Share

Bab 3

Begitu malam tiba, aku duduk sambil memandangi laptop di meja belajarku. Memikirkan seseorang yang mungkin bisa membantuku mencari tahu lebih banyak tentang Alina, seperti saran Tama--sepupuku tadi siang. “Coba cari teman yang paling dekat dengan Alina dulu. Lo bisa dapat setidaknya informasi penting dari situ.”

“Astaga, gue baru di sini. Mana gue tau siapa yang paling dekat dengan Kak Alina?” Aku memijat-mijat kepala lalu mengusap-usap dagu.

Sambil berpikir keras, aku menarik napas panjang dan membuangnya perlahan. Dan, seketika itu aku mengingat dua orang yang tadi mengaku sebagai sahabat Kak Alina.

Sesaat, aku merasa senang, tetapi detik berikutnya, aku kembali cemberut. “Tapi, bagaimana kalau mereka cuma ngaku-ngaku?”

Di tengah lamunanku itu, tiba-tiba ada ketukan dari pintu kamarku.

Tanpa perlu mendapat izin dariku, pintu terbuka dan Bunda masuk sambil membawa segelas susu.

“Aluna Sayang, kamu lagi apa?” tanyanya.

“Eh, nggak ngapa-ngapain kok, Bun. Cuma lagi ... browsing tugas,” jawabku dengan senyum kaku yang mungkin lebih mirip senyum bebek.

Bunda mendekat dan langsung meletakkan gelas susu di meja. “Oh, gitu. Gimana hari pertama sekolah di sini? Lancar?” tanyanya sambil memandangku dengan tatapan perhatian.

Aku mengangkat bahu, mencoba terlihat santai. “Ya, baik-baik aja sih, Bun, tapi namanya siswa baru harus adaptasi dikit-dikit, lah.”

Bunda tersenyum lembut seraya mengelus rambutku. “Syukurlah, tapi ingat ya, Bunda menyetujui kamu kembali ke Indonesia itu karena kamu janji nggak akan nakal kayak dulu. Jadi, jangan sampai bikin onar. Kalau kamu mulai bikin masalah, Bunda nggak akan ragu-ragu buat kembalikan kamu ke luar negeri.”

Aku mendengus sambil memanyunkan bibir, rasanya ingin protes, tetapi apa daya?

"Ih, Bunda .... Kok, diungkit-ungkit, sih? Kan waktu itu aku cuma sedikit ... kreatif aja.” Aku tertawa cengengesan, mencari pembelaan diri.

Bunda langsung menatapku dengan tatapan yang lebih tajam dari gunting dapur. “Kreatif apanya? Bolos sekolah buat nonton konser dan hampir ketangkep satpam itu bukan kreatif, itu namanya nekat. Terus anak cowok ditonjok sampai pingsan, kamu bilang kreatif?”

Aku tertawa kecut lalu mengangkat tangan seolah menyerah. “Iya, deh, Bunda. Aku janji bakal jadi anak baik.”

“Tapi, maaf karena tidak untuk sekarang, Bunda. Aku memohon-mohon untuk dipulangkan ke Indonesia untuk membalas dendam kematian Kak Alina. Mungkin, jadi anak baiknya dipending dulu,” lanjutku dalam hati.

Bunda tersenyum lagi, mengecup keningku sebelum keluar kamar. “Jangan lupa diminum susunya. Jangan sampai kamu dehidrasi gara-gara mikir cara bikin onar lagi,” godanya sambil menutup pintu.

Aku menghela napas, kembali berpikir. Sepertinya, aku harus benar-benar hati-hati dengan rencanaku ini. Jangan sampai Bunda tahu soal rencana investasi amatirku.

Keesokan harinya, gara-gara tidur terlalu larut, aku jadi ketiban apes. Bisa-bisanya terlambat bangun? Alarm yang biasa bunyi pukul lima subuh entah kenapa tidak berbunyi atau mungkin aku yang tak mendengar?

