"Mau apalagi kau datang?!" Tika berucap dingin begitu pintu pagar dibuka, dan mengetahui siapa yang berdiri di hadapannya. "Jika kedatanganmu berhubungan dengan pekerjaan, kita bicarakan besok di kantor. Tentunya pada jam kerja."
"Kenapa kau tidak pernah memberiku kesempatan untuk menjelaskan yang sebenarnya, Tika. Apa yang terjadi tidak seperti yang terlihat semua orang," terangnya dengan nafas terengah. "Percayalah padaku."Tika segera menyembunyikan tangan ke belakang punggung, mengetahui Roland berniat akan meraihnya. "Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi. Kau telah berbohong. Itu faktanya.""Itu tidak benar. Semua hanya kamuflase. Kami tetap menjalani hidup masing-masing, baik dulu maupun sekarang."Alih-alih percaya, lewat desakan nafas panjang yang baru saja lolos, Tika sama sekali tidak peduli dengan apa yang Roland jelaskan. Wajah malasnya seakan meminta lelaki itu segera pergi. Bahkan bila perlu sejauh mungkin dari hidupnya."Aku sudah memutuskan apa yang menurutku benar. Hubungan kita tidak layak diperjuangkan lagi. Kedepannya kita hanya partner. Bukan lagi dua orang dewasa yang pernah menjalin hubungan terlarang," tegas Tika memberi ultimatum.Roland berubah gusar dengan meremas rambut atas. "Tapi aku masih ingin kita seperti dulu, Tika. Kau bahkan tahu seberapa dalam perasaanku terhadapmu.Tatapan Tika masih sedingin Antartika, dan itu sesuatu yang baru pertama kali Roland temui. Kegusaran Roland tidak akan menyurutkan tekad Tika untuk tetap pada keputusannya. Semua harus segera dihentikan, sebelum pandangan luar semakin menguliti dirinya hingga tak tersisa."Sudah berulang kali aku katakan padamu. Pernikahan kami hanya kesepakatan bisnis. Tidak ada cinta, ataupun komitmen di dalamnya. Kami juga sudah sepakat untuk berpisah setelah aku berhasil menyakinkan Mr. Logan."Mendengar penjelasan Roland, Tika mendesak alis tinggi, berusaha menghalau rasa sesak yang tiba-tiba menyusup hati. Ternyata Roland tidak pernah peduli dengan apa yang ia rasakan. Lelaki itu tetap memaksakan kehendaknya. Lantas, apakah itu yang disebut CINTA? Bukankah cinta lebih mementingkan perasaan orang yang dicintai, daripada kepentingan pribadi?Dan, memilih melepaskan setelah sadar cintanya menyakiti?"Ada apa ini? Sayang… kau baik-baik saja? Hei.. lihat aku, kenapa menangis, hm?" Setelah muncul dengan penuh percaya diri, Dewa langsung memeluk Tika erat di hadapan Roland yang seketika menajamkan mata. Terlihat jelas lelaki itu tengah menahan kesal. Tapi Dewa mengabaikannya dengan semakin posesif merangkul Tika. Sesuatu yang sebenarnya sangat ingin ia lakukan sejak tadi."Apa terjadi sesuatu? Kenapa tamumu tidak dipersilahkan masuk?"Dewa benar-benar totalitas, menunjukkan sikap manisnya di depan Roland, sesuai keinginan Tika."Aku akan baik-baik saja jika kau tetap bersamaku.""Oh ya Tuhan... aku bahkan ragu bisa jauh darimu meski itu hanya sedetik, Sayang." Sambil meninggalkan kecupan singkat di puncak kepala Tika, Dewa mengulas senyum licik mengetahui wajah Roland sudah merah padam. Ia tahu semarah apa lelaki itu sekarang."Siapa dia?!" Muak dengan kemesraan yang sengaja dipamerkan di depan mata, Roland bertanya dengan lantang----tidak sabaran. "Jawab