"Apalagi ini? Setelah menjebakku, dan hampir membuatku gila. Ternyata dia hanya menangis disitu? Hais… Drama Queen."
Suara isakan yang ada di balik tanaman dekat kolam renang, dan sempat menarik perhatian Dewa. Rupanya suara pemilik rumah yang sedang patah hati. Tika yang duduk meringkuk di atas kursi dan menghadap dinding tidak mengetahui jika ada sepasang mata memergoki dirinya.Sempat tergesa-gesa tidak sabar ingin segera mendekat, mendadak Dewa mematung di tempat. Tidak tahu kenapa, suara isakan Tika bisa sampai menyentuh dinding hatinya. Mungkinkan simpati itu muncul bersamaan meredanya kekesalan yang beberapa saat lalu masih menggebu-gebu?'Emang boleh sesedih ini?'Mendesak nafas sekali, Dewa memilih memperhatikan Tika dalam diam. Membiarkan perempuan itu meluapkan kesedihan yang sepertinya cukup dalam.'Aku bahkan percaya dia bisa mendapatkan laki-laki yang lebih baik dari Roland. Kenapa harus buang-buang waktu dengan menangis seperti ini.'Sudah hampir tiga puluh menit berlalu, Dewa masih setia menunggu—menatap penuh arti punggung Tika yang masih saja bergetar.'Apa dia tidak lelah? Berapa banyak lagi tisu yang akan dihabiskan? Benar-benar merepotkan.'Namun, kendati demikian Dewa tidak berniat untuk pergi. Ia justru bersandar pada tanaman lain berbatang kuat serta berukuran lebih tinggi dari yang lain, sambil melipat tangan di dada. Stok kesabarannya masih cukup untuk menunggu, mungkin sampai satu jam ke depan. Sekarang yang melintas di benaknya, Dewa seperti tidak percaya sosok yang sejak tadi diperhatikan masih perempuan yang sama beberapa saat lalu, dan nyaris membuatnya naik darah. "Tapi jika tetap dibiarkan seperti ini. Tumpukan tisu akan semakin menggunung, dan bisa dipastikan orang yang melihat bisa salah paham." Setelah memastikan sekitar masih sepi, perlahan Dewa mulai mendekati Tika."Kenapa menangis di sini? Sengaja biar saya tidak bisa melihatnya?"Tika yang terkejut ada suara di belakangnya, seketika menoleh. Ia lebih terkejut lagi ternyata itu Dewa."Sebenarnya saya tidak suka ada orang melihat saya saat seperti ini. Duduklah." Tidak menunggu perintah dua kali, Dewa segera duduk di depan Tika. "Maaf. Saya lupa masih ada Abang di sini.""Tidak masalah. Anggap saja saya lalat atau nyamuk. Itu jauh lebih berarti.""Bukan seperti itu, saya—""---sudahlah. Saya hanya bergurau jangan dianggap serius." Melihat Tika bisa melengkungkan senyum meski itu jelas sangat dipaksakan, Dewa memposisikan diri duduk dengan nyaman—menumpu satu kaki di atas kaki yang lain. "Jadi karena dia Mbak meminta saya menjadi lelaki sewaan?"Dewa sudah bisa jauh lebih tenang. Ternyata dengan menunggu, memberi dampak positif pada dirinya sendiri. Sekarang tidak ada lagi kekesalan atau bahkan amarah dalam dirinya, hilang begitu saja. Sesuatu yang sebenarnya Dewa sendiri tidak ketahui kenapa bisa demikian. Untuk pertama kali ia bisa menahan diri hingga berulang-ulang, pun masih dengan perempuan yang sama. Ia yang memiliki kesabaran setipis tisu, tak jarang langsung meluapkan kekesalannya pada apapun dan siapapun. Namun bersama Tika, Dewa tak ubahnya kerbau yang begitu mudah dijinakkan. Ada apa sebenarnya?"Saya lelah, Bang. Lelah dihujat banyak orang karena dianggap orang ketiga dalam rumah tangga Roland," ujar Tika tiba-tiba, dan tentu saja berhasil menyentak serta menarik perhatian Dewa. "Selama ini saya terlalu percaya diri. Menganggap cukup dengan menutup mata serta telinga, dan mengabaikan apapun yang orang lain katakan. Saya akan tetap baik-baik saja. Tetapi ternyata saya salah."Mengetahui Tika akan kembali mencurahkan isi hatinya, Dewa memilih diam menyimak. Sesuatu yang kembali membuatnya heran. Sejak kapan ia peduli dengan urusan orang lain, terlebih itu Tika—perempuan yang baru dikenal bahkan belum genap satu hari."Saya semakin terpuruk setelah sadar, Roland tidak benar-benar mencintai saya. Dia hanya butuh kekuasaan, dan hanya menjadikan saya pijakan untuk mendapatkan mangsa yang lebih besar." Menatap dalam manik Tika yang kembali meneteskan cairan bening, tidak tahu kenapa memunculkan rasa yang lain di hati Dewa, selain simpati. Detik berikutnya, Dewa buru-buru