Punggung Gusti terbentur dinding sesaat lelaki bertubuh lebih besar darinya mendorongnya kuat. Kurangnya keseimbangan karena pengaruh alkohol membuat Gusti sering limbung. Sehingga kesempatan tersebut digunakan lawan untuk menyerangnya."Sialan! Tahu begini aku tadi pesan jus saja," gerutunya seraya menyentak kepala ke kiri serta kanan, setelah kembali berdiri tegak.Sedangkan di sudut lain, Dewa juga masih berusaha melumpuhkan dua lawannya. Tetapi ia yang memang tidak separah Gusti terlihat unggul setelah berhasil menjatuhkan satu lawannya hingga tak bergerak lagi. Rupanya lelaki yang ia ikuti sudah menyiapkan beberapa mengawal di dalam ruangan tersebut. Sehingga mau tak mau mereka berdua harus melumpuhkan pengawal lelaki itu terlebih dulu, sebelum menyeret tuannya keluar."Bangsat!!Pyar!!Jimmy berusaha meraih botol kedua, tapi dengan cepat Dewa menendang tubuhnya sampai tersungkur menjauhi meja.Melihat semua pengawalnya berhasil dilumpuhkan, Jimmy berniat menyerang Dewa dari belak
"Apa sebenarnya masalahmu denganku! Siapa yang sudah membayarmu untuk menculikku? Katakan! Berapa dia membayarmu? Aku bersedia menggantinya tiga kali lipat! Asal kau melepaskan ikatan sialan ini!"Dewa mengorek sebelah telinganya menggunakan jari dengan ekspresi meringis. Seakan permintaan Jimmy-lah penyebab rasa gatal muncul di bagian itu."Hei!! Aku bicara denganmu! Atau kau memang tuli!!" pekik Jimmy geram merasa diabaikan."Sepertinya aku akan membutuhkan brankas lebih besar jika bekerja denganmu, bukannya begitu?"Bak mendapat angin segar, wajah Jimmy dengan cepat berubah sumringah. "Kau bahkan bisa tidur beralas uang dariku. Sekarang lepaskan ikatan ini. Aku akan meminta asistenku menyiapkan uangnya untukmu sekarang juga.""Sayangnya aku tidak tertarik," kata Dewa seraya bangkit. "Aku lebih tertarik membuatmu tersiksa sebelum mendekam di penjara." Tersenyum puas melihat Jimmy menunjukkan ekspresi cengo, sebelum akhirnya membelalakan mata dan kembali berontak."Brengsek!!! Siapa k
"Bagaimana kalau salah satu dari kita saja yang melakukannya," terang Dewa setibanya mereka kembali di depan gudang dimana Jimmy disekap."Kau masih ingin menyiksaku dengan melawannya? Dimana peri kelelakianmu, hah?" "Cih! Dasar lemah!""Serah! Kau saja yang masuk. Aku akan menunggu di sini. Jika terjadi sesuatu, aku pasti akan menolongmu. Berdoa saja aku tidak sampai tertidur," ucap Gusti sembari duduk di satu dari kursi yang ada di depan gudang.Menghela nafas panjang, Dewa menatap iba Gusti. Selain tidak bisa banyak minum yang mengandung alkohol, sahabatnya itu juga selalu kalah melawan rasa kantuk. Dewa yakin, perempuan Jimmy semalam sudah sangat merepotkan, sampai mata Gusti tak ubahnya seperti mata panda. Dilingkari warna hitam dan tampak sayu."Baiklah, aku yang akan masuk." Dewa berjalan yakin mendekati pintu, meski harus menunduk saat melewatinya. Karena tinggi tubuhnya melebihi ukuran pintu. Raut wajah Dewa berubah menyerang sesaat pintu sudah ditutup. Tatapan bak devil itu
"Apa dia masih belum mau bicara?" Melihat wajah sendu Tika saat keluar dari ruang rawat Inez, Dewa bisa menebak apa yang terjadi di dalam sana."Dia hanya menangis saat melihatku. Aku sudah berusaha mengabaikan itu dengan mengajaknya bicara. Tapi… melihat keadaannya yang seperti ini, aku tidak bisa lebih lama lagi bertahan. Hatiku juga sakit, Bang." Tika yang awalnya tertunduk, perlahan mengangkat kepala—menatap Dewa dengan genangan di pelupuk mata. "Kenapa dia tidak mau berbagi sakitnya denganku. Apakah aku kakak yang buruk?""Jangan berkecil hati, mungkin selama ini Inez tidak ingin membebanimu dengan masalah rumah tangganya. Kau kakak terbaik, percayalah padaku." Tidak ingin Tika semakin menyalahkan diri, Dewa segera membawanya ke dalam pelukan. Berharap hal tersebut bisa membuat Tika sedikit lebih tenang.Kabar sadarnya Inez justru membawa kesedihan tersendiri bagi Tika. Pasalnya Inez tidak mau membuka mulut barang sedikit saja. Jangankan makan, sekedar mengatakan 'tidak' ataupun
