"Selamat sore, Brandal. Bagaimana kabarmu? Aku kira sudah cukup kalian bermain rumah-rumahan. Ternyata drama itu masih saja berlanjut."Mendengar kalimat itu seakan langsung menggelitik telinga, Dewa menoleh malas—paham siapa pemilik suara tersebut. Setelah berhasil menstandarkan motor, ia segera turun dengan gayanya yang cool, dan berdiri gagah di hadapan Roland yang balas menyunggingkan senyum remeh."Berapa Tika membayarmu sampai kau mau menghangatkan ranjangnya, hm? Atau selain dengannya kau masih menerima tawaran wanita lain?"Dewa masih bergeming. Menatap tenang Roland dengan semua keangkuhannya. Jelas Dewa sempat terkejut, tiba-tiba lelaki itu memanggilnya dengan sebutan yang selama ini melekat pada dirinya. Akan tetapi Dewa masih cukup waras untuk tidak langsung membela diri, atau mencari pembenaran tentang semua itu. Orang seperti Roland memang sangat mudah mencari tahu apa saja yang diinginkan, termasuk menyelidiki identitasnya.Mujurnya Dewa bukan pribadi yang mudah terprovo
Memasuki gedung yang sudah disulap menjadi ballroom wedding, Tika tidak percaya dirinya benar-benar dibawa menghadiri pesta yang tidak diketahui siapa pemiliknya. Dewa hanya mengatakan mereka harus datang sebagai tamu undangan, tanpa menjelaskan apapun lagi setelahnya.Sengaja meminta Tika melingkarkan tangan di lekungan lengannya yang kekar, Dewa berjalan penuh percaya diri melewati karpet merah yang terbentang di sepanjang pintu masuk. Sebuah pesta pernikahan mewah nan elegan, dan diyakini membutuhkan dana yang tidak sedikit. Terlebih mengingat siapa pemiliknya. Kendati memilih menurut kemanapun Dewa membawanya, sebenarnya benak Tika tengah menduga-duga siapa gerangan pemilik acara tersebut. Sebab, jika dari kalangan pebisnis sepertinya mustahil ia tidak tahu. Pun jika dari kalangan publik figur, semakin kecil kemungkinan ia tidak mengenalnya. Tetapi sudah cukup jauh mereka melewati pintu masuk, belum ada satupun orang yang dikenalnya. Sampai akhirnya Dewa mengajak berhenti, tepat d
"Ibu Cantika? Benarkah itu Anda?"Dewa melebarkan tersenyum kemenangan, mengetahui Sofia langsung membulatkan mulut melihat seorang pria yang sedikit lebih tua dari Sudjatmiko, seketika melebarkan langkah setelah mengetahui keberadaan Tika. "Sungguh. Saya merasa terhormat Anda bisa datang di hari bahagia putra-putri kami. Maaf. Saya belum mengundang Anda secara pribadi. Karena memang pemilik acara ini masih dari pihak mempelai wanita, dan ini besan saya. Pak Sudjatmiko beserta istri." Masih merangkul lengan Dewa, Tika memberi anggukan samar pada pasangan yang kini, menatap kikuk dirinya. Sepertinya cukup terkejut saat pria itu memperkenalkan mereka. Siapa perempuan itu? Pertanyaan yang mungkin sedang berputar-putar di benak Sofia.Terlihat jelas, baik Sudjatmiko maupun Sofia seperti kehilangan taring. Sangat berbeda dari beberapa menit yang lalu.Melihat pria itu tampak begitu menghormati Tika, Sofia yang panik kedapatan beberapa kali meminta penjelasan dari suaminya. Namun, hanya
"Kita harus pulang sekarang Bang," terang Tika seraya memasukan ponsel ke dalam tas."Memangnya ada apa? Aku bahkan belum menyapa pengantinnya.""Plis. Kita harus pulang sekarang. Aku jelaskan nanti di jalan."Melihat kepanikan Tika sesaat setelah menutup panggilan, Dewa yakin pasti sesuatu telah terjadi. Ia yang sudah akan melangkah maju pun mengurungkan niatnya. "Kita pulang sekarang," tegasnya.Setelah berpamitan pada Aditya, Tika yang tidak sabar berjalan cepat mendahului Dewa. Tidak ingin sesuatu terjadi, terlebih Tika yang mengenakan high heels cukup tinggi, Dewa buru-buru menyusul. Mengabaikan tatapan heran Sudjatmiko, Sofia, dan juga Clara yang kebetulan melihatnya dari atas pelaminan."Perhatikan langkahmu, kau bisa tergelincir!" Seru Dewa di belakang Tika. Dan naasnya, belum sempat menutup mulut, gerakan cepat Dewa berhasil meraih lengan Tika yang hampir terjatuh. Sebelah heels Tika tersandung di sisi karpet. "Bisakah kau sedikit berhati-hati." Kendati sempat kesal dengan k
