Dewa memilih kembali ke 'Rumah kebugaran' tempat dirinya bekerja, daripada kembali ke rumah yang pasti membuatnya semakin uring-uringan. Sekarang saja tawaran Tika masih berusaha ia hempaskan dari benaknya, dengan melakukan olahraga kecil.
"Wa!"Melihat Cakra buru-buru menghampirinya ke ruang fitness, Dewa segera meletakkan kembali dumbbell pada tempatnya."Sorry! Aku harus pergi sekarang. Mobil Nina mogok di jalan, dan dia tidak bisa menghubungi Gusti." terang Cakra begitu sudah mendekati Dewa."Oh! Ya sudah, Abang pergi aja.""Serius? Inikan hari liburmu?""Santai saja, Bang. Lagipula aku nggak ada janji dengan anak-anak.""Syukurlah kalau begitu." Cakra sudah berbalik badan. Tapi detik berikutnya kembali menghadap Dewa. "Oh iya, hampir saja lupa. Nanti ada yang mau datang. Dia masih pemula. Aku juga belum tau orangnya. Aku serahkan dia padamu." Menepuk pelan bahu Dewa disertasi senyum ringan, meski hanya singkat."Selalu siap, Bang," jawab Dewa sambil mengangkat ibu jari tangannya yang kanan ke atas"Baiklah, aku pergi sekarang."Dewa tidak lagi menjawab, karena memang Cakra berbicara sambil sedikit berlari keluar. Memperhatikan Cakra lewat dinding kaca transparan, dan mengetahui lelaki itu masih saja berlari kecil menuju pintu utama, Dewa akhirnya memutuskan mendekati alat yang paling sering digunakan.Namun, baru saja duduk di alat Pec Deck Fly, kemunculan seorang pemuda membuatnya kembali berdiri."Kakak Personal Trainer di sini?""Benar. Silahkan. Alat mana yang ingin kamu gunakan lebih dulu.""Treadmill. Aku sudah beberapa kali menggunakannya.""Baiklah."Dewa membantu mengatur kecepatan begitu pemuda itu sudah berjalan pelan di atas alat tersebut. Mengingat pemuda itu memiliki tubuh lebih berisi, Dewa dengan sabar menjelas berapa kecepatan serta waktu yang dibutuhkan untuk pemula.Setelah paham dengan semua penjelasannya, pemuda itu mulai berani mencoba alat yang lain. Pun dengan Dewa yang benar-benar bisa melupakan tawaran Tika dengan menikmati tugas."Apa Kakak juga rajin berolahraga? Butuh berapa lama pemula sepertiku bisa membentuk tubuh kekar seperti Kakak?"Sayangnya, Dewa yang masih belum mencurigai gelagat aneh pemuda itu, menjawab tenang setiap keingintahuannya. "Kamu bisa memiliki tubuh tak kalah bagus dari saya. Syaratnya, rajin berolahraga dan jaga pola makan.""Aku pasti akan berusaha sangat keras. Asalkan Kakak berjanji mau membantuku."Merasa risih sekaligus terkejut ada tangan meraba dadanya, reflek Dewa mengibaskan tangan itu, dan segera menjauh. Sekujur tubuhnya seketika meremang, mengetahui pemuda itu menatap penuh damba dirinya."Cukup untuk hari ini. Kau bisa melanjutkannya lagi besok di tempat manapun, terserah!" kata Dewa ketus sambil berjalan keluar lebih dulu.Alih-alih berhenti pemuda itu masih berusaha memanggilnya, Dewa tetap melangkah lebar tanpa sekalipun menoleh ke belakang. Ia paling benci jika ada laki-laki bertulang lunak berani menyentuh tubuhnya, apalagi berharap sesuatu yang lebih. Itu sangat menjijikan. "Sialan. Hari ini aku benar-benar apes!" Memutar tutup botol air mineral yang ia ambil sebelum meninggalkan