Jagat media tengah dihebohkan dengan berita kematian Firman. Pemuda dua puluh delapan tahun itu ditemukan meringkuk tak bernyawa di dalam kamarnya. Diduga luka sayatan melintang di leher, hingga putusnya urat nadi yang menjadi penyebab nyawa pemuda itu tidak bisa diselamatkan. Dugaan sementara Firman nekat mengakhiri hidup, lantaran depresi.Pernyataan tersebut diperkuat oleh keterangan tahanan lain, yang mengatakan jika sejak kedatangan teman-temannya, Firman berubah murung, dan tidak banyak bicara. Sampai akhirnya selang beberapa hari, saat petugas datang mengantarkan sarapan, berulang kali memanggil tidak juga ada jawaban—Firman tetap meringkuk di atas karpet usang, dan begitu dipastikan ternyata ada genangan darah di dekat leher yang mulai mengering. Diperkirakan Firman melancarkan aksinya saat malam hari.Naasnya, keadaan tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di kediaman Liem. Ketegangan yang menurut keterangan terjadi saat pagi hari itu, menyisakan kekacauan hingga menjadi saks
Begitu tahu siapa yang sedang menunggu mereka di ruang tamu, Tika beralih pandang pada Dewa yang juga akan menuju tempat yang sama. Mengetahui Dewa mengangguk samar—seolah mengatakan semua pasti baik-baik saja, Tika mengatur nafas terlebih dulu sebelum memutuskan memasuki ruangan tersebut. Melihat kemunculan pemilik rumah, Floren segara bangkit dari sofa. "Tika! Maaf. Aku baru bisa datang sekarang." Melihat sikap ramah Floren yang seakan tidak pernah terjadi ketegangan di antara mereka, Tika seketika berhenti, dan kembali menoleh Dewa yang juga ikut berhenti."Sebaiknya kita duduk," bisik Dewa menangkap kerutan di dahi sang istri. Mendapat anggukan setuju, Dewa membimbing Tika duduk di sofa yang sama. Meletakkan paper bag berukuran sedang ke atas meja, pun dengan senyum yang masih menghiasi wajahnya—Floren kembali berkata, "ada hadiah tak seberapa untuk si kecil. Diterima ya. Sekali lagi aku ucapkan selamat atas kelahiran putra kalian." Namun, ternyata Floren tak cukup berani berad
"Saya memang miskin, tapi bukan berarti Mbak bisa merendahkan saya dengan cara seperti ini.""Saya tidak bermaksud merendahkan. Saya hanya berpikir apa yang saya berikan nanti, cukup sepadan dengan kesediaan Abang. Bukannya begitu?""Tapi maaf. Saya memilih tetap konsisten pada keputusan awal, dan saya harap Mbak bisa menghargai itu."Dewa masih berusaha menahan diri menghadapi Tika—perempuan keras kepala yang sebenarnya sudah cukup membuatnya muak. Bagaimana tidak, belum genap dua jam bersama, Dewa merasa otot-otot lengannya menegang kaku lantaran harus mempertahan bersikap tenang. Kendati sebenarnya gemuruh di dalam sana sudah siap diledakkan, bahkan sejak Tika mengutarakan keinginannya.Selain itu, Dewa juga menyesali keputusannya telah mendatangi Tika, tanpa pernah memperhitungkan hal tersebut bisa saja terjadi. "Katakan. Apa yang bisa membuat Abang berubah pikiran?"Desahan kasar kembali lolos dari mulut Dewa. Tika terlalu sembrono dengan menanyakan sesuatu yang bisa sangat memba
"Mau apalagi kau datang?!" Tika berucap dingin begitu pintu pagar dibuka, dan mengetahui siapa yang berdiri di hadapannya. "Jika kedatanganmu berhubungan dengan pekerjaan, kita bicarakan besok di kantor. Tentunya pada jam kerja." "Kenapa kau tidak pernah memberiku kesempatan untuk menjelaskan yang sebenarnya, Tika. Apa yang terjadi tidak seperti yang terlihat semua orang," terangnya dengan nafas terengah. "Percayalah padaku."Tika segera menyembunyikan tangan ke belakang punggung, mengetahui Roland berniat akan meraihnya. "Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi. Kau telah berbohong. Itu faktanya.""Itu tidak benar. Semua hanya kamuflase. Kami tetap menjalani hidup masing-masing, baik dulu maupun sekarang."Alih-alih percaya, lewat desakan nafas panjang yang baru saja lolos, Tika sama sekali tidak peduli dengan apa yang Roland jelaskan. Wajah malasnya seakan meminta lelaki itu segera pergi. Bahkan bila perlu sejauh mungkin dari hidupnya."Aku sudah memutuskan apa yang menurutku benar. H