berpaling ke kolam ikan koi. Tidak ingin rasa asing itu semakin mempengaruhi dirinya."Lantas, apa yang Mbak inginkan sekarang? Tentunya setelah menyeret saya masuk ke dalam masalah Mbak.""Saya hanya ingin hidup dengan tenang." Helaan nafas panjang Tika mampu menarik kembali pandangan Dewa. Sialnya, melihat wajah sembab perempuan itu dari samping, kekaguman Dewa kembali muncul. Tika memiliki kecantikan spek bidadari, atau memang dialah sang bidadari yang kehilangan selendangnya dahulu kala? Sedangkan Dewa yang memang dasarnya playboy, dengan mudah langsung terpikat.'Bodohnya Roland bisa menyia-nyiakan perempuan secantik ini.'"Mbak bisa mendapatkan apa yang Mbak inginkan. Syaratnya bersihkan dulu nama Mbak dan jelaskan pada mereka kedekatan yang selama ini terjadi antara Mbak dengan Roland hanya sebatas rekan kerja. Bukan seperti yang selama ini publik tuduhkan.""Tidak semudah itu. Kecuali jika saya sudah memiliki hubungan atau bahkan menikah dengan lelaki lain.""Kenapa begitu?""Beberapa bulan lalu, saat saya memutuskan untuk mengakhiri hubungan dengan Roland. Saya sempat memberi statement jika saya memiliki seseorang yang berharga dalam hidup saya. Tapi bukan Roland." Menggaruk kepala yang tiba-tiba gatal, Dewa ikut pusing memikirkan permasalahan Tika, ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan. Selain itu, sekarang Dewa juga paham, kenapa Tika begitu bersikeras memintanya menjadi lelaki sewaan di depan Roland.'Tapi yang lebih pantas dikasihani adalah diriku sendiri. Kenapa tidak mencari tahu dulu kemarin sebelum menerima tawaran Inez, dan akhirnya membuatku terjebak.'"Diusia saya yang terbilang sudah sangat cukup untuk menikah. Tapi tak kunjung memiliki pasangan halal. Menguatkan alibi mereka, dengan menganggap saya penghancur rumah tangga Roland. Walaupun sebenarnya yang terjadi, sumpah demi apapun. Saya sendiri belum lama mengetahui jika Roland dan istrinya belum sah bercerai. Jujur. Saya sangat menyesal sudah mempercayai mulut manis laki-laki itu pada saat mendekati saya, dulu."Dewa mendadak gusar, merasa sesuatu akan terjadi, dan yang pasti merugikan dirinya.'Tolong. Siapapun. Bukakan pintu rahasia yang bisa membawaku ke tempat lain. Aku harus pergi sekarang. Sebelum dia membuatku berada di posisi yang semakin sulit.'"Boleh saya bertanya sesuatu?" Deg!!Pertanyaan tiba-tiba Tika menyentak punggung Dewa. Ia yang biasanya selalu mendominasi, kini terlihat sangat bodoh dengan menelan saliva usaha payah. Sebesar itukah pengaruh Tika pada dirinya?"Apa yang ingin Mbak ketahui dari saya?" jawab Dewa setelah berhasil menguasai diri.Sialnya, Tika yang tidak langsung menjawab, membuat Dewa berubah waspada. Meyakini pertanyaan perempun itu pasti sesuatu yang tidak mudah untuk dijawab."Apakah Abang masih sendiri?"Glek!Dewa seketika mendesak nafas kasar. Persetan jika Tika bisa mendengarnya. Yang pasti ia ingin berteriak sekeras mungkin.'Brengsek! Rasanya aku ingin menceburkan diri ke dalam kolam saja. Aku tahu apa yang dia inginkan dari pertanyaan itu.'"Saya masih sendiri." Kendati sudah bisa menebak, tapi Dewa tetap menjawab.Dan, begitu menangkap Tika melengkungkan senyum samar, Dewa mendengus dalam hati."Bagaimana kalau kita menikah kontrak?""Apa!!!""Iya, menikah kontrak.""Ini gula! Eh, gila!"Dewa memilih kembali ke 'Rumah kebugaran' tempat dirinya bekerja, daripada kembali ke rumah yang pasti membuatnya semakin uring-uringan. Sekarang saja tawaran Tika masih berusaha ia hempaskan dari benaknya, dengan melakukan olahraga kecil."Wa!"Melihat Cakra buru-buru menghampirinya ke ruang fitness, Dewa segera meletakkan kembali dumbbell pada tempatnya."Sorry! Aku harus pergi sekarang. Mobil Nina mogok di jalan, dan dia tidak bisa menghubungi Gusti." terang Cakra begitu sudah mendekati Dewa."Oh! Ya sudah, Abang pergi aja.""Serius? Inikan hari liburmu?""Santai saja, Bang. Lagipula aku nggak ada janji dengan anak-anak.""Syukurlah kalau begitu." Cakra sudah berbalik badan. Tapi detik berikutnya kembali menghadap Dewa. "Oh iya, hampir saja lupa. Nanti ada yang mau datang. Dia masih pemula. Aku juga belum tau orangnya. Aku serahkan dia padamu." Menepuk pelan bahu Dewa disertasi senyum ringan, meski hanya singkat."Selalu siap, Bang," jawab Dewa sambil mengangkat ibu jari tangannya y
