. Bisa-bisanya terlambat bangun? Alarm yang biasa bunyi pukul lima subuh entah kenapa tidak berbunyi atau mungkin aku yang tak mendengar? Ah, ini juga, kenapa Bunda tak membangunkan? Dulu, bukannya ia doyan sekali membangunkanku yang masih ingin tidur. Katanya sudah pukul 6, padahal masih pukul 5. Aku sedikit panik, sangat tidak etis kalau seorang Aluna Permata Putri terlambat ke sekolah. Buru-buru aku mandi, memakai seragam, dan langsung berlari keluar kamar. “Luna, sarapan dulu, Nak!” titah Bunda saat melihatku berlari menuruni anak tangga. Di ruang makan itu, keluargaku sudah berkumpul, menikmati sarapan. “Gak usah, Bun. Udah telat,” balasku, dengan cepat menghampiri Bunda dan Papa, mencium tangannya takzim lantas cepat-cepat berlalu. “Kak, motor gue udah beres, kan?” tanyaku pada Kak Aidan. “Iya.” Aku mengacungkan ibu jari sambil tersenyum lebar padanya. Ah, kakakku itu memang paling bisa diandalkan. “Hati-hati!” teriak Bunda. “Jangan bikin rusuh di sekolah!” “Of course, Bunda!” Untungnya, aku sampai beberapa menit sebelum gerbang ditutup, tetapi tetap saja waktu yang tersisa sangat mepet. Dengan tas yang masih menggantung di satu bahu, aku berlari cepat menuju kelas. Langkah kaki yang terburu-buru membawaku melewati lorong sepi. Dan, sialnya di tikungan sempit menuju kelas, tiba-tiba tubuhku menghantam sesuatu yang keras. Bruk! Aku terhuyung ke belakang, hampir jatuh, tetapi berhasil menyeimbangkan diri. “Aduh!” seruku kesakitan, sambil memegang bahu yang terasa nyeri. Langsung mendongak, siap memaki orang yang menabrakku. Amarahku memuncak begitu melihat siapa yang berdiri di depanku? “Lo lagi?!” semburku menatap wajah Zavier yang tampak sama terkejutnya. “Gue yang harusnya bilang gitu!” balas Zavier dengan nada yang tidak kalah ketusnya. Dia memandangku dengan tatapan tajam, sorot matanya penuh amarah yang langsung mengingatkanku pada insiden saat dia membuat ban motorku kempes kemarin. Doyan sekali dia membuat masalah denganku. Baru saja ingin memaki, tetapi suaranya justru lebih dulu terdengar. “Lo, tuh, ya .... Emang hobi bikin masalah sama gue!” cecarnya. Aku mendengus, tanganku masih memijat bahu yang sakit. “Apaan? Gue cuma lari ke kelas karena telat, lo malah tiba-tiba nongol di jalan gue!” Dia menggelengkan kepalanya dengan wajah sinis. “Lo yang nabrak gue duluan, Alina! Makanya kalau jalan itu gak cuma kaki yang dipake, tapi mata juga!” Sial! Aku makin kesal. “Apa lo bilang? Justru hidup gue yang sial terus tiap ketemu lo tau, gak? Nabrak gue, lah. Ban motor gue kempes, lah. Mendingan mulai detik ini, lo jaga jarak dari gue! Gue nggak mau kena sial yang lebih parah dari ini.” Zavier mendekat sedikit, tatapannya seolah-olah menantangku. “Loh, nyalahin gue? Dan satu lagi, lo nyuruh jaga jarak? Hei, gue emang gak level dekat-dekat lo, Alina! Mending lo sana yang jaga jarak dari gue!” “Nyebelin banget lo!” Aku berusaha menahan diri agar tak meledak meskipun darahku sudah mendidih di dalam sana mendengar kata-katanya yang sederhana, tetapi menyakitkan. Kalau saja kami tidak berada di sekolah, aku pasti sudah menghantamnya. Kesal banget liat orang sombong sepertinya. Tidak level katanya, memang dia sudah di level apa? Palingan juga level berlindung di bawah ketek emak. Kali ini, aku memilih mengalah mengingat sudah tiba waktunya jam masuk kelas.Aku fokus mengikuti pelajaran meskipun sesekali mendapat gangguan dari setan di sebelahku. Zavier kerap diam-diam melemparku menggunakan gulungan kertas kecil. Dan, itu tak hanya dilakukan sekali dua kali, tetapi berlanjut di hari-hari berikutnya. Entah kenapa orang yang sangat menyebalkan seperti Zavier bisa-bisanya menjadi ketua kelas? Konyol sekali! Ketika jam istirahat tiba, aku memilih istirahat