KlingBalasan dari Qasam masuk. ‘Nanti kujemput. Kamu sudah sehat kan?’Qizha langsung tersenyum membaca chat itu. padahal isi chatnya tidaklah istimewa, tapi mendebarkan di jantungnya.Duh, suaminya Qizha kini telah berhasil membuat jantung Qizha jadi berdebar- debar penuh asmara.Jatuh cinta? Mungkinkah Qizha kembali kasmaran? Belum sempat Qizha membalas pesan, sudah terlihat di ujung kanan atas Qasam tengah mengetik.Baiklah, Qizha menunggu balasan masuk.‘Dokter menanganimu dengan sempurna. Kau adalah pasien spesial, jadi diprioritaskan. Makan yang banyak supaya cepat pulih, oke?’Lagi- lagi Qizha tersenyum simpul. Aneh, kenapa ia jadi sebahagia itu membaca pesan dari suami? Tentu saja. selama ini Qasam adalah sosok yang dingin dan kejam, tapi sekarang berubah. Pria itu menjadi sosok yang sangat menyenangkan.Baru saja Qizha mnegetik pesan, panggilan telepon sudah masuk duluan. Dari Qasam.“Yes!” Qizha tersenyum girang melihat nama Qasam menari di layar telepon mem
Mobil melaju di jalan raya. Qasam memutar musik slow, kedengaran romantis sekali. Qizha menikmati alunan musik yang terdengar syahdu.“Bapak mau berhenti di depan sebentar?” Qizha menoleh pada suaminya.“Ayolah, Qizha. Jangan panggil Bapak.”Qizha tersenyum. “Kenapa nggak mau dipanggil bapak? Bukankah suatu saat nanti kalau kita sudah punya anak, maka aku akan mnegajarinya memanggilmu bapak? Dan aku tentu memanggilmu demikian juga bukan? Lalu kamu akan memanggilku ibu.”“Oh… maksudmu, bapak pasangannya ibu, begitu?”“Iya. Aku rasa itu malah terkesan lebih intim.”“Tidak. Itu tidak menarik. Panggil yang lain saja. Urusan punya anak adalah belakangan. Terserah lusa anak akan panggil apa. tapi sekarang jangan panggil aku itu.” qasam menggelengkan kepala.“Baiklah, tapi berhentilah dulu sambil aku memikirkan panggilan apa yang tepat untukmu. Waduh, ini malah sudah kelewatan jauh. Kamu sih disuruh berhenti sejak tadi malah nggak mau.”“Kelewatan?”“Iya. Seblaknya sudah le
"Cobain deh!" Qizha menyodorkan sesendok seblak.Qasam menggeleng. "Tidak.""Kalau nggak cobain, pasti nggak akan tahu enak atau enggaknya. Aku bisa ketagihan makan di sini karena seblak di sini tuh beda sama seblak yang lain. Rasanya khas, pakai bumbu rempah- rempah asli pilihan, pakai udang dan sosis, telurnya tuh nggak amis. Pokoknya enak banget.""Kamu kenapa malah jadi seperti orang sedang iklan produk begitu?""Rasanya nggak plong aja kalau kamu nggak ikut ngerasain. Cobain dulu deh, sesuap aja nggak apa- apa." Qizha mendorongkan sendok ke mulut Qasam. Sedikit lirik ke kiri kanan, Qasam akhirnya membuka mulut dan menyantap seblak itu. Wah, enak sekali. Menggoyang lidah. Lezat. Sulit dijelaskan dengan kata- kata nilai kelezatannya yang mampu membuat isi mulut jadi nagih. "Gimana? Enak?" tanya Qizha dengan senyum.Qasam mengedikkan pundak santai. "Biasa saja." Ia gengsi kalau harus mengatakan makanan pinggiran jalan itu enak. "Wah, lidahmu agak lain kayaknya. Makanan seenak ini
