"Jangan khawatir Tuan, aku akan pergi begitu Kak Dewa datang," ujar Melati setelah cukup lama terperangkap dalam keheningan. Sejak kepergian Dewa, Melati duduk berhadapan dengan Adiraksa sudah dari satu jam yang lalu. Tapi tak sekalipun Adiraksa membuka mulut. Sehingga Melati mulai dihinggapi rasa was-was, apa yang sebenarnya pria itu pikirkan tentang dirinya? Sebenarnya Melati bisa langsung meninggalkan penthouse mewah Adiraksa malam itu juga. Hanya saja ia tidak ingin membuat Dewa khawatir dengan memilih pergi daripada bertahan—menunggu sampai Dewa kembali, seperti yang diperingatkan sebelum Dewa tergesa pergi tadi. Kendati masih sangat awal untuk menilai Dewa sosok kakak yang baik. Tetapi tidak tahu kenapa, hati Melati seakan bisa melihat ketulusan, serta kesungguhan Dewa yang layak menjadi kakak laki-laki seperti yang selama ini diinginkan. Mungkinkah hal tersebut terjadi lantaran Melati terlalu banyak berharap? Lantas, bagaimana jika ia salah? Nyatanya sekarang, berada di
Brak!!! "Bodoh!!! Apa yang sudah kau lakukan sampai ADS Group bisa mengakhiri kontrak bekerjasama dengan kita! Kau tahu, perusahan terancam hancur karena kecerobohanmu!!" Roland masih sangat tenang menikmati minuman beralkohol di gelasnya, bahkan suara gebrakan meja tak membuatnya terpengaruh sedikitpun. "Katakan sesuatu, Roland! Atau kau ingin tekanan darah papa naik karena masalah ini?" Tuan Liem benar-benar naik pitam melihat ketenangan Roland yang masih bisa menikmati alkohol. "Tidak ada yang perlu aku katakan lagi. Mereka sudah memutuskan." Roland malah kembali menuang wine ke dalam gelasnya yang telah kosong. "Apalagi setelah kita tidak bisa membuktikan apapun pada Cantika, aku merasa semua telah berakhir." Roland sudah tidak peduli lagi dengan perusahaan sang ayah. Ia benar-benar sudah lelah dan ingin berhenti. "Dia mendesakmu?" selidik Tuan Liem. "Dia berhak untuk sesuatu yang sepadan dengan apa yang sudah diberikan pada kita." Tuan Liem langsung memijat pangkal hidu
Dewa kembali turun dengan wajah yang lebih segar. "Ingat. Apapun masalah kalian, bicara secara baik-baik. Jangan sekali-kali kamu berkata kasar pada putri mama." Fatma langsung memperingatkan begitu Dewa duduk di samping Tika. Setelahnya Fatma membawa Arkhan naik untuk ditidurkan. Sepertinya bayi itu juga paham masalah yang sedang terjadi pada kedua orang tuanya, terbukti saat merasa Dewa di dekatnya—-Arkhan langsung melepaskan diri. Kendati masih sempat mengecapkan bibir berkali-kali dengan mata mengerjap-ngerjap pelan, akhirnya bayi itu tertidur. Melihat keposesifan Fatma pada istrinya, Dewa hanya mendesahkan nafas sekali sebelum mulai bicara. "Apa seharian ini dia merepotkanmu?" "Tidak. Tadi dia hanya terkejut saat ada petir. Untuk itu, aku membawanya turun." Tika terpaksa berbohong mengenai penyebab rewelnya Arkhan yang tidak diketahui pasti. Sebenarnya Tika sangat ingin tahu kemana seharian itu Dewa pergi di hari libur, berangkat pagi buta dan pulang saat sudah larut mal
Roland kembali memastikan di beberapa tempat lain, setelah mengetahui kelas serta kamar putrinya kosong. Ia sudah seperti orang gila yang terus berlarian mengelilingi asrama. Naasnya, tidak ada siapapun yang ia temui di sana. Kemana perginya semua murid dan guru pengawas? Tempat yang biasanya selalu ramai ketika ia datang berkunjung, saat itu tak ubahnya seperti bangunan megah yang dibiarkan kosong—tanpa ada satupun penghuni kasat mata yang tinggal. Semakin khawatir dengan keadaan yang sepi mencengkam, Roland memutuskan keluar dari asrama—kembali memperhatikan dari tengah halaman yang bisa melihat setiap penjuru asrama. Namun, hasilnya tetap sama—sepi tak ada satu orang pun yang ia temui. "Brengsek! Kemana perginya semua orang!" Roland tidak bisa memikirkan yang lain, lantaran terlalu mencemaskan putrinya. "Tuan.. ," Mendengar suara dari arah belakang, Roland segera berbalik badan. Ternyata wanita berpinggang lebar mendekati dirinya. "Apa yang Anda lakukan di sini? Bukankah seko
