"Kita langsung menuju hotel xxx, Pak," kata Tika memberitahu supir yang menjemput mereka.
Setelah mendengar jawaban sang supir, Tika lekas menyandarkan punggung—memposisikan duduk dengan nyaman, sebelum kembali melanjutkan perjalanan. Sementara Dewa yang duduk di samping kanannya, sudah memejamkan mata dengan headphone terpasang di kedua telinga. Karena memang tidak tahu kemana arah tujuan mereka, pun terlalu malas untuk bertanya, Dewa memilih memanfaatkan waktu untuk istirahat. Kendati mustahil ia bisa tertidur di dalam kendaraan.Waktu memang sudah menunjukkan pukul sembilan malam, wajar jika Dewa sudah mengantuk—-setidaknya itu yang Tika pikirkan mengetahui pemuda itu sudah memejamkan mata.Beberapa menit berselang, Dewa tersentak mendapat tepukan ringan di lengannya. "Ada apa?" ujarnya seraya melepas headphone."Kita sudah sampai."Dewa mengedarkan pandangan ke arah luar. "Kita menginap disini?" Tersenyum penuh arti, mengetahui mobil berhenti di depan pintu masuk hotel bintang lima."Iya," singkat Tika memilih turun lebih dulu.'Sesuai dugaan.'Dewa kembali tersenyum saat bergerak turun, benar-benar definisi perjuangan tidak menghianati hasil.Memasuki lobby, Dewa berjalan di belakang Tika layaknya seorang Bodyguard. Tubuh tinggi tegap dan otot lengan yang menonjol di balik sweater selalu menjadi daya tarik kaum hawa. Tak ayal ketika mereka berdiri di depan meja resepsionis, dua perempuan yang ada di balik meja kedapatan beberapa kali mencuri pandang Dewa memilih tak acuh. Sengaja memperhatikan setiap detail interior yang ada di ruangan tersebut."Ayo, Bang." Dewa menoleh dan langsung mengangguk. Namun, ketika sudah memutar badan siap mengikuti Tika. Tiba-tiba berpaling pada dua resepsionis dan sengaja mengerlingkan mata nakal. Sontak saja, hal tersebut membuat dua perempuan itu langsung bertukar pandang—kompak tersipu. Dewa memang pandai membuat lawan jenis merona akan tingkah spontannya. Tidak hanya memiliki tubuh atletis, wajah rupawan, dan juga senyum tipis pemikat hati. Dewa juga memiliki pancaran mata dalam yang bisa menenggelamkan siapa saja yang berani menyelaminya. Sehingga tidak heran, banyak perempuan yang tidak berani menatap netra hitam kecoklatan miliknya dengan durasi cukup yang lama. Bahkan ada yang sanggup bertahan hanya dua detik saja. Karena jika sampai berani melakukan lebih dari itu, artinya menantang. Maka harus segera Dewa memberi paham, bagaimana cara menatap yang benar.'Suite room?' Hati Dewa berbunga mengetahui kamar yang akan mereka tempati. Sebuah kamar dengan fasilitas lengkap. Walaupun sebenarnya tidak heran Tika bisa menempati kamar tersebut, saat sedang melakukan perjalanan bisnis. Namun, kali ini jelas akan lebih berkesan dari biasanya, dan mungkin saja akan selalu terkenang di benak perempuan itu seumur hidup."Dewi Fortuna memang selalu berpihak padaku. Lihat saja, selain kaya, cantik, aku juga sangat beruntung bisa memiliki istri yang selalu murah senyum. Yah! Walaupun hanya kontrak. Tapi setidaknya keberuntungan itu bisa kunikmati untuk beberapa bulan kedepan," kata Dewa pelan saat melewati pintu. Sedangkan Tika sudah masuk lebih dulu.