"Cukup mengejutkan. Rupanya di generasi Milenial yang sekarang, masih ada perempuan polos dan selugu Tika. Tapi apa aku perlu berbangga diri karena menjadi yang pertama untuknya?"
Menahan senyum mengingat bagaimana Tika semalam. Awalnya bersikap malu-malu, tapi pada akhirnya bisa menikmati permainan panasnya. Persis seperti para perempuan terdahulunya, menantang di awal tapi selalu berakhir dengan desahan. "Ck. Rasanya aku ingin membawanya kembali ke kamar," ujar Dewa saat memperhatikan Tika dari jarak lumayan jauh. Kendati demikian, ia bisa melihat jelas jika istri kontraknya itu sedang membicarakan sesuatu yang penting dengan dua lelaki di depannya."Tapi kalau dipikir-pikir, kasihan juga dia, ya? Pasti selama ini hidupnya sangat membosankan karena setiap hari selalu berhadapan dengan orang-orang berdasi seperti mereka. Dan aku yakin, dia tidak memiliki kebebasan seperti Inez. Sampai akhirnya terlambat menikah, dan terperdaya rayuan Kadal Darat Roland." Sebenarnya terselip rasa bersalah di hati Dewa karena tidak bisa menahan diri malam. Alhasil sekarang Tika terlihat sangat menjaga langkahnya."Silahkan, Tuan."Melihat pramusaji wanita sudah selesai menyajikan pesanan untuknya, Dewa segara menangguk dan menjawab, "terima kasih."Pramusaji itu pun balik menjawab sopan, setelahnya pamit undur diri. Tanpa membuang waktu, Dewa yang memang sudah sangat lapar segera memperbaiki posisi duduknya. Lantas, menyantap sarapan yang sebenarnya sudah terlambat sejak satu jam lalu.Disela menikmati makanannya, pandangan Dewa sesekali kembali pada Tika. Sehingga tanpa sengaja mata mereka sering bertemu. Berselang kurang dari tiga puluh menit, Dewa sudah menyelesaikan sarapannya. Tapi obrolan di meja sana, belum juga berakhir—masih nampak serius."Sebenarnya apa yang mereka bicarakan." Mengangkat singkat gelas minumannya ke udara saat tahu Tika kembali menoleh padanya. Walaupun hanya dibalas anggukan oleh perempuan itu, sebelum akhirnya kembali fokus pada dua pria di depannya. Setidaknya Dewa sudah beritikad baik, dengan menawarkan minuman yang sedang ia nikmati pada istri kontrak yang ada di ujung saja."Apa aku harus menunggu di sini sampai dia selesai? Mana tahan. Bosanlah," celetuk Dewa seraya mengalihkan pandangan ke luar kaca, dan tiba-tiba saja satu alisnya mendesak naik. Mendapati keramaian yang ada di bangunan seberang jalan."Sepertinya di sana ada yang menarik?" Cukup penasaran dengan apa yang terjadi di seberang sana, Dewa memutuskan pergi setelah mengetahui rapat Tika sepertinya akan berlangsung lebih lama dari yang ia prediksi. Setelah membayar tagihan, Dewa benar-benar meninggalkan restoran hotel tanpa menoleh lagi ke meja Tika.'Mau kemana dia? Apa sebelumnya dia sudah pernah datang ke Kota ini?' kata Tika menduga-duga dalam hati, melihat Dewa terus berjalan menuju jalan raya."Bagaimana Ibu Cantika? Apa ada pertanyaan lagi?"Terlalu fokus memperhatikan Dewa, Tika sampai tidak mendengar apa yang disampaikan salah satu pria di depannya."Bagaimana Buk? Apa ada pertanyaan lagi?"Bahkan setelah mengulang dua kali, baru Tika yang tersentak dan buru-buru membenahi posisi duduknya. Kembali menunjukkan raut