Teriakan Tika menggema hingga menembus kegelapan langit malam. Ia tidak habis pikir, setan mana yang telah merasuki tubuh adiknya sampai bisa berbuat sekejam itu pada darah dagingnya sendiri. Tidak bisa dibayangkan, apa jadinya jika tubuh kecil nan rapuh Bintang dilempar dari lantai dua hingga menghantam kerasnya lantai paving di bawah sana. Sungguh tragis.Tidak mampu menyaksikan kejadian mengerikan itu, Tika hanya bisa menutup mata rapat-rapat dengan kedua tangan membekap telinga. Berpasrah atas ketidakberdayaannya mencegah perbuatan nekat sang adik.Benarkah Baby Blues Inez semakin parah, atau memang karena kebenciannya pada Jimmy bisa membuat Inez setega itu pada bayinya sendiri?"Ibu macam apa kau Inez! Bukankah sudah kukatakan padamu, berikan dia padaku jika kau tidak mau merawatnya. Tapi kenapa… kenapa?!" Masih duduk bersimpuh, pun dengan kepala yang tertunduk—Tika terisak.Namun, tiba-tiba suara tangis Bintang yang nyaring menyentak kesadarannya, hingga memaksanya segera menga
"Semoga Inez lekas membaik.""Terima kasih, Abang mau mendukungnya.""Tapi aku rasa, jeruji besi saja tidak akan cukup menghukum lelaki itu. Jujur, rasanya aku ingin menghajarnya lagi "Enggan menanggapi ucapan terima kasih Tika, Dewa justru menarik selimut dan membawa tubuh sang istri tenggelam ke dalam benda hangat itu bersamanya. Menempelkan tubuh polos mereka sebelum menyambut mimpi. Mungkin terdengar gila. Tapi itulah faktanya. Beberapa saat setelah menenangkan Inez, Dewa dan Tika kembali ke kamar mereka. Naasnya, meski sudah dilalui beberapa saat yang lalu, kekesalan Dewa pada keluarga Sudjatmiko belum juga mereda. Alhasil Tika-lah peredamnya. Terlebih ketika tidak ada penolakan dari perempuan itu, Dewa si otak mesum pun tak ragu untuk melancarkan aksinya."Lakukan apa saja yang ingin Abang lakukan padanya. Aku juga tidak terima setelah tahu semua kebiadaban lelaki itu terhadap adikku.""Ini hanya perdiksi jangan dianggap serius. Dari yang aku lihat, sepertinya dia tidak mengin
"Rupanya di sekitar sini dia bersembunyi selama ini?" gumam seorang pemuda dari balik helm full face yang hanya dibuka kacanya saat memperhatikan motor sport lain—diyakini milik Dewa. Walaupun Dewa juga mengenakan helm yang sama dengannya, tapi pemuda itu jelas tidak salah mengenali. "Sebaiknya aku ikuti dia. Lama tak jumpa rasanya aku cukup merindukannya." Buru-buru pemuda itu menghidupkan mesin motor begitu Dewa melintas di depannya. Membuntuti dengan jarak aman, pemuda itu yakin Dewa tidak sadar jika ia ada di belakang.Sesampainya di depan gedung Laksmana Group, Dewa memutar badan ke samping guna membantu membukakan chin strap di helm Tika. Hal sepele yang selalu ia lakukan. Karena sampai sekarang pun, Tika tetap kesulitan ketika memasang atau melepas pengait tersebut."Maaf kau masih harus menyisir ulang rambutmu saat sudah didalam nanti," ujar Dewa merasa bersalah ketika menyisir rambut Tika yang kusut dengan jari.Karena memang Tika hanya mengenakan kemeja blouse putih dan men
Pada dasarnya setiap manusia bisa merasakan takut jika mengingat kesalahan yang pernah diperbuat, terlebih jika itu sudah fatal. Khawatir sesuatu yang sebelumnya tidak pernah terlintas di kepala, secara tiba-tiba justru seperti mimpi buruk yang menjadi nyata. Kendati pepatah kuno mengatakan, 'Tidak mungkin ada asap tanpa api' tapi tetap saja penyesalan selalu muncul diakhir. Karena jika di depan, itu namanya pendaftaran. Memangnya siapa yang mau bertingkah konyol dengan mendaftar penyesalan? Namun, alangkah baiknya berpikir matang lebih dulu agar bisa menganalisis suatu tindakan yang akan ditentukan. Sebab, gegabah dalam bertindak ataupun pengaruh emosi bisa mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu yang tak jarang berakhir dengan penyesalan.Termasuk apa yang terjadi pada Dewa, satu kesalahan karena dorongan emosi nyatanya tidak bisa membuatnya berhenti untuk melakukan lagi dan lagi. Sampai akhirnya menyalahkan sang ayah yang dulu juga pernah bermalam dengan wanita, selain ibunya.