"Apa dia masih belum mau bicara?" Melihat wajah sendu Tika saat keluar dari ruang rawat Inez, Dewa bisa menebak apa yang terjadi di dalam sana."Dia hanya menangis saat melihatku. Aku sudah berusaha mengabaikan itu dengan mengajaknya bicara. Tapi… melihat keadaannya yang seperti ini, aku tidak bisa lebih lama lagi bertahan. Hatiku juga sakit, Bang." Tika yang awalnya tertunduk, perlahan mengangkat kepala—menatap Dewa dengan genangan di pelupuk mata. "Kenapa dia tidak mau berbagi sakitnya denganku. Apakah aku kakak yang buruk?""Jangan berkecil hati, mungkin selama ini Inez tidak ingin membebanimu dengan masalah rumah tangganya. Kau kakak terbaik, percayalah padaku." Tidak ingin Tika semakin menyalahkan diri, Dewa segera membawanya ke dalam pelukan. Berharap hal tersebut bisa membuat Tika sedikit lebih tenang.Kabar sadarnya Inez justru membawa kesedihan tersendiri bagi Tika. Pasalnya Inez tidak mau membuka mulut barang sedikit saja. Jangankan makan, sekedar mengatakan 'tidak' ataupun
"Bagaimana perkembangan kasus Jimmy?""Sesuai keinginanmu. Bahkan sejak dia ditetapkan menjadi tersangka, beritanya trending di beberapa surat kabar minggu ini.""Siapa Jimmy?" sela Cakra yang sedari tadi hanya diam menyimak obrolan Dewa bersama Gusti."Dia suami iparku, Bang," balas Dewa."Sepertinya aku cukup familiar dengan nama itu? Apa kalian bermasalah dengannya?"Dewa menoleh Gusti lebih dulu, meminta persetujuan saat akan menjawab pertanyaan Cakra."Tidak. Bukan dengan kami. Tapi dengan istrinya. Dia sudah melakukan tindakan kekerasan. Tidak terima adiknya mendapat perlakuan kasar. Istriku meminta kami menyerahkan kasusnya pada pihak berwajib," terang Dewa. "Dia memang sering nge-gym disini. Wajar jika Abang menganggap namanya tidak asing lagi," lanjutnya yang memang sempat beberapa kali melihat Jimmy, hanya saja lelaki itu tidak begitu memperhatikan dirinya.Namun, di luar prediksi, bukannya terkejut Cakra hanya mengangguk paham setelah mendengar jawaban Dewa. "Kok respon Bab
Sejatinya manusia tidak pernah tahu kepada siapa tujuan akhir hatinya akan berlabuh. Sekalipun itu dua orang yang tidak saling menginginkan, tetapi ketika takdir sudah berkata, maka benih-benih cinta pun bisa muncul secara tiba-tiba. Ketetapan hati tidak bisa diprediksi. Kendati sempat digadang-gadang menjadi ratu maupun raja yang menempati singgasana terindah di dalam sana, akan tetapi jika takdir tidak berkehendak. Maka yang tinggal hanyalah kenangan tanpa ada kelangsungan masa depan.Namun, sepertinya hal itu tidak berlaku pada Dewa. Mengingat bagaimana Tika menjebaknya sampai muncul inisiatif menerima tawaran itu hanya untuk tujuan balas dendam. Terlebih jika rasa itu datang setelah adanya kontak fisik, maka lebih pantas disebut nafsu dibanding cinta.Bagi Dewa yang tidak bisa mendeskripsikan arti cinta yang sebenarnya seperti apa, menganggap cinta dan nafsu dua opsi yang sama. Karena nyatanya tetaplah berakhir di ranjang. Sebelum kebangrutan terjadi, tidak hanya Clara, tetapi par
"Kau baik-baik saja?" Mendengar Dewa mengeluarkan cairan dari dalam perutnya, Tika buru-buru menyusul."Kita ke rumah sakit, ya," lanjut Tika sembari memijat tengkuk Dewa yang masih membungkuk di depan wastafel.Merasa lebih baik, Dewa segera mengangkat kepala setelah membasuh wajahnya. "Aku baik-baik saja. Apa kau sudah bersihkan dia?" Tidak ingin mengingat itu lagi, meski sedang dibicarakan, Dewa memilih beralih ke wajah Tika lewat pantulan kaca. Sialnya setelah memperhatikan sesaat wajah polos sang istri, sesuatu yang lain justru mendesaknya."Sudah. Sekarang Inez membawanya keluar. Mungkin berjemur di beranda samping."Cukup terkejut, Dewa sampai memutar badan menghadap Tika. "Benarkah? Syukurlah kalau begitu. Ternyata dia lebih cepat menyadari keberadaan bayinya. Aku turut senang.""Aku juga terkejut saat dia datang dan tiba-tiba mengatakan akan membawa bayinya tadi," ujar Tika pelan saat mengingat wajah penuh harap Inez sebelum membawa bayinya keluar. Perubahan yang sebenarnya s
