***"Pak Danendra nanti jam satu ada rapat lagi ya."Danendra yang baru saja berniat membuka pintu ruangannya lantas menoleh ke arah Susan setelah sekretarisnya itu mengatakan salah satu kegiatan yang harus Danendra lakukan siang nanti.Padahal, sekarang pun pria itu baru saja selesai menemui klien dari luar kota."Di mana? Saya lupa," tanya Danendra."Kebetulan di kantor ini, Pak. Sama Pak Adam juga kok.""Oh oke," kata Danendra. "Ingatkan saja lagi nanti, sekarang saya mau santai dulu.""Siap, Pak," jawab Susan patuh. "Kalau begitu saya permisi dulu ya.""Iya, silakan."Susan pergi, Danendra melanjutkan kegiatannya membuka pintu. Masuk ke dalam ruangan, yang dia tuju bukanlah kursi kerja, melainkan sofa yang kebetulan berada di sana."Capek," gumam Danendra setelah membaringkan tubuhnya lalu meletakkan kedua tangan di bawah kepala sebagai alas. "Adara lagi apa ya?"Memikirkan Adara, Danendra tiba-tiba saja merasa lapar. Makan siang bersama di restoran sekitar kantor mungkin bukan id
***"Pak Danendra, bangun, Pak. Udah jam satu kurang sepuluh menit."Danendra membuka matanya perlahan ketika suara perempuan terdengar dari arah samping. Mengerjap, dia menoleh lalu mendapati Susan tengah berdiri sambil membungkukan badannya."Susan.""Maaf lancang masuk tanpa izin, Pak. Tadi saya ketok pintu, tapi Papa enggak jawab," ucap Susan tak enak."Enggak apa-apa."Danendra perlahan mengubah posisinya menjadi duduk sambil mengumpulkan kesadaran, sementara Susan sudah kembali berdiri tegap sambil membawa sebuah berkas di dadanya.Lupa akan arloji yang dia pakai, Danendra memandang Susan."Jam berapa ini, Susan?""Jam satu kurang sepuluh menit, Pak," kata Susan."Jam satu?""Iya.""Adara." Satu nama itu langsung digumamkan Danendra setelah mengetahui jam berapa sekarang. Merogoh ponsel, dia berniat menghubungi Adara. Namun, sial benda pipih yang baru saja dia keluarkan dari saku celana ternyata mati.Lagi, Danendra lupa men-charge ponselnya."Kenapa, Pak?""Ah anu itu, ponsel s
***"Jadi maksudnya mulai hari ini istri saya akan ditahan?"Pertanyaan tersebut langcung diucapkan Danendra pada Pak Herbowo sesaat setelah pemeriksaan Adara akhirnya selesai.Semenjak kedatangannya tadi, Danendra memang meminta untuk menemani Adara menjalani pemeriksaan yang sebenarnya tinggal sedikit lagi."Iya, Pak. Mbak Adara resmi menjadi tahanan dan sampai proses sidang selesai, beliau akan kami tahan," ungkap Pak Herbowo."Enggak bisa gitu dong," bantah Danendra dengan segera. "Bapak tuli? Istri saya sudah jelas bilang, kalau dia bukan pelakunya, Pak. Lagipula Adara anaknya, jadi mana mungkin dia membunuh Papanya sendiri.""Pernyataan Mbak Adara sangat berbanding terbalik dengan bukti, Pak Danendra," kata Pak Herbowo. "Pada pisau, jelas ada sidik jari Mbak Adara di sana.""Itu karena saya cabut pisaunya, Pak," kata Adara yang entah sudah berapa puluh kali mengatakan hal tersebut, karena kenyataannya memang begitu.Adara tak melakukan apa-apa pada Ginanjar."Bapak dengar itu?"
