"Seperti yang dia inginkan, tinggal bersama agar aku bisa segera membuatnya hamil, dan setelah mendapat uang darinya aku bisa membeli rumah. Yah! Semudah itu."Namun, mendadak Dewa berubah pikiran. Ia pun urung turun dari kendaraan yang mesinnya bahkan sudah dimatikan—menatap sendu pintu gerbang rumah Tika yang masih tertutup rapat."Tetap saja ini tidak bisa dibenarkan. Aku laki-laki dan seharusnya aku yang bertanggung jawab membawanya. Tapi mana mungkin dia bersedia tinggal di kontrakan Bang Cakra. Cih!" Tiba-tiba tersenyum geli saat mengingat status mereka. "Dewa, Dewa, selain mustahil. Memangnya apa yang mendasari dia mau hidup susah dengan berandal sepertimu, bodoh!" Ia merasa benar-benar konyol telah bersikap layaknya seorang suami sungguhan. Padahal pernikahan mereka saja hanya kontrak dan mungkin berlaku dalam hitungan bulan kedepan. Lantas, untuk apa ia memusingkan perihal tanggung jawab, dan mengutamakan gengsi sebagai laki-laki. Sedangnya tugasnya saja cukup membuat Tika h
"Boleh saya tanyakan sesuatu?"Dewa yang sudah berbaring—menggunakan satu lengan sebagai bantal, menoleh Tika yang masih duduk bersandar. "Silahkan ""Apa pendidikan terakhir Abang?" Tika langsung menggigit bibir bawah bagian dalam, khawatir Dewa salah paham."Saya hanya pernah sekolah hingga menengah atas. Itu pun tidak sampai lulus." Melihat Dewa masih cukup tenang saat menjawab, setidaknya Tika bisa sedikit bernafas lega.Sementara Dewa terpaksa berbohong. Merasa tidak perlu Tika mengetahui siapa dirinya dulu. Selain hal tersebut hanya akan membuka kembali luka yang saat ini saja belum sepenuhnya sembuh. Dewa juga merasa tetap lebih baik dikenal sebagai berandal.Mendengar jawaban Dewa, Tika seperti sedang berpikir keras."Mbak menyesal telah melakukannya dengan pemuda seperti saya? Tidak memiliki latar belakang pendidikan yang memadai?""Bukan itu yang sedang saya pikirkan," sanggah Tika tidak ingin Dewa berkecil hati. Walaupun sebenarnya gurat kekecewaan itu jelas Dewa temukan. "
"Bagaimana? Masih mau lanjut atau resign kamu, Wa?""Memangnya Abang percaya dengan apa yang aku sampaikan semalam?" Selain anggukan samar yang tidak Dewa ketahui, reaksi Cakra semalam benar-benar tidak bisa ditebak. Bahkan Dewa menganggap Cakra sama seperti Gusti—tidak mempercayai penjelasannya.Mendengar itu, Cakra mendesak kedua alis tinggi, pun dengan bibir yang jelas sedang menahan senyum. Kendati semalam ia hanya diam membiarkan Gusti meragukan ucapan Dewa, tetapi sebenarnya ia tak lantas sependapat dengan anak sambungnya itu.Bukankah bagus jika Dewa menikah? Dengan begitu tidak lagi menekuni kebiasaannya yang bebas? Karena jelas sekarang Dewa memiliki kesibukan baru dengan istri, dan Cakra juga berharap istri Dewa bisa merubah pemuda itu menjadi manusia yang lebih baik. Tentunya bermanfaat untuk orang lain.Istri. Memang kerap kali membawa dampak positif untuk para lelaki yang sudah berstatus suami. Kebiasaan-kebiasaan buruk ataupun pola hidup tidak sehat yang dulu para lel
"Kenapa tidak dimakan Nez? Atau kau menginginkan yang lain? Biar Bik Santi buatkan. Tunggu sebentar." Baru Tika akan membuka mulut, suara Inez membuatnya kembali beralih ke depan. "Tidak usah, Kak." "Tapi sejak tadi aku perhatikan, kau sama sekali belum menyentuh makananmu?""Selera makanku memburuk akhir-akhir ini," kilah Inez sendu. "Mungkin pengaruh hormon."Lain halnya dengan Tika yang berubah cemas. "Apa dia baik-baik saja? Mau ke dokter?""Dia baik-baik saja. Kakak jangan khawatir. Mungkin buah bisa mengurangi rasa asam di mulutku."Mengetahui letak keranjang buah lebih jauh dari Inez, Tika segera menggeser ke dekat sang adik, agar Inez bisa mengambil apa yang inginkan."Mbak Inez mau bibi buatkan susu?" Bik Santi yang baru menyajikan sup, ikut bersuara."Tidak usah, Bik. Nanti saja," tolak Inez lagi dengan tangan terulur mengambil satu jeruk. Sementara Dewa yang masih menikmati makanannya di sebelah Tika, hanya menyimak pembicaraan para wanita tanpa berniat ikut serta menye