"Apalagi ini? Setelah menjebakku, dan hampir membuatku gila. Ternyata dia hanya menangis disitu? Hais… Drama Queen."Suara isakan yang ada di balik tanaman dekat kolam renang, dan sempat menarik perhatian Dewa. Rupanya suara pemilik rumah yang sedang patah hati. Tika yang duduk meringkuk di atas kursi dan menghadap dinding tidak mengetahui jika ada sepasang mata memergoki dirinya.Sempat tergesa-gesa tidak sabar ingin segera mendekat, mendadak Dewa mematung di tempat. Tidak tahu kenapa, suara isakan Tika bisa sampai menyentuh dinding hatinya. Mungkinkan simpati itu muncul bersamaan meredanya kekesalan yang beberapa saat lalu masih menggebu-gebu?'Emang boleh sesedih ini?'Mendesak nafas sekali, Dewa memilih memperhatikan Tika dalam diam. Membiarkan perempuan itu meluapkan kesedihan yang sepertinya cukup dalam.'Aku bahkan percaya dia bisa mendapatkan laki-laki yang lebih baik dari Roland. Kenapa harus buang-buang waktu dengan menangis seperti ini.'Sudah hampir tiga puluh menit berlalu
Dewa memilih kembali ke 'Rumah kebugaran' tempat dirinya bekerja, daripada kembali ke rumah yang pasti membuatnya semakin uring-uringan. Sekarang saja tawaran Tika masih berusaha ia hempaskan dari benaknya, dengan melakukan olahraga kecil."Wa!"Melihat Cakra buru-buru menghampirinya ke ruang fitness, Dewa segera meletakkan kembali dumbbell pada tempatnya."Sorry! Aku harus pergi sekarang. Mobil Nina mogok di jalan, dan dia tidak bisa menghubungi Gusti." terang Cakra begitu sudah mendekati Dewa."Oh! Ya sudah, Abang pergi aja.""Serius? Inikan hari liburmu?""Santai saja, Bang. Lagipula aku nggak ada janji dengan anak-anak.""Syukurlah kalau begitu." Cakra sudah berbalik badan. Tapi detik berikutnya kembali menghadap Dewa. "Oh iya, hampir saja lupa. Nanti ada yang mau datang. Dia masih pemula. Aku juga belum tau orangnya. Aku serahkan dia padamu." Menepuk pelan bahu Dewa disertasi senyum ringan, meski hanya singkat."Selalu siap, Bang," jawab Dewa sambil mengangkat ibu jari tangannya y
"Bang Dewa?" Tika yang sudah akan memasuki mobil, mengurungkan niatnya. Tahu Tika menyambut kedatangannya, begitu turun dari motor Dewa melangkah lebar melewati pagar yang sudah terbuka sempurna. "Maaf. Saya terpaksa datang sekarang. Mbak sudah mau berangkat?"Dilihat dari pakaiannya yang sudah rapi, dilengkapi tas jinjing di tangan kirinya, Dewa semakin yakin jika Tika sudah akan pergi ke luar kota. Seperti yang disampaikan kemarin."Saya masih bisa menundanya.""Baguslah. Bisa kita bicara?""Tentu saja. Kalau begitu kita ke ruang kerja saya.""Baik." Mengikuti Tika memasuki rumah, tidak ada kegusaran lagi di wajah Dewa seperti kemarin. Ia benar-benar sudah memantapkan hati untuk apa yang akan terjadi hari ini.Sesampainya mereka di ruang kerja Tika yang ada di lantai dua, Dewa langsung dipersilahkan duduk di sofa panjang, sedangkan Tika memilih duduk di sofa tunggal."Apa keuntungan yang bisa saya dapatkan jika menerima tawaran Mbak, kemarin?" Tidak ingin menunda waktu, Dewa langsun
"Kita langsung menuju hotel xxx, Pak," kata Tika memberitahu supir yang menjemput mereka.Setelah mendengar jawaban sang supir, Tika lekas menyandarkan punggung—memposisikan duduk dengan nyaman, sebelum kembali melanjutkan perjalanan. Sementara Dewa yang duduk di samping kanannya, sudah memejamkan mata dengan headphone terpasang di kedua telinga. Karena memang tidak tahu kemana arah tujuan mereka, pun terlalu malas untuk bertanya, Dewa memilih memanfaatkan waktu untuk istirahat. Kendati mustahil ia bisa tertidur di dalam kendaraan.Waktu memang sudah menunjukkan pukul sembilan malam, wajar jika Dewa sudah mengantuk—-setidaknya itu yang Tika pikirkan mengetahui pemuda itu sudah memejamkan mata.Beberapa menit berselang, Dewa tersentak mendapat tepukan ringan di lengannya. "Ada apa?" ujarnya seraya melepas headphone."Kita sudah sampai."Dewa mengedarkan pandangan ke arah luar. "Kita menginap disini?" Tersenyum penuh arti, mengetahui mobil berhenti di depan pintu masuk hotel bintang lim