"Bang Dewa?" Tika yang sudah akan memasuki mobil, mengurungkan niatnya.
Tahu Tika menyambut kedatangannya, begitu turun dari motor Dewa melangkah lebar melewati pagar yang sudah terbuka sempurna. "Maaf. Saya terpaksa datang sekarang. Mbak sudah mau berangkat?"Dilihat dari pakaiannya yang sudah rapi, dilengkapi tas jinjing di tangan kirinya, Dewa semakin yakin jika Tika sudah akan pergi ke luar kota. Seperti yang disampaikan kemarin."Saya masih bisa menundanya.""Baguslah. Bisa kita bicara?""Tentu saja. Kalau begitu kita ke ruang kerja saya.""Baik." Mengikuti Tika memasuki rumah, tidak ada kegusaran lagi di wajah Dewa seperti kemarin. Ia benar-benar sudah memantapkan hati untuk apa yang akan terjadi hari ini.Sesampainya mereka di ruang kerja Tika yang ada di lantai dua, Dewa langsung dipersilahkan duduk di sofa panjang, sedangkan Tika memilih duduk di sofa tunggal."Apa keuntungan yang bisa saya dapatkan jika menerima tawaran Mbak, kemarin?" Tidak ingin menunda waktu, Dewa langsung bertanya pada intinya.Senyum tipis Tika sebelum menjawab, bisa Dewa lihat. Tetapi tidak dipedulikan. Karena pada dasarnya ia kalah. Ia yang mendatangi Tika lebih dulu. Padahal kemarin secara tegas menolak tawaran itu, dan menganggap Tika sudah kehilangan akal. Namun, keadaan berubah setelah ia banyak berpikir semalam. Terlebih ketegangan dengan Clara kemarin menjadi alasan dirinya datang hari itu."Apa itu artinya Abang bersedia?""Iya," lugas Dewa menjawab. "Baiklah akan saya jelaskan. Selain mendapatkan uang dalam jumlah sangat banyak, saya juga menjanjikan jabatan untuk Abang di perusahaan cabang saya. Tunggu sebenar." Tika bangkit. Berjalan mendekati meja kerjanya untuk mengambil secarik kertas dan pulpen."Disini akan saya tuliskan poin-poin penting yang harus kita terapkan selama kontrak berlangsung." "Apakah saya boleh usul jika di dalam kontrak tersebut ada yang memberatkan saya?""Tentu saja." Tika kembali duduk di tempatnya. "Tidak ada larangan Abang bersuara. Apa ada pertanyaan lagi?" "Tidak. Silahkan."Tika segera mengerjakan surat perjanjian mereka. Sedangkan Dewa menunggu dengan tenang. Selama menunggu, senyum sinis Dewa muncul manakala membayangkan bagaimana reaksi Clara begitu mengetahui ia menikahi perempuan kaya, dan jelas jauh di atasnya.Jatuh miskin tak serta-merta membuatnya mau direndahkan oleh perempuan matre seperti Clara. Walaupun sebelumnya ia sudah menduga, Clara pasti akan meninggalkan dirinya setelah keadaan berubah. Tapi Dewa tidak menyangka, jika perempuan sampah itu akan mengakhiri hubungan mereka lewat selembar surat. Benar-benar penghinaan."Bisa saya bacakan sekarang?" Dewa tersentak dan segera mengangguk—melihat Tika sudah mengangkat surat perjanjian yang ternyata sudah selesai dibuat. "Silahkan.""Dengan Ini saya selaku pihak pertama, dalam keadaan sesadar-sadarnya membuat sendiri surat perjanjian untuk disepakati dua belah pihak. Dimana di dalam surat tersebut terdapat beberapa poin penting yang harus pihak kedua patuhi." Tika sengaja menjeda kalimatnya, ingin tahu bagaimana reaksi Dewa. Tetapi begitu tidak ada respon apapun, ia kembali lanjut membaca."Yang pertama. Ada sanksi tegas yang berlaku jika pihak kedua memutuskan pergi sebelum kontrak berakhir. Kedua. Pihak kedua dilarang memiliki hubungan dengan