"Tumben belum tidur?"Mendekati Tika yang berdiri menatap langit malam dari jendela yang sengaja dibuka, Dewa ikut memandang ke arah yang sama. Sebenarnya ia sudah akan pergi, hanya saja melihat Tika yang belum juga begeming sejak satu jam lalu, memunculkan rasa ingin tahu di benak Dewa. Apa yang sebenarnya Tika perhatikan?"Mau keluar?" Pandangan Tika justru menelisik penampilan Dewa yang sudah rapi. Lantas, beralih pada benda yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. "Ini sudah terlalu malam untuk keluar."Dewa mendesak alis, mungkinkah Tika tidak rela ia tinggalkan? Padahal waktu masih terlalu sore untuk dirinya yang memang terbiasa berkeliaran di malam hari."Tadinya iya. Tapi mendadak saya batalkan." Tiba-tiba jiwa narsis si playboy kampret pun meronta, menganggap Tika memang sedang membutuhkan dirinya."Selain itu saya juga khawatir tidak mendapat pintu lagi." Terkekeh pelan berusaha mencairkan suasana.Tika terlihat murung sejak mengetahui Inez menangis di balkon sore tadi.
"Brengsek! Buta kali tuh orang! Bukannya minta maaf main kabur aja, sialan!" Sambil mengibaskan pakaian atasnya yang basah, Gusti terus mengumpat lelaki yang bahkan sudah menjauh dan hilang di balik kerumunan tamu yang lain. Setelan tuksedo yang beberapa saat lalu membuatnya begitu percaya diri kini berakhir dengan bercak merah, dan sialnya lagi sangat kontras dengan warnanya yang putih."Biar sendiri juga aku tetap ingin terlihat tampan, Bodoh! Merusak suasana saja." Sempat mengeluarkan beberapa umpatan lagi, Gusti pergi ke toilet.Gusti yang kesal akhirnya melepas jasnya. Sialnya setelah dibersihkan dengan tisu serta sedikit air bukannya hilang, jas mahal itu justru semakin mengenaskan dan mustahil ia kenakannya lagi. "Awas saja. Kalau bertemu pecundang itu aku pastikan dia membayar mahal untuk ini."Menenteng jas keluar dari toilet, mata kemerahan Gusti merotasi sekitar–mencari keberadaan lelaki itu yang diharapkan masih ada di tengah pesta. Namun, setelah mencari-cari bahkan semp
Suara hentakan high heels Tika menggema di lorong rumah sakit. Tidak sabar hanya melangkah lebar, ia bahkan sampai berlari kecil agar bisa lebih cepat sampai di ruang VIP.Sejak mendapat kabar beberapa saat lalu, air mata tak juga berhenti mengalir. Kekhawatiran jelas tergambar di wajah cantik perempuan itu yang kini tampak sembab. Alasan yang membuat Tika terus berlari mengabaikan keselamatannya sendiri, tak lain karena ingin segera memastikan kondisi sang adik yang entah bagaimana sekarang. Pikirannya terlalu kalut sesaat mendengar Inez dibawa ke rumah sakit, tanpa bertanya apapun lagi setelahnya. Tika benar-benar merasa sudah kecolongan bagaimana kejadian itu bisa terjadi, sedangkan baru semalam Inez pamit kembali ke rumah yang ditempati bersama Jimmy dalam keadaan yang masih baik-baik saja. "Sayang!"Di tengah kecemasan, Tika terkejut begitu menangkap panggilan lantang dari arah belakang."Abang!" Melihat Dewa berlari mendekatinya, tidak tahu kenapa ia merasa sedikit ada ketenang
"Aku kira kita tidak akan datang ke tempat ini lagi," celetuk Gusti.Bukannya menjawab, Dewa justru mengangkat satu tangan—memanggil pelayan klub. "Beri kami wiski!" ujarnya begitu pelayan mendekat."Widih! Ngeri.. lihatlah. Bulu di lenganku saja sampai merinding begini. Yakin jali akan tetap ikut pulang bersama kita nanti?" kata Gusti berubah cemas. Namun, tidak berniat meyakinkan, Dewa hanya melirik singkat tangan Gusti setelah menarik lengan hoodienya hingga siku. Setelahnya Dewa lebih tertarik memfokuskan pandangan ke lantai dansa.Kendati bersikap tak acuh, sebenarnya Dewa sendiri merasa geli saat mengingat kenangan malam itu. Dimana ia begitu percaya diri memesan banyak minuman beralkohol. Bertujuan agar semua teman-teman klub motornya yang ada di sana, bisa ikut menikmati. Party dirayakan sebagai bentuk kemenangan atas keberhasilannya mengalahkan Firman, dan mendapatkan rumah yang sudah hadiah. Saat itu juga ada mendiang Sofyan. Dia yang terlihat paling antusias dan bersemanga