****Tepat pukul dua dini hari Dewa terbangun. Selain tidak terbiasa tidur lebih awal, ia juga merasa butuh air untuk menyegarkan tenggorokannya yang terasa kering. Namun, saat mendapati di ranjang hanya ada dirinya, ia bergegas turun—berniat mencari keberadaan Tika. Tetapi baru beberapa langkah menjauhi ranjang, Dewa menemukan Tika tengah berselonjor kaki di sofa panjang, dengan laptop di atas pangkuannya. Sialnya, bukan apa yang sedang perempuan itu lakukan yang membuat Dewa terpaku di tempat. Melainkan pakaian minim—tanktop satu jari dengan celana pants yang Tika kenakan, seketika mampu menggugah jiwa lelaki Dewa yang memang mudah terpancing."Jika sudah seperti ini bukan salahku negara api sampai menyerang. Dia sendiri yang sengaja membangunkan naga api untuk segera membakarnya." Tidak bisa Dewa pungkiri, walaupun mereka memiliki perbedaan usia sepuluh tahun. Tika yang berpostur mungil, kulit kencang dan seputih susu. Masih sebanding dengan perempuan-perempuan muda yang pernah menjadi kekasih ataupun teman ranjangnya dulu, termasuk Clara. "Sepertinya tidak sulit membuatnya hamil dalam waktu dekat," ujar Dewa lagi seraya melepas t-shirt yang ia kenakan dan melemparnya asal. Dewa sengaja memamerkan tubuh atasnya saat melewati Tika menuju pantry mini yang ada di kamar itu. Dengan harapan, sang istri bisa melihat tubuh atletis yang selama ini selalu ia banggakan dan dijadikan pemikat untuk mendekati perempuan manapun yang ia inginkan.Membawa segelas air, Dewa mendekati sofa dan duduk di dekat kaki Tika. "Sudah hampir pagi, Mbak belum berniat tidur?" ujarnya. Setelah itu menenggak air yang dibawanya hingga tandas."Sebentar lagi selesai," balas Tika tanpa beralih dari layar laptop. Naasnya, bukan jawaban Tika yang membuat Dewa menyesali keputusannya duduk di sofa yang sama. Melainkan ketika ia mengetahui belahan dada Tika yang cukup rendah, hingga isinya terlihat jelas dari posisinya yang begitu dekat. Sontak saja, Dewa merasa kembali dahaga mencekik leher, dan buru-buru menuang gelas ke mulut. Sial! Rupanya tinggal setetes air yang tersisa.'Brengsek!! Ini bukan kali pertama aku berdekatan dengan perempuan. Bahkan berhubungan intim saja sudah biasa aku lakukan. Tapi kenapa bersamanya jadi gugup begini?' Dewa hanya bisa menelan saliva kasar, dan segera membuang pandangan. Hanya dengan melihat saja sesuatu dibawah sana sudah terasa sesak, apalagi sampai menyentuhnya?Semakin gelisah. Dewa mengusap keringat yang bermunculan di area dahi. Pikiran liar mulai sulit dikendalikan. Membuatnya terdesak akan sesuatu yang harus segera dituntaskan."Abang butuh sesuatu." Menangkap kegelisahan Dewa, Tika segera menutup laptop dan meletakkannya ke atas meja. Akan tetapi begitu melihat mata pemuda itu yang susah berkabut gairah, Tika berubah canggung. "Abang lapar?" lanjutnya gugup.Dewa tidak lagi bersuara, gejolak di dada sudah melemahkan akal sehat. Sehingga hanya kepalanya yang semakin bergerak maju. Menyadari hal itu, Tika spontan menarik kaki—berubah duduk meringkuk, semakin gugup harus melakukan apa. Bukan tidak tahu apa yang akan Dewa lakukan padanya. Hanya saja, Tika tidak menyangka, pemuda yang jauh di bawahnya itu, dan baru beberapa jam lalu berstatus suaminya. Memiliki hasrat yang begitu menggebu. "Saya ingin melakukannya sekarang." Tika meremang mendengar suara berat Dewa. "Ta-tapi …""Bukankah semakin cepat Mbak hamil, akan semakin baik?"Bagai senjata menikam tuan, Tika tidak bisa mengelak lagi sekarang. Ia