"Selamat sore, Brandal. Bagaimana kabarmu? Aku kira sudah cukup kalian bermain rumah-rumahan. Ternyata drama itu masih saja berlanjut."Mendengar kalimat itu seakan langsung menggelitik telinga, Dewa menoleh malas—paham siapa pemilik suara tersebut. Setelah berhasil menstandarkan motor, ia segera turun dengan gayanya yang cool, dan berdiri gagah di hadapan Roland yang balas menyunggingkan senyum remeh."Berapa Tika membayarmu sampai kau mau menghangatkan ranjangnya, hm? Atau selain dengannya kau masih menerima tawaran wanita lain?"Dewa masih bergeming. Menatap tenang Roland dengan semua keangkuhannya. Jelas Dewa sempat terkejut, tiba-tiba lelaki itu memanggilnya dengan sebutan yang selama ini melekat pada dirinya. Akan tetapi Dewa masih cukup waras untuk tidak langsung membela diri, atau mencari pembenaran tentang semua itu. Orang seperti Roland memang sangat mudah mencari tahu apa saja yang diinginkan, termasuk menyelidiki identitasnya.Mujurnya Dewa bukan pribadi yang mudah terprovo
Memasuki gedung yang sudah disulap menjadi ballroom wedding, Tika tidak percaya dirinya benar-benar dibawa menghadiri pesta yang tidak diketahui siapa pemiliknya. Dewa hanya mengatakan mereka harus datang sebagai tamu undangan, tanpa menjelaskan apapun lagi setelahnya.Sengaja meminta Tika melingkarkan tangan di lekungan lengannya yang kekar, Dewa berjalan penuh percaya diri melewati karpet merah yang terbentang di sepanjang pintu masuk. Sebuah pesta pernikahan mewah nan elegan, dan diyakini membutuhkan dana yang tidak sedikit. Terlebih mengingat siapa pemiliknya. Kendati memilih menurut kemanapun Dewa membawanya, sebenarnya benak Tika tengah menduga-duga siapa gerangan pemilik acara tersebut. Sebab, jika dari kalangan pebisnis sepertinya mustahil ia tidak tahu. Pun jika dari kalangan publik figur, semakin kecil kemungkinan ia tidak mengenalnya. Tetapi sudah cukup jauh mereka melewati pintu masuk, belum ada satupun orang yang dikenalnya. Sampai akhirnya Dewa mengajak berhenti, tepat d
"Ibu Cantika? Benarkah itu Anda?"Dewa melebarkan tersenyum kemenangan, mengetahui Sofia langsung membulatkan mulut melihat seorang pria yang sedikit lebih tua dari Sudjatmiko, seketika melebarkan langkah setelah mengetahui keberadaan Tika. "Sungguh. Saya merasa terhormat Anda bisa datang di hari bahagia putra-putri kami. Maaf. Saya belum mengundang Anda secara pribadi. Karena memang pemilik acara ini masih dari pihak mempelai wanita, dan ini besan saya. Pak Sudjatmiko beserta istri." Masih merangkul lengan Dewa, Tika memberi anggukan samar pada pasangan yang kini, menatap kikuk dirinya. Sepertinya cukup terkejut saat pria itu memperkenalkan mereka. Siapa perempuan itu? Pertanyaan yang mungkin sedang berputar-putar di benak Sofia.Terlihat jelas, baik Sudjatmiko maupun Sofia seperti kehilangan taring. Sangat berbeda dari beberapa menit yang lalu.Melihat pria itu tampak begitu menghormati Tika, Sofia yang panik kedapatan beberapa kali meminta penjelasan dari suaminya. Namun, hanya
"Kita harus pulang sekarang Bang," terang Tika seraya memasukan ponsel ke dalam tas."Memangnya ada apa? Aku bahkan belum menyapa pengantinnya.""Plis. Kita harus pulang sekarang. Aku jelaskan nanti di jalan."Melihat kepanikan Tika sesaat setelah menutup panggilan, Dewa yakin pasti sesuatu telah terjadi. Ia yang sudah akan melangkah maju pun mengurungkan niatnya. "Kita pulang sekarang," tegasnya.Setelah berpamitan pada Aditya, Tika yang tidak sabar berjalan cepat mendahului Dewa. Tidak ingin sesuatu terjadi, terlebih Tika yang mengenakan high heels cukup tinggi, Dewa buru-buru menyusul. Mengabaikan tatapan heran Sudjatmiko, Sofia, dan juga Clara yang kebetulan melihatnya dari atas pelaminan."Perhatikan langkahmu, kau bisa tergelincir!" Seru Dewa di belakang Tika. Dan naasnya, belum sempat menutup mulut, gerakan cepat Dewa berhasil meraih lengan Tika yang hampir terjatuh. Sebelah heels Tika tersandung di sisi karpet. "Bisakah kau sedikit berhati-hati." Kendati sempat kesal dengan k