Qizha dan Qasam memasuki rumah, beriringan. Qasam membawa Qizha pulang ke rumahnya, tak rela jika istrinya masih menempati kontrakan setelah kebenaran itu terungkap.Saat melewati ruang tamu, ia mendengar Husein tengah berdiri membelakangi, berteleponan.“Aku sudah berikan waktu dua hari. Dan ini adalah hari ketiga. Maka waktumu sudah habis. Kau harus ditangkap, Bily!” ucap Qasam via telepon.Seketika langkah Qizha terhenti mendengar pembicaraan itu. Bily ditangkap?Husein menyudahi pembicaraan. Dia menoleh dan mendapati Qasam dan Qizha berdiri di belakang. mereka bertukar pandang.“Pa, benarkah ayahku ditangkap?” lirih Qizha dengan tatapan sendu.“Ya. Dia bersalah dan harus mempertanggung jawabkan perbuatannya. bukan lantas ibumu meninggal lalu dia lepas dari kesalahan,” sahut Husein tegas.“Ya, aku tahu. Ayah memang harus mempertanggung jawabkan semua ini. tapi… dia ayahku.”“Kau sudah diperalat olehnya, dijadikan wayang untuk sebuah tindak kriminal, bahkan sudah banyak
Qizha kembali ke ruangan depan. Sina masih menangis. Bayi di gendongannya hanya diam dalam keadaan melek.“Qizha!”Suara dari arah belakang mengejutkan Qizha. Dia menoleh dan mendapati ayahnya berdiri di ambang pintu.Qizha menghambur mendekati ayahnya, demikian ayahnya yang juga melangkah masuk dan meraih pindak Qizha. “Ayah akan pergi!” ucap Bily dengan tatapan berembun. Qizha mengangguk. Tak tahu harus bersikap apa. Nyatanya ayahnya itu memang harus segera ditahan untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya itu. “Ayah yang kuat,” ucap Qizha.“Masihkah kau mendukung dan memberi motivasi kepadaku?”Qizha mengangguk.“Aku bukan ayah yang baik.”“Benar. Ayah memang bukan ayah yang baik. Ayah nggak bisa kasih contoh yang baik pula. Bahkan ayah itu nggak sayang sama aku. Tapi nggak akan ada yang mengubah status kalau ayah itu adalah ayahku. Tanpa ayah, aku juga nggak ada di dunia ini.”Bily menunduk, menyembunyikan air matanya yang telah menetes. Dia usap air mata itu, lalu kembali
“Selamat sore! Kami dari pihak kepolisian ingin bertemu dengan bapak Bily Alvaro,” sebut pria brseragam yang sepertinya adalah pimpinan rombongan.“Saya sendiri.” Bily dengan tegas melangkah maju. Dia tampak tenang dan sudah siap menghadapi kenyataan.“Bapak Bily. Anda ditangkap atas laporan dugaan persekongkolan pembunuhan. Kami membawa surat penangkapan.” Polisi itu memberikan sebuah amplop.Bily mengangguk tanpa membaca surat yang diserahkan. Dia sudah tahu semuanya.dia bahkan memajukan kedua tangannya, siap untuk diborgol.Ceklek.Suara kunci borgol terdengar menyakitkan telinga. Kedua tangan Bily benar- benar telah terikat oleh borgol besi. Bily menoleh, menatap Qizha. Manik matanya tak sedikit pun menoleh pada Sina.“Jaga dirimu baik- baik! berjanjilah untuk membahagiakan dirimu ! Jangan sampai kau kembali menderita. Cukup sudah penderitaanmu. Kau harus bahagia!” pesan Bily.Akhirnya air mata Qizha menetes juga. Melihat ayahnya digiring, Qizha sedih sekali. Beb
“Sedikit pun aku nggak melihat iktikad baikmu untuk meminta maaf, atau menyesali perbuatanmu itu!” ucap Qizha menatap adik tiri yang selama ini kerap menertawakan, menghina, bahkan menghujatnya.“Kak, aku memang selama ini selalu berbuat jahat sama kamu. tapi itu juga karena dukungan mama. Kalau mama nggak terus- terusan menjahatimu, tentu aku juga akan bersikap hal yang sama. Sikap mama yang jahat ke kamu, membuatku jadi ikut-ikutan berbuat jahat juga ke kakak,” sahut Sina membela diri.“Sina, kamu nggak bisa mengambil sikap dengan bergantung pada orang lain. Akhlakmu adalah kamu sendiri yang membentuk, bukan orang lain. Apakah ketika orang lain berdosa kamu juga akan ikut-ikutan berdosa? Apakah ketika orang lain membunuh, kamu juga akan ikut- ikutan membunuh?” tanya Qizha tegas.“Aku pasrah kok kalau Kak Qizha nggak mau bantuin aku. Mau bagaimana lagi? Aku udah berbuat jahat terus selama ini ke kakak. Pasti kakak juga nggak akan bersedia menolongku karena teringat semua kej
