***"Titip Elara sama Danendra ya, Ma. Kalau ada apa-apa kasih tahu Dara.""Iya, Sayang. Mama pasti jangain El sama Danendra. Kamu juga baik-baik di sini ya.""Iya, Ma."Setelah hampir setengah jam duduk di depan Adara, Teresa akhirnya berpamitan seraya membawa paper bag berisi asi untuk Elara yang harus segera dia dinginkan di dalam prezeer.Hari ini, adalah hari kedua Adara menjadi pesakitan dan jika boleh jujur, dia sudah tak tahan. Adara ingin pulang karena tiba-tiba saja merasa rindu pada Danendra yang hari ini justru tak akan menjenguknya.Teresa bilang Danendra sedang disibukkan dengan pekerjaan kantor dan tentunya sampai malam nanti tak akan datang.Entah itu benar atau hanya sebuah kebohongan, Adara tak tahu karena ketika Teresa datang, yang dia lakukan adalah langsung memeras asinya untuk Elara di ruangan khusus.Sejak kemarin tak diberikan pada Elara, Adara mampu menghasilkan lima kantong asip dan dia rasa asinya cukup sampai besok untuk sang putri.Rasanya sedih ketika Ada
***"Aish, lemah banget!"Danendra mendesis setelah dia tak sengaja menjatuhkan gelas dari atas meja hingga jatuh terburai di atas lantai.Tangannya tremor juga badan yang terasa sakit membuat Danendra sulit berbuat apa-apa karena nyatanya ucapan Teresa pada Adara tentang Danendra yang sibuk dengan pekerjaan hanyalah sebuah kebohongan belaka.Danendra sakit. Begitulah kejadian yang sebenarnya. Usai berkelahi kemarin sore dengan Adam, malamnya Danendra tiba-tiba saja mengalami demam tinggi.Sebagai seorang istri juga ibu, Teresa lebih mementingkan Danendra. Alih-alih pulang kemarin untuk melihat keadaan Adam yang juga babak belur, Teresa memilih untuk tetap di rumah sang putra agar bisa merawat Danendra juga Elara yang saat ini lebih membutuhkannya."Dan, kamu kenapa?""Ma."Danendra mendongak—menatap Teresa yang baru saja datang ke kamar sambil membawa nampan berisi bubur juga segelas air putih.Tak membuat sendiri, bubur yang dia bawa berasal dari salah satu rumah makan sehat yang be
***"Danendra, please. Dengerin Mama ya, Nak."Danendra menggeleng. Masih dengan posisi kedua tangan berpeganga pada sandaran sofa, dia berusaha untuk kembali menyeimbangkan tubuhnya yang oleng karena rasa pusing yang mendera.Mendapat telepon dari kantor polisi tentang apa yang terjadi pada Adara, Danendra jelas dibuat kalang kabut. Mengabaikan kondisi tubuhnya yang sedang tak baik-baik saja, pria itu beringsut dari kamar lalu berlari menuruni tangga.Sialnya, tepat ketika sampai di ruang tengah, Danendra tiba-tiba saja hampir ambruk karena rasa sakit di kepala yang menderanya."Enggak, Ma. Danendra harus segera nemuin Dara buat pastiin dia baik-baik aja," ucap Danendra—masih dengan kepala menunduk, berharap rasa sakit yang sedang dia alami akan mereda."Mama aja yang pergi, Dan. Kamu di sini aja," pinta Teresa resah."Enggak, Ma," kata Danendra. "Danendra enggak akan bisa tenang sebelum pastiin sendiri gimana keadaan Adara.""Dan."Danendra mendongak lalu menatap sang mama yang berd
***"Ini seriusan kondisinya baik-baik aja?"Karena keraguannya dengan kondisi Adara, pertanyaan tersebut langsung diucapkan Danendra pada sang dokter yang saat ini tengah melepas selang infus di tangan Adara.Hasil ct scan keluar satu jam lalu, Adara dinyatakan baik-baik saja dan sekarang, setelah satu labu infus habis, Adara diizinkan untuk meninggalkan rumah sakit dan kembali ke sel