Ah, ini juga, kenapa Bunda tak membangunkan? Dulu, bukannya ia doyan sekali membangunkanku yang masih ingin tidur. Katanya sudah pukul 6, padahal masih pukul 5.

Aku sedikit panik, sangat tidak etis kalau seorang Aluna Permata Putri terlambat ke sekolah.

Buru-buru aku mandi, memakai seragam, dan langsung berlari keluar kamar.

“Luna, sarapan dulu, Nak!” titah Bunda saat melihatku berlari menuruni anak tangga. Di ruang makan itu, keluargaku sudah berkumpul, menikmati sarapan.

“Gak usah, Bun. Udah telat,” balasku, dengan cepat menghampiri Bunda dan Papa, mencium tangannya takzim lantas cepat-cepat berlalu.

“Kak, motor gue udah beres, kan?” tanyaku pada Kak Aidan.

“Iya.”

Aku mengacungkan ibu jari sambil tersenyum lebar padanya. Ah, kakakku itu memang paling bisa diandalkan.

“Hati-hati!” teriak Bunda. “Jangan bikin rusuh di sekolah!”

“Of course, Bunda!”

Untungnya, aku sampai beberapa menit sebelum gerbang ditutup, tetapi tetap saja waktu yang tersisa sangat mepet. Dengan tas yang masih menggantung di satu bahu, aku berlari cepat menuju kelas.

Langkah kaki yang terburu-buru membawaku melewati lorong sepi. Dan, sialnya di tikungan sempit menuju kelas, tiba-tiba tubuhku menghantam sesuatu yang keras.

Bruk!

Aku terhuyung ke belakang, hampir jatuh, tetapi berhasil menyeimbangkan diri.

“Aduh!” seruku kesakitan, sambil memegang bahu yang terasa nyeri. Langsung mendongak, siap memaki orang yang menabrakku.

Amarahku memuncak begitu melihat siapa yang berdiri di depanku?

“Lo lagi?!” semburku menatap wajah Zavier yang tampak sama terkejutnya.

“Gue yang harusnya bilang gitu!” balas Zavier dengan nada yang tidak kalah ketusnya.

Dia memandangku dengan tatapan tajam, sorot matanya penuh amarah yang langsung mengingatkanku pada insiden saat dia membuat ban motorku kempes kemarin.

Doyan sekali dia membuat masalah denganku. Baru saja ingin memaki, tetapi suaranya justru lebih dulu terdengar.

“Lo, tuh, ya .... Emang hobi bikin masalah sama gue!” cecarnya.

Aku mendengus, tanganku masih memijat bahu yang sakit. “Apaan? Gue cuma lari ke kelas karena telat, lo malah tiba-tiba nongol di jalan gue!”

Dia menggelengkan kepalanya dengan wajah sinis. “Lo yang nabrak gue duluan, Alina! Makanya kalau jalan itu gak cuma kaki yang dipake, tapi mata juga!”

Sial!

Aku makin kesal. “Apa lo bilang? Justru hidup gue yang sial terus tiap ketemu lo tau, gak? Nabrak gue, lah. Ban motor gue kempes, lah. Mendingan mulai detik ini, lo jaga jarak dari gue! Gue nggak mau kena sial yang lebih parah dari ini.”

Zavier mendekat sedikit, tatapannya seolah-olah menantangku. “Loh, nyalahin gue? Dan satu lagi, lo nyuruh jaga jarak? Hei, gue emang gak level dekat-dekat lo, Alina! Mending lo sana yang jaga jarak dari gue!”

“Nyebelin banget lo!” Aku berusaha menahan diri agar tak meledak meskipun darahku sudah mendidih di dalam sana mendengar kata-katanya yang sederhana, tetapi menyakitkan.

Kalau saja kami tidak berada di sekolah, aku pasti sudah menghantamnya. Kesal banget liat orang sombong sepertinya.

Tidak level katanya, memang dia sudah di level apa? Palingan juga level berlindung di bawah ketek emak.

Kali ini, aku memilih mengalah mengingat sudah tiba waktunya jam masuk kelas.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status