sangat gugup. Tetapi begitu teringat tujuannya, tanpa terduga kepalanya justru mengangguk samar.Tidak bisa menundanya lagi, Dewa langsung menarik Tika ke atas pangkuannya. Sejurus kemudian melahap bibir ranum perempuan itu dengan sangat rakus.Namun, sudah sepersekian detik berlalu tak kunjung mendapat balasan, Dewa memilih berhenti. Menjauhkan kepala untuk melihat respon Tika. "Kenapa tak membalasku?"Sangat malu menatap wajah Dewa yang berjarak hanya beberapa senti darinya, Tika tertunduk malu."Maaf. Ini kali pertama untuk saya." Nyaris tersedak salivanya sendiri, Dewa tidak tahu harus bagaimana bersikap setelah mendengar kejujuran Tika. Ingin menampik, tetapi faktanya membuktikan demikian. Selain tidak tahu cara membalasnya, Tika juga sampai tidak bernafas dan terlihat sangat gugup. Terbukti dari keringat dingin yang membasahi wajahnya. Padahal suhu ruangan terbilang cukup dingin."Roland memang Kadal Darat, tapi dia sama sekali tidak pernah memintaku melakukannya." Lagi. Dewa hanya bisa terhenyak. Rupanya Roland tidak serutal yang ia pikirkan, tahu menjaga sesuatu yang bukan haknya."Saya memang payah," lanjut Tika pelan. Merasa benar-benar buruk. Terlebih setelah mengetahui kejujurannya, Dewa diam tanpa ada respon apapun. Menganggap Dewa pasti berpikir dirinya hanya membual. Tapi tanpa terduga hanya sekali hentakan Dewa sudah berdiri, bersama Tika dalam gendongannya. "Bukan masalah. Dalam hal ini saya lebih pengalaman. Untuk itu saya akan membimbing Mbak sampai bisa menjadi pemain yang hebat."Mendengar kalimat sevulgar itu dari pemuda yang masih terasa asing baginya, semburat merah pun seketika muncul di kedua pipi Tika yang buru-buru ia sembunyikan.Setelah membaringkan Tika di ranjang, Dewa kembali melancarkan aksinya. Terbiasa hidup bebas. Melakukan seks sesuatu yang sudah biasa Dewa lakukan, baik dengan setiap perempuan yang ia jadikan kekasih, atau perempuan yang sengaja ia bayar untuk menemani malam panjangnya. Sehingga saat Tika mengajukan syarat agar membuatnya hamil, sebenarnya bukan perkara besar bagi Dewa. Hanya saja, planning menjadi seorang ayah tidak pernah terlintas di benaknya. "Saya akan menjadikan malam ini berkesan untuk Mbak, dan pastinya akan selalu Mbak ingat setiap kali menginap di hotel ini.""Tapi saya ada pertemuan besok pagi-pagi sekali," kata Tika dengan suara bergetar. Dewa sudah berhasil menyingkirkan pakaian atasnya dan sedang bermain-main dengan kedua asetnya."Saya pastikan Mbak tetap bisa melakukan pertemuan itu."Perlahan Dewa bergerak turun dengan meninggalkan jejak kepemilikan dimanapun yang ia inginkan. Begitu pants Tika tertanggalkan, Dewa merunduk untuk mendekatkan wajah ditempat yang seharusnya. Teriakan tertahan Tika seketika menggelitik telinga Dewa, dan membuatnya semakin menggila di bawah sana."Cukup mengejutkan. Rupanya di generasi Milenial yang sekarang, masih ada perempuan polos dan selugu Tika. Tapi apa aku perlu berbangga diri karena menjadi yang pertama untuknya?" Menahan senyum mengingat bagaimana Tika semalam. Awalnya bersikap malu-malu, tapi pada akhirnya bisa menikmati permainan panasnya. Persis seperti para perempuan terdahulunya, menantang di awal tapi selalu berakhir dengan desahan. "Ck. Rasanya aku ingin membawanya kembali ke kamar," ujar Dewa saat memperhatikan Tika