tahanan."Iya, Pak. Kondisi pasien baik-baik saja," kata sang dokter menjelaskan. "Benturan di kepalanya ternyata tak sampai menimbulkan gejala gegar otak atau sesuatu yang berbahaya lainnya.""Tapi apa enggak bisa dibiarin dulu di sini semalam aja?" tanya Danendra. "Saya takutnya ada apa-apa.""Aku enggak kenapa-kenapa, Dan," ucap Adara—berusaha menenangkan Danendra agar suaminya itu tak terlalu khawatir padanya karena saat ini bukan hanya dia, kondisi Danendra pun harus diperhatikan."Tapi, Ra."Adara mengusap punggung tangan Danendra yang hangat. "Aku baik-baik aja, Dan. Serius," ucapnya.Danendra me
***"Mau pake car seat enggak, Ma?"Teresa baru masuk ke dalam mobil sambil menggendong Elara, pertanyaan tersebut langsung diucapkan Danendra pada sang Mama."Enggak usah, Mama gendong aja.""Elara berat.""Seberat-beratnya Elara, masih beratan kamu," celetuk Teresa—membuat Danendra terkekeh."Kalau itu jelas, Ma.""Makanya," ucap Teresa. "Udah enggak apa-apa, Elara biar Mama gendong aja. Sambil diajak main juga.""Asipnya udah dibawa?" tanya Danendra."Ada, Mama bawa dua botol susu," kata Teresa. "Yang satu biar disimpan di kulkas nanti.""Oh oke."Hari ini weekend alias sabtu pagi. Setelah kondisi Danendra membaik, pria itu mengajak sang mama pulang ke kediaman Alexander.Tujuannya tentu saja satu. Danendra ingin menemui Adam untuk meminta maaf sekaligus meminta tolong kembali untuk membebaskan Adara karena dia yakin sang Papa bisa melakukannya."Kamu beneran udah kuat nyetir, kan?" tanya Teresa memastikan, ketika perlahan mobil Danendra melaju meninggalkan rumah."Udah, Ma," kata
***"Keluarga besar Alexander tidak pernah mencurangi hukum. Jika benar, kami akan membela diri kami sendiri, tapi jika salah. Kami pun akan membiarkan polisi menindaklanjuti semuanya lalu menghukum kami yang melakukan kesalahan sesuai prosedur yang berlaku."Danendra mendesah ketika ungkapan itu kembali dilontarkan Adam. Dulu, dia sangat bangga dengan prinsip yang diterapkan keluarga besarnya itu.Namun, kini tentu saja Danendra ingin melanggar semuanya demi membebaskan Adara.Sebenarnya bukan melanggar, karena pada kenyataannya Adara tak bersalah. Yang membuat perempuan itu seolah benar-benar bersalah hanyalah kesalahpahaman bukti yang sialnya mengarah pada Adara sebagai pelaku."Kita enggak akan ngelanggar prinsip itu, Pa," ucap Danendra. "Karena kita bela yang benar. Adara enggak bersalah, dan dia harus dibela."Setelah mengungkapkan keinginanya pada Adam, Danendra langsung diajak mengobrol di ruang keluarga rumahnya di lantai atas.Tak hanya berdua, mereka ditemani Teresa yang te
"Maksud kamu apa?"Tak langsung menjawab, yang dilakukan Danendra sekarang adalah terus menatap Adam yang terlihat tak mengerti dengan ucapan sang putra."Maksud aku?" tanya Danendra. Dia kemudian beranjak. Tak lagi duduk di lantai, Danendra kembali mendudukkan dirinya di sofa begitupun Teresa yang ikut melakukan hal serupa."Aku mau kasih Papa dua pilihan.""Pilihan apa?" tanya Adam."Bebasin Adara atau aku akan pergi dari keluarga ini.""Pergi apa maksud kamu?" tanya Adam. "Jangan bicara yang aneh-aneh.""Dan mendingan sekarang kamu istirahat di kamar, kondisi kamu belum benar-benar pulih," ucap Teresa sambil merangkul bahu putranya itu sebelum Danendra berbicara yang macam-macam."Enggak, Ma. Danendra enggak mau istirahat. Danendra enggak butuh," ucap Danendra tanpa mengalihkan tatapannya dari Adam."Maksud kamu, kamu mau meninggalkan rumah ini dan nelepaskan nama Alexander?" tanya Adam."Iya," jawab Danendra tanpa ragu. "Punya nama Alexander pun ternyata enggak berguna. Aku enggak