"Bang Dewa?" Tika yang sudah akan memasuki mobil, mengurungkan niatnya. Tahu Tika menyambut kedatangannya, begitu turun dari motor Dewa melangkah lebar melewati pagar yang sudah terbuka sempurna. "Maaf. Saya terpaksa datang sekarang. Mbak sudah mau berangkat?"Dilihat dari pakaiannya yang sudah rapi, dilengkapi tas jinjing di tangan kirinya, Dewa semakin yakin jika Tika sudah akan pergi ke luar kota. Seperti yang disampaikan kemarin."Saya masih bisa menundanya.""Baguslah. Bisa kita bicara?""Tentu saja. Kalau begitu kita ke ruang kerja saya.""Baik." Mengikuti Tika memasuki rumah, tidak ada kegusaran lagi di wajah Dewa seperti kemarin. Ia benar-benar sudah memantapkan hati untuk apa yang akan terjadi hari ini.Sesampainya mereka di ruang kerja Tika yang ada di lantai dua, Dewa langsung dipersilahkan duduk di sofa panjang, sedangkan Tika memilih duduk di sofa tunggal."Apa keuntungan yang bisa saya dapatkan jika menerima tawaran Mbak, kemarin?" Tidak ingin menunda waktu, Dewa langsun
"Kita langsung menuju hotel xxx, Pak," kata Tika memberitahu supir yang menjemput mereka.Setelah mendengar jawaban sang supir, Tika lekas menyandarkan punggung—memposisikan duduk dengan nyaman, sebelum kembali melanjutkan perjalanan. Sementara Dewa yang duduk di samping kanannya, sudah memejamkan mata dengan headphone terpasang di kedua telinga. Karena memang tidak tahu kemana arah tujuan mereka, pun terlalu malas untuk bertanya, Dewa memilih memanfaatkan waktu untuk istirahat. Kendati mustahil ia bisa tertidur di dalam kendaraan.Waktu memang sudah menunjukkan pukul sembilan malam, wajar jika Dewa sudah mengantuk—-setidaknya itu yang Tika pikirkan mengetahui pemuda itu sudah memejamkan mata.Beberapa menit berselang, Dewa tersentak mendapat tepukan ringan di lengannya. "Ada apa?" ujarnya seraya melepas headphone."Kita sudah sampai."Dewa mengedarkan pandangan ke arah luar. "Kita menginap disini?" Tersenyum penuh arti, mengetahui mobil berhenti di depan pintu masuk hotel bintang lim
"Cukup mengejutkan. Rupanya di generasi Milenial yang sekarang, masih ada perempuan polos dan selugu Tika. Tapi apa aku perlu berbangga diri karena menjadi yang pertama untuknya?" Menahan senyum mengingat bagaimana Tika semalam. Awalnya bersikap malu-malu, tapi pada akhirnya bisa menikmati permainan panasnya. Persis seperti para perempuan terdahulunya, menantang di awal tapi selalu berakhir dengan desahan. "Ck. Rasanya aku ingin membawanya kembali ke kamar," ujar Dewa saat memperhatikan Tika dari jarak lumayan jauh. Kendati demikian, ia bisa melihat jelas jika istri kontraknya itu sedang membicarakan sesuatu yang penting dengan dua lelaki di depannya."Tapi kalau dipikir-pikir, kasihan juga dia, ya? Pasti selama ini hidupnya sangat membosankan karena setiap hari selalu berhadapan dengan orang-orang berdasi seperti mereka. Dan aku yakin, dia tidak memiliki kebebasan seperti Inez. Sampai akhirnya terlambat menikah, dan terperdaya rayuan Kadal Darat Roland." Sebenarnya terselip rasa be
"Sialan. Sepertinya dia ingin bermain-main dengan saya. Kalau saja tadi dia tidak mengatakan saya seorang suami dari Ceo ternama. Sudah bisa dipastikan, saya akan membuat wajah menyebalkannya itu babak belur," geram Dewa begitu mendudukan diri di sofa—bersebelahan dengan Tika."Sudahlah. Tidak perlu dipermasalahkan lagi. Ronald memang seperti itu, suka mencari keributan."Bukannya tenang, Dewa malah bertambah kesal mendengarnya. Ternyata Tika masih saja ingin melindungi laki-laki itu. Kendati itu memang hak Tika, tetapi tindakan Roland sudah benar-benar melukai harga dirinya. Ia memang berandal, tapi baru Roland yang berani mempermalukannya di tempat umum. "Cih. Seperti orang tidak bermartabat saja." Ternyata harta dan pendidikan tinggi tidak menjadikan seseorang bisa ber attitude baik. Sama halnya Roland, Dewa tidak menyangka terlalu cerdas Roland akan bertindak serendah itu untuk menjatuhkan orang lain. Bahkan untuk disebut laki-laki sejati pun tindakannya tidak akan pernah layak.