wanita lain selama masih terikat kontrak. Ketiga. Tidak mencampuri urusan masing-masing. Keempat. Harus bersikap mesra di tempat umum apalagi jika itu ada Roland. Sekalipun tidak sengaja bertemu dengannya." Tika menatap Dewa sebentar, setelah itu kembali melanjutkan kalimatnya. "Walaupun nantinya kita akan tinggal bersama. Tapi tetap harus menjaga privasi masing-masing. Ada pertanyaan?" "Tidak ada. Silahkan dilanjut.""Baik, saya lanjutkan. Jika pihak kedua melanggar salah satu poin diatas, maka pihak kedua diharuskan membayar denda. Tapi Ini masih saya perhitungkan berapa denda yang akan saya tentukan nantinya.""Sebenarnya untuk masalah itu, Mbak tenang saja," sela Dewa. "Saya termasuk orang yang konsisten, dan berpegang teguh dengan apa yang sudah saya putuskan. Tapi untuk menyakinkan keraguan Mbak. Atau khawatir saya bisa saja bertindak curang. Silahkan tentukan berapapun denda yang Mbak inginkan, saya tidak keberatan."Kendati tidak mengiyakan maupun menyanggah ucapannya. Tetapi Dewa bisa melihat, Tika kembali tersenyum samar menanggapi keseriusannya."Tapi ada satu poin penting yang sengaja tidak saya tulis dalam surat perjanjian ini." "Apa itu?"Dewa seketika menegang, khawatir bercampur waspada jika poin itu akan benar-benar memberatkan dirinya."Abang harus membuat saya hamil.""Apa! Ha-hamil?"Terlalu terkejut, Dewa sampai tergagap. Bahkan spontan tubuhnya condong ke depan. Butuh sepersekian detik untuknya meyakinkan diri, jika ia memang tidak salah mendengar. Tika benar-benar penuh kejutan.'Apa dengan begitu aku sudah menjual bibit premiumku padanya?' Mendesah samar. Tentunya Dewa tidak menduga hal semacam itu akan terjadi. Bukankah menikah kontrak di drama-drama yang pernah ia lihat sekilas dulu bersama ibunya, tidak ada kesepakatan ranjang? Tetapi bukan Tika namanya jika tidak menentukan sesuatu diluar nalar. "Iya. Abang harus membuat saya hamil. Kontrak bisa dianggap berakhir setelah saya berhasil mengandung, dan perceraian akan dilakukan setelah saya melahirkan." 'Amazing! Perempuan yang penuh dengan rencana matang.'Dewa masih bergeming, hanya bola matanya yang bergerak ketika Tika kembali bersuara."Usia saya sudah lebih kepala tiga. Selain ingin memiliki penerus perusahaan, saya juga tidak mau lebih terlambat memiliki keturunan. Terlepas bagaimana cara saya mendapatkannya. Selagi itu tidak dengan berzina. Rasa rasa bukan masalah."'Ya, ya.. terserah kau saja yang terpenting aku dapat banyak uang. Persetan dengan anggapan menjual benih. Setidaknya itu lebih baik daripada membuangnya di kamar mandi.'"Tapi Mbak yakin? Maksud saya memiliki anak tanpa suami kelak pasti akan berat. Karena jujur, saya masih sangat muda. Sama sekali belum terlintas di pikiran saya memiliki anak dalam waktu dekat.""Abang jangan khawatir. Untuk masalah itu saya sudah menyiapkan segala sesuatunya."Melihat keyakinan Tika begitu besar dan tentunya penuh persiapan—Dewa hanya bisa mengangguk pasrah."Tapi walau begitu, Abang tetap ayah biologis anak itu. Jika kelak ingin melihatnya ataupun menghabiskan waktu dengannya. Saya tidak akan memberi batasan."Selain sempat speechless, Dewa juga tidak tahu lagi bagaimana harus merespon semua penjabaran Tika. Perempuan dewasa yang sudah sangat matang merancang masa depan. Berbeda dengan dirinya yang masih ingin menikmati kebebasan."Ada pertanyaan lain?" Dewa segera menggeleng. "Kalau begitu saya anggap perjanjian ini valid untuk kita sepakati. Sekarang saya akan tanda tangan lebih dulu." "Baik. Silahkan."Melihat kertas digeser padanya, Dewa segera melakukan hal yang sama. Tanda tangan di tempat yang sudah disiapkan."Lantas, kapan acara sakralnya dilakukan?""Hari ini juga."