“Mas Qasam, aku tahu hatimu lembut. Aku akan turuti kamu.” Qizha mengangguk kepada Qasam. “Aku tahu mas Qasam bernurani. Bahkan kulihat mas Qasam sangat perhatian ke mama. Sina pun juga punya bayi, sama seperti kamu sewaktu kecil dulu. Kalau kamu di posisi sang bayi, pasti memelas kan?”Qasam memalingkan pandangan. Ia tampak kesal mendengar perkataan istrinya yang memancingnya untuk menurunkan ego. Berbicara kemanusiaan, Qasam pun lupa entah kemana separuh rasa kemanusiaan yang pernah ada dalam benaknya. Semenjak ia memendam dendam pada orang yang meracuni Qansha, semenjak itu pula jiwanya seperti tak tenang dan lebih sering merasa tega.Qasam menghela napas. Tatapannya kini tertuju ke bayi yang digendong oleh Sina. Bayi itu mulai merengek, menangis.Sina menimang- nimang, mengayun- ayunkan bayinya sambil menepuk- nepuk pantat si bayi. Sepertinya bayinya kepanasan.Melihat Sina yang masih bersedia mengurus anak dengan baik, Qasam pun mulai iba. Sina memang jahat, namun d
Qizha bermain dengan Zein di ruang main yang sengaja di desain khusus untuk anak bermain. Di sana lengkap ada berbagai macam jenis mainan, muali dari mobil-mobilan, bola, tempat mandi bola, perosotan, bahkan permainan untuk lompat-lompatan pun ada.Qizha mengawasi dari jarak beberapa meter, duduk sambil minum jus. Di sisinya ada Arini yang selalu stand by, memberikan apa saja keperluan Qizha.Si kecil mandi bila bersana dengan baby sitter yang tak pernah lepas dari posisi Zein kemana pun pergi. Qizha menatap layar ponselnya yang menunjuk tanggal dua belas, artinya tiga hari lagi Qasam pulang. Lama sekali rasanya menghitung hari. Serindu itu ternyata Qizha pada Qasam? Qizha malu jika mengingat dirinya yang nyaris seperti orang kasmaran dan jatuh cinta. Benda pipih itu kemudian berdering, nama Qasam tertera di layar. Qasam menelepon? Qizha tersenyum senang. Ia langsung menjawab telepon dan mengucap salam.“Kenapa sudah meneleponku? Kangen?” tanya Qizha.“Ha haa… tidak. Aku sama seka
Sudah tiga minggu Qasam pergi ke Jepang sejak terakhir kali Qizha mengantarnya ke bandara, pria itu belum kembali. Kemarin mengaku hanya akan perhi selama dua minggu, tapi ternyata sudah tiga minggu berlalu, Qasam belum kembali.Qizha mengerjakan aktivitas seperti biasanya, menghabiskan waktu dengan bermain bersama Zein, putra semata wayangnya. Kini, Zein sudah tumbuh makin besar. Usianya satu tahun. Di usia sembilan bulan, Zein sudah bisa berjalan. Sekarang, bocah itu sudah bisa berlari meski belum kencang.Qizha merindukan Qasam. Pria itu memang ngangenin. Sebentar tak ketemu, rasa rindu sudah sampai ke ubun- ubun. Sikap Qasam yang setahun belakangan terlihat memuliakan wanita, membuat Qizha merasa kalau Qasam itu seperti candu. Bayangkan saja, setiap saat, Qizha selalu saja mendapat kelembutan dan perhatian khusus dari suaminya. Lalu beberapa minggu, ia harus berpisah. Tentu saja ia rindu. Qizha baru saja meletakkan tubuh Zein ke kasur tidur khusus balita, berdekatan dengan kas