***"Ke mana aja baru pulang?"Tepat ketika pintu rumah terbuka, Felicya langsung mengucapkan pertanyaan tersebut pada Rafly yang baru saja sampai beberama menit lalu.Tak lupa, Felicya memasang wajah judes agar Rafly merasa terdiskriminasi oleh raut wajah juga tatapan matanya yang tajam.Katanya pergaulan seseorang bisa mengubah kepribadian seseorang dan ternyata semua itu benar. Ketika bersama Danendra, Felicya selalu menjelma bak princess lemah lembut yang tak pernah marah-marah.Sedangkan bersama Rafly? Felicya lebih terlihat seperti istri yang galak juga tegas pada suaminya. Namun, tentu saja di balik sikap seperti itu ada secercah perhatian—terbukti ketika beberapa hari lalu Rafly sakit, Felicya merawat suaminya itu setulus hati."Suaminya baru pulang, bukan disambut pake sapaan ramah, malah disuguhin wajah judes," protes Rafly. "Tawarin minum kek, apa kek, malah diintrogasi.""Ya jawab dulu pertanyaan aku, kamu dari mana aja?" tanya Felicya. "Janji pulang jam tiga, ini udah jam
*** "Onty, Reano mana. Kok enggak kelihatan dari tadi?" Adara yang sedang menyapa para tamu seketika menoleh saat sebuah pertanyaan diucapkan seorang laki-laki muda yang malam ini tampan dengan kemeja navy bluenya. Danial. Yang baru saja bertanya pada Adara adalah Danial. "Eh, Nial. Rean kayanya masih di jalan." "Lho, enggak bareng?" "Mana maulah bareng sama Onty," kata Adara. "Dia kan jemput pacarnya." "Masih sama Lula?" "Masih." Danial tersenyum. "Awet juga ya, enggak kaya kakaknya." "Haha iya." "Ya udah, Nial gabung dulu sama yang lain ya Onty." "Iya, Nial." Malam ini adalah malam yang cukup membahagiakan bagi keluarga besar Alexander—khususnya keluarga Adam karena sebuah pesta tengah digelar di ballroom hotel berbintang di kota Jakarta. Bukan pertunangan atau pernikahan, pesta yang dirancang oleh anak-anak juga para menantu Adam itu adalah sebuah perayaan aniversary pernikahan Adam dan Teresa yang ke lima puluh delapan tahun. Cukup lama Adam menjalin
***"Duh siapa sih?"Masih dengan kedua mata terpejam, Alula mengulurkan tangannya—meraba-raba meja nakas di samping kasur untuk mencari ponsel yang saat ini berdering cukup nyaring.Entah siala yang menelepon, yang jelas Alula merasa sangat terganggu oleh bunyi dering ponselnya tersebut."Ketemu," gumam Alula ketika akhirnya dia menemukan apa yang dicarinya.Mengambil ponsel tersebut, perlahan Alula membuka matanya dan yang dia temukan di layar adalah nama Reano."Reano. Ngapain sih?"Beringsut, Alula mengubah posisinya menjadi duduk sebelum akhirnya menjawab panggilan dari Reano."Halo, Rean. Kenapa?" tanya Alula parau."Baru bangun?""Iya.""Dih, belum sholat dong?" tanya Reano."Emang ini jam berapa?" tanya Alula yang memang belum sempat melihat jam baik itu di ponsel mau pun di dinding kamar."Jam lima pagi," kata Reano. "Ke air gih sana, cuci muka, wudhu, terus sholat.""Iya.""Nanti jam enam aku ke kamar kamu," ungkap Reano—membuat Alula seketika mengerutkan keningnya."Mau nga
***"Jaga diri baik-baik di sana, awas jangan macam-macam.""Iya, Ma. Siap."Pukul delapan pagi, Reano sudah siap dengan penampilannya yang bisa dibilang cukup rapi. Membawa koper berwarna hitam berisi pakaian