"Bagaimana perkembangan kasus Jimmy?""Sesuai keinginanmu. Bahkan sejak dia ditetapkan menjadi tersangka, beritanya trending di beberapa surat kabar minggu ini.""Siapa Jimmy?" sela Cakra yang sedari tadi hanya diam menyimak obrolan Dewa bersama Gusti."Dia suami iparku, Bang," balas Dewa."Sepertinya aku cukup familiar dengan nama itu? Apa kalian bermasalah dengannya?"Dewa menoleh Gusti lebih dulu, meminta persetujuan saat akan menjawab pertanyaan Cakra."Tidak. Bukan dengan kami. Tapi dengan istrinya. Dia sudah melakukan tindakan kekerasan. Tidak terima adiknya mendapat perlakuan kasar. Istriku meminta kami menyerahkan kasusnya pada pihak berwajib," terang Dewa. "Dia memang sering nge-gym disini. Wajar jika Abang menganggap namanya tidak asing lagi," lanjutnya yang memang sempat beberapa kali melihat Jimmy, hanya saja lelaki itu tidak begitu memperhatikan dirinya.Namun, di luar prediksi, bukannya terkejut Cakra hanya mengangguk paham setelah mendengar jawaban Dewa. "Kok respon Bab
Sejatinya manusia tidak pernah tahu kepada siapa tujuan akhir hatinya akan berlabuh. Sekalipun itu dua orang yang tidak saling menginginkan, tetapi ketika takdir sudah berkata, maka benih-benih cinta pun bisa muncul secara tiba-tiba. Ketetapan hati tidak bisa diprediksi. Kendati sempat digadang-gadang menjadi ratu maupun raja yang menempati singgasana terindah di dalam sana, akan tetapi jika takdir tidak berkehendak. Maka yang tinggal hanyalah kenangan tanpa ada kelangsungan masa depan.Namun, sepertinya hal itu tidak berlaku pada Dewa. Mengingat bagaimana Tika menjebaknya sampai muncul inisiatif menerima tawaran itu hanya untuk tujuan balas dendam. Terlebih jika rasa itu datang setelah adanya kontak fisik, maka lebih pantas disebut nafsu dibanding cinta.Bagi Dewa yang tidak bisa mendeskripsikan arti cinta yang sebenarnya seperti apa, menganggap cinta dan nafsu dua opsi yang sama. Karena nyatanya tetaplah berakhir di ranjang. Sebelum kebangrutan terjadi, tidak hanya Clara, tetapi par
"Kau baik-baik saja?" Mendengar Dewa mengeluarkan cairan dari dalam perutnya, Tika buru-buru menyusul."Kita ke rumah sakit, ya," lanjut Tika sembari memijat tengkuk Dewa yang masih membungkuk di depan wastafel.Merasa lebih baik, Dewa segera mengangkat kepala setelah membasuh wajahnya. "Aku baik-baik saja. Apa kau sudah bersihkan dia?" Tidak ingin mengingat itu lagi, meski sedang dibicarakan, Dewa memilih beralih ke wajah Tika lewat pantulan kaca. Sialnya setelah memperhatikan sesaat wajah polos sang istri, sesuatu yang lain justru mendesaknya."Sudah. Sekarang Inez membawanya keluar. Mungkin berjemur di beranda samping."Cukup terkejut, Dewa sampai memutar badan menghadap Tika. "Benarkah? Syukurlah kalau begitu. Ternyata dia lebih cepat menyadari keberadaan bayinya. Aku turut senang.""Aku juga terkejut saat dia datang dan tiba-tiba mengatakan akan membawa bayinya tadi," ujar Tika pelan saat mengingat wajah penuh harap Inez sebelum membawa bayinya keluar. Perubahan yang sebenarnya s
"Selamat sore, Brandal. Bagaimana kabarmu? Aku kira sudah cukup kalian bermain rumah-rumahan. Ternyata drama itu masih saja berlanjut."Mendengar kalimat itu seakan langsung menggelitik telinga, Dewa menoleh malas—paham siapa pemilik suara tersebut. Setelah berhasil menstandarkan motor, ia segera turun dengan gayanya yang cool, dan berdiri gagah di hadapan Roland yang balas menyunggingkan senyum remeh."Berapa Tika membayarmu sampai kau mau menghangatkan ranjangnya, hm? Atau selain dengannya kau masih menerima tawaran wanita lain?"Dewa masih bergeming. Menatap tenang Roland dengan semua keangkuhannya. Jelas Dewa sempat terkejut, tiba-tiba lelaki itu memanggilnya dengan sebutan yang selama ini melekat pada dirinya. Akan tetapi Dewa masih cukup waras untuk tidak langsung membela diri, atau mencari pembenaran tentang semua itu. Orang seperti Roland memang sangat mudah mencari tahu apa saja yang diinginkan, termasuk menyelidiki identitasnya.Mujurnya Dewa bukan pribadi yang mudah terprovo