di belakang sekolah. Lumayan, di sana ada pohon jambu air yang buahnya banyak dan sudah matang. Maling sedikit, tidak apa-apa. Lagipula, kalau dibiarkan begitu saja nanti buahnya busuk. Jadi, mending aku makan saja, biar lebih berkah buat yang tanam. Kini, aku duduk pada salah satu cabang pohon sambil menggoyang-goyangkan kaki, memetik beberapa buahnya untuk kudiamkan di pangkuan. Sembari menikmati kedamaian ini, mataku tiba-tiba menangkap gerakan di bawah. Ada Zavier dan teman-temannya sedang berjalan melewati area itu. Tanpa pikir panjang, ide iseng langsung muncul di benakku
Aku menarik napas sambil berjalan menuju bangku kayu di belakang sekolah yang sepi. Larissa dan Maya masih mengikuti dari belakang, tatapan bingung mereka seperti dua anak hilang yang tidak tahu arah tujuannya? Aku duduk bersama Larissa, sementara Maya masih mondar-mandir di hadapan kami sambil mengusap-usap dagu. Sudah seperti Bu RT yang memikirkan cara agar kampungnya dapat bantuan pemerintah. Aku menatap mereka dengan serius sambil berpikir sejenak. Menurut pengamatanku kurang lebih sepekan sekolah di sini, sepertinya mereka berdua orang baik-baik. Tidak seperti si Zavier yang sangat mengesalkan. Maksudku, tidak ada salahnya menjadikan Maya dan Larissa sebagai teman. Mana tahu dengan begitu, aku bisa mendapatkan informasi lebih banyak lagi tentang Kak Alina seperti saran Tama. Dan, itu akan mempermudah misi pertamaku untuk mengetahui siapa-siapa saja yang pernah terlibat mengganggu saudara kembarku? “Bagaimana mungkin lo bukan Alina?” tanya Maya tak bisa menyembunyik
Wanita bertubuh sintal itu berjalan menghampiri kami membuat Zavier buru-buru berdiri, hendak kabur, tetapi tanganku lebih sigap bergerak menarik tasnya agar ia tak pergi begitu saja. Enak saja, setelah ada upaya bolos dari jam pelajaran, dia mau kabur seenaknya ketika ketahuan. Jangan mimpi! Dia mendengus sebal, dengan terpaksa berdiri menunduk begitu Bu Mila--guru BK sudah berada di hadapan kami. “Ngapain kalian di sini?” tanya wanita berhijab itu tegas. “Ini, Bu. Zavier mau bolos dari pelajaran Fisika,” kataku tanpa menyembunyikan apa pun. Biar tahu rasa si Zavier dihukum. Aku tak sabar ingin melihatnya hormat pada tiang bendera di bawah teriknya mentari di jam 9 pagi ini. Hahaha. Bu Mila mengembuskan napas berat. “Apa benar begitu, Zavier?” tanyanya ingin memastikan. Zavier menggeleng cepat. Berusaha membela dirinya. “Sebenarnya, e ... anu, saya, itu cuma ... eh, lagi ngetes Hukum Newton I, Bu. Katanya benda diam akan tetap diam kalau nggak ada yang ganggu, tapi
Aku memilih duduk di tangga taman sekolah sekitar lapangan futsal sambil merenggangkan otot-otot kaki yang ternyata pegal juga dihukum berdiri sampai jam istirahat. Ngeri sekali Bu Mila, tuh! Untung fisik aku kuat meskipun tak suka makan semen tiga roda, jadi tak sampai pingsan. “Kok bisa, sih, lo dihukum bareng Zavier? Bikin masalah apa lo, Lun?” tanya Maya yang kini sudah duduk di sebelahku. “Bukan suatu masalah sebenarnya. Bu Mila aja yang nggak paham sisi kreatif seseorang. Harusnya bersyukur, ada yang mau bikin sketsa cetar membahana di tembok sekolah tanpa digaji.” “Jangan bilang lo coret-coret tembok?” “Emang iya,” jawabku entang. “Astaga Aluna!” Maya menepuk jidat frustrasi. Kupilih tak memperpanjang pembahasan yang membuatku kesal sampai ubun-ubun itu. Ingat saja, aku akan membalas Zavier! Gara-gara dia mengadu ke Bu Mila, aku harus membuang malu pada tiang bendera. Sebab merasa bosan, aku mengambil novel dari tas dan membukanya perlahan sesekali mendengarkan Maya d
