"Sejak kapan kau ada di sini?" "Dewa! Astaga. Ngagetin aja!" Terlalu terkejut, Gusti yang sebelumnya sedang menyeduh kopi, spontan mendekap area bawahnya dengan kedua tangan. "Najis! Kau pikir aku sudi menyentuh itumu?" Menatap sinis Gusti yang polosnya juga menundukan kepala—mencemaskan aset berharganya."Hehe… itu namanya gerakan reflek melindungi diri dari predator.""Predator. Mama Muda, iya."Mata Gusti mendelik tajam seketika, dan detik berikutnya bergidik ngeri. "Aku selalu merinding setiap kali mendengar ada yang menyebut Mama Muda."Dewa terbahak, suaranya semakin menggelegar manakala melihat wajah tegang Gusti. Bisa dipastikan, peristiwa menggelikan beberapa bulan lalu kembali melintasi benak sahabatnya itu. "Momen itu terlalu sulit aku lupakan.""Yah! Dan tertawalah sepuasmu sekarang," kesal Gusti sebelum akhirnya menyadari penampilan Dewa yang berbeda dari biasanya. "Kau jauh lebih baik dengan pakaian rapi begini. Setelah hilang dua hari, tak kusangka pulang berubah bak
"Terima kasih, Anda boleh pergi sekarang.""Sama-sama, Nyonya. Kalau begitu saya permisi."Melihat Tika mengangguk, pria itu pun langsung mengangguk patuh, dan bergegas pergi meninggalkan Tika di ruang tengah. Tidak bisa menunggu lagi, Tika yang memang sudah sangat penasaran—membuka berkas terbungkus map coklat. Setelah menarik semua lembaran yang ada di dalam map tersebut, dengan teliti Tika membaca tulisan yang tertera di setiap lembaran—berharap tidak ada satupun keterangan yang terlewatkan."Jadi ini kehidupan bebas yang dia maksud? Tapi aneh. Kenapa tidak tercantum siapa orang tuanya? Apa dia yatim piatu?" Tika bermonolog."Kakak bicara dengan siapa?" "Tidak ada."Kemunculan Inez yang tiba-tiba, mengejutkan Tika. Tidak ingin Inez mengetahui jika itu data diri Dewa yang baru didapatkan dari orang suruhannya, Tika buru-buru memasukan semua lembaran ke dalam map. "Oh." Kendati tidak percaya begitu saja. Terlebih setelah menangkap wajah terkejut sang kakak, pun dengan map yang ada d
Setelah membuat kekacauan dengan merobohkan beberapa motor yang terparkir memanjang di sisi jalan. Sang Stunt Rider pun memulai aksi stunt riding, guna membelah kerumunan anak manusia yang memenuhi jalan. Motor besar yang dikendalikan laki-laki lengkap dengan penutup kepalanya itu, baru berhenti tepat di hadapan pemuda yang sudah akan menunggangi kuda besinya—siap melakukan hal yang sama karena merasa tertantang."Bang Cakra?" Pemuda itu tampak terkejut begitu lelaki yang sempat membuatnya kesal telah membuka menutup kepala, dan sayangnya bukan seseorang yang ia tunggu. "Kenapa Abang bisa ada di sini, dan ini? Bukankah motor Dewa? Dimana dia? Mungkinkah seorang rider hebat sepertinya tidak cukup nyali menerima tantangan dariku?""Bubar!!" Enggan menanggapi cibiran Venus terhadap Dewa, pandangan Cakra justru tertuju pada sekitar—pemuda-pemuda lain yang belum berniat pergi meninggalkan tempat itu. Memilih tetap bertahan di tepi jalan."Abang jangan ikut campur! Ini urusanku dengan Dewa
"Seperti yang dia inginkan, tinggal bersama agar aku bisa segera membuatnya hamil, dan setelah mendapat uang darinya aku bisa membeli rumah. Yah! Semudah itu."Namun, mendadak Dewa berubah pikiran. Ia pun urung turun dari kendaraan yang mesinnya bahkan sudah dimatikan—menatap sendu pintu gerbang rumah Tika yang masih tertutup rapat."Tetap saja ini tidak bisa dibenarkan. Aku laki-laki dan seharusnya aku yang bertanggung jawab membawanya. Tapi mana mungkin dia bersedia tinggal di kontrakan Bang Cakra. Cih!" Tiba-tiba tersenyum geli saat mengingat status mereka. "Dewa, Dewa, selain mustahil. Memangnya apa yang mendasari dia mau hidup susah dengan berandal sepertimu, bodoh!" Ia merasa benar-benar konyol telah bersikap layaknya seorang suami sungguhan. Padahal pernikahan mereka saja hanya kontrak dan mungkin berlaku dalam hitungan bulan kedepan. Lantas, untuk apa ia memusingkan perihal tanggung jawab, dan mengutamakan gengsi sebagai laki-laki. Sedangnya tugasnya saja cukup membuat Tika h