"Sejak kapan kau ada di sini?" "Dewa! Astaga. Ngagetin aja!" Terlalu terkejut, Gusti yang sebelumnya sedang menyeduh kopi, spontan mendekap area bawahnya dengan kedua tangan. "Najis! Kau pikir aku sudi menyentuh itumu?" Menatap sinis Gusti yang polosnya juga menundukan kepala—mencemaskan aset berharganya."Hehe… itu namanya gerakan reflek melindungi diri dari predator.""Predator. Mama Muda, iya."Mata Gusti mendelik tajam seketika, dan detik berikutnya bergidik ngeri. "Aku selalu merinding setiap kali mendengar ada yang menyebut Mama Muda."Dewa terbahak, suaranya semakin menggelegar manakala melihat wajah tegang Gusti. Bisa dipastikan, peristiwa menggelikan beberapa bulan lalu kembali melintasi benak sahabatnya itu. "Momen itu terlalu sulit aku lupakan.""Yah! Dan tertawalah sepuasmu sekarang," kesal Gusti sebelum akhirnya menyadari penampilan Dewa yang berbeda dari biasanya. "Kau jauh lebih baik dengan pakaian rapi begini. Setelah hilang dua hari, tak kusangka pulang berubah bak
"Terima kasih, Anda boleh pergi sekarang.""Sama-sama, Nyonya. Kalau begitu saya permisi."Melihat Tika mengangguk, pria itu pun langsung mengangguk patuh, dan bergegas pergi meninggalkan Tika di ruang tengah. Tidak bisa menunggu lagi, Tika yang memang sudah sangat penasaran—membuka berkas terbungkus map coklat. Setelah menarik semua lembaran yang ada di dalam map tersebut, dengan teliti Tika membaca tulisan yang tertera di setiap lembaran—berharap tidak ada satupun keterangan yang terlewatkan."Jadi ini kehidupan bebas yang dia maksud? Tapi aneh. Kenapa tidak tercantum siapa orang tuanya? Apa dia yatim piatu?" Tika bermonolog."Kakak bicara dengan siapa?" "Tidak ada."Kemunculan Inez yang tiba-tiba, mengejutkan Tika. Tidak ingin Inez mengetahui jika itu data diri Dewa yang baru didapatkan dari orang suruhannya, Tika buru-buru memasukan semua lembaran ke dalam map. "Oh." Kendati tidak percaya begitu saja. Terlebih setelah menangkap wajah terkejut sang kakak, pun dengan map yang ada d
Setelah membuat kekacauan dengan merobohkan beberapa motor yang terparkir memanjang di sisi jalan. Sang Stunt Rider pun memulai aksi stunt riding, guna membelah kerumunan anak manusia yang memenuhi jalan. Motor besar yang dikendalikan laki-laki lengkap dengan penutup kepalanya itu, baru berhenti tepat di hadapan pemuda yang sudah akan menunggangi kuda besinya—siap melakukan hal yang sama karena merasa tertantang."Bang Cakra?" Pemuda itu tampak terkejut begitu lelaki yang sempat membuatnya kesal telah membuka menutup kepala, dan sayangnya bukan seseorang yang ia tunggu. "Kenapa Abang bisa ada di sini, dan ini? Bukankah motor Dewa? Dimana dia? Mungkinkah seorang rider hebat sepertinya tidak cukup nyali menerima tantangan dariku?""Bubar!!" Enggan menanggapi cibiran Venus terhadap Dewa, pandangan Cakra justru tertuju pada sekitar—pemuda-pemuda lain yang belum berniat pergi meninggalkan tempat itu. Memilih tetap bertahan di tepi jalan."Abang jangan ikut campur! Ini urusanku dengan Dewa