Baby sitter terlihat terampil ketika memandikan Zein, bayi yang baru berusia dua minggu. Qizha mengawasi di samping baby sitter. Selama ini, Qizha sendiri yang memandikan bayinya. Baru kali ini ia mengijinkan baby sitter memandikan bayinya, itu pun diawasi olehnya.“Kamu keliahtan terbiasa memandikan bayi,” komentar Qizha.“Iya, Non. Soalnya saya khusus mengurus bayi merah kan dulu sewaktu dip anti asuhan. Dan setelah masuk yayasan, saya juga jadi baby sitter,” sahut wanita yang usianya sekitar empat puluh limaan tahun itu.“Pantesan cekatan. Sini, biar aku yang pakaikan bajunya. Baju dan peralatan untuk si kecil sudah disiapkan?” Qizha mengambil alih bayinya setelah diangkat dari bak mandi.“Sudah, Non.” Qizha melangkah keluar dan segera memasang baju bayi yang sudah disediakan. Termasuk minyak kayu putih dan bedak juga sudah disediakan. Di kamar bayi itu, aroma minyam telon menguar, harum. Arini mendampingi Qizha. Dia bertugas untuk melayani Qizha. Sedangkan baby sit
Qasam membawa air hangat kuku dari pemanas air di sudut kamar sesuai permintaan Qizha dan menyerahkannya kepada istrinya itu. “Ayo minum!”Qasam membantu mendekatkan gelas ke bibir Qizha.“Aku bisa sendiri, Mas,” ucap Qizha dan mengambil alih gelas tersebut lalu meminumnya “Terima kasih, Mas.”Pandangan Qasam kemudian tertuju ke bayi kecil yang ada di samping Qizha. Pipinya tebem, kulitnya putih kemerahan. Hidungnya mancung. Menggemaskan dan lucu sekali. Ini adalah hari pertama Qizha dibawa pulang ke rumah setelah menjalani perawatan selama tiga hari di rumah sakit. Padahal sebenarnya di hari kedua Qizha sudah diijinkan pulang karena kondisinya sehat dan baik-baik saja, namun seperti biasa, Qasam melarang Qizha pulang dan dia diminta untuk dirawat di rumah sakit dengan pantauan dokter. Rumah sakit milik ayahnya, jadi mudah saja baginya mengatur kondisi di rumah sakit.Bahkan, kini Qasam meminta dokter keluarga untuk mengecek kondisi ibu dan bayi ke rumah di tiga hari perta
“Pinggangku sakit banget, Mas!” ucap Qizha sambil memegangi pinggang. Mulutnya meringis. Sebenarnya sudah sejak di perjalanan tadi Qizha merasakan ngilu, namun ia menahannya karena rasa ngilu itu datang dan hilang begitu saja. dia mengira hal itu biasa terjadi seiring kehamilannya yang semakin membesar.Namun, kini rasa ngilu itu makin parah, hampir setiap lima belas menit sekali muncul dan rasanya melilit sampai ke perut bagian bawah. Habiba memegang perut Qizha, rasanya keras menggumpal ke satu titik. Kemudian gumpalan keras itu bergerak menuju ke titik lain. Begitu seterusnya.“Ini Qizha sudah mau melahirkan. Ayo cepat bawa ke rumah sakit,” seru Habiba, membuat Qasam langsung gerak cepat menggendong tubuh Qizha dan membawanya ke mobil.Supir menyetir dnegan kelajuan tinggi mendengar suara ritihan Qizha di belakang. Qasam menggenggam tangan Qizha sambil terus mengatakan kata-kata motifasi.Qizha berkeringat, mukanya makin memucat, lemas sekali. Sesekali meringis menahan s
Semenjak Qizha tahu kalau Sina rujuk dengan Arsen, ia menjadi jauh lebih lega. Kini adiknya itu sudah ada yang menanggung jawabi. Hidupnya tidak lagi mengenaskan, Qizha pun tak perlu mencemaskan keadaannya lagi. Sina kini tinggal bersama sang suami. Setelah balitanya keluar dari rumah sakit, Sina mengunjungi rumah Qasam, menemui Qizha dan Qasam untuk mengucapkan rasa terima kasih. Arsen pun menunjukkan sikap layaknya sebagai saudara ipar. Qizha memberikan beberapa helai pakaian dan jilbab baru kepada Sina seperti yang dia janjikan. Qasam pun mulai membuka hati pada Sina. Dia tidak ketus lagi melihat sikap Sina yang jelas sudah jauh berubah. Penampilan Sina pun sudah tidak lusuh lagi seperti saat dia menjanda. Sepeninggalan Sina dan Arsen, tinggal lah Qizha dan Qasam yang duduk di ruang tamu berdua. “Mas, kamu udah nggak benci lagi sama Sina, kan?” tanya Qizha sambil.memegang tangan suaminya.“Tidak.” Tatapan Qasam tertuju pada mata bulat istrinya yang menggemaskan. “Dia seperti