"Boleh saya tanyakan sesuatu?"Dewa yang sudah berbaring—menggunakan satu lengan sebagai bantal, menoleh Tika yang masih duduk bersandar. "Silahkan ""Apa pendidikan terakhir Abang?" Tika langsung menggigit bibir bawah bagian dalam, khawatir Dewa salah paham."Saya hanya pernah sekolah hingga menengah atas. Itu pun tidak sampai lulus." Melihat Dewa masih cukup tenang saat menjawab, setidaknya Tika bisa sedikit bernafas lega.Sementara Dewa terpaksa berbohong. Merasa tidak perlu Tika mengetahui siapa dirinya dulu. Selain hal tersebut hanya akan membuka kembali luka yang saat ini saja belum sepenuhnya sembuh. Dewa juga merasa tetap lebih baik dikenal sebagai berandal.Mendengar jawaban Dewa, Tika seperti sedang berpikir keras."Mbak menyesal telah melakukannya dengan pemuda seperti saya? Tidak memiliki latar belakang pendidikan yang memadai?""Bukan itu yang sedang saya pikirkan," sanggah Tika tidak ingin Dewa berkecil hati. Walaupun sebenarnya gurat kekecewaan itu jelas Dewa temukan. "
"Bagaimana? Masih mau lanjut atau resign kamu, Wa?""Memangnya Abang percaya dengan apa yang aku sampaikan semalam?" Selain anggukan samar yang tidak Dewa ketahui, reaksi Cakra semalam benar-benar tidak bisa ditebak. Bahkan Dewa menganggap Cakra sama seperti Gusti—tidak mempercayai penjelasannya.Mendengar itu, Cakra mendesak kedua alis tinggi, pun dengan bibir yang jelas sedang menahan senyum. Kendati semalam ia hanya diam membiarkan Gusti meragukan ucapan Dewa, tetapi sebenarnya ia tak lantas sependapat dengan anak sambungnya itu.Bukankah bagus jika Dewa menikah? Dengan begitu tidak lagi menekuni kebiasaannya yang bebas? Karena jelas sekarang Dewa memiliki kesibukan baru dengan istri, dan Cakra juga berharap istri Dewa bisa merubah pemuda itu menjadi manusia yang lebih baik. Tentunya bermanfaat untuk orang lain.Istri. Memang kerap kali membawa dampak positif untuk para lelaki yang sudah berstatus suami. Kebiasaan-kebiasaan buruk ataupun pola hidup tidak sehat yang dulu para lel
"Kenapa tidak dimakan Nez? Atau kau menginginkan yang lain? Biar Bik Santi buatkan. Tunggu sebentar." Baru Tika akan membuka mulut, suara Inez membuatnya kembali beralih ke depan. "Tidak usah, Kak." "Tapi sejak tadi aku perhatikan, kau sama sekali belum menyentuh makananmu?""Selera makanku memburuk akhir-akhir ini," kilah Inez sendu. "Mungkin pengaruh hormon."Lain halnya dengan Tika yang berubah cemas. "Apa dia baik-baik saja? Mau ke dokter?""Dia baik-baik saja. Kakak jangan khawatir. Mungkin buah bisa mengurangi rasa asam di mulutku."Mengetahui letak keranjang buah lebih jauh dari Inez, Tika segera menggeser ke dekat sang adik, agar Inez bisa mengambil apa yang inginkan."Mbak Inez mau bibi buatkan susu?" Bik Santi yang baru menyajikan sup, ikut bersuara."Tidak usah, Bik. Nanti saja," tolak Inez lagi dengan tangan terulur mengambil satu jeruk. Sementara Dewa yang masih menikmati makanannya di sebelah Tika, hanya menyimak pembicaraan para wanita tanpa berniat ikut serta menye
"Terima kasih sekali lagi.""Saya juga senang bisa membuat Mbak berpuas diri." Dewa ikut berbaring di samping Tika."Yah! Saya sangat puas bisa melihat wajah menyebalkan Roland menahan kesal tadi." "Tapi saya khawatir Mbak terusik dengan mereka.""Saya tidak peduli. Tujuan saya hanya Roland." Tika benar-benar mengagumkan. Perempuan tangguh yang konsisten pada keputusan awal, ingin membuat perhitungan pada Roland dan membuktikan ia bisa menikah dengan lelaki lain. Kendati tidak tahu sedekat apa hubungan Tika dan Ronald dulu. Tetapi dari cara Tika membalas lelaki itu—Dewa yakin ada hati yang terlanjur mati rasa. Dan, membuktikan betapa Tika dulu begitu dalam menaruh harapan. Persis seperti sosok yang kini entah bagaimana kabarnya.'Cih. Sialan. Kenapa tiba-tiba aku mengingatnya.'Tidak ingin sosok itu semakin dalam mempengaruhi pikirannya, Dewa memilih segera memejamkan mata. Berharap bisa segera menggapai alam mimpi."Saya juga berharap, Abang tidak terlalu memusingkan mereka.""Saya