dari jarak lumayan jauh. Kendati demikian, ia bisa melihat jelas jika istri kontraknya itu sedang membicarakan sesuatu yang penting dengan dua lelaki di depannya."Tapi kalau dipikir-pikir, kasihan juga dia, ya? Pasti selama ini hidupnya sangat membosankan karena setiap hari selalu berhadapan dengan orang-orang berdasi seperti mereka. Dan aku yakin, dia tidak memiliki kebebasan seperti Inez. Sampai akhirnya terlambat menikah, dan terperdaya rayuan Kadal Darat Roland." Sebenarnya terselip rasa be
"Sialan. Sepertinya dia ingin bermain-main dengan saya. Kalau saja tadi dia tidak mengatakan saya seorang suami dari Ceo ternama. Sudah bisa dipastikan, saya akan membuat wajah menyebalkannya itu babak belur," geram Dewa begitu mendudukan diri di sofa—bersebelahan dengan Tika."Sudahlah. Tidak perlu dipermasalahkan lagi. Ronald memang seperti itu, suka mencari keributan."Bukannya tenang, Dewa malah bertambah kesal mendengarnya. Ternyata Tika masih saja ingin melindungi laki-laki itu. Kendati itu memang hak Tika, tetapi tindakan Roland sudah benar-benar melukai harga dirinya. Ia memang berandal, tapi baru Roland yang berani mempermalukannya di tempat umum. "Cih. Seperti orang tidak bermartabat saja." Ternyata harta dan pendidikan tinggi tidak menjadikan seseorang bisa ber attitude baik. Sama halnya Roland, Dewa tidak menyangka terlalu cerdas Roland akan bertindak serendah itu untuk menjatuhkan orang lain. Bahkan untuk disebut laki-laki sejati pun tindakannya tidak akan pernah layak.
"Sejak kapan kau ada di sini?" "Dewa! Astaga. Ngagetin aja!" Terlalu terkejut, Gusti yang sebelumnya sedang menyeduh kopi, spontan mendekap area bawahnya dengan kedua tangan. "Najis! Kau pikir aku sudi menyentuh itumu?" Menatap sinis Gusti yang polosnya juga menundukan kepala—mencemaskan aset berharganya."Hehe… itu namanya gerakan reflek melindungi diri dari predator.""Predator. Mama Muda, iya."Mata Gusti mendelik tajam seketika, dan detik berikutnya bergidik ngeri. "Aku selalu merinding setiap kali mendengar ada yang menyebut Mama Muda."Dewa terbahak, suaranya semakin menggelegar manakala melihat wajah tegang Gusti. Bisa dipastikan, peristiwa menggelikan beberapa bulan lalu kembali melintasi benak sahabatnya itu. "Momen itu terlalu sulit aku lupakan.""Yah! Dan tertawalah sepuasmu sekarang," kesal Gusti sebelum akhirnya menyadari penampilan Dewa yang berbeda dari biasanya. "Kau jauh lebih baik dengan pakaian rapi begini. Setelah hilang dua hari, tak kusangka pulang berubah bak
"Terima kasih, Anda boleh pergi sekarang.""Sama-sama, Nyonya. Kalau begitu saya permisi."Melihat Tika mengangguk, pria itu pun langsung mengangguk patuh, dan bergegas pergi meninggalkan Tika di ruang tengah. Tidak bisa menunggu lagi, Tika yang memang sudah sangat penasaran—membuka berkas terbungkus map coklat. Setelah menarik semua lembaran yang ada di dalam map tersebut, dengan teliti Tika membaca tulisan yang tertera di setiap lembaran—berharap tidak ada satupun keterangan yang terlewatkan."Jadi ini kehidupan bebas yang dia maksud? Tapi aneh. Kenapa tidak tercantum siapa orang tuanya? Apa dia yatim piatu?" Tika bermonolog."Kakak bicara dengan siapa?" "Tidak ada."Kemunculan Inez yang tiba-tiba, mengejutkan Tika. Tidak ingin Inez mengetahui jika itu data diri Dewa yang baru didapatkan dari orang suruhannya, Tika buru-buru memasukan semua lembaran ke dalam map. "Oh." Kendati tidak percaya begitu saja. Terlebih setelah menangkap wajah terkejut sang kakak, pun dengan map yang ada d
