"Kenapa tidak dimakan Nez? Atau kau menginginkan yang lain? Biar Bik Santi buatkan. Tunggu sebentar." Baru Tika akan membuka mulut, suara Inez membuatnya kembali beralih ke depan. "Tidak usah, Kak." "Tapi sejak tadi aku perhatikan, kau sama sekali belum menyentuh makananmu?""Selera makanku memburuk akhir-akhir ini," kilah Inez sendu. "Mungkin pengaruh hormon."Lain halnya dengan Tika yang berubah cemas. "Apa dia baik-baik saja? Mau ke dokter?""Dia baik-baik saja. Kakak jangan khawatir. Mungkin buah bisa mengurangi rasa asam di mulutku."Mengetahui letak keranjang buah lebih jauh dari Inez, Tika segera menggeser ke dekat sang adik, agar Inez bisa mengambil apa yang inginkan."Mbak Inez mau bibi buatkan susu?" Bik Santi yang baru menyajikan sup, ikut bersuara."Tidak usah, Bik. Nanti saja," tolak Inez lagi dengan tangan terulur mengambil satu jeruk. Sementara Dewa yang masih menikmati makanannya di sebelah Tika, hanya menyimak pembicaraan para wanita tanpa berniat ikut serta menye
"Terima kasih sekali lagi.""Saya juga senang bisa membuat Mbak berpuas diri." Dewa ikut berbaring di samping Tika."Yah! Saya sangat puas bisa melihat wajah menyebalkan Roland menahan kesal tadi." "Tapi saya khawatir Mbak terusik dengan mereka.""Saya tidak peduli. Tujuan saya hanya Roland." Tika benar-benar mengagumkan. Perempuan tangguh yang konsisten pada keputusan awal, ingin membuat perhitungan pada Roland dan membuktikan ia bisa menikah dengan lelaki lain. Kendati tidak tahu sedekat apa hubungan Tika dan Ronald dulu. Tetapi dari cara Tika membalas lelaki itu—Dewa yakin ada hati yang terlanjur mati rasa. Dan, membuktikan betapa Tika dulu begitu dalam menaruh harapan. Persis seperti sosok yang kini entah bagaimana kabarnya.'Cih. Sialan. Kenapa tiba-tiba aku mengingatnya.'Tidak ingin sosok itu semakin dalam mempengaruhi pikirannya, Dewa memilih segera memejamkan mata. Berharap bisa segera menggapai alam mimpi."Saya juga berharap, Abang tidak terlalu memusingkan mereka.""Saya
Duduk diatas motor mengenakan kacamata hitam, serta membiarkan anak rambut yang tidak ikut diikat menjuntai mengenai dahi. Tak ayal keberadaan Dewa sukses menarik perhatian para karyawan yang baru keluar dari kantor Laksmana Group. Tidak hanya itu, ada beberapa karyawati yang langsung berbisik pada rekan di sebelahnya—begitu melewati Dewa. Kendati mengetahui hal tersebut, Dewa tetap tak acuh memainkan game di ponselnya."Bukankah itu pemuda yang kemarin mencium Ibu Cantika?" ujar perempuan kemeja navy menatap penuh sedikit Dewa."Sungguh? Kau melihatnya sendiri atau hanya mendengar dari orang lain?""Aku melihatnya sendiri."Berada di jarak yang lumayan jauh, kedua perempuan itu memberanikan diri menoleh kebelakang, memastikan Dewa secara diam-diam."Benar. Aku tidak mungkin salah mengenali. Itu pemuda yang kemarin. Apa mungkin dia kekasih baru Ibu Cantika, ya?" tafsir perempuan itu."Tapi bukankah Ibu Cantika simpanan Tuan Roland?" Spontan perempuan itu menutup mulutnya—merasa sudah s
"Tumben belum tidur?"Mendekati Tika yang berdiri menatap langit malam dari jendela yang sengaja dibuka, Dewa ikut memandang ke arah yang sama. Sebenarnya ia sudah akan pergi, hanya saja melihat Tika yang belum juga begeming sejak satu jam lalu, memunculkan rasa ingin tahu di benak Dewa. Apa yang sebenarnya Tika perhatikan?"Mau keluar?" Pandangan Tika justru menelisik penampilan Dewa yang sudah rapi. Lantas, beralih pada benda yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. "Ini sudah terlalu malam untuk keluar."Dewa mendesak alis, mungkinkah Tika tidak rela ia tinggalkan? Padahal waktu masih terlalu sore untuk dirinya yang memang terbiasa berkeliaran di malam hari."Tadinya iya. Tapi mendadak saya batalkan." Tiba-tiba jiwa narsis si playboy kampret pun meronta, menganggap Tika memang sedang membutuhkan dirinya."Selain itu saya juga khawatir tidak mendapat pintu lagi." Terkekeh pelan berusaha mencairkan suasana.Tika terlihat murung sejak mengetahui Inez menangis di balkon sore tadi.
