Roland kembali memastikan di beberapa tempat lain, setelah mengetahui kelas serta kamar putrinya kosong. Ia sudah seperti orang gila yang terus berlarian mengelilingi asrama. Naasnya, tidak ada siapapun yang ia temui di sana. Kemana perginya semua murid dan guru pengawas? Tempat yang biasanya selalu ramai ketika ia datang berkunjung, saat itu tak ubahnya seperti bangunan megah yang dibiarkan kosong—tanpa ada satupun penghuni kasat mata yang tinggal. Semakin khawatir dengan keadaan yang sepi mencengkam, Roland memutuskan keluar dari asrama—kembali memperhatikan dari tengah halaman yang bisa melihat setiap penjuru asrama. Namun, hasilnya tetap sama—sepi tak ada satu orang pun yang ia temui. "Brengsek! Kemana perginya semua orang!" Roland tidak bisa memikirkan yang lain, lantaran terlalu mencemaskan putrinya. "Tuan.. ," Mendengar suara dari arah belakang, Roland segera berbalik badan. Ternyata wanita berpinggang lebar mendekati dirinya. "Apa yang Anda lakukan di sini? Bukankah seko
"Mereka mengambil jalur selatan, tetap siaga di tempat." Dewa menoleh saat mendengar Gusti berbicara dengan seseorang melalui sambungan telepon. "Kau bicara dengan siapa?" "Babe," singkat Gusti kembali fokus ke depan begitu panggilan berakhir. "Ck. Kenapa kau masih melibatkan Bang Cakra dalam masalah ini? Dia sudah terlalu tua untuk bergulat di jalanan." "Kau tenang saja, dia masih cukup mampu melakukan itu. Sepadan dengan kemampuannya yang membuat mama hamil lagi." Gusti menjawab tak acuh—masih fokus ke depan. "Hah!" Di tengah ketegangan yang terjadi, nyatanya Dewa dibuat terkejut mengetahui kabar Nina kembali hamil. "Benarkah? Tak kusangka Bang Cakra secepat itu memutuskan kembali memiliki anak. Padahal Lili saja masih terlalu kecil untuk menjadi kakak." Dewa masih ingat bagaimana perubahan sikap Nina saat awal mengandung Lili dulu, membiarkan Cakra yang perfeksionis kemana-kemana hanya mengenakan kolor. Itu pun harus motif tokoh kartun doraemon. "Apa kehamilannya yang sekar
Tiga jam sebelumnya."Kau yakin ini tempatnya?"Bersandar pada pintu mobil dengan tangan terlipat di dada, Gusti memperhatikan bangunan satu lantai di depannya yang terdapat tulisan besar di atas pintu masuk."Seharusnya ini sudah benar. Sesuai alamat yang Tika berikan semalam." Dewa berjalan memutari mobil Gusti, begitu sudah berdiri di sebelah sahabatnya, ia ikut memperhatikan objek yang sama."Apa kita akan masuk sekarang?""Tunggu sebentar. Selain pihak keluarga mereka tidak mengizinkan orang asing masuk." Dewa merogoh ponsel di dalam saku celana, dan tidak lama setelahnya pesan singkat terkirim pada seseorang. "Aku sudah menghubungi salah satu Dokter jaga yang Tika kenal, dan Flo juga mengenalnya. Dia sebentar lagi akan keluar.""Dia laki-laki atau perempuan.""Laki-laki. Cih! Sebenarnya aku malas menyalin nomor laki-laki dari ponsel Tika. Bahkan mengetahui dia menyimpannya saja aku sudah sangat kesal.""Dasar bucin!" Gusti seketika menoleh, begitu mendengar helaan nafas panjang D
"K-kau…"Melihat cengkraman Dewa mengendur, Cakra segera mengambil alih si penculik agar tidak sampai melarikan diri. "Be–benarkah i-itu k-kau," ulang Floren gugup.Tidak tahan ingin mengetahui siapa yang sudah membuat Floren seperti sedang melihat hantu, Dewa segara berpaling—mengikuti arah pandang perempuan itu."Kau!" Dan, begitu tahu siapa yang berdiri di belakangnya—mematung dengan tatapan terkunci pada Floren, benak Dewa seketika menerka-nerka. Benarkah Roland dan Floren memiliki kisah di masa lalu seperti yang pernah Gusti jelaskan?Hal tersebut diperkuat dengan reaksi keduanya yang seperti menahan rindu. Terlebih Floren, meski tampak sangat terkejut, tetapi dari sorot matanya Dewa bisa melihat seberapa dalam perempuan itu menyimpan kerinduan pada Roland—lelaki yang Dewa anggap rival. "Kak Land.."Kendati suara Floren sudah bergetar, tapi Dewa cukup jelas mendengarnya, dan panggilan itu memperkuat dugaannya–mereka memang pernah memiliki kisah di masa lalu."Tidak mungkin. A