ganti, remaja yang satu bulan lalu baru saja genap delapan pelas tahun itu sudah tiba di bandara, diantar Adara juga Danendra.Tujuannya? Tentu saja Jerman. Memanfaatkan libur panjang sebelum masuk kuliah, Reano memang meminta izin pada kedua orang tuanya untuk pergi ke Jerman menemui Nara.Tak sendiri, Reano pergi bersama Alula yang memang ingin menghabiskan waktu liburan di luar negeri.Berhubung kedua orang tuanya sibuk, Alula memutuskan untuk ikut bersama Reano yang sejauh ini bisa dipercaya menjaga putri bungsu seorang Arkananta itu."Jangan macam-macam kalian di sana. Ingat, pisah kamar," kata Aludra memperingatkan."Iya, Mama. Masa satu kamar?" tanya Alula. "Lagian uncle Danen kan udah pesenin dua kamar buat aku sama Reano.""Tenang aja, Ra. Aku udah pesenin kamar yang be
***'Hati-hati di jalan.'Elara yang baru saja memasukkan beberapa baju ke dalam tas seketika mengukir senyumannya ketika sebuah pesan yang bisa dibilang cukup romantis masuk ke ponselnya—membuat dia terbang ke angkasa dengan perasaan yang berbunga-bunga.Bukan dari orang sembarangan, pesan tersebut berasal dari Regan yang memberikan peringatan pada Elara karena sore ini gadis itu akan berangkat menuju Bandung untuk menginap di rumah Aksa selama dua malam.Alasannya? Tentu saja Elara ingin menemui Regan yang satu minggu lalu resmi menjadi pacarnya.Dicomblangkan oleh Respati lalu saling mengenal via virtual selama sebulan lebih, Elara dan Regan sepertinya memiliki banyak kecocokan lalu pada akhirnya memutuskan untuk menjalin hubungan setelah Regan menyatakan cintanya lebih dulu seminggu yang lalu.Regan memang jarang bicara bahkan terkesan dingin, tapi di dekat orang yang membuatnya nyaman, Regan kadang berubah seratus delapan puluh derajat dan bagi Elara, Regan ternyata cukup menyena
***"Oke, istirahat dulu aja ya.""Siap, Kak!"Menyimpan semua peralatan yang ada, para siswa juga siswi yang siang ini memakai pakaian olahraga lantas membubarkan diri lalu berjalan ke pinggir lapangan pun dengan siswi yang kini melangkah untuk menghampiri seseorang di bangku pinggir lapangan."Kamu kalau bosen, pulang aja."Istirahat dari latihannya, Alula langsung menghampiri Reano yang sejak tadi setia menunggu sambil bersandar pada tembok.Sejak masuk di SMA yang sama Alula dan Reano bisa dibilang cukup dekat—lebih tepatnya sengaja didekatkan oleh Adara yang memang menginginkan Reano lupa dengan perasaannya pada Nara.Setiap pagi juga siang setelah pulang sekolah, Reano diwajibkan menjemput dan mengantar Alula ke rumahnya bersama supir karena memang usia yang belum tujuh belas tahun membuat Reano belum diizinkan memakai kendaraan sendiri.Reano sebenarnya sudah beberapa kali menolak karena memang didekatkan paksa seperti ini membuatnya tak nyaman.Namun, sederet ancaman penyitaan
***"Reres, kamu ngapain ke sini?"Keluar dari pintu gerbang sekolah, Elara mengerutkan kening ketika mendapati seorang siswa laki-laki dengan seragam yang berbeda dengannya tengah berdiri sambil mengukir senyuman.Respati.Bukan pacar atau gebetan, siswa laki-laki yang kini tengah bersandar di pintu mobil sedan hitam adalah sepupu Elara—anak dari saudara Danendra."Hai, Kak El," sapa Respati sambil mengangkat telapak tangannya. "Apa kabar?""Baik," kata Elara apa adanya. "Kamu apa kabar?""Baik juga," ucap Respati."Kamu ngapain ke sekolahan aku? Ada urusan apa gimana?" tanya Elara."Iya ada