***"Danendra, please. Dengerin Mama ya, Nak."Danendra menggeleng. Masih dengan posisi kedua tangan berpeganga pada sandaran sofa, dia berusaha untuk kembali menyeimbangkan tubuhnya yang oleng karena rasa pusing yang mendera.Mendapat telepon dari kantor polisi tentang apa yang terjadi pada Adara, Danendra jelas dibuat kalang kabut. Mengabaikan kondisi tubuhnya yang sedang tak baik-baik saja, pria itu beringsut dari kamar lalu berlari menuruni tangga.Sialnya, tepat ketika sampai di ruang tengah, Danendra tiba-tiba saja hampir ambruk karena rasa sakit di kepala yang menderanya."Enggak, Ma. Danendra harus segera nemuin Dara buat pastiin dia baik-baik aja," ucap Danendra—masih dengan kepala menunduk, berharap rasa sakit yang sedang dia alami akan mereda."Mama aja yang pergi, Dan. Kamu di sini aja," pinta Teresa resah."Enggak, Ma," kata Danendra. "Danendra enggak akan bisa tenang sebelum pastiin sendiri gimana keadaan Adara.""Dan."Danendra mendongak lalu menatap sang mama yang berd
***"Ini seriusan kondisinya baik-baik aja?"Karena keraguannya dengan kondisi Adara, pertanyaan tersebut langsung diucapkan Danendra pada sang dokter yang saat ini tengah melepas selang infus di tangan Adara.Hasil ct scan keluar satu jam lalu, Adara dinyatakan baik-baik saja dan sekarang, setelah satu labu infus habis, Adara diizinkan untuk meninggalkan rumah sakit dan kembali ke sel tahanan."Iya, Pak. Kondisi pasien baik-baik saja," kata sang dokter menjelaskan. "Benturan di kepalanya ternyata tak sampai menimbulkan gejala gegar otak atau sesuatu yang berbahaya lainnya.""Tapi apa enggak bisa dibiarin dulu di sini semalam aja?" tanya Danendra. "Saya takutnya ada apa-apa.""Aku enggak kenapa-kenapa, Dan," ucap Adara—berusaha menenangkan Danendra agar suaminya itu tak terlalu khawatir padanya karena saat ini bukan hanya dia, kondisi Danendra pun harus diperhatikan."Tapi, Ra."Adara mengusap punggung tangan Danendra yang hangat. "Aku baik-baik aja, Dan. Serius," ucapnya.Danendra me
***"Mau pake car seat enggak, Ma?"Teresa baru masuk ke dalam mobil sambil menggendong Elara, pertanyaan tersebut langsung diucapkan Danendra pada sang Mama."Enggak usah, Mama gendong aja.""Elara berat.""Seberat-beratnya Elara, masih beratan kamu," celetuk Teresa—membuat Danendra terkekeh."Kalau itu jelas, Ma.""Makanya," ucap Teresa. "Udah enggak apa-apa, Elara biar Mama gendong aja. Sambil diajak main juga.""Asipnya udah dibawa?" tanya Danendra."Ada, Mama bawa dua botol susu," kata Teresa. "Yang satu biar disimpan di kulkas nanti.""Oh oke."Hari ini weekend alias sabtu pagi. Setelah kondisi Danendra membaik, pria itu mengajak sang mama pulang ke kediaman Alexander.Tujuannya tentu saja satu. Danendra ingin menemui Adam untuk meminta maaf sekaligus meminta tolong kembali untuk membebaskan Adara karena dia yakin sang Papa bisa melakukannya."Kamu beneran udah kuat nyetir, kan?" tanya Teresa memastikan, ketika perlahan mobil Danendra melaju meninggalkan rumah."Udah, Ma," kata
***"Keluarga besar Alexander tidak pernah mencurangi hukum. Jika benar, kami akan membela diri kami sendiri, tapi jika salah. Kami pun akan membiarkan polisi menindaklanjuti semuanya lalu menghukum kami yang melakukan kesalahan sesuai prosedur yang berlaku."Danendra mendesah ketika ungkapan itu kembali dilontarkan Adam. Dulu, dia sangat bangga dengan prinsip yang diterapkan keluarga besarnya itu.Namun, kini tentu saja Danendra ingin melanggar semuanya demi membebaskan Adara.Sebenarnya bukan melanggar, karena pada kenyataannya Adara tak bersalah. Yang membuat perempuan itu seolah benar-benar bersalah hanyalah kesalahpahaman bukti yang sialnya mengarah pada Adara sebagai pelaku."Kita enggak akan ngelanggar prinsip itu, Pa," ucap Danendra. "Karena kita bela yang benar. Adara enggak bersalah, dan dia harus dibela."Setelah mengungkapkan keinginanya pada Adam, Danendra langsung diajak mengobrol di ruang keluarga rumahnya di lantai atas.Tak hanya berdua, mereka ditemani Teresa yang te