Tika! Siapa dia dan kenapa ada di rumahmu sepagi ini? Apa yang sudah kalian lakukan, hah!" Kemarahan Roland memuncak begitu paham rambut panjang Dewa dalam keadaan setengah basah, pun dengan pakaian santai yang pemuda itu kenakan. Hanya lelaki bodoh yang tidak bisa mengartikan situasi apa yang sudah terjadi di rumah Tika sebelum dirinya datang."Jadi seperti ini hubungan yang kau inginkan? Tinggal bersama agar bisa melakukan banyak hal, iya?!"Plakkk!!!Sontak, Roland mengeraskan rahang dengan kepala masih menoleh ke samping. Ia juga sampai mematung sepersekian detik. Meyakinkan diri bahwa Tika benar-benar telah menamparnya."Pergi!" ucap Tika dingin dengan cairan bening sudah membanjiri pipi. Ternyata Tika sendiri cukup terkejut bisa sampai meninggalkan bekas merah di pipi Roland. Tamparan itu sangat keras. Naasnya, menyakiti lelaki yang dicintai, seakan ia juga merasakan sakit yang sama."Apa salahnya jika aku tinggal bersama suamiku? Apa hakmu menghakimi kami." Tika mengusap kasar pipinya yang basah. "Sekarang kau sudah tahu alasan kita tidak mungkin lagi bersama, bukan? Lantas, untuk apa kau masih di sini!""Cih! Suami?" Roland dengan cepat menyangkal. Di sertai tatapan remeh ia beralih pada Dewa. "Hei anak muda, berapa dia membayarmu? Apakah itu seharga rumah mewah? Atau mobil keluaran terbaru?"Dewa yang sebelumnya hanya diam menyaksikan, seketika terhenyak. Lebih lagi dengan tuduhan yang Roland lontarkan."Aku akan memberimu dua kali lipat, asal kau tinggalkan Tika saat ini juga." Kendati mulutnya masih tertutup rapat, tetapi kepalan tangan Dewa sudah terangkat hendak menghantam wajah Roland, sampai tiba-tiba Tika menahannya."Tidak ada gunanya kita meladeni mulut kotornya, Sayang. Biarkan saja dia berspekulasi seperti apa yang diinginakn. Kita hanya perlu menunjukan pada dunia jika rumah tangga kita bukanlah rekayasa."Namun, bukannya tenang yang ada bola mata Dewa seakan keluar dari cangkangnya. Kali ini tidak hanya marah, Dewa juga merasa sangat bodoh sudah mau menuruti permintaan Tika. Perempuan itu sudah melampaui batas kesepakatan. Tidak hanya berani menyebut dirinya suami, Tika juga mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal. 'Sialan. Jadi ini rencananya. Licik!' Detik berikutnya Roland pergi tanpa meninggalkan sepatah kata. Tidak lama disusul Tika yang juga langsung masuk ke dalam rumah. Menyisakan Dewa yang lagi-lagi hanya bisa menahan kemarahan atas apa yang terjadi. Cerdik. Rupanya Tika sudah mengatur semuanya sejak awal saat tahu Roland akan datang, dan menjerat Dewa agar masuk ke dalam permasalahannya yang pelik."Cih! Tika sialan. Tak kusangka dia bisa selicik itu. Dan sekarang, mustahil Roland tidak mengejarku setelah apa yang terjadi hari ini. Pes, apes. Tau begini jadinya, aku ambil saja uangnya tadi. Biar sekalian bisa menutup mulut Clara."