****Benar saja, selang dua jam setelah perjanjian disepakati, ijab qobul benar-benar dilakukan. Walaupun sempat satu kali mengulang, karena nyatanya Dewa sangat gugup harus berjabat tangan dengan pria yang menjadi wali nikah Tika, dan tanpa ada persiapan sebelumnya. Akhirnya kata sah didengar. Kini status sudah berganti, pun dengan tanggung jawab yang tentunya lebih besar untuk beberapa bulan kedepan. Dewa hanya berharap, Tika segera hamil, agar kebebasan sebagai lajang kembali bisa ia rasakan.Namun, selain status yang telah berubah. Ada fakta lain yang baru Dewa ketahui. Perempuan cantik yang saat ini sudah sah berstatus istrinya, ternyata seorang Ceo perusahan besar peninggalan ayahnya, dan selain itu Tika juga tidak memiliki siapapun lagi di dunia ini selain Inez. Perempuan perut besar yang kemarin lusa menawarkan pekerjaan padanya sebagai Instruktur Privat, sampai akhirnya pernikahan kontrak itu terjadi."Apa setelah ini Mbak tetap akan pergi ke luar Kota?" Tika yang baru saja memasuki ruang tengah, setelah mengantar semua tamunya termasuk Inez, mendongak demi menjangkau wajah Dewa yang berdiri menjulang di hadapannya."Mungkin malam nanti setelah makan malam. Besok ada pertemuan penting yang tidak bisa saya tinggalkan.""Perlu saya temani?"Tika terlihat menimang sesaat, sebelum akhirnya bertanya, "apa Abang tidak sibuk untuk dua hari kedepan?""Bukankah sudah menjadi kewajiban saya sebagai suami. Siap mengantar kemanapun Mbak pergi.""Kita langsung menuju hotel xxx, Pak," kata Tika memberitahu supir yang menjemput mereka.Setelah mendengar jawaban sang supir, Tika lekas menyandarkan punggung—memposisikan duduk dengan nyaman, sebelum kembali melanjutkan perjalanan. Sementara Dewa yang duduk di samping kanannya, sudah memejamkan mata dengan headphone terpasang di kedua telinga. Karena memang tidak tahu kemana arah tujuan mereka, pun terlalu malas untuk bertanya, Dewa memilih memanfaatkan waktu untuk istirahat. Kendati mustahil ia bisa tertidur di dalam kendaraan.Waktu memang sudah menunjukkan pukul sembilan malam, wajar jika Dewa sudah mengantuk—-setidaknya itu yang Tika pikirkan mengetahui pemuda itu sudah memejamkan mata.Beberapa menit berselang, Dewa tersentak mendapat tepukan ringan di lengannya. "Ada apa?" ujarnya seraya melepas headphone."Kita sudah sampai."Dewa mengedarkan pandangan ke arah luar. "Kita menginap disini?" Tersenyum penuh arti, mengetahui mobil berhenti di depan pintu masuk hotel bintang lim