serius."Heem! Maaf. Sepertinya tidak ada lagi pertanyaan dari saya. Tapi kalau ada laporan tambahan kirim aja lewat email. Saya pasti akan secepatnya memberi jawaban agar Tuan-tuan tidak lama menunggu, dan tentunya proyek kita bisa segera dikerjakan." Kedua pria itu pun serentak mengangguk bersamaan. "Saya rasa cukup pertemuan hari ini. Maaf sudah mengganggu waktu libur kalian.""Tidak masalah Ibu Cantika, mengingat pertemuan ini sangat urgent dan harus segera ditindaklanjuti. Kami akan selalu siap siaga kapan saja jika Ibu inginkan." Tika membalas dengan senyum lebar. Loyalitas kedua pria itu memang tidak diragukan lagi."Silahkan.""Terima kasih." Tika mengangguk sopan saat dipersilahkan lebih untuk meninggalkan tempat pertemuan mereka.*****Sementara di depan bangunan satu lantai yang paling ramai dari yang lain, rasa ingin tahu Dewa semakin menggebu. Sebenarnya ada pertunjukan apa di dalam sana, sampai bisa menarik perhatian pengunjung sebanyak itu. Tidak ingin terlewatkan, Dewa menyibak beberapa orang yang berdiri di dekat pintu. Tidak peduli walaupun tindakan tersebut sempat mendapat protes. Yang terpenting rasa ingin tahunya terobati.Dewa sudah berhasil berada di tengah-tengah ruangan yang lumayan luas. Setelah sempat memperhatikan setiap sudutnya yang terpanjang berbagai ukuran bonsai buatan, pandangan Dewa tertuju pada seorang laki-laki yang tengah serius melengkungkan kawat tembaga anil, dan membentuknya menyerupai batang pohon versi mini. Kendati tidak melihat jelas wajah lelaki itu, tapi Dewa ikut terhanyut menyaksikan kepiawaian tangannya yang begitu terampil. Memelintir dengan alat khusus kawat tembaga berukuran satu sampai empat milimeter tersebut, dan sebanyak lingkar lengan orang dewasa untuk dibentuk sesuai keinginan. Terlihat mudah tapi sebenarnya itu membutuhkan keahlian dan ketelitian. "Jadi seperti itu proses pembuatannya? Kreatif," gumam Dewa beralih ke arah lain. Saat itulah ia menemukan satu bonsai yang tersimpan di dalam kotak kaca. Entah mengapa dari semua yang terpajang, hanya itu yang paling menarik perhatiannya.Namun, ketika Dewa dan pengunjung lain masih larut menikmati hasil karya tangan anak manusia. Suara dari arah pintu berhasil menarik perhatian sebagian pengunjung, tak kecuali Dewa."Lima puluh juta. Lelang hari ini resmi saya buka."Merasa sangat familiar dengan suara itu, Dewa memutar kepala ingin memastikan. Seketika itu ia membelalakan mata mengetahui siapa yang sedang berjalan ke arahnya. 'Roland.' Detik berikutkan Dewa mengeraskan rahang. Tahu apa tujuan sebenarnya lelaki itu membuka harga."Apa ada yang berani menawar lebih tinggi lagi?" kata Roland penuh percaya diri, setelah berdiri di dekat bonsai yang sempat membuat Dewa kagum.Kehilangan semangat mengetahui akan terjadi pelelangan harga, Dewa memilih mundur. Ia tidak lagi berminat melihat sesuatu yang menurutnya menjadi sangat membosankan."Hei! Anda yang memakai kemeja navy. Kenapa mundur? Apa uang saku Anda tidak cukup untuk mengikuti pelelangan ini?"Sontak saja, Dewa menghentikan langkahnya menyadari seruan Roland memang ditujukan padanya. Tapi sialnya, Dewa yang langsung menundukan kepala, membuat Roland salah