ruang fitness, Dewa menenggak isinya hingga setengah begitu duduk di kursi taman.Rumah kebugaran milik Cakra memang menghadap taman kota. Cukup menyeberang jalan raya, Dewa bisa menghindari pemuda tadi yang juga sudah pergi setibanya ia di sana. Namun, setelah sepersekian menit duduk dan melihat banyaknya pengunjung yang datang berpasangan. Tawaran Tika justru kembali melintas. Berharap bisa mengusirnya dengan menenggak minumannya hingga tandas, yang ada wajah sembab Tika semakin jelas di ingatan."Ck. Mustahil aku mabuk hanya karena minum air saja. Tapi apa yang membuat perempuan itu tidak juga pergi dari kepalaku?" gerutunya seraya mengangkat botol yang sudah kosong. Lantas, segera melemparkannya ke kotak sampah yang tidak jauh dari tempatnya duduk. Detik berikutnya, Dewa tersenyum puas melihat botol tersebut bisa masuk dengan sempurna."Sayang, kenapa kita ke tempat ini? Bukankah seharusnya pergi ke pestanya sekarang?"Suara itu sampai di telinga Dewa, hanya saja ia tidak begitu peduli—-masih memperhatikan anak laki-laki yang sedang bermain bola di dekatnya."Sabar Honey, salah satu temanku meminta kita menunggunya disini.""Oh! Baiklah. Aku akan menunggu sabar selagi itu bersamamu.""Terima kasih, Honey. I love you too.""Love you more, Sayang.""Apa mereka pikir tidak ada orang lain yang bisa mendengar itu, menggelikan!" gerutu Dewa mulai jengah.Naasnya, mulai penasaran dengan pasangan tersebut, Dewa menoleh sekilas ke asal suara, dan kembali menoleh untuk mempertegas penglihatannya. Benar saja, seketika itu Dewa terjingkat bangun setelah yakin tidak sedang salah mengenali seseorang. Perempuan muda yang kini tengah tersenyum manis saat mendapat usapan di pipinya itu, tak lain Clara. Perempuan matre yang kemarin lusa baru memutus hubungan dengannya melalui selembar surat, dan sekarang sudah bersama laki-laki lain. 'Dasar sialan! Cepat juga dia cari mangsa,' dengus Dewa dalam hari. Mengetahui pasangan itu bersandar pada mobil yang dipastikan milik lelaki yang bersama Clara."Perempuan brengsek!" Umpatan itu disertai dua kali pukulan keras menghantam wajah lelaki yang bersama Clara.Sontak saja, perempuan itu memekik lantang. "Hei!! Ada apa denganmu!!" Marah Clara melihat lelaki yang bersamanya jatuh tersungkur di atas rumput. "Apa kau sudah gila!! Apa masalahmu tiba-tiba memukulnya? Dasar Brandal tidak tahu diri! Tidakkah kau tahu siapa dia, hah!""Apa peduliku siapa dia! Bagiku dia hanya laki-laki bodoh yang mau membuang banyak uangnya hanya untuk perempuan matre sepertimu."Plakk!!!Tamparan Clara yang tidak berarti apapun di pipi Dewa, justru menerbitkan senyum licik di sudut bibirnya. "Kenapa? Tidak terima? Bukankah itu kelebihan orang tuamu dalam mendidik anak-anaknya? Harus bisa menarik laki-laki kaya untuk dijadikan ladang mereka.""Tutup mulutmu!" sergah Clara tidak terima. "Kau pikir siapa dirimu, hah! Kau tak lebih dari seekor tikus yang tinggal di tempat-tempat menjijikan!" Tersenyum sinis melihat Dewa menajamkan mata. Namun, bukannya takut, Clara justru semakin berani menantang. "Apa yang bisa kau lakukan selain menjadi musuh