***"Silakan masuk kembali Mbak Adara.""Terima kasih, Bu."Tak banyak melawan, Adara pasrah ketika polisi yang semula membawanya ke sebuah ruangan untuk mengganti baju, kini kembali mengantarnga kembali ke sel.Resmi menjadi tahanan, Adara tak lagi memakai pakaian bebas. Mulai hari ini dan entah sampai kapan, Adara mulai mengenakan baju biru tua—khas pesakitan.Sungguh, dalam hidupnya Adara tak pernah terbayang sama sekali akan berada di fase ini. Di penjara karena sesuatu yang tak pernah dia lakukan, nyatanya bukan sesuatu yang mudah.Namun, tentunya untuk sementara ini Adara tak bisa berbuat banyak selain mengikuti prosedur yang ada karena melawan dengan membantah semua tuduhan pun rasanya tak berguna.Semua bukti tertuju padanya. Sidik jari di pisau, kebencian Adara pada Ginanjar yang diduga menjadi motif, lalu tali tambang yang sialnya bersih dari sidik jari.Pelaku penusukkan Ginanjar jelas bukan orang sembarangan. Adara yakin pria berpakaian hitam yang saat itu dia lihat sudah
***"Adara harus bebas secepatnya."Sambil mengemudi, kata-kata itu terus dilontarkan Danendra yang kini melajukan mobilnya kembali menuju kantor.Usai memastikan Elara baik-baik saja bersama Teresa, Danendra memang memutuskan kembali ke perusahaan. Bukan untuk bekerja, tujuannya kini tentu saja menemui Adam untuk meminta bantuan.Alexander grup bukan perusahaan kecil. Relasinya di mana-mana. Bukan hanya dari kalangan pengusaha, relasi Alexander grup juga banyak berasal dari kalangan non pengusaha seperti; pegawai kejaksaan, polisi, juga pegawai pemerintahan lainnya.Dengan relasi yang dimiliki Adam, Danendra jelas menyimpan harapan pada sang Papa untuk membantu Adara bebas karena sekalipun semua bukti mengarah jelas pada sang istri, Danendra tetap tak percaya.Danendra yakin Adara tak segila itu—menghabisi Ginanjar. Meskipun sang istri pernah berkata akan membalas perbuatan Ginanjar pada Monica, tetap saja bagi Danendra terlalu imposible Adara berani melukai Papanya sendiri.Lagipula
***"Antar langsung ke rumah, Pak.""Baik, Pak Alfian."Supir perusahaan yang saat ini bertugas mengemudikan mobil Danendra lantas mengangguk ketika perintah tersebut diucapkan Alfian sesaat setelah membaringkan Danendra di jok belakang.Tak baik-baik saja, Danendra terlihat babak belur setelah terlibat perkelahian dengan Adam di ruangan kerja sang Papa. Tak ada yang menang, keduanya sama-sama mengalami luka di beberapa bagian wajahnya.Orang bilang marahnya anak penurut adalah sesuatu yang menyeramkan dan ternyata benar. Amarah Danendra yang langsung menyerang Adam nyatanya lebih besar dari amukan Aksa dan Danish pada Papanya itu.Seolah lupa status Adam di matanya, Danendra tanpa ragu melayangkan beberapa pukulan di wajah sang Papa bahkan dia pun sempat menendang Adam hingga terjatuh.Beruntung, Alfian yang ada di sana sigap memanggil pihak keamanan untuk memisahkan perkelahian ayah dan anak itu.Seumur hidup—lebih tepatnya semenjak dewasa, ini kali pertama Danendra mengamuk pada Ad
***"Titip Elara sama Danendra ya, Ma. Kalau ada apa-apa kasih tahu Dara.""Iya, Sayang. Mama pasti jangain El sama Danendra. Kamu juga baik-baik di sini ya.""Iya, Ma."Setelah hampir setengah jam duduk di depan Adara, Teresa akhirnya berpamitan seraya membawa paper bag berisi asi untuk Elara yang harus segera dia dinginkan di dalam prezeer.Hari ini, adalah hari kedua Adara menjadi pesakitan dan jika boleh jujur, dia sudah tak tahan. Adara ingin pulang karena tiba-tiba saja merasa rindu pada Danendra yang hari ini justru tak akan menjenguknya.Teresa bilang Danendra sedang disibukkan dengan pekerjaan kantor dan tentunya sampai malam nanti tak akan datang.Entah itu benar atau hanya sebuah kebohongan, Adara tak tahu karena ketika Teresa datang, yang dia lakukan adalah langsung memeras asinya untuk Elara di ruangan khusus.Sejak kemarin tak diberikan pada Elara, Adara mampu menghasilkan lima kantong asip dan dia rasa asinya cukup sampai besok untuk sang putri.Rasanya sedih ketika Ada
***"Aish, lemah banget!"Danendra mendesis setelah dia tak sengaja menjatuhkan gelas dari atas meja hingga jatuh terburai di atas lantai.Tangannya tremor juga badan yang terasa sakit membuat Danendra sulit berbuat apa-apa karena nyatanya ucapan Teresa pada Adara tentang Danendra yang sibuk dengan pekerjaan hanyalah sebuah kebohongan belaka.Danendra sakit. Begitulah kejadian yang sebenarnya. Usai berkelahi kemarin sore dengan Adam, malamnya Danendra tiba-tiba saja mengalami demam tinggi.Sebagai seorang istri juga ibu, Teresa lebih mementingkan Danendra. Alih-alih pulang kemarin untuk melihat keadaan Adam yang juga babak belur, Teresa memilih untuk tetap di rumah sang putra agar bisa merawat Danendra juga Elara yang saat ini lebih membutuhkannya."Dan, kamu kenapa?""Ma."Danendra mendongak—menatap Teresa yang baru saja datang ke kamar sambil membawa nampan berisi bubur juga segelas air putih.Tak membuat sendiri, bubur yang dia bawa berasal dari salah satu rumah makan sehat yang be