Setelah membuat kekacauan dengan merobohkan beberapa motor yang terparkir memanjang di sisi jalan. Sang Stunt Rider pun memulai aksi stunt riding, guna membelah kerumunan anak manusia yang memenuhi jalan. Motor besar yang dikendalikan laki-laki lengkap dengan penutup kepalanya itu, baru berhenti tepat di hadapan pemuda yang sudah akan menunggangi kuda besinya—siap melakukan hal yang sama karena merasa tertantang."Bang Cakra?" Pemuda itu tampak terkejut begitu lelaki yang sempat membuatnya kesal telah membuka menutup kepala, dan sayangnya bukan seseorang yang ia tunggu. "Kenapa Abang bisa ada di sini, dan ini? Bukankah motor Dewa? Dimana dia? Mungkinkah seorang rider hebat sepertinya tidak cukup nyali menerima tantangan dariku?""Bubar!!" Enggan menanggapi cibiran Venus terhadap Dewa, pandangan Cakra justru tertuju pada sekitar—pemuda-pemuda lain yang belum berniat pergi meninggalkan tempat itu. Memilih tetap bertahan di tepi jalan."Abang jangan ikut campur! Ini urusanku dengan Dewa
"Seperti yang dia inginkan, tinggal bersama agar aku bisa segera membuatnya hamil, dan setelah mendapat uang darinya aku bisa membeli rumah. Yah! Semudah itu."Namun, mendadak Dewa berubah pikiran. Ia pun urung turun dari kendaraan yang mesinnya bahkan sudah dimatikan—menatap sendu pintu gerbang rumah Tika yang masih tertutup rapat."Tetap saja ini tidak bisa dibenarkan. Aku laki-laki dan seharusnya aku yang bertanggung jawab membawanya. Tapi mana mungkin dia bersedia tinggal di kontrakan Bang Cakra. Cih!" Tiba-tiba tersenyum geli saat mengingat status mereka. "Dewa, Dewa, selain mustahil. Memangnya apa yang mendasari dia mau hidup susah dengan berandal sepertimu, bodoh!" Ia merasa benar-benar konyol telah bersikap layaknya seorang suami sungguhan. Padahal pernikahan mereka saja hanya kontrak dan mungkin berlaku dalam hitungan bulan kedepan. Lantas, untuk apa ia memusingkan perihal tanggung jawab, dan mengutamakan gengsi sebagai laki-laki. Sedangnya tugasnya saja cukup membuat Tika h
"Boleh saya tanyakan sesuatu?"Dewa yang sudah berbaring—menggunakan satu lengan sebagai bantal, menoleh Tika yang masih duduk bersandar. "Silahkan ""Apa pendidikan terakhir Abang?" Tika langsung menggigit bibir bawah bagian dalam, khawatir Dewa salah paham."Saya hanya pernah sekolah hingga menengah atas. Itu pun tidak sampai lulus." Melihat Dewa masih cukup tenang saat menjawab, setidaknya Tika bisa sedikit bernafas lega.Sementara Dewa terpaksa berbohong. Merasa tidak perlu Tika mengetahui siapa dirinya dulu. Selain hal tersebut hanya akan membuka kembali luka yang saat ini saja belum sepenuhnya sembuh. Dewa juga merasa tetap lebih baik dikenal sebagai berandal.Mendengar jawaban Dewa, Tika seperti sedang berpikir keras."Mbak menyesal telah melakukannya dengan pemuda seperti saya? Tidak memiliki latar belakang pendidikan yang memadai?""Bukan itu yang sedang saya pikirkan," sanggah Tika tidak ingin Dewa berkecil hati. Walaupun sebenarnya gurat kekecewaan itu jelas Dewa temukan. "