urusan sama Kak El," ucap Respati—membuat Elara seketika mengerutkan keningnya."Urusan apa?""Hm." Respati bergumam pelan, sementara wajahnya terlihat menunjukkan sebuah keraguan. "Mau minta bantuan sih, Kak?""Bantuan apa?"Respati menggaruk tengkuknya yang bahkan tak gatal sama sekali."Res?""Ah iya, Kak. Bantuan apa sih?" tanya Elara. "Ngomong aja. Enggak usah ragu.""Hm, nanti malam Kakak s
***"Baik-baik di sekolah. Jangan banyak tingkah."Sambil mengoleskan selai ke roti, ucapan tersebut dilontarkan Adara pada Reano yang saat ini baru saja duduk di meja makan.Setelah dua minggu liburan berlangsung, tahun ajaran baru akhirnya tiba dan hari ini Reano akan memulai kegiatan sekolahnya di SMA.Sesuai perintah, mau tak mau Reano menurut untuk bersekolah di SMAN 8. Padahal, sudah sejak jauh-jauh hari remaja itu menginginkan sekolah di SMAN 34 karena memang hampir semua teman dekatnya bersekolah di sana."Mau joged di tengah lapangan," celetuk Reano."Apaan sih? Kalau dikasih tahu itu jawab yang benar. Bukan kaya gitu."Elara yang baru saja siap, lantas menoyor kepala adiknya itu dengan tangan kanan sementara tangan kirinya menarik kursi untuk duduk."Kamu juga apaan? Kepala itu sensitif. Enggak usah pake noyor," ketus Reano tak suka.Berbeda dengan kebanyakan siswa yang biasanya bahagia ketika masuk di sekolah baru, Reano justru sebaliknya.Selain karena sekolah yang dia tem
***"Kamu kenapa?"Menghampiri Adara di pinggir kolam, Danendra langsung mengucapkan pertanyaan tersebut setelah beberapa menit lalu terus memperhatikan sang istri yang sepertinya sedang memikirkan sesuatu."Dan. Kamu di sini.""Orang-orang di dalam, kamu kok di luar?" tanya Danendra. "Lagi mikirin apa sih, hm?""Reano," kata Adara.Danendra mengerutkan keningnya. Dia yang datang membawa segelas air putih lantas menarik kursi lalu duduk di depan Adara."Apa yang kamu pikirkan tentang Reano?" tanya Danendra."Kamu lupa sama apa yang dia omongin tadi di mobil?" tanya Adara. "Reano bilang dia cinta sama Nara, Dan.""Terus masalahnya di mana?""Kok kamu nanya gitu, Danen?" tanya Adara tak suka. "Ya enggak bolehlah! Reano sama Nara itu saudara. Mereka enggak boleh saling mencintai lebih dari sekadar saudara.""Tapi kan bukan kandung," ucap Danendra. "Dalam segi agama ataupun negara, mereka sah-sah aja kalau mau punya hubungan.""Enggak!" pungkas Adara. "Sampai kapan pun aku enggak akan res
***"Males ikut, Ma."Mendengar ucapan tersebut, Adara menoleh seketika lalu memandang putranya sambil menaikkan sebelah alis."Males ikut apa?""Rean malas ikut ke Bandung."Pagi ini—seminggu setelah kepergian Nara ke Jerman, keluarga Adara akan bertolak menuju Bandung, menghadiri undangan yang diberikan keluarga Aksa.Bukan pesta besar, di Bandung sana Aksa hanya merayakan syukuran atas kelulusan putri angkatnya Aileen di salah satu universitas terbaik di kota Bandung dengan nilai yang juga tentunya sangat baik.Tak hanya Danendra dan keluarga, nantinya Adam juga Teresa pun akan datang bersama supir lalu Danish juga terbang dari Surabaya bersama keluarganya."Kenapa?" tanya Adara.Tak tahu tentang yang terjadi pada Nara, Adara memang mulai bersikap biasa kembali. Perempuan itu mencoba menghibur diri dari rasa sedih kehilangan Nara karena tentunya dia berpikir sang putri tak akan lama pergi.Berbeda dengan Adara yang berusaha menghibur diri, Reano justru seperti orang tak bersemangat