"Mereka mengambil jalur selatan, tetap siaga di tempat." Dewa menoleh saat mendengar Gusti berbicara dengan seseorang melalui sambungan telepon. "Kau bicara dengan siapa?" "Babe," singkat Gusti kembali fokus ke depan begitu panggilan berakhir. "Ck. Kenapa kau masih melibatkan Bang Cakra dalam masalah ini? Dia sudah terlalu tua untuk bergulat di jalanan." "Kau tenang saja, dia masih cukup mampu melakukan itu. Sepadan dengan kemampuannya yang membuat mama hamil lagi." Gusti menjawab tak acuh—masih fokus ke depan. "Hah!" Di tengah ketegangan yang terjadi, nyatanya Dewa dibuat terkejut mengetahui kabar Nina kembali hamil. "Benarkah? Tak kusangka Bang Cakra secepat itu memutuskan kembali memiliki anak. Padahal Lili saja masih terlalu kecil untuk menjadi kakak." Dewa masih ingat bagaimana perubahan sikap Nina saat awal mengandung Lili dulu, membiarkan Cakra yang perfeksionis kemana-kemana hanya mengenakan kolor. Itu pun harus motif tokoh kartun doraemon. "Apa kehamilannya yang sekar
Tiga jam sebelumnya."Kau yakin ini tempatnya?"Bersandar pada pintu mobil dengan tangan terlipat di dada, Gusti memperhatikan bangunan satu lantai di depannya yang terdapat tulisan besar di atas pintu masuk."Seharusnya ini sudah benar. Sesuai alamat yang Tika berikan semalam." Dewa berjalan memutari mobil Gusti, begitu sudah berdiri di sebelah sahabatnya, ia ikut memperhatikan objek yang sama."Apa kita akan masuk sekarang?""Tunggu sebentar. Selain pihak keluarga mereka tidak mengizinkan orang asing masuk." Dewa merogoh ponsel di dalam saku celana, dan tidak lama setelahnya pesan singkat terkirim pada seseorang. "Aku sudah menghubungi salah satu Dokter jaga yang Tika kenal, dan Flo juga mengenalnya. Dia sebentar lagi akan keluar.""Dia laki-laki atau perempuan.""Laki-laki. Cih! Sebenarnya aku malas menyalin nomor laki-laki dari ponsel Tika. Bahkan mengetahui dia menyimpannya saja aku sudah sangat kesal.""Dasar bucin!" Gusti seketika menoleh, begitu mendengar helaan nafas panjang D
"K-kau…"Melihat cengkraman Dewa mengendur, Cakra segera mengambil alih si penculik agar tidak sampai melarikan diri. "Be–benarkah i-itu k-kau," ulang Floren gugup.Tidak tahan ingin mengetahui siapa yang sudah membuat Floren seperti sedang melihat hantu, Dewa segara berpaling—mengikuti arah pandang perempuan itu."Kau!" Dan, begitu tahu siapa yang berdiri di belakangnya—mematung dengan tatapan terkunci pada Floren, benak Dewa seketika menerka-nerka. Benarkah Roland dan Floren memiliki kisah di masa lalu seperti yang pernah Gusti jelaskan?Hal tersebut diperkuat dengan reaksi keduanya yang seperti menahan rindu. Terlebih Floren, meski tampak sangat terkejut, tetapi dari sorot matanya Dewa bisa melihat seberapa dalam perempuan itu menyimpan kerinduan pada Roland—lelaki yang Dewa anggap rival. "Kak Land.."Kendati suara Floren sudah bergetar, tapi Dewa cukup jelas mendengarnya, dan panggilan itu memperkuat dugaannya–mereka memang pernah memiliki kisah di masa lalu."Tidak mungkin. A
Melati yang sedang membersihkan sofa ruang tamu, seketika menegakkan tubuh, mendengar seseorang menekan sandi pintu apartemen Adiraksa. Menyadari orang tersebut sudah pasti bukan orang lain, atau mungkin saja Dewa, Melati buru-buru mendekat—-bermaksud menyambut kedatangan kakaknya. Namun, begitu mengetahui siapa yang melewati pintu, Melati berubah tegang bercampur cemas. "Nyo-nyonya.." Tidak hanya Melati, Fatma juga langsung mematung begitu tahu siapa yang berdiri di hadapannya. Gadis muda itu? Sepersekian menit berlalu, kedua perempuan berbeda generasi itu tetap bertahan dengan pemikiran masing-masing. Menciptakan keheningan dalam ketegangan yang memicu menipisnya atmosfer ruangan. "Ma-maaf… a-aku bisa tinggal di sini atas permintaan Tu-tuan Adi se-semalam, Nyonya." Melati berusaha menjelaskan meski tergagap. Melani hanya tidak ingin kehadirannya menimbulkan kesalahpahaman, apalagi berakhir permasalahan untuk Adiraksa dengan wanita yang kini masih menatap terkejut dirinya. "Se-