"Bagaimana? Masih mau lanjut atau resign kamu, Wa?""Memangnya Abang percaya dengan apa yang aku sampaikan semalam?" Selain anggukan samar yang tidak Dewa ketahui, reaksi Cakra semalam benar-benar tidak bisa ditebak. Bahkan Dewa menganggap Cakra sama seperti Gusti—tidak mempercayai penjelasannya.Mendengar itu, Cakra mendesak kedua alis tinggi, pun dengan bibir yang jelas sedang menahan senyum. Kendati semalam ia hanya diam membiarkan Gusti meragukan ucapan Dewa, tetapi sebenarnya ia tak lantas sependapat dengan anak sambungnya itu.Bukankah bagus jika Dewa menikah? Dengan begitu tidak lagi menekuni kebiasaannya yang bebas? Karena jelas sekarang Dewa memiliki kesibukan baru dengan istri, dan Cakra juga berharap istri Dewa bisa merubah pemuda itu menjadi manusia yang lebih baik. Tentunya bermanfaat untuk orang lain.Istri. Memang kerap kali membawa dampak positif untuk para lelaki yang sudah berstatus suami. Kebiasaan-kebiasaan buruk ataupun pola hidup tidak sehat yang dulu para lel
Begitu tahu siapa yang sedang menunggu mereka di ruang tamu, Tika beralih pandang pada Dewa yang juga akan menuju tempat yang sama. Mengetahui Dewa mengangguk samar—seolah mengatakan semua pasti baik-baik saja, Tika mengatur nafas terlebih dulu sebelum memutuskan memasuki ruangan tersebut. Melihat kemunculan pemilik rumah, Floren segara bangkit dari sofa. "Tika! Maaf. Aku baru bisa datang sekarang." Melihat sikap ramah Floren yang seakan tidak pernah terjadi ketegangan di antara mereka, Tika seketika berhenti, dan kembali menoleh Dewa yang juga ikut berhenti."Sebaiknya kita duduk," bisik Dewa menangkap kerutan di dahi sang istri. Mendapat anggukan setuju, Dewa membimbing Tika duduk di sofa yang sama. Meletakkan paper bag berukuran sedang ke atas meja, pun dengan senyum yang masih menghiasi wajahnya—Floren kembali berkata, "ada hadiah tak seberapa untuk si kecil. Diterima ya. Sekali lagi aku ucapkan selamat atas kelahiran putra kalian." Namun, ternyata Floren tak cukup berani berad
Jagat media tengah dihebohkan dengan berita kematian Firman. Pemuda dua puluh delapan tahun itu ditemukan meringkuk tak bernyawa di dalam kamarnya. Diduga luka sayatan melintang di leher, hingga putusnya urat nadi yang menjadi penyebab nyawa pemuda itu tidak bisa diselamatkan. Dugaan sementara Firman nekat mengakhiri hidup, lantaran depresi.Pernyataan tersebut diperkuat oleh keterangan tahanan lain, yang mengatakan jika sejak kedatangan teman-temannya, Firman berubah murung, dan tidak banyak bicara. Sampai akhirnya selang beberapa hari, saat petugas datang mengantarkan sarapan, berulang kali memanggil tidak juga ada jawaban—Firman tetap meringkuk di atas karpet usang, dan begitu dipastikan ternyata ada genangan darah di dekat leher yang mulai mengering. Diperkirakan Firman melancarkan aksinya saat malam hari.Naasnya, keadaan tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di kediaman Liem. Ketegangan yang menurut keterangan terjadi saat pagi hari itu, menyisakan kekacauan hingga menjadi saks