****Dewa masih celingukan berusaha mencari keberadaan Tika. Sayangnya, sejauh mata mengitari setiap sudut ruang tengah, tetap tidak menemukan keberadaan perempuan itu. "Dimana dia? Mungkinkah rumah ini ada pintu rahasia menuju dimensi lain?" Merasa masih ada yang perlu diluruskan, Dewa memilih menunggu Tika. Tapi naasnya, sudah hampir satu jam menunggu, Tika tak juga muncul. Kemana sebenarnya perempuan itu bersembunyi?Tidak sabar hanya menunggu seperti orang bodoh, Dewa menyakinkan diri untuk memastikan beberapa tempat di lantai satu, termasuk dapur. Entah kemana perginya bibi yang tadi sempat menyuguhkan minuman untuknya. Karena ketika ia berkeliling, rumah dalam keadaan benar-benar sepi, seperti tak berpenghuni."Seharusnya aku yang marah dengan dia menyebutku suami. Bukan malah dia yang melakukan ini padaku," ujarnya bermonolog ketika tidak menemukan Tika dimanapun.Namun, tiba-tiba saja langkah Dewa terhenti saat melewati pintu kaca yang terbuka lebar, dan ternyata mengarah ke halaman samping. Kendati tidak menjamin apakah Tika ada di sana, setidaknya Dewa tetap harus memastikan. Ia sudah tidak sabar ingin membuat perhitungan dengan perempuan licik itu."Rupanya di sini juga tidak ada. Ck. Dimana dia sebenarnya?" Dewa semakin jauh meninggalkan pintu kaca. "Astaga! Kenapa tiba-tiba aku jadi khawatir begini?" Dewa masih melihat-lihat sekitar. Karena tidak berhati-hati, ia beberapa kali nyaris terjatuh. Terlalu banyak menahan kekesalan atas kelicikan Tika. Terlebih mulai muncul kecemasan setelah tidak juga menemukan perempuan itu, Dewa kurang memperhatikan jalan yang akan dipijak. Alhasil, ia sering tergelincir lantai setapak yang membelah rerumputan taman. Sampai akhirnya ia yang terkejut, seketika menoleh ke samping."Oh shit! Ini tidak mungkin!""Apalagi ini? Setelah menjebakku, dan hampir membuatku gila. Ternyata dia hanya menangis disitu? Hais… Drama Queen."Suara isakan yang ada di balik tanaman dekat kolam renang, dan sempat menarik perhatian Dewa. Rupanya suara pemilik rumah yang sedang patah hati. Tika yang duduk meringkuk di atas kursi dan menghadap dinding tidak mengetahui jika ada sepasang mata memergoki dirinya.Sempat tergesa-gesa tidak sabar ingin segera mendekat, mendadak Dewa mematung di tempat. Tidak tahu kenapa, suara isakan Tika bisa sampai menyentuh dinding hatinya. Mungkinkan simpati itu muncul bersamaan meredanya kekesalan yang beberapa saat lalu masih menggebu-gebu?'Emang boleh sesedih ini?'Mendesak nafas sekali, Dewa memilih memperhatikan Tika dalam diam. Membiarkan perempuan itu meluapkan kesedihan yang sepertinya cukup dalam.'Aku bahkan percaya dia bisa mendapatkan laki-laki yang lebih baik dari Roland. Kenapa harus buang-buang waktu dengan menangis seperti ini.'Sudah hampir tiga puluh menit berlalu
Dewa memilih kembali ke 'Rumah kebugaran' tempat dirinya bekerja, daripada kembali ke rumah yang pasti membuatnya semakin uring-uringan. Sekarang saja tawaran Tika masih berusaha ia hempaskan dari benaknya, dengan melakukan olahraga kecil."Wa!"Melihat Cakra buru-buru menghampirinya ke ruang fitness, Dewa segera meletakkan kembali dumbbell pada tempatnya."Sorry! Aku harus pergi sekarang. Mobil Nina mogok di jalan, dan dia tidak bisa menghubungi Gusti." terang Cakra begitu sudah mendekati Dewa."Oh! Ya sudah, Abang pergi aja.""Serius? Inikan hari liburmu?""Santai saja, Bang. Lagipula aku nggak ada janji dengan anak-anak.""Syukurlah kalau begitu." Cakra sudah berbalik badan. Tapi detik berikutnya kembali menghadap Dewa. "Oh iya, hampir saja lupa. Nanti ada yang mau datang. Dia masih pemula. Aku juga belum tau orangnya. Aku serahkan dia padamu." Menepuk pelan bahu Dewa disertasi senyum ringan, meski hanya singkat."Selalu siap, Bang," jawab Dewa sambil mengangkat ibu jari tangannya y