Punggung Gusti terbentur dinding sesaat lelaki bertubuh lebih besar darinya mendorongnya kuat. Kurangnya keseimbangan karena pengaruh alkohol membuat Gusti sering limbung. Sehingga kesempatan tersebut digunakan lawan untuk menyerangnya."Sialan! Tahu begini aku tadi pesan jus saja," gerutunya seraya menyentak kepala ke kiri serta kanan, setelah kembali berdiri tegak.Sedangkan di sudut lain, Dewa juga masih berusaha melumpuhkan dua lawannya. Tetapi ia yang memang tidak separah Gusti terlihat unggul setelah berhasil menjatuhkan satu lawannya hingga tak bergerak lagi. Rupanya lelaki yang ia ikuti sudah menyiapkan beberapa mengawal di dalam ruangan tersebut. Sehingga mau tak mau mereka berdua harus melumpuhkan pengawal lelaki itu terlebih dulu, sebelum menyeret tuannya keluar."Bangsat!!Pyar!!Jimmy berusaha meraih botol kedua, tapi dengan cepat Dewa menendang tubuhnya sampai tersungkur menjauhi meja.Melihat semua pengawalnya berhasil dilumpuhkan, Jimmy berniat menyerang Dewa dari belak
"Apa sebenarnya masalahmu denganku! Siapa yang sudah membayarmu untuk menculikku? Katakan! Berapa dia membayarmu? Aku bersedia menggantinya tiga kali lipat! Asal kau melepaskan ikatan sialan ini!"Dewa mengorek sebelah telinganya menggunakan jari dengan ekspresi meringis. Seakan permintaan Jimmy-lah penyebab rasa gatal muncul di bagian itu."Hei!! Aku bicara denganmu! Atau kau memang tuli!!" pekik Jimmy geram merasa diabaikan."Sepertinya aku akan membutuhkan brankas lebih besar jika bekerja denganmu, bukannya begitu?"Bak mendapat angin segar, wajah Jimmy dengan cepat berubah sumringah. "Kau bahkan bisa tidur beralas uang dariku. Sekarang lepaskan ikatan ini. Aku akan meminta asistenku menyiapkan uangnya untukmu sekarang juga.""Sayangnya aku tidak tertarik," kata Dewa seraya bangkit. "Aku lebih tertarik membuatmu tersiksa sebelum mendekam di penjara." Tersenyum puas melihat Jimmy menunjukkan ekspresi cengo, sebelum akhirnya membelalakan mata dan kembali berontak."Brengsek!!! Siapa k
"Bagaimana kalau salah satu dari kita saja yang melakukannya," terang Dewa setibanya mereka kembali di depan gudang dimana Jimmy disekap."Kau masih ingin menyiksaku dengan melawannya? Dimana peri kelelakianmu, hah?" "Cih! Dasar lemah!""Serah! Kau saja yang masuk. Aku akan menunggu di sini. Jika terjadi sesuatu, aku pasti akan menolongmu. Berdoa saja aku tidak sampai tertidur," ucap Gusti sembari duduk di satu dari kursi yang ada di depan gudang.Menghela nafas panjang, Dewa menatap iba Gusti. Selain tidak bisa banyak minum yang mengandung alkohol, sahabatnya itu juga selalu kalah melawan rasa kantuk. Dewa yakin, perempuan Jimmy semalam sudah sangat merepotkan, sampai mata Gusti tak ubahnya seperti mata panda. Dilingkari warna hitam dan tampak sayu."Baiklah, aku yang akan masuk." Dewa berjalan yakin mendekati pintu, meski harus menunduk saat melewatinya. Karena tinggi tubuhnya melebihi ukuran pintu. Raut wajah Dewa berubah menyerang sesaat pintu sudah ditutup. Tatapan bak devil itu
"Apa dia masih belum mau bicara?" Melihat wajah sendu Tika saat keluar dari ruang rawat Inez, Dewa bisa menebak apa yang terjadi di dalam sana."Dia hanya menangis saat melihatku. Aku sudah berusaha mengabaikan itu dengan mengajaknya bicara. Tapi… melihat keadaannya yang seperti ini, aku tidak bisa lebih lama lagi bertahan. Hatiku juga sakit, Bang." Tika yang awalnya tertunduk, perlahan mengangkat kepala—menatap Dewa dengan genangan di pelupuk mata. "Kenapa dia tidak mau berbagi sakitnya denganku. Apakah aku kakak yang buruk?""Jangan berkecil hati, mungkin selama ini Inez tidak ingin membebanimu dengan masalah rumah tangganya. Kau kakak terbaik, percayalah padaku." Tidak ingin Tika semakin menyalahkan diri, Dewa segera membawanya ke dalam pelukan. Berharap hal tersebut bisa membuat Tika sedikit lebih tenang.Kabar sadarnya Inez justru membawa kesedihan tersendiri bagi Tika. Pasalnya Inez tidak mau membuka mulut barang sedikit saja. Jangankan makan, sekedar mengatakan 'tidak' ataupun