"Sayang… apa ada yang serius?""Tidak. Semuanya baik-baik saja."Barulah Dewa bisa bernafas lega setelah mendengar langsung dari mulut Tika. Sebenarnya ekspresi tenang yang ia tunjukan di hadapan semua orang tadi, sangat bertentangan dengan hati ketika mengetahui Tika pergi ke rumah sakit, dan diantar supir. Pikiran sudah tak karuan. Hal buruk seketika silih berganti datang hingga memenuhi kepala. Pasalnya, Tika bukanlah perempuan cengeng yang akan rela bolak-balik rumah sakit, jika itu hanya keluhan yang tak seberapa.Karena itulah Dewa sangat cemas memikirkan apa yang sebenarnya terjadi pada istrinya. Tak ayal sampai menyusul ke rumah sakit, dan membiarkan Sam serta Gusti yang menggantikan dirinya rapat dengan klien. Melihat keraguan di wajah Dewa, Tika segara mendekatkan mulut di telinga suami muda itu, agar Dewa tidak semakin mencemaskan dirinya."Aku baru saja berkonsultasi alat kontrasepsi yang aman aku gunakan. Bukankah katamu kita harus menunda adik untuk Arkhan?" Kendati awa
"Aku hanya ingin kalian tetap hidup. Sekalipun aku harus membayar mahal untuk itu, karena tidak bisa lagi bersamamu, aku terima. Setidaknya bisa melihatmu tetap bernafas itu sudah lebih dari cukup."Pandangan Floren seketika terangkat, kemarahan semakin membumbung tinggi ia rasakan. Semudah itukah Roland memutus sesuatu yang sebenarnya sangat sulit ia lalui? Dimana empati lelaki itu yang justru mengalah dengan keadaan, dan membiarkan dirinya kesakitan seorang diri. Alih-alih bertindak selayaknya lelaki sejati."Aku memang tidak pernah tahu perjanjian apa yang kau sepakati dengan Tuan Liem, " lirih Floren disertai kemarahan yang terlihat jelas dari sorot matanya yang memerah. "Tapi tidak bisakah kau memberiku penjelasan? Atau setidaknya memintaku pergi menggunakan bahasa manusia? Bukan malah berlaku picik dengan merekayasa kecelakaan itu. Cih! Membuat statement rendahan hanya karena ingin menikahi perempuan lain. Memalukan!" Floren bersungut-sungut meluapkan amarah yang hampir meledakk
"Tetap tidak bisa, Nona. Anda harus membuat janji terlebih dahulu.""Kalian berisik sekali! Katakan saja aku teman bos kalian. Dia pasti paham!" ketus Clara.Semakin jengah dengan sikap Clara yang bersikeras ingin dipertemukan dengan atasan mereka, dua resepsionis wanita itu pun saling bertukar pandang dengan raut wajah menahan kesal."Kenapa masih diam saja? Cepat beritahu bos kalian jika aku, Clara sedang menunggu di sini," ujarnya lagi penuh percaya diri. "Sedikit cepat ya… aku tidak terbiasa menunggu." Sambil mengibaskan tangan ke depan wajah, Clara berpaling ke samping. Mengusir bosan dengan mengedarkan pandangan—memperhatikan interior yang ada di sekitarnya. Dalam hati Clara masih saja menggerutu akan kebodohannya yang gegabah memilih Alan—lelaki yang ternyata sangat perhitungan. Seandainya saja ia tahu sejak awal, jika Dewa merupakan pewaris tunggal Adiraksa, tentu saja ia akan bertahan dengan lelaki itu—meski sebenarnya hanya menginginkan tubuhnya. Tapi setidaknya sekarang,
"Ini untukku?" Melihat gadis kecil itu mengangguk antusias, Floren tersenyum senang. "Terima kasih. Bunganya sangat cantik. Siapa namamu, Sayang? Oh." Floren berubah tercenung, saat mengetahui gadis yang sejak tadi terus melukis wajahnya dengan senyum manis itu, rupanya penyandang disabilitas."Maafkan aku." Floren segera menjatuhkan lutut, dan memeluk gadis itu yang juga langsung melingkarkan tangan ke lehernya.'Kenapa rasanya begitu menenangkan. Melihat gadis ini, aku seperti melihat diriku sendiri versi kecil.'Sejenak menyelami rasa yang semakin menjalar hati—Floren ingin sebentar saja meminjam gadis itu untuk mengembalikan ketenangan yang nyaris tidak pernah ia dapatkan lagi—setelah kebahagiaannya direnggut paksa beberapa tahun lalu. Terlalu lama terombang-ambing di lautan lepas, Floren tidak tahu dermaga mana yang akan dituju. Hingga membuatnya berada dalam ketidakpastian. Ketika itu yang bisa dilakukan hanya bertahan, menjaga seimbangan agar tidak sampai terguling dan tenggel