"Cukup mengejutkan. Rupanya di generasi Milenial yang sekarang, masih ada perempuan polos dan selugu Tika. Tapi apa aku perlu berbangga diri karena menjadi yang pertama untuknya?" Menahan senyum mengingat bagaimana Tika semalam. Awalnya bersikap malu-malu, tapi pada akhirnya bisa menikmati permainan panasnya. Persis seperti para perempuan terdahulunya, menantang di awal tapi selalu berakhir dengan desahan. "Ck. Rasanya aku ingin membawanya kembali ke kamar," ujar Dewa saat memperhatikan Tika dari jarak lumayan jauh. Kendati demikian, ia bisa melihat jelas jika istri kontraknya itu sedang membicarakan sesuatu yang penting dengan dua lelaki di depannya."Tapi kalau dipikir-pikir, kasihan juga dia, ya? Pasti selama ini hidupnya sangat membosankan karena setiap hari selalu berhadapan dengan orang-orang berdasi seperti mereka. Dan aku yakin, dia tidak memiliki kebebasan seperti Inez. Sampai akhirnya terlambat menikah, dan terperdaya rayuan Kadal Darat Roland." Sebenarnya terselip rasa be
"Sialan. Sepertinya dia ingin bermain-main dengan saya. Kalau saja tadi dia tidak mengatakan saya seorang suami dari Ceo ternama. Sudah bisa dipastikan, saya akan membuat wajah menyebalkannya itu babak belur," geram Dewa begitu mendudukan diri di sofa—bersebelahan dengan Tika."Sudahlah. Tidak perlu dipermasalahkan lagi. Ronald memang seperti itu, suka mencari keributan."Bukannya tenang, Dewa malah bertambah kesal mendengarnya. Ternyata Tika masih saja ingin melindungi laki-laki itu. Kendati itu memang hak Tika, tetapi tindakan Roland sudah benar-benar melukai harga dirinya. Ia memang berandal, tapi baru Roland yang berani mempermalukannya di tempat umum. "Cih. Seperti orang tidak bermartabat saja." Ternyata harta dan pendidikan tinggi tidak menjadikan seseorang bisa ber attitude baik. Sama halnya Roland, Dewa tidak menyangka terlalu cerdas Roland akan bertindak serendah itu untuk menjatuhkan orang lain. Bahkan untuk disebut laki-laki sejati pun tindakannya tidak akan pernah layak.
"Sejak kapan kau ada di sini?" "Dewa! Astaga. Ngagetin aja!" Terlalu terkejut, Gusti yang sebelumnya sedang menyeduh kopi, spontan mendekap area bawahnya dengan kedua tangan. "Najis! Kau pikir aku sudi menyentuh itumu?" Menatap sinis Gusti yang polosnya juga menundukan kepala—mencemaskan aset berharganya."Hehe… itu namanya gerakan reflek melindungi diri dari predator.""Predator. Mama Muda, iya."Mata Gusti mendelik tajam seketika, dan detik berikutnya bergidik ngeri. "Aku selalu merinding setiap kali mendengar ada yang menyebut Mama Muda."Dewa terbahak, suaranya semakin menggelegar manakala melihat wajah tegang Gusti. Bisa dipastikan, peristiwa menggelikan beberapa bulan lalu kembali melintasi benak sahabatnya itu. "Momen itu terlalu sulit aku lupakan.""Yah! Dan tertawalah sepuasmu sekarang," kesal Gusti sebelum akhirnya menyadari penampilan Dewa yang berbeda dari biasanya. "Kau jauh lebih baik dengan pakaian rapi begini. Setelah hilang dua hari, tak kusangka pulang berubah bak
"Terima kasih, Anda boleh pergi sekarang.""Sama-sama, Nyonya. Kalau begitu saya permisi."Melihat Tika mengangguk, pria itu pun langsung mengangguk patuh, dan bergegas pergi meninggalkan Tika di ruang tengah. Tidak bisa menunggu lagi, Tika yang memang sudah sangat penasaran—membuka berkas terbungkus map coklat. Setelah menarik semua lembaran yang ada di dalam map tersebut, dengan teliti Tika membaca tulisan yang tertera di setiap lembaran—berharap tidak ada satupun keterangan yang terlewatkan."Jadi ini kehidupan bebas yang dia maksud? Tapi aneh. Kenapa tidak tercantum siapa orang tuanya? Apa dia yatim piatu?" Tika bermonolog."Kakak bicara dengan siapa?" "Tidak ada."Kemunculan Inez yang tiba-tiba, mengejutkan Tika. Tidak ingin Inez mengetahui jika itu data diri Dewa yang baru didapatkan dari orang suruhannya, Tika buru-buru memasukan semua lembaran ke dalam map. "Oh." Kendati tidak percaya begitu saja. Terlebih setelah menangkap wajah terkejut sang kakak, pun dengan map yang ada d