"Terima kasih sekali lagi.""Saya juga senang bisa membuat Mbak berpuas diri." Dewa ikut berbaring di samping Tika."Yah! Saya sangat puas bisa melihat wajah menyebalkan Roland menahan kesal tadi." "Tapi saya khawatir Mbak terusik dengan mereka.""Saya tidak peduli. Tujuan saya hanya Roland." Tika benar-benar mengagumkan. Perempuan tangguh yang konsisten pada keputusan awal, ingin membuat perhitungan pada Roland dan membuktikan ia bisa menikah dengan lelaki lain. Kendati tidak tahu sedekat apa hubungan Tika dan Ronald dulu. Tetapi dari cara Tika membalas lelaki itu—Dewa yakin ada hati yang terlanjur mati rasa. Dan, membuktikan betapa Tika dulu begitu dalam menaruh harapan. Persis seperti sosok yang kini entah bagaimana kabarnya.'Cih. Sialan. Kenapa tiba-tiba aku mengingatnya.'Tidak ingin sosok itu semakin dalam mempengaruhi pikirannya, Dewa memilih segera memejamkan mata. Berharap bisa segera menggapai alam mimpi."Saya juga berharap, Abang tidak terlalu memusingkan mereka.""Saya
Duduk diatas motor mengenakan kacamata hitam, serta membiarkan anak rambut yang tidak ikut diikat menjuntai mengenai dahi. Tak ayal keberadaan Dewa sukses menarik perhatian para karyawan yang baru keluar dari kantor Laksmana Group. Tidak hanya itu, ada beberapa karyawati yang langsung berbisik pada rekan di sebelahnya—begitu melewati Dewa. Kendati mengetahui hal tersebut, Dewa tetap tak acuh memainkan game di ponselnya."Bukankah itu pemuda yang kemarin mencium Ibu Cantika?" ujar perempuan kemeja navy menatap penuh sedikit Dewa."Sungguh? Kau melihatnya sendiri atau hanya mendengar dari orang lain?""Aku melihatnya sendiri."Berada di jarak yang lumayan jauh, kedua perempuan itu memberanikan diri menoleh kebelakang, memastikan Dewa secara diam-diam."Benar. Aku tidak mungkin salah mengenali. Itu pemuda yang kemarin. Apa mungkin dia kekasih baru Ibu Cantika, ya?" tafsir perempuan itu."Tapi bukankah Ibu Cantika simpanan Tuan Roland?" Spontan perempuan itu menutup mulutnya—merasa sudah s
"Tumben belum tidur?"Mendekati Tika yang berdiri menatap langit malam dari jendela yang sengaja dibuka, Dewa ikut memandang ke arah yang sama. Sebenarnya ia sudah akan pergi, hanya saja melihat Tika yang belum juga begeming sejak satu jam lalu, memunculkan rasa ingin tahu di benak Dewa. Apa yang sebenarnya Tika perhatikan?"Mau keluar?" Pandangan Tika justru menelisik penampilan Dewa yang sudah rapi. Lantas, beralih pada benda yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. "Ini sudah terlalu malam untuk keluar."Dewa mendesak alis, mungkinkah Tika tidak rela ia tinggalkan? Padahal waktu masih terlalu sore untuk dirinya yang memang terbiasa berkeliaran di malam hari."Tadinya iya. Tapi mendadak saya batalkan." Tiba-tiba jiwa narsis si playboy kampret pun meronta, menganggap Tika memang sedang membutuhkan dirinya."Selain itu saya juga khawatir tidak mendapat pintu lagi." Terkekeh pelan berusaha mencairkan suasana.Tika terlihat murung sejak mengetahui Inez menangis di balkon sore tadi.
"Brengsek! Buta kali tuh orang! Bukannya minta maaf main kabur aja, sialan!" Sambil mengibaskan pakaian atasnya yang basah, Gusti terus mengumpat lelaki yang bahkan sudah menjauh dan hilang di balik kerumunan tamu yang lain. Setelan tuksedo yang beberapa saat lalu membuatnya begitu percaya diri kini berakhir dengan bercak merah, dan sialnya lagi sangat kontras dengan warnanya yang putih."Biar sendiri juga aku tetap ingin terlihat tampan, Bodoh! Merusak suasana saja." Sempat mengeluarkan beberapa umpatan lagi, Gusti pergi ke toilet.Gusti yang kesal akhirnya melepas jasnya. Sialnya setelah dibersihkan dengan tisu serta sedikit air bukannya hilang, jas mahal itu justru semakin mengenaskan dan mustahil ia kenakannya lagi. "Awas saja. Kalau bertemu pecundang itu aku pastikan dia membayar mahal untuk ini."Menenteng jas keluar dari toilet, mata kemerahan Gusti merotasi sekitar–mencari keberadaan lelaki itu yang diharapkan masih ada di tengah pesta. Namun, setelah mencari-cari bahkan semp