masyarakat, hm? Jelaskan padaku, apa prestasimu kecuali hanya mengganggu ketentraman kami semua." "Kau!""Siapa dia, Honey? Kekasihmu?"Tatapan tajam Dewa beralih pada lelaki itu yang berniat bangkit dari tempatnya. "Diam di tempatmu! Atau kau ingin siapapun tidak bisa lagi mengenali wajahmu!" ancamnya yang tidak pernah main-main. Alhasil lelaki itu kembali duduk berjongkok seraya membersihkan tangannya yang kotor. Rupanya wajah menyeramkan Dewa, cukup membuat nyalinya menciut. "Dan kau!" Jari telunjuk Dewa meruncing tepat di dekat hidung Clara. "Aku bisa melakukan apa saja untuk menghancurkanmu, ingat itu!""Cih! Kau pikir aku takut dengan ancamanmu? Tidak Dewa. Sekalipun kau beserta pasukanmu yang terbiasa membuat onar itu menghadangku di jalan. Aku tidak akan pernah memutar arah. Aku akan membawa kalian semua tinggal di balik jeruji dan membusuk di sana. Agar kami bisa tidur tenang saat malam hari." Tiba-tiba saja tawa sumbang Dewa memecah ketegangan, mengetahui Clara balik mengancamnya dengan cara murahan. "Kau yakin bisa melakukannya? Atas bantuan dia?" Beralih pada lelaki itu yang ternyata sudah kembali bangkit. Tawa Dewa semakin menggelegar di udara. "Lihatnya. Baru menghadapiku saja kedua kakinya sudah bergetar. Lantas, bisa kau bayangkan akan semengenaskan apa dia saat mengetahui pasukanku ada ratusan orang?" Maju satu langkah mendekati Clara. "Kau salah pilih lawan, Clara. Lihat saja, bagaimana caraku bisa membalas penghinaanmu hari ini. Aku pasti bisa membuatmu menangis darah. Kau harus membayar mahal untuk hati ini," lirihnya penuh penegasan."Jangan jadikan dirimu seperti perempuan! Buktikan saja daripada kau hanya banyak bicara," cicit Clara disertai tatapan remeh. "Kau dan pasukanmu yang ratusan itu akan membusuk di penjara. Aku pastikan itu, dan sekalipun aku tidak bisa melakukannya. Pasti akan ada orang lain yang mengambil alih tugas itu."Clara memasuki mobil lebih dulu, diikuti lelaki yang bersamanya segera berjalan memutar dan membuka pintu samping kemudi. Sejurus kemudian mobil berwarna merah cerah itu bergerak meninggalkan Dewa yang masih bergeming di tempat."Aku pasti bisa membuktikan diri. Lihat saja nanti, bagaimana kau akan merengek kepadaku, Clara.""Bang Dewa?" Tika yang sudah akan memasuki mobil, mengurungkan niatnya. Tahu Tika menyambut kedatangannya, begitu turun dari motor Dewa melangkah lebar melewati pagar yang sudah terbuka sempurna. "Maaf. Saya terpaksa datang sekarang. Mbak sudah mau berangkat?"Dilihat dari pakaiannya yang sudah rapi, dilengkapi tas jinjing di tangan kirinya, Dewa semakin yakin jika Tika sudah akan pergi ke luar kota. Seperti yang disampaikan kemarin."Saya masih bisa menundanya.""Baguslah. Bisa kita bicara?""Tentu saja. Kalau begitu kita ke ruang kerja saya.""Baik." Mengikuti Tika memasuki rumah, tidak ada kegusaran lagi di wajah Dewa seperti kemarin. Ia benar-benar sudah memantapkan hati untuk apa yang akan terjadi hari ini.Sesampainya mereka di ruang kerja Tika yang ada di lantai dua, Dewa langsung dipersilahkan duduk di sofa panjang, sedangkan Tika memilih duduk di sofa tunggal."Apa keuntungan yang bisa saya dapatkan jika menerima tawaran Mbak, kemarin?" Tidak ingin menunda waktu, Dewa langsun