Setelah membuat kekacauan dengan merobohkan beberapa motor yang terparkir memanjang di sisi jalan. Sang Stunt Rider pun memulai aksi stunt riding, guna membelah kerumunan anak manusia yang memenuhi jalan. Motor besar yang dikendalikan laki-laki lengkap dengan penutup kepalanya itu, baru berhenti tepat di hadapan pemuda yang sudah akan menunggangi kuda besinya—siap melakukan hal yang sama karena merasa tertantang."Bang Cakra?" Pemuda itu tampak terkejut begitu lelaki yang sempat membuatnya kesal telah membuka menutup kepala, dan sayangnya bukan seseorang yang ia tunggu. "Kenapa Abang bisa ada di sini, dan ini? Bukankah motor Dewa? Dimana dia? Mungkinkah seorang rider hebat sepertinya tidak cukup nyali menerima tantangan dariku?""Bubar!!" Enggan menanggapi cibiran Venus terhadap Dewa, pandangan Cakra justru tertuju pada sekitar—pemuda-pemuda lain yang belum berniat pergi meninggalkan tempat itu. Memilih tetap bertahan di tepi jalan."Abang jangan ikut campur! Ini urusanku dengan Dewa
"Seperti yang dia inginkan, tinggal bersama agar aku bisa segera membuatnya hamil, dan setelah mendapat uang darinya aku bisa membeli rumah. Yah! Semudah itu."Namun, mendadak Dewa berubah pikiran. Ia pun urung turun dari kendaraan yang mesinnya bahkan sudah dimatikan—menatap sendu pintu gerbang rumah Tika yang masih tertutup rapat."Tetap saja ini tidak bisa dibenarkan. Aku laki-laki dan seharusnya aku yang bertanggung jawab membawanya. Tapi mana mungkin dia bersedia tinggal di kontrakan Bang Cakra. Cih!" Tiba-tiba tersenyum geli saat mengingat status mereka. "Dewa, Dewa, selain mustahil. Memangnya apa yang mendasari dia mau hidup susah dengan berandal sepertimu, bodoh!" Ia merasa benar-benar konyol telah bersikap layaknya seorang suami sungguhan. Padahal pernikahan mereka saja hanya kontrak dan mungkin berlaku dalam hitungan bulan kedepan. Lantas, untuk apa ia memusingkan perihal tanggung jawab, dan mengutamakan gengsi sebagai laki-laki. Sedangnya tugasnya saja cukup membuat Tika h
"Boleh saya tanyakan sesuatu?"Dewa yang sudah berbaring—menggunakan satu lengan sebagai bantal, menoleh Tika yang masih duduk bersandar. "Silahkan ""Apa pendidikan terakhir Abang?" Tika langsung menggigit bibir bawah bagian dalam, khawatir Dewa salah paham."Saya hanya pernah sekolah hingga menengah atas. Itu pun tidak sampai lulus." Melihat Dewa masih cukup tenang saat menjawab, setidaknya Tika bisa sedikit bernafas lega.Sementara Dewa terpaksa berbohong. Merasa tidak perlu Tika mengetahui siapa dirinya dulu. Selain hal tersebut hanya akan membuka kembali luka yang saat ini saja belum sepenuhnya sembuh. Dewa juga merasa tetap lebih baik dikenal sebagai berandal.Mendengar jawaban Dewa, Tika seperti sedang berpikir keras."Mbak menyesal telah melakukannya dengan pemuda seperti saya? Tidak memiliki latar belakang pendidikan yang memadai?""Bukan itu yang sedang saya pikirkan," sanggah Tika tidak ingin Dewa berkecil hati. Walaupun sebenarnya gurat kekecewaan itu jelas Dewa temukan. "