Clara begitu terkejut setelah mendengar apa yang baru saja ibunya sampaikan. Bahkan karena terlalu terkejut, sampai-sampai perempuan yang masih menggulung rambutnya dengan handuk kecil itu, masih mematung meski ibunya telah berlalu."Tidak mungkin, tidak mungkin dia pewaris tunggal Adiraksa. Dia hanya berandal yang kebetulan bisa menikahi wanita konglomerat itu. Yah! Derajatnya tidak mungkin lebih tinggi dari Alan." Berulang kali Clara menyakinkan diri, apa yang ibunya sampaikan hanyalah rumor yang pasti tidak valid kebenarannya. Mustahil Dewa seorang milyader yang kekayaannya jangankan satu Alan, bahkan sepuluh Alan pun tidak bisa menandinginya. "Tapi jika itu benar, apa yang harus kulakukan agar bisa kembali padanya?""Clara!!"Namun, di selah-selah perempuan itu sedang menyusun rencana, tiba-tiba suara teriakan dari lantai dua—tepatnya kamar utama, terdengar menggema ke segala penjuru rumah Alan yang memang tidak terlalu luas. Seketika itu, Clara berdecak kesal saat melirik ke la
"Sialan! Dia benar-benar keras kepala," geram Dewa seraya menyadarkan punggung dan menyilangkan satu kaki di atas kaki yang lain. "Cih. Dia pikir aku akan tetap diam saja dan membiarkan dia semakin besar kepala? Jelas saja tidak!"Gusti yang masih serius membaca berkas di depannya, menoleh singkah. Rupanya gerutuan Dewa cukup membuatnya terusik. "Kasih dia paham, seberapa berharga Kak Tika untukmu. Dia hanya masa lalu, tidak berhak mencampuri masa depanmu. Apalagi yang terjadi pada kalian dulu bukanlah cinta, melainkan simbiosis mutualisme, dan seharusnya dia cukup sadar diri akan itu," ujarnya tanpa mengalihkan pandangan."Kau tahu sendiri, aku tidak bisa berbuat banyak saat Tika bersamaku. Bahkan ketika dia mengklaim Tika juga tidak berhak denganku, jika aku tidak mau menerimanya. Hampir saja aku hilang kendali. Bagaimana bisa dia selancang itu pada ibu dari putraku!"Dewa semakin bersungut-sungut—-sangat kesal akan sikap Floren semalam yang masih bersikeras ingin memisahkan dirinya
Di bawah kucuran air shower, Roland masih betah merapatkan dahi ke dinding. Dengan kedua tangan mencengkram rambut belakang, ia masih saja menyesali tindakannya yang sudah menggoda Pratiwi. Sehingga memberi kesempatan perempuan itu untuk bisa menggagahi tubuhnya. Mungkin ia sudah benar-benar sinting karena berani menantang predator yang memang pecandu seks, hingga akhirnya menodai kesucian tubuhnya yang pernah ia dedikasikan hanya untuk satu perempuan saja.Floren memiliki berpengaruh penting sampai ia bisa menjadi sosok yang sekarang—-dingin nyaris tak tersentuh. Bahkan sering kali Pratiwi beranggapan, jika keegoisan Tuan Liem juga telah memangkas jiwa kelelakian Roland yang selalu tak acuh padanya.Padahal sekian tahun tinggal bersama dalam satu atap, mendapati Pratiwi mengenakan gaun seksi bahkan nyaris seperti tak berbusana hampir setiap hari Roland temui. Tetapi lelaki yang memiliki tahi lalat di dekat hidung itu, tak sekalipun menunjukan ketertarikannya. Meski sebenarnya Pratiwi