paham."Iya, Anda. Kenapa masih dipastikan lagi? Mungkinkah Anda lupa telah memakai pakaian apa tadi?" Mendengar tawa sumbang Roland, Dewa langsung memutar badan ke belakang. "Syukurlah … ternyata saya tidak salah mengenali," tambah Roland disertai senyum licik. "Ternyata benar, Anda suami dari seorang Ceo ternama itu. Saya sungguh tidak menyangka, orang seperti Anda mau menyaksikan pembuatan kerajinan tangan di tempat seperti ini. Suatu kehormatan bagi saya selaku pemiliknya." Kendati terkejut mengetahui Roland pemilik tempat itu, Dewa cukup tenang dengan memasukan kedua tangan ke dalam saku celana. Ia tidak boleh terpancing, apalagi sampai terlihat menyedihkan. Meski sebenarnya isi dompetnya menjerit mengenaskan di dalam sana."Memangnya ada apa dengan tempat ini, Tuan Roland? Saya bukan orang yang melihat suatu karya hanya dari tempatnya. Sebab, bagi saya hasil akhir merupakan hal terpenting.""Oh, really? Kalau begitu Anda berani menawar berapa untuk karya kami yang ini, Tuan?"Sial. Tapi Dewa masih cukup baik mempertahankan ketenangannya."Tentu saja uang bukan masalah besar bagi orang seperti Anda, Tuan. Bukankah begitu? Untuk itu, saya sengaja membuka penawaran pertama lima puluh juta, dan penawar tertinggi bisa membawa pulang karya terbaik kami." "Baiklah. Seratus juta," ujar Dewa pelan. Tepatnya malas menanggapi permainan Roland. "Bagus. Seratus juta pertama. Ada yang lain?""Seratus dua puluh lima juta," seru pria lain dari sisi kiri.Mendengar itu Dewa menyentak punggung. Tiba-tiba mulutnya berubah berat saat akan kembali dibuka. Walaupun masih menampilkan ekspresi tenang, tetapi sebenarnya Dewa sangat ingin melayangkan tinju di wajah tampan Ronald yang terus tersenyum remeh padanya. Lelaki itu sengaja ingin mempermalukan dirinya."Seratus lima puluh juta, seru pengunjung lain lagi.Roland semakin bersemangat. Terlebih mengetahui Dewa berat untuk kembali bersuara. Meyakinkan dugaan Roland jika Dewa mulai kehilangan kepercayaan diri."Dua ratus juga!" Kali ini mata Dewa terpejam. Pasrah jika akhirnya ia akan dipermalukan di tempat asing. Meski sebenarnya harga dirinya sangat menentang tidak terima "Tiga ratus juta!""Sialan. Sepertinya dia ingin bermain-main dengan saya. Kalau saja tadi dia tidak mengatakan saya seorang suami dari Ceo ternama. Sudah bisa dipastikan, saya akan membuat wajah menyebalkannya itu babak belur," geram Dewa begitu mendudukan diri di sofa—bersebelahan dengan Tika."Sudahlah. Tidak perlu dipermasalahkan lagi. Ronald memang seperti itu, suka mencari keributan."Bukannya tenang, Dewa malah bertambah kesal mendengarnya. Ternyata Tika masih saja ingin melindungi laki-laki itu. Kendati itu memang hak Tika, tetapi tindakan Roland sudah benar-benar melukai harga dirinya. Ia memang berandal, tapi baru Roland yang berani mempermalukannya di tempat umum. "Cih. Seperti orang tidak bermartabat saja." Ternyata harta dan pendidikan tinggi tidak menjadikan seseorang bisa ber attitude baik. Sama halnya Roland, Dewa tidak menyangka terlalu cerdas Roland akan bertindak serendah itu untuk menjatuhkan orang lain. Bahkan untuk disebut laki-laki sejati pun tindakannya tidak akan pernah layak.