"Kita langsung menuju hotel xxx, Pak," kata Tika memberitahu supir yang menjemput mereka.Setelah mendengar jawaban sang supir, Tika lekas menyandarkan punggung—memposisikan duduk dengan nyaman, sebelum kembali melanjutkan perjalanan. Sementara Dewa yang duduk di samping kanannya, sudah memejamkan mata dengan headphone terpasang di kedua telinga. Karena memang tidak tahu kemana arah tujuan mereka, pun terlalu malas untuk bertanya, Dewa memilih memanfaatkan waktu untuk istirahat. Kendati mustahil ia bisa tertidur di dalam kendaraan.Waktu memang sudah menunjukkan pukul sembilan malam, wajar jika Dewa sudah mengantuk—-setidaknya itu yang Tika pikirkan mengetahui pemuda itu sudah memejamkan mata.Beberapa menit berselang, Dewa tersentak mendapat tepukan ringan di lengannya. "Ada apa?" ujarnya seraya melepas headphone."Kita sudah sampai."Dewa mengedarkan pandangan ke arah luar. "Kita menginap disini?" Tersenyum penuh arti, mengetahui mobil berhenti di depan pintu masuk hotel bintang lim
"Cukup mengejutkan. Rupanya di generasi Milenial yang sekarang, masih ada perempuan polos dan selugu Tika. Tapi apa aku perlu berbangga diri karena menjadi yang pertama untuknya?" Menahan senyum mengingat bagaimana Tika semalam. Awalnya bersikap malu-malu, tapi pada akhirnya bisa menikmati permainan panasnya. Persis seperti para perempuan terdahulunya, menantang di awal tapi selalu berakhir dengan desahan. "Ck. Rasanya aku ingin membawanya kembali ke kamar," ujar Dewa saat memperhatikan Tika dari jarak lumayan jauh. Kendati demikian, ia bisa melihat jelas jika istri kontraknya itu sedang membicarakan sesuatu yang penting dengan dua lelaki di depannya."Tapi kalau dipikir-pikir, kasihan juga dia, ya? Pasti selama ini hidupnya sangat membosankan karena setiap hari selalu berhadapan dengan orang-orang berdasi seperti mereka. Dan aku yakin, dia tidak memiliki kebebasan seperti Inez. Sampai akhirnya terlambat menikah, dan terperdaya rayuan Kadal Darat Roland." Sebenarnya terselip rasa be
"Sialan. Sepertinya dia ingin bermain-main dengan saya. Kalau saja tadi dia tidak mengatakan saya seorang suami dari Ceo ternama. Sudah bisa dipastikan, saya akan membuat wajah menyebalkannya itu babak belur," geram Dewa begitu mendudukan diri di sofa—bersebelahan dengan Tika."Sudahlah. Tidak perlu dipermasalahkan lagi. Ronald memang seperti itu, suka mencari keributan."Bukannya tenang, Dewa malah bertambah kesal mendengarnya. Ternyata Tika masih saja ingin melindungi laki-laki itu. Kendati itu memang hak Tika, tetapi tindakan Roland sudah benar-benar melukai harga dirinya. Ia memang berandal, tapi baru Roland yang berani mempermalukannya di tempat umum. "Cih. Seperti orang tidak bermartabat saja." Ternyata harta dan pendidikan tinggi tidak menjadikan seseorang bisa ber attitude baik. Sama halnya Roland, Dewa tidak menyangka terlalu cerdas Roland akan bertindak serendah itu untuk menjatuhkan orang lain. Bahkan untuk disebut laki-laki sejati pun tindakannya tidak akan pernah layak.