"Maksud kamu apa?"Tak langsung menjawab, yang dilakukan Danendra sekarang adalah terus menatap Adam yang terlihat tak mengerti dengan ucapan sang putra."Maksud aku?" tanya Danendra. Dia kemudian beranjak. Tak lagi duduk di lantai, Danendra kembali mendudukkan dirinya di sofa begitupun Teresa yang ikut melakukan hal serupa."Aku mau kasih Papa dua pilihan.""Pilihan apa?" tanya Adam."Bebasin Adara atau aku akan pergi dari keluarga ini.""Pergi apa maksud kamu?" tanya Adam. "Jangan bicara yang aneh-aneh.""Dan mendingan sekarang kamu istirahat di kamar, kondisi kamu belum benar-benar pulih," ucap Teresa sambil merangkul bahu putranya itu sebelum Danendra berbicara yang macam-macam."Enggak, Ma. Danendra enggak mau istirahat. Danendra enggak butuh," ucap Danendra tanpa mengalihkan tatapannya dari Adam."Maksud kamu, kamu mau meninggalkan rumah ini dan nelepaskan nama Alexander?" tanya Adam."Iya," jawab Danendra tanpa ragu. "Punya nama Alexander pun ternyata enggak berguna. Aku enggak
***"Ke mana aja baru pulang?"Tepat ketika pintu rumah terbuka, Felicya langsung mengucapkan pertanyaan tersebut pada Rafly yang baru saja sampai beberama menit lalu.Tak lupa, Felicya memasang wajah judes agar Rafly merasa terdiskriminasi oleh raut wajah juga tatapan matanya yang tajam.Katanya pergaulan seseorang bisa mengubah kepribadian seseorang dan ternyata semua itu benar. Ketika bersama Danendra, Felicya selalu menjelma bak princess lemah lembut yang tak pernah marah-marah.Sedangkan bersama Rafly? Felicya lebih terlihat seperti istri yang galak juga tegas pada suaminya. Namun, tentu saja di balik sikap seperti itu ada secercah perhatian—terbukti ketika beberapa hari lalu Rafly sakit, Felicya merawat suaminya itu setulus hati."Suaminya baru pulang, bukan disambut pake sapaan ramah, malah disuguhin wajah judes," protes Rafly. "Tawarin minum kek, apa kek, malah diintrogasi.""Ya jawab dulu pertanyaan aku, kamu dari mana aja?" tanya Felicya. "Janji pulang jam tiga, ini udah jam
***"Capek ya."Adara yang baru saja duduk di sebuah bangku panjang lantas tersenyum mendengar keluhan Sari juga Maria setelah keduanya menyelesaikan tugas mereka.Hari minggu pagi adalah hari berkegiatan untuk para penghuni lapas. Semua yang ada di sana diajak bekerja bakti untuk membersihkan halaman belakang kantor polisi yang memang rutin dirawat setiap satu bulan sekali.Tak ada yang dibedakan, semua tahanan di sana diperlakukan sama rata oleh para petugas yang sigap mengawasi semuanya."Minum dulu," kata Adara sambil memberikan sebotol air putih pada Sari."Makasih," ucap Sari."Sama-sama."Hampir seminggu ditahan, Adara mulai membiasakan diri—lebih tepatnya tak lagi meratapi nasib malang yang menimpanya.Dia memilih untuk menghibur diri agar suasana hatinya tak terlalu buruk karena memang suasana hati ibu menyusui harus selalu bagus agar asi yang dihasilkan pun punya kulalitas bagus."Suami lo ke sini enggak hari ini?" tanya Maria di sela-sela istri mereka.Yura kembali dipindah
***"Kenapa enggak jujur aja sama Dara?"Danendra yang baru saja melangkah meninggalkan ruang tamu untuk mengambil minum, seketika menoleh pada pria yang saat ini duduk bersandar pada sofa."Jujur apa?" tanya Danendra."Tentang kamu yang ninggalin keluarga Alexander.""Oh." Danendra menjawab singkat. "Enggak."Pria di sofa yang tak lain adalah Aksa itu menghembuskan napas kasar. "Iya tau, enggak," ucapnya. "Kenapa? Bukannya sama istri itu harus jujur?""Aku enggak mau membebani Adara," kata Danendra. "Enggak lihat? Badannya kurusan. Kalau dia tahu, bisa makin kurus."Bertemu di penjara setelah Aksa yang baru datang ke Jakarta kemarin, menjenguk Adara. Danendra memang langsung meminta kakaknya itu untuk tak bercerita tentang kepergian bahkan niatnya pergi dari keluarga Alexander pada Adara.Aksa menurut. Di penjara tadi mereka hanya mengobrol santai hingga ketika jam besuk berakhir, Aksa meminta untuk ikut ke apartemen.Awalnya Danendra yang memang sedang tak mau berurusan dengan kelua