"Sejak kapan kau ada di sini?" "Dewa! Astaga. Ngagetin aja!" Terlalu terkejut, Gusti yang sebelumnya sedang menyeduh kopi, spontan mendekap area bawahnya dengan kedua tangan. "Najis! Kau pikir aku sudi menyentuh itumu?" Menatap sinis Gusti yang polosnya juga menundukan kepala—mencemaskan aset berharganya."Hehe… itu namanya gerakan reflek melindungi diri dari predator.""Predator. Mama Muda, iya."Mata Gusti mendelik tajam seketika, dan detik berikutnya bergidik ngeri. "Aku selalu merinding setiap kali mendengar ada yang menyebut Mama Muda."Dewa terbahak, suaranya semakin menggelegar manakala melihat wajah tegang Gusti. Bisa dipastikan, peristiwa menggelikan beberapa bulan lalu kembali melintasi benak sahabatnya itu. "Momen itu terlalu sulit aku lupakan.""Yah! Dan tertawalah sepuasmu sekarang," kesal Gusti sebelum akhirnya menyadari penampilan Dewa yang berbeda dari biasanya. "Kau jauh lebih baik dengan pakaian rapi begini. Setelah hilang dua hari, tak kusangka pulang berubah bak
"Terima kasih, Anda boleh pergi sekarang.""Sama-sama, Nyonya. Kalau begitu saya permisi."Melihat Tika mengangguk, pria itu pun langsung mengangguk patuh, dan bergegas pergi meninggalkan Tika di ruang tengah. Tidak bisa menunggu lagi, Tika yang memang sudah sangat penasaran—membuka berkas terbungkus map coklat. Setelah menarik semua lembaran yang ada di dalam map tersebut, dengan teliti Tika membaca tulisan yang tertera di setiap lembaran—berharap tidak ada satupun keterangan yang terlewatkan."Jadi ini kehidupan bebas yang dia maksud? Tapi aneh. Kenapa tidak tercantum siapa orang tuanya? Apa dia yatim piatu?" Tika bermonolog."Kakak bicara dengan siapa?" "Tidak ada."Kemunculan Inez yang tiba-tiba, mengejutkan Tika. Tidak ingin Inez mengetahui jika itu data diri Dewa yang baru didapatkan dari orang suruhannya, Tika buru-buru memasukan semua lembaran ke dalam map. "Oh." Kendati tidak percaya begitu saja. Terlebih setelah menangkap wajah terkejut sang kakak, pun dengan map yang ada d
Setelah membuat kekacauan dengan merobohkan beberapa motor yang terparkir memanjang di sisi jalan. Sang Stunt Rider pun memulai aksi stunt riding, guna membelah kerumunan anak manusia yang memenuhi jalan. Motor besar yang dikendalikan laki-laki lengkap dengan penutup kepalanya itu, baru berhenti tepat di hadapan pemuda yang sudah akan menunggangi kuda besinya—siap melakukan hal yang sama karena merasa tertantang."Bang Cakra?" Pemuda itu tampak terkejut begitu lelaki yang sempat membuatnya kesal telah membuka menutup kepala, dan sayangnya bukan seseorang yang ia tunggu. "Kenapa Abang bisa ada di sini, dan ini? Bukankah motor Dewa? Dimana dia? Mungkinkah seorang rider hebat sepertinya tidak cukup nyali menerima tantangan dariku?""Bubar!!" Enggan menanggapi cibiran Venus terhadap Dewa, pandangan Cakra justru tertuju pada sekitar—pemuda-pemuda lain yang belum berniat pergi meninggalkan tempat itu. Memilih tetap bertahan di tepi jalan."Abang jangan ikut campur! Ini urusanku dengan Dewa