"Bang Dewa?" Tika yang sudah akan memasuki mobil, mengurungkan niatnya. Tahu Tika menyambut kedatangannya, begitu turun dari motor Dewa melangkah lebar melewati pagar yang sudah terbuka sempurna. "Maaf. Saya terpaksa datang sekarang. Mbak sudah mau berangkat?"Dilihat dari pakaiannya yang sudah rapi, dilengkapi tas jinjing di tangan kirinya, Dewa semakin yakin jika Tika sudah akan pergi ke luar kota. Seperti yang disampaikan kemarin."Saya masih bisa menundanya.""Baguslah. Bisa kita bicara?""Tentu saja. Kalau begitu kita ke ruang kerja saya.""Baik." Mengikuti Tika memasuki rumah, tidak ada kegusaran lagi di wajah Dewa seperti kemarin. Ia benar-benar sudah memantapkan hati untuk apa yang akan terjadi hari ini.Sesampainya mereka di ruang kerja Tika yang ada di lantai dua, Dewa langsung dipersilahkan duduk di sofa panjang, sedangkan Tika memilih duduk di sofa tunggal."Apa keuntungan yang bisa saya dapatkan jika menerima tawaran Mbak, kemarin?" Tidak ingin menunda waktu, Dewa langsun
"Kita langsung menuju hotel xxx, Pak," kata Tika memberitahu supir yang menjemput mereka.Setelah mendengar jawaban sang supir, Tika lekas menyandarkan punggung—memposisikan duduk dengan nyaman, sebelum kembali melanjutkan perjalanan. Sementara Dewa yang duduk di samping kanannya, sudah memejamkan mata dengan headphone terpasang di kedua telinga. Karena memang tidak tahu kemana arah tujuan mereka, pun terlalu malas untuk bertanya, Dewa memilih memanfaatkan waktu untuk istirahat. Kendati mustahil ia bisa tertidur di dalam kendaraan.Waktu memang sudah menunjukkan pukul sembilan malam, wajar jika Dewa sudah mengantuk—-setidaknya itu yang Tika pikirkan mengetahui pemuda itu sudah memejamkan mata.Beberapa menit berselang, Dewa tersentak mendapat tepukan ringan di lengannya. "Ada apa?" ujarnya seraya melepas headphone."Kita sudah sampai."Dewa mengedarkan pandangan ke arah luar. "Kita menginap disini?" Tersenyum penuh arti, mengetahui mobil berhenti di depan pintu masuk hotel bintang lim
"Cukup mengejutkan. Rupanya di generasi Milenial yang sekarang, masih ada perempuan polos dan selugu Tika. Tapi apa aku perlu berbangga diri karena menjadi yang pertama untuknya?" Menahan senyum mengingat bagaimana Tika semalam. Awalnya bersikap malu-malu, tapi pada akhirnya bisa menikmati permainan panasnya. Persis seperti para perempuan terdahulunya, menantang di awal tapi selalu berakhir dengan desahan. "Ck. Rasanya aku ingin membawanya kembali ke kamar," ujar Dewa saat memperhatikan Tika dari jarak lumayan jauh. Kendati demikian, ia bisa melihat jelas jika istri kontraknya itu sedang membicarakan sesuatu yang penting dengan dua lelaki di depannya."Tapi kalau dipikir-pikir, kasihan juga dia, ya? Pasti selama ini hidupnya sangat membosankan karena setiap hari selalu berhadapan dengan orang-orang berdasi seperti mereka. Dan aku yakin, dia tidak memiliki kebebasan seperti Inez. Sampai akhirnya terlambat menikah, dan terperdaya rayuan Kadal Darat Roland." Sebenarnya terselip rasa be
"Sialan. Sