***"Mau pake car seat enggak, Ma?"Teresa baru masuk ke dalam mobil sambil menggendong Elara, pertanyaan tersebut langsung diucapkan Danendra pada sang Mama."Enggak usah, Mama gendong aja.""Elara berat.""Seberat-beratnya Elara, masih beratan kamu," celetuk Teresa—membuat Danendra terkekeh."Kalau itu jelas, Ma.""Makanya," ucap Teresa. "Udah enggak apa-apa, Elara biar Mama gendong aja. Sambil diajak main juga.""Asipnya udah dibawa?" tanya Danendra."Ada, Mama bawa dua botol susu," kata Teresa. "Yang satu biar disimpan di kulkas nanti.""Oh oke."Hari ini weekend alias sabtu pagi. Setelah kondisi Danendra membaik, pria itu mengajak sang mama pulang ke kediaman Alexander.Tujuannya tentu saja satu. Danendra ingin menemui Adam untuk meminta maaf sekaligus meminta tolong kembali untuk membebaskan Adara karena dia yakin sang Papa bisa melakukannya."Kamu beneran udah kuat nyetir, kan?" tanya Teresa memastikan, ketika perlahan mobil Danendra melaju meninggalkan rumah."Udah, Ma," kata
***"Keluarga besar Alexander tidak pernah mencurangi hukum. Jika benar, kami akan membela diri kami sendiri, tapi jika salah. Kami pun akan membiarkan polisi menindaklanjuti semuanya lalu menghukum kami yang melakukan kesalahan sesuai prosedur yang berlaku."Danendra mendesah ketika ungkapan itu kembali dilontarkan Adam. Dulu, dia sangat bangga dengan prinsip yang diterapkan keluarga besarnya itu.Namun, kini tentu saja Danendra ingin melanggar semuanya demi membebaskan Adara.Sebenarnya bukan melanggar, karena pada kenyataannya Adara tak bersalah. Yang membuat perempuan itu seolah benar-benar bersalah hanyalah kesalahpahaman bukti yang sialnya mengarah pada Adara sebagai pelaku."Kita enggak akan ngelanggar prinsip itu, Pa," ucap Danendra. "Karena kita bela yang benar. Adara enggak bersalah, dan dia harus dibela."Setelah mengungkapkan keinginanya pada Adam, Danendra langsung diajak mengobrol di ruang keluarga rumahnya di lantai atas.Tak hanya berdua, mereka ditemani Teresa yang te
"Maksud kamu apa?"Tak langsung menjawab, yang dilakukan Danendra sekarang adalah terus menatap Adam yang terlihat tak mengerti dengan ucapan sang putra."Maksud aku?" tanya Danendra. Dia kemudian beranjak. Tak lagi duduk di lantai, Danendra kembali mendudukkan dirinya di sofa begitupun Teresa yang ikut melakukan hal serupa."Aku mau kasih Papa dua pilihan.""Pilihan apa?" tanya Adam."Bebasin Adara atau aku akan pergi dari keluarga ini.""Pergi apa maksud kamu?" tanya Adam. "Jangan bicara yang aneh-aneh.""Dan mendingan sekarang kamu istirahat di kamar, kondisi kamu belum benar-benar pulih," ucap Teresa sambil merangkul bahu putranya itu sebelum Danendra berbicara yang macam-macam."Enggak, Ma. Danendra enggak mau istirahat. Danendra enggak butuh," ucap Danendra tanpa mengalihkan tatapannya dari Adam."Maksud kamu, kamu mau meninggalkan rumah ini dan nelepaskan nama Alexander?" tanya Adam."Iya," jawab Danendra tanpa ragu. "Punya nama Alexander pun ternyata enggak berguna. Aku enggak
***"Ke mana aja baru pulang?"Tepat ketika pintu rumah terbuka, Felicya langsung mengucapkan pertanyaan tersebut pada Rafly yang baru saja sampai beberama menit lalu.Tak lupa, Felicya memasang wajah judes agar Rafly merasa terdiskriminasi oleh raut wajah juga tatapan matanya yang tajam.Katanya pergaulan seseorang bisa mengubah kepribadian seseorang dan ternyata semua itu benar. Ketika bersama Danendra, Felicya selalu menjelma bak princess lemah lembut yang tak pernah marah-marah.Sedangkan bersama Rafly? Felicya lebih terlihat seperti istri yang galak juga tegas pada suaminya. Namun, tentu saja di balik sikap seperti itu ada secercah perhatian—terbukti ketika beberapa hari lalu Rafly sakit, Felicya merawat suaminya itu setulus hati."Suaminya baru pulang, bukan disambut pake sapaan ramah, malah disuguhin wajah judes," protes Rafly. "Tawarin minum kek, apa kek, malah diintrogasi.""Ya jawab dulu pertanyaan aku, kamu dari mana aja?" tanya Felicya. "Janji pulang jam tiga, ini udah jam
***"Capek ya."Adara yang baru saja duduk di sebuah bangku panjang lantas tersenyum mendengar keluhan Sari juga Maria setelah keduanya menyelesaikan tugas mereka.Hari minggu pagi adalah hari berkegiatan untuk para penghuni lapas. Semua yang ada di sana diajak bekerja bakti untuk membersihkan halaman belakang kantor polisi yang memang rutin dirawat setiap satu bulan sekali.Tak ada yang dibedakan, semua tahanan di sana diperlakukan sama rata oleh para petugas yang sigap mengawasi semuanya."Minum dulu," kata Adara sambil memberikan sebotol air putih pada Sari."Makasih," ucap Sari."Sama-sama."Hampir seminggu ditahan, Adara mulai membiasakan diri—lebih tepatnya tak lagi meratapi nasib malang yang menimpanya.Dia memilih untuk menghibur diri agar suasana hatinya tak terlalu buruk karena memang suasana hati ibu menyusui harus selalu bagus agar asi yang dihasilkan pun punya kulalitas bagus."Suami lo ke sini enggak hari ini?" tanya Maria di sela-sela istri mereka.Yura kembali dipindah
***"Kenapa enggak jujur aja sama Dara?"Danendra yang baru saja melangkah meninggalkan ruang tamu untuk mengambil minum, seketika menoleh pada pria yang saat ini duduk bersandar pada sofa."Jujur apa?" tanya Danendra."Tentang kamu yang ninggalin keluarga Alexander.""Oh." Danendra menjawab singkat. "Enggak."Pria di sofa yang tak lain adalah Aksa itu menghembuskan napas kasar. "Iya tau, enggak," ucapnya. "Kenapa? Bukannya sama istri itu harus jujur?""Aku enggak mau membebani Adara," kata Danendra. "Enggak lihat? Badannya kurusan. Kalau dia tahu, bisa makin kurus."Bertemu di penjara setelah Aksa yang baru datang ke Jakarta kemarin, menjenguk Adara. Danendra memang langsung meminta kakaknya itu untuk tak bercerita tentang kepergian bahkan niatnya pergi dari keluarga Alexander pada Adara.Aksa menurut. Di penjara tadi mereka hanya mengobrol santai hingga ketika jam besuk berakhir, Aksa meminta untuk ikut ke apartemen.Awalnya Danendra yang memang sedang tak mau berurusan dengan kelua
***"Siapa, Dan?"Danendra menoleh lalu memandang Aksa yang memandangnya dari sofa. Tak langsung menjawab, yang dilakukan Danendra justru balas menatap sang kakak sebelum akhirnya kembali memandang intercom."Dan, siapa?" tanya Aksa sekali lagi."Sebentar," kata Danendra yang saat ini justru mendekatkan wajahnya ke intercom sambil mengernyit—memastikan siapa yang sebenarnya berdiri di depan pintu apartemen."Itu anak ditanya," celetuk Aksa. Tak bisa lagi bertahan dengan rasa penasaran, dia akhirnya beranjak lalu menghampiri Danendra agar bisa tahu siapa yang datang. "Astaga, Dan. Itu ojek oneline.""Sebentar, biar dipastiin dulu," kata Danendra. "Bisa aja itu orang suruhan Papa.""Bukan suruhan Papa, itu suruhan Kakak."Danendra menoleh. "Maksudnya?""Kakak lupa, tadi di jalan Kakak lapar terus pesan ayam dan alamatnya yang ini," ungkap Aksa."Serius?" tanya Danendra ragu. "Bukan pura-pura, kan? Maksudku, ini bukan akal-akalan, kan?""Bukan," ucap Aksa. "Buruan buka, Kakak lapar. Kita
***"Mbak Adara ada yang ingin menjenguk."Adara yang sedang merapikan kasur lantai tempatnya dan Maria juga Sari tidur seketika langsung menoleh ketika seorang polisi wanita datang ke sel."Siapa, Bu?" tanya Adara."Kurang tahu, Mbak. Saya tidak tanya tadi," kata polisi tersebut. "Tamunya hanya bilang ingin bertemu dengan Ibu.""Orang kaya emang beda ya, dijenguk terus," celoteh Maria."Tadi pagi suaminya, sekarang siapa lagi coba?" tanya Sari."Enggak tau," kata Maria. Dia kemudian melirik Adara yang masih duduk di tempatnya. "Kira-kira siapa, Ra?""Aku juga enggak tahu," kata Adara. Setelahnya dia beranjak lalu menghampiri polisi yang menunggu di dekat pintu sel yang terbuka. "Tamunya perempuan apa laki-laki, Bu?""Perempuan," kata polisi tersebut."Oh siapa ya," gumam Adara.Setelahnya, dia mengikuti polisi yang langsung berjalan menuju ruangan tempat membesuk. Adara pikir yang datang sore ini pasti Teresa.Namun, dugaannya salah karena ternyata yang menjenguknya adalah seorang pe