"Seperti yang dia inginkan, tinggal bersama agar aku bisa segera membuatnya hamil, dan setelah mendapat uang darinya aku bisa membeli rumah. Yah! Semudah itu."Namun, mendadak Dewa berubah pikiran. Ia pun urung turun dari kendaraan yang mesinnya bahkan sudah dimatikan—menatap sendu pintu gerbang rumah Tika yang masih tertutup rapat."Tetap saja ini tidak bisa dibenarkan. Aku laki-laki dan seharusnya aku yang bertanggung jawab membawanya. Tapi mana mungkin dia bersedia tinggal di kontrakan Bang Cakra. Cih!" Tiba-tiba tersenyum geli saat mengingat status mereka. "Dewa, Dewa, selain mustahil. Memangnya apa yang mendasari dia mau hidup susah dengan berandal sepertimu, bodoh!" Ia merasa benar-benar konyol telah bersikap layaknya seorang suami sungguhan. Padahal pernikahan mereka saja hanya kontrak dan mungkin berlaku dalam hitungan bulan kedepan. Lantas, untuk apa ia memusingkan perihal tanggung jawab, dan mengutamakan gengsi sebagai laki-laki. Sedangnya tugasnya saja cukup membuat Tika h
"Boleh saya tanyakan sesuatu?"Dewa yang sudah berbaring—menggunakan satu lengan sebagai bantal, menoleh Tika yang masih duduk bersandar. "Silahkan ""Apa pendidikan terakhir Abang?" Tika langsung menggigit bibir bawah bagian dalam, khawatir Dewa salah paham."Saya hanya pernah sekolah hingga menengah atas. Itu pun tidak sampai lulus." Melihat Dewa masih cukup tenang saat menjawab, setidaknya Tika bisa sedikit bernafas lega.Sementara Dewa terpaksa berbohong. Merasa tidak perlu Tika mengetahui siapa dirinya dulu. Selain hal tersebut hanya akan membuka kembali luka yang saat ini saja belum sepenuhnya sembuh. Dewa juga merasa tetap lebih baik dikenal sebagai berandal.Mendengar jawaban Dewa, Tika seperti sedang berpikir keras."Mbak menyesal telah melakukannya dengan pemuda seperti saya? Tidak memiliki latar belakang pendidikan yang memadai?""Bukan itu yang sedang saya pikirkan," sanggah Tika tidak ingin Dewa berkecil hati. Walaupun sebenarnya gurat kekecewaan itu jelas Dewa temukan. "
"Bagaimana? Masih mau lanjut atau resign kamu, Wa?""Memangnya Abang percaya dengan apa yang aku sampaikan semalam?" Selain anggukan samar yang tidak Dewa ketahui, reaksi Cakra semalam benar-benar tidak bisa ditebak. Bahkan Dewa menganggap Cakra sama seperti Gusti—tidak mempercayai penjelasannya.Mendengar itu, Cakra mendesak kedua alis tinggi, pun dengan bibir yang jelas sedang menahan senyum. Kendati semalam ia hanya diam membiarkan Gusti meragukan ucapan Dewa, tetapi sebenarnya ia tak lantas sependapat dengan anak sambungnya itu.Bukankah bagus jika Dewa menikah? Dengan begitu tidak lagi menekuni kebiasaannya yang bebas? Karena jelas sekarang Dewa memiliki kesibukan baru dengan istri, dan Cakra juga berharap istri Dewa bisa merubah pemuda itu menjadi manusia yang lebih baik. Tentunya bermanfaat untuk orang lain.Istri. Memang kerap kali membawa dampak positif untuk para lelaki yang sudah berstatus suami. Kebiasaan-kebiasaan buruk ataupun pola hidup tidak sehat yang dulu para lel