"Sejak kapan kau ada di sini?" "Dewa! Astaga. Ngagetin aja!" Terlalu terkejut, Gusti yang sebelumnya sedang menyeduh kopi, spontan mendekap area bawahnya dengan kedua tangan. "Najis! Kau pikir aku sudi menyentuh itumu?" Menatap sinis Gusti yang polosnya juga menundukan kepala—mencemaskan aset berharganya."Hehe… itu namanya gerakan reflek melindungi diri dari predator.""Predator. Mama Muda, iya."Mata Gusti mendelik tajam seketika, dan detik berikutnya bergidik ngeri. "Aku selalu merinding setiap kali mendengar ada yang menyebut Mama Muda."Dewa terbahak, suaranya semakin menggelegar manakala melihat wajah tegang Gusti. Bisa dipastikan, peristiwa menggelikan beberapa bulan lalu kembali melintasi benak sahabatnya itu. "Momen itu terlalu sulit aku lupakan.""Yah! Dan tertawalah sepuasmu sekarang," kesal Gusti sebelum akhirnya menyadari penampilan Dewa yang berbeda dari biasanya. "Kau jauh lebih baik dengan pakaian rapi begini. Setelah hilang dua hari, tak kusangka pulang berubah bak
"Terima kasih, Anda boleh pergi sekarang.""Sama-sama, Nyonya. Kalau begitu saya permisi."Melihat Tika mengangguk, pria itu pun langsung mengangguk patuh, dan bergegas pergi meninggalkan Tika di ruang tengah. Tidak bisa menunggu lagi, Tika yang memang sudah sangat penasaran—membuka berkas terbungkus map coklat. Setelah menarik semua lembaran yang ada di dalam map tersebut, dengan teliti Tika membaca tulisan yang tertera di setiap lembaran—berharap tidak ada satupun keterangan yang terlewatkan."Jadi ini kehidupan bebas yang dia maksud? Tapi aneh. Kenapa tidak tercantum siapa orang tuanya? Apa dia yatim piatu?" Tika bermonolog."Kakak bicara dengan siapa?" "Tidak ada."Kemunculan Inez yang tiba-tiba, mengejutkan Tika. Tidak ingin Inez mengetahui jika itu data diri Dewa yang baru didapatkan dari orang suruhannya, Tika buru-buru memasukan semua lembaran ke dalam map. "Oh." Kendati tidak percaya begitu saja. Terlebih setelah menangkap wajah terkejut sang kakak, pun dengan map yang ada d
Setelah membuat kekacauan dengan merobohkan beberapa motor yang terparkir memanjang di sisi jalan. Sang Stunt Rider pun memulai aksi stunt riding, guna membelah kerumunan anak manusia yang memenuhi jalan. Motor besar yang dikendalikan laki-laki lengkap dengan penutup kepalanya itu, baru berhenti tepat di hadapan pemuda yang sudah akan menunggangi kuda besinya—siap melakukan hal yang sama karena merasa tertantang."Bang Cakra?" Pemuda itu tampak terkejut begitu lelaki yang sempat membuatnya kesal telah membuka menutup kepala, dan sayangnya bukan seseorang yang ia tunggu. "Kenapa Abang bisa ada di sini, dan ini? Bukankah motor Dewa? Dimana dia? Mungkinkah seorang rider hebat sepertinya tidak cukup nyali menerima tantangan dariku?""Bubar!!" Enggan menanggapi cibiran Venus terhadap Dewa, pandangan Cakra justru tertuju pada sekitar—pemuda-pemuda lain yang belum berniat pergi meninggalkan tempat itu. Memilih tetap bertahan di tepi jalan."Abang jangan ikut campur! Ini urusanku dengan Dewa
"Seperti yang dia inginkan, tinggal bersama agar aku bisa segera membuatnya hamil, dan setelah mendapat uang darinya aku bisa membeli rumah. Yah! Semudah itu."Namun, mendadak Dewa berubah pikiran. Ia pun urung turun dari kendaraan yang mesinnya bahkan sudah dimatikan—menatap sendu pintu gerbang rumah Tika yang masih tertutup rapat."Tetap saja ini tidak bisa dibenarkan. Aku laki-laki dan seharusnya aku yang bertanggung jawab membawanya. Tapi mana mungkin dia bersedia tinggal di kontrakan Bang Cakra. Cih!" Tiba-tiba tersenyum geli saat mengingat status mereka. "Dewa, Dewa, selain mustahil. Memangnya apa yang mendasari dia mau hidup susah dengan berandal sepertimu, bodoh!" Ia merasa benar-benar konyol telah bersikap layaknya seorang suami sungguhan. Padahal pernikahan mereka saja hanya kontrak dan mungkin berlaku dalam hitungan bulan kedepan. Lantas, untuk apa ia memusingkan perihal tanggung jawab, dan mengutamakan gengsi sebagai laki-laki. Sedangnya tugasnya saja cukup membuat Tika h