"Brengsek! Buta kali tuh orang! Bukannya minta maaf main kabur aja, sialan!" Sambil mengibaskan pakaian atasnya yang basah, Gusti terus mengumpat lelaki yang bahkan sudah menjauh dan hilang di balik kerumunan tamu yang lain. Setelan tuksedo yang beberapa saat lalu membuatnya begitu percaya diri kini berakhir dengan bercak merah, dan sialnya lagi sangat kontras dengan warnanya yang putih."Biar sendiri juga aku tetap ingin terlihat tampan, Bodoh! Merusak suasana saja." Sempat mengeluarkan beberapa umpatan lagi, Gusti pergi ke toilet.Gusti yang kesal akhirnya melepas jasnya. Sialnya setelah dibersihkan dengan tisu serta sedikit air bukannya hilang, jas mahal itu justru semakin mengenaskan dan mustahil ia kenakannya lagi. "Awas saja. Kalau bertemu pecundang itu aku pastikan dia membayar mahal untuk ini."Menenteng jas keluar dari toilet, mata kemerahan Gusti merotasi sekitar–mencari keberadaan lelaki itu yang diharapkan masih ada di tengah pesta. Namun, setelah mencari-cari bahkan semp
Suara hentakan high heels Tika menggema di lorong rumah sakit. Tidak sabar hanya melangkah lebar, ia bahkan sampai berlari kecil agar bisa lebih cepat sampai di ruang VIP.Sejak mendapat kabar beberapa saat lalu, air mata tak juga berhenti mengalir. Kekhawatiran jelas tergambar di wajah cantik perempuan itu yang kini tampak sembab. Alasan yang membuat Tika terus berlari mengabaikan keselamatannya sendiri, tak lain karena ingin segera memastikan kondisi sang adik yang entah bagaimana sekarang. Pikirannya terlalu kalut sesaat mendengar Inez dibawa ke rumah sakit, tanpa bertanya apapun lagi setelahnya. Tika benar-benar merasa sudah kecolongan bagaimana kejadian itu bisa terjadi, sedangkan baru semalam Inez pamit kembali ke rumah yang ditempati bersama Jimmy dalam keadaan yang masih baik-baik saja. "Sayang!"Di tengah kecemasan, Tika terkejut begitu menangkap panggilan lantang dari arah belakang."Abang!" Melihat Dewa berlari mendekatinya, tidak tahu kenapa ia merasa sedikit ada ketenang
"Aku kira kita tidak akan datang ke tempat ini lagi," celetuk Gusti.Bukannya menjawab, Dewa justru mengangkat satu tangan—memanggil pelayan klub. "Beri kami wiski!" ujarnya begitu pelayan mendekat."Widih! Ngeri.. lihatlah. Bulu di lenganku saja sampai merinding begini. Yakin jali akan tetap ikut pulang bersama kita nanti?" kata Gusti berubah cemas. Namun, tidak berniat meyakinkan, Dewa hanya melirik singkat tangan Gusti setelah menarik lengan hoodienya hingga siku. Setelahnya Dewa lebih tertarik memfokuskan pandangan ke lantai dansa.Kendati bersikap tak acuh, sebenarnya Dewa sendiri merasa geli saat mengingat kenangan malam itu. Dimana ia begitu percaya diri memesan banyak minuman beralkohol. Bertujuan agar semua teman-teman klub motornya yang ada di sana, bisa ikut menikmati. Party dirayakan sebagai bentuk kemenangan atas keberhasilannya mengalahkan Firman, dan mendapatkan rumah yang sudah hadiah. Saat itu juga ada mendiang Sofyan. Dia yang terlihat paling antusias dan bersemanga
Punggung Gusti terbentur dinding sesaat lelaki bertubuh lebih besar darinya mendorongnya kuat. Kurangnya keseimbangan karena pengaruh alkohol membuat Gusti sering limbung. Sehingga kesempatan tersebut digunakan lawan untuk menyerangnya."Sialan! Tahu begini aku tadi pesan jus saja," gerutunya seraya menyentak kepala ke kiri serta kanan, setelah kembali berdiri tegak.Sedangkan di sudut lain, Dewa juga masih berusaha melumpuhkan dua lawannya. Tetapi ia yang memang tidak separah Gusti terlihat unggul setelah berhasil menjatuhkan satu lawannya hingga tak bergerak lagi. Rupanya lelaki yang ia ikuti sudah menyiapkan beberapa mengawal di dalam ruangan tersebut. Sehingga mau tak mau mereka berdua harus melumpuhkan pengawal lelaki itu terlebih dulu, sebelum menyeret tuannya keluar."Bangsat!!Pyar!!Jimmy berusaha meraih botol kedua, tapi dengan cepat Dewa menendang tubuhnya sampai tersungkur menjauhi meja.Melihat semua pengawalnya berhasil dilumpuhkan, Jimmy berniat menyerang Dewa dari belak