"Kenapa tidak dimakan Nez? Atau kau menginginkan yang lain? Biar Bik Santi buatkan. Tunggu sebentar." Baru Tika akan membuka mulut, suara Inez membuatnya kembali beralih ke depan. "Tidak usah, Kak." "Tapi sejak tadi aku perhatikan, kau sama sekali belum menyentuh makananmu?""Selera makanku memburuk akhir-akhir ini," kilah Inez sendu. "Mungkin pengaruh hormon."Lain halnya dengan Tika yang berubah cemas. "Apa dia baik-baik saja? Mau ke dokter?""Dia baik-baik saja. Kakak jangan khawatir. Mungkin buah bisa mengurangi rasa asam di mulutku."Mengetahui letak keranjang buah lebih jauh dari Inez, Tika segera menggeser ke dekat sang adik, agar Inez bisa mengambil apa yang inginkan."Mbak Inez mau bibi buatkan susu?" Bik Santi yang baru menyajikan sup, ikut bersuara."Tidak usah, Bik. Nanti saja," tolak Inez lagi dengan tangan terulur mengambil satu jeruk. Sementara Dewa yang masih menikmati makanannya di sebelah Tika, hanya menyimak pembicaraan para wanita tanpa berniat ikut serta menye
Begitu tahu siapa yang sedang menunggu mereka di ruang tamu, Tika beralih pandang pada Dewa yang juga akan menuju tempat yang sama. Mengetahui Dewa mengangguk samar—seolah mengatakan semua pasti baik-baik saja, Tika mengatur nafas terlebih dulu sebelum memutuskan memasuki ruangan tersebut. Melihat kemunculan pemilik rumah, Floren segara bangkit dari sofa. "Tika! Maaf. Aku baru bisa datang sekarang." Melihat sikap ramah Floren yang seakan tidak pernah terjadi ketegangan di antara mereka, Tika seketika berhenti, dan kembali menoleh Dewa yang juga ikut berhenti."Sebaiknya kita duduk," bisik Dewa menangkap kerutan di dahi sang istri. Mendapat anggukan setuju, Dewa membimbing Tika duduk di sofa yang sama. Meletakkan paper bag berukuran sedang ke atas meja, pun dengan senyum yang masih menghiasi wajahnya—Floren kembali berkata, "ada hadiah tak seberapa untuk si kecil. Diterima ya. Sekali lagi aku ucapkan selamat atas kelahiran putra kalian." Namun, ternyata Floren tak cukup berani berad
Jagat media tengah dihebohkan dengan berita kematian Firman. Pemuda dua puluh delapan tahun itu ditemukan meringkuk tak bernyawa di dalam kamarnya. Diduga luka sayatan melintang di leher, hingga putusnya urat nadi yang menjadi penyebab nyawa pemuda itu tidak bisa diselamatkan. Dugaan sementara Firman nekat mengakhiri hidup, lantaran depresi.Pernyataan tersebut diperkuat oleh keterangan tahanan lain, yang mengatakan jika sejak kedatangan teman-temannya, Firman berubah murung, dan tidak banyak bicara. Sampai akhirnya selang beberapa hari, saat petugas datang mengantarkan sarapan, berulang kali memanggil tidak juga ada jawaban—Firman tetap meringkuk di atas karpet usang, dan begitu dipastikan ternyata ada genangan darah di dekat leher yang mulai mengering. Diperkirakan Firman melancarkan aksinya saat malam hari.Naasnya, keadaan tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di kediaman Liem. Ketegangan yang menurut keterangan terjadi saat pagi hari itu, menyisakan kekacauan hingga menjadi saks
"Sayang… apa ada yang serius?""Tidak. Semuanya baik-baik saja."Barulah Dewa bisa bernafas lega setelah mendengar langsung dari mulut Tika. Sebenarnya ekspresi tenang yang ia tunjukan di hadapan semua orang tadi, sangat bertentangan dengan hati ketika mengetahui Tika pergi ke rumah sakit, dan diantar supir. Pikiran sudah tak karuan. Hal buruk seketika silih berganti datang hingga memenuhi kepala. Pasalnya, Tika bukanlah perempuan cengeng yang akan rela bolak-balik rumah sakit, jika itu hanya keluhan yang tak seberapa.Karena itulah Dewa sangat cemas memikirkan apa yang sebenarnya terjadi pada istrinya. Tak ayal sampai menyusul ke rumah sakit, dan membiarkan Sam serta Gusti yang menggantikan dirinya rapat dengan klien. Melihat keraguan di wajah Dewa, Tika segara mendekatkan mulut di telinga suami muda itu, agar Dewa tidak semakin mencemaskan dirinya."Aku baru saja berkonsultasi alat kontrasepsi yang aman aku gunakan. Bukankah katamu kita harus menunda adik untuk Arkhan?" Kendati awa