Melati yang sedang membersihkan sofa ruang tamu, seketika menegakkan tubuh, mendengar seseorang menekan sandi pintu apartemen Adiraksa. Menyadari orang tersebut sudah pasti bukan orang lain, atau mungkin saja Dewa, Melati buru-buru mendekat—-bermaksud menyambut kedatangan kakaknya. Namun, begitu mengetahui siapa yang melewati pintu, Melati berubah tegang bercampur cemas. "Nyo-nyonya.." Tidak hanya Melati, Fatma juga langsung mematung begitu tahu siapa yang berdiri di hadapannya. Gadis muda itu? Sepersekian menit berlalu, kedua perempuan berbeda generasi itu tetap bertahan dengan pemikiran masing-masing. Menciptakan keheningan dalam ketegangan yang memicu menipisnya atmosfer ruangan. "Ma-maaf… a-aku bisa tinggal di sini atas permintaan Tu-tuan Adi se-semalam, Nyonya." Melati berusaha menjelaskan meski tergagap. Melani hanya tidak ingin kehadirannya menimbulkan kesalahpahaman, apalagi berakhir permasalahan untuk Adiraksa dengan wanita yang kini masih menatap terkejut dirinya. "Se-
"Lebih baik kita pergi sekarang." Beralih dari Roland yang akhirnya pergi membawa kekecewaan. Raut wajah Floren berubah hangat saat menoleh, dan mendengar Dewa tengah berbicara dengannya. "Terima kasih. Akhirnya kau datang juga." Tapi begitu Floren merentangkan tangan hendak memeluk, Dewa segera menghindar. "Kita perlu bicara." Kendati sempat kecewa, tetapi Floren tetap memberi anggukan setuju. "Kita kemana sekarang?" "Yang pasti bukan di sini." Dewa menunjuk mobilnya. "Bisa pergi sekarang?" Melihat Floren seperti sedang berpikir, Dewa yang sudah tidak bisa lebih lama lagi berada di tempat itu, memastikan apakah Floren mau ikut dengannya. Ternyata Floren hanya kembali mengangguk, dan Dewa segara menggunakan pintu belakang untuk wanita itu. Namun, saat tahu dirinya duduk sendiri di belakang, Dewa lebih memilih duduk di samping kemudi, Floren jelas merasa kecewa. Bukan itu yang diharapkan. Akan tetapi tidak mungkin mengungkapkan kekecewaannya sekarang, Floren lagi-lagi hanya bisa
"Kau tidak bisa melakukan ini, Dewa!" Floren merasa tertipu, dan tentu saja tidak terima dengan menunjukkan kemarahan saat terjingkat berdiri dari sofa. "Kau pikir mudah menjadi diriku setelah apa yang kita lalui dulu? Apalagi aku pernah mengandung bayimu." Floren mengingatkan, mungkin saja Dewa yang masih sangat tenang lupa, bagaimana dulu mereka pernah tinggal bersama, dan melakukan banyak hal layaknya pasangan suami istri. Floren tidak peduli kehidupan macam apa yang Dewa jalani sekarang. Dengan Dewa datang, sudah membuktikan jika memang tujuan Dewa hanya dirinya. Menghela nafas panjang dan berat, Dewa mencoba mengesampingkan rasa bersalah atas perbuatannya di masa lalu. Apapun yang terjadi pada mereka dulu, semua telah berakhir, dan tidak sepatutnya dikenang lagi. Keadaan sudah berubah, sekarang Tika-lah tujuan hidupnya. "Memang ini tujuanku menemuimu. Agar kau tidak lagi berharap padaku." "Tapi kenapa? Apa karena masa laluku dengan Roland?" Dewa langsung menggeleng tegas, me
"Bangsat! Sialan! Apa yang membuat mereka begitu setia sampai tidak mau buka mulut." Keluar dari kantor kepolisian, Roland meluapkan kekesalannya dengan mengumpat di tempat parkir. Ingin rasanya ia kembali masuk untuk menghajar dengan tangannya sendiri para pelaku penculik Floren yang memilih tetap bungkam, meski sudah diiming-imingi berbagai tawaran menggiurkan darinya. Sadar tidak bisa berbuat brutal di sana, akhirnya Roland memutuskan keluar dengan hati dongkol. "Ini pasti perbuatan perempuan sialan itu. Dasar licik!" geram Roland mengingat wajah menyebalkan Pertiwi. Kesabaran Roland benar-benar seperti terbuang habis lantaran semua usahanya hari itu belum juga membuahkan hasil. Dari banyaknya orang yang dikerahkan untuk mencari keberadaan Melody, sampai hari berganti petang belum juga ada yang menemukannya. "Aku akan mencarimu walau ke lubang semut sekalipun," desis Roland dengan rahang mengeras. Setelah tidak menemukan Pratiwi dimanapun ia cari siang tadi, sekarang Roland ak