Aku menunduk diam sambil meremas jari-jari mendengarkan Bu Mila yang sedang menceramahiku habis-habisan. Ya, tadi setelah mengakui kepemilikan ular mainan itu pada Bu Sri yang menjadi korban keganasan benda tersebut, guru Fisika itu langsung membawaku ke ruang BK untuk di-konseling, padahal aku sudah setengah mati minta maaf, tetapi tidak termaafkan. Belum juga sebulan sekolah di sini, tetapi entah yang ke berapa kalinya aku keluar masuk ruang BK? “Aluna ... Aluna, kamu lagi. Kamu ini sebenarnya nge-fans sama Ibu atau gimana? Doyan sekali masuk ruang BK.” Bu Mila menggeleng berulang kali. Dia lalu bangkit dan berdiri di hadapanku. “Coba kamu jelaskan, apa motivasi kamu membawa ular mainan ke sekolah? Kamu merasa masih anak TK yang lagi lucu-lucunya segala mainan dikoleksi semua?” Suara Bu Mila terdengar tegas membuat suasana di ruangan yang sepi ini terasa cukup mencekam. Aku menelan ludah, berusaha menenangkan diri. Nyatanya, aku tidak punya motivasi apa-apa. Tadinya, aku mem
Gara-gara kemarin pulang dari sekolah hujan-hujanan, akhirnya sepanjang malam aku terkena demam tinggi. Badanku nyaris seperti dipanggang. Bunda sampai turun tangan untuk mengompres demamku walaupun dibarengi dengan omelan karena aku pulang dalam keadaan basah kunyup.Belum lagi dengan semua sendi dan otot terasa pegal-pegal sekarang, terutama di bagian punggung dan bokong, mungkin akibat insiden terjungkal ditabrak Zavier juga kemarin. Ditambah sebelum itu, bersih-bersih 4 WC sekolah sampai menjelang petang, lengkap sudah penderitaan hari itu.Untungnya pagi ini, demamku sudah sedikit turun meskipun masih terbaring lemas di tempat tidur, meringkuk sambil menarik selimut sampai dagu. Selang beberapa saat, suara langkah kaki terdengar dari luar, diikuti ketukan pelan di pintu kamar.“Masuk aja .…” Suaraku hampir tak terdengar, lemah.Kak Aidan dan Tama, yang sudah kubilang mereka itu seperti sepasang sepatu, ke mana-mana selalu
Aku menghentikan laju motor matic-ku dengan sekali rem halus, menatap lapangan parkir yang ternyata sudah penuh sesak. Mencari-cari tempat kosong hingga aku melihat satu ruang yang cukup luas. Tanpa pikir panjang, aku mengarah ke sana dan memarkirkan motor di tempat yang menurutku cukup nyaman untuk parkir. Helm kulepas lalu menyimpannya di spion sambil memperhatikan suasana sekitar. Tidak lama, deru mesin mobil berhenti tak jauh dari tempatku berdiri. Aku mendengar suara pintu mobil dibuka sedikit kasar, disusul langkah kaki yang makin mendekat. Begitu menoleh, seorang cowok tinggi sedang berjalan ke arahku dengan wajah merah padam. “Heh!” bentaknya, “ini tempat parkir gue!” “Kenapa lo parkir di situ, hah?” tanyanya penuh emosi. Aku berbalik, menatapnya dengan tenang, sama sekali tidak merasa terintimidasi oleh gertakannya dan gerak tubuh yang seolah-olah mengisyaratkan kalau ia paling berkuasa di sini. Aku belum mengatakan apa pun ketika dia yang justru tampak sedikit tersen
Setelah bel pulang berbunyi, aku bergegas ke parkiran. Namun, begitu mendekati bekas motor kesayangan Kak Alina yang sudah aku modifikasi sedikit, biar terlihat keren, tiba-tiba perasaan tidak enak langsung muncul. Ternyata ban belakang kempes. Mataku menyipit, mengingat tadi pagi bannya masih baik-baik saja. Tidak mungkin ada paku bertebaran di parkiran sekolah elit ini, ‘kan? Sebab, yang biasanya bertebaran itu janji manis pemilik kumis tipis. Kecuali, ada yang sengaja iseng. Ah, aku tahu! Pasti ini ulah si Zavier. Siapa lagi yang punya niat buruk padaku sejak tadi pagi kalau bukan dia? Memang resek itu orang. Aku menghela napas, mencoba meredam amarah, hingga terdengar tawa keras dari belakang. “Wah, kasian banget, bannya kempes, ya?” Suara Zavier terdengar jelas. Dia datang bersama dua orang temannya, mereka tertawa mengejek. Zavier menatapku dengan senyum puas di wajahnya. “Kayaknya ada yang gak bakal bisa pulang, nih?” Aku menggertakkan gigi, menahan diri agar