Qizha menatap ekspresi wajah adik tirinya yang tak pernah dia lihat selama ini, wajah itu tampak jajh lebih menyedihkan, penuh penyesalan, dan tatapan iba. Ini adalah pemandangan pertama kalinya. Wajah Sina benar-benar tampak sangat mengenaskan. Bahkan tampilannya pun berbada, dia memakai kerudung untuk menutup auratnya. Apakah ini adalah awal bagi Sina untuk taubat? Dari mata adiknya, Qizha tidak melihat dendam dan tatapan kebencian seperti dulu. Setiap manusia memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri.Qizha meraih pundak Sina. “Bawa anakmu ke rumah sakit sekarang. Aku akan mengantarmu.”Sina mengangguk dengan senyum dan air matanya langsung berurai. “Iya, Kak. Makasih.”***Di rumah sakit itu, Qizha dan Sina duduk di depan balita yang terbujur dengan selang infus menusuk di kaki. Si kecil tidur pulas. Qizha didampingi oleh Arini, asisten rumah tangga yang satu itu tak diijinkan jauh dari Qizha. Selalu diminta Qasam untuk mendampingi Qizha. Wajah Sina yang tadinya murung, kini
“Mas, becandanya nggak lucu. Masak ngintip sih?” tanya Qizha yang tak terima suaminya mengucapkan kata-kata konyol tadi. “Ya, kalau aku lagi nganu sama kamu kan itu kepala bawah lagi ngintip ke dalam. He hee…” Qasam makin konyol. Ia kembali mengelus permukaan perut Qizha. Ia merasakan sensasi saat janin di dalam bergerak-gerak. “Dia bergerak. Setiap kali aku memancing dengan elusan, pasti dia bergerak-gerak.” Qasam tersenyum.“Iya, kalau ada pancingan dari luar, bayi kita pasti merespon. Dia tahu ada yang perhatian kepadanya.”“Tendangannya makin hari makin kuat.”“Namanya juga sudah sembilan bulan. Tinggal menunggu hari, ya tentu makin kuat dong.”“Hah? Sudah sembilan bulan?” Qasam kaget. “Cepat sekali rasanya? Aku bakalam punya anak nih sebentar lagi?”Qizha tersenyum. “Kamu kok jam segini udah pulang, Mas? Biasanya pulangnya agak malam atau lebih sore. Ini baru jam tiga sore loh.”“Aku kangen sama kamu, makanya cepet- cepet pulang.”“Sekarang sudah mulai bisa gombalin ya? Receh l
Tujuh bulan sudah berlalu. Kini Qizha menghabiskan waktu di rumah saja, menikmati kehamilannya yang sudah membuncit. Dia menghabsikan waktu dengan berjalan santai di sekitar rumah. Pemandangan di sekitar rumah besar yang dikelilingi pagar beton setinggi dua meter itu sangat asri. Ada banyak tanaman hijau yang menyejukkan mata, pancuran air pun ada. Qizha ditemani asisten rumah tangga yang setia mengikutinya. Menyediakan apa saja keperluannya. Ah, Qizha benar-benar merasa speerti ratu. Iya, diratukan oleh suaminya.Saat bosan, Qizha pergi ke salon. Menikmati creambath dan berbagai jenis perawatan lainnya.Qizha juga sesekali jalan-jalan ke mall untuk melihat-lihat suasana baru. Dikawal oleh asisten rumah tangga yang ditugaskan menemani. Namanya Arini, asisten rumah tangga yang sopan dan ramah. Dia melayani Qizha mulai dari A sampai Z. dia hafal kapan Qizha harus makan, minum susu, makan buah, dan minum jus. Dia juga mengambilkan handuk saat Qizha mau mandi, menyiapkan p