"Aku hanya ingin kalian tetap hidup. Sekalipun aku harus membayar mahal untuk itu, karena tidak bisa lagi bersamamu, aku terima. Setidaknya bisa melihatmu tetap bernafas itu sudah lebih dari cukup."Pandangan Floren seketika terangkat, kemarahan semakin membumbung tinggi ia rasakan. Semudah itukah Roland memutus sesuatu yang sebenarnya sangat sulit ia lalui? Dimana empati lelaki itu yang justru mengalah dengan keadaan, dan membiarkan dirinya kesakitan seorang diri. Alih-alih bertindak selayaknya lelaki sejati."Aku memang tidak pernah tahu perjanjian apa yang kau sepakati dengan Tuan Liem, " lirih Floren disertai kemarahan yang terlihat jelas dari sorot matanya yang memerah. "Tapi tidak bisakah kau memberiku penjelasan? Atau setidaknya memintaku pergi menggunakan bahasa manusia? Bukan malah berlaku picik dengan merekayasa kecelakaan itu. Cih! Membuat statement rendahan hanya karena ingin menikahi perempuan lain. Memalukan!" Floren bersungut-sungut meluapkan amarah yang hampir meledakk
"Tetap tidak bisa, Nona. Anda harus membuat janji terlebih dahulu.""Kalian berisik sekali! Katakan saja aku teman bos kalian. Dia pasti paham!" ketus Clara.Semakin jengah dengan sikap Clara yang bersikeras ingin dipertemukan dengan atasan mereka, dua resepsionis wanita itu pun saling bertukar pandang dengan raut wajah menahan kesal."Kenapa masih diam saja? Cepat beritahu bos kalian jika aku, Clara sedang menunggu di sini," ujarnya lagi penuh percaya diri. "Sedikit cepat ya… aku tidak terbiasa menunggu." Sambil mengibaskan tangan ke depan wajah, Clara berpaling ke samping. Mengusir bosan dengan mengedarkan pandangan—memperhatikan interior yang ada di sekitarnya. Dalam hati Clara masih saja menggerutu akan kebodohannya yang gegabah memilih Alan—lelaki yang ternyata sangat perhitungan. Seandainya saja ia tahu sejak awal, jika Dewa merupakan pewaris tunggal Adiraksa, tentu saja ia akan bertahan dengan lelaki itu—meski sebenarnya hanya menginginkan tubuhnya. Tapi setidaknya sekarang,
"Ini untukku?" Melihat gadis kecil itu mengangguk antusias, Floren tersenyum senang. "Terima kasih. Bunganya sangat cantik. Siapa namamu, Sayang? Oh." Floren berubah tercenung, saat mengetahui gadis yang sejak tadi terus melukis wajahnya dengan senyum manis itu, rupanya penyandang disabilitas."Maafkan aku." Floren segera menjatuhkan lutut, dan memeluk gadis itu yang juga langsung melingkarkan tangan ke lehernya.'Kenapa rasanya begitu menenangkan. Melihat gadis ini, aku seperti melihat diriku sendiri versi kecil.'Sejenak menyelami rasa yang semakin menjalar hati—Floren ingin sebentar saja meminjam gadis itu untuk mengembalikan ketenangan yang nyaris tidak pernah ia dapatkan lagi—setelah kebahagiaannya direnggut paksa beberapa tahun lalu. Terlalu lama terombang-ambing di lautan lepas, Floren tidak tahu dermaga mana yang akan dituju. Hingga membuatnya berada dalam ketidakpastian. Ketika itu yang bisa dilakukan hanya bertahan, menjaga seimbangan agar tidak sampai terguling dan tenggel
Clara begitu terkejut setelah mendengar apa yang baru saja ibunya sampaikan. Bahkan karena terlalu terkejut, sampai-sampai perempuan yang masih menggulung rambutnya dengan handuk kecil itu, masih mematung meski ibunya telah berlalu."Tidak mungkin, tidak mungkin dia pewaris tunggal Adiraksa. Dia hanya berandal yang kebetulan bisa menikahi wanita konglomerat itu. Yah! Derajatnya tidak mungkin lebih tinggi dari Alan." Berulang kali Clara menyakinkan diri, apa yang ibunya sampaikan hanyalah rumor yang pasti tidak valid kebenarannya. Mustahil Dewa seorang milyader yang kekayaannya jangankan satu Alan, bahkan sepuluh Alan pun tidak bisa menandinginya. "Tapi jika itu benar, apa yang harus kulakukan agar bisa kembali padanya?""Clara!!"Namun, di selah-selah perempuan itu sedang menyusun rencana, tiba-tiba suara teriakan dari lantai dua—tepatnya kamar utama, terdengar menggema ke segala penjuru rumah Alan yang memang tidak terlalu luas. Seketika itu, Clara berdecak kesal saat melirik ke la
"Sialan! Dia benar-benar keras kepala," geram Dewa seraya menyadarkan punggung dan menyilangkan satu kaki di atas kaki yang lain. "Cih. Dia pikir aku akan tetap diam saja dan membiarkan dia semakin besar kepala? Jelas saja tidak!"Gusti yang masih serius membaca berkas di depannya, menoleh singkah. Rupanya gerutuan Dewa cukup membuatnya terusik. "Kasih dia paham, seberapa berharga Kak Tika untukmu. Dia hanya masa lalu, tidak berhak mencampuri masa depanmu. Apalagi yang terjadi pada kalian dulu bukanlah cinta, melainkan simbiosis mutualisme, dan seharusnya dia cukup sadar diri akan itu," ujarnya tanpa mengalihkan pandangan."Kau tahu sendiri, aku tidak bisa berbuat banyak saat Tika bersamaku. Bahkan ketika dia mengklaim Tika juga tidak berhak denganku, jika aku tidak mau menerimanya. Hampir saja aku hilang kendali. Bagaimana bisa dia selancang itu pada ibu dari putraku!"Dewa semakin bersungut-sungut—-sangat kesal akan sikap Floren semalam yang masih bersikeras ingin memisahkan dirinya
Di bawah kucuran air shower, Roland masih betah merapatkan dahi ke dinding. Dengan kedua tangan mencengkram rambut belakang, ia masih saja menyesali tindakannya yang sudah menggoda Pratiwi. Sehingga memberi kesempatan perempuan itu untuk bisa menggagahi tubuhnya. Mungkin ia sudah benar-benar sinting karena berani menantang predator yang memang pecandu seks, hingga akhirnya menodai kesucian tubuhnya yang pernah ia dedikasikan hanya untuk satu perempuan saja.Floren memiliki berpengaruh penting sampai ia bisa menjadi sosok yang sekarang—-dingin nyaris tak tersentuh. Bahkan sering kali Pratiwi beranggapan, jika keegoisan Tuan Liem juga telah memangkas jiwa kelelakian Roland yang selalu tak acuh padanya.Padahal sekian tahun tinggal bersama dalam satu atap, mendapati Pratiwi mengenakan gaun seksi bahkan nyaris seperti tak berbusana hampir setiap hari Roland temui. Tetapi lelaki yang memiliki tahi lalat di dekat hidung itu, tak sekalipun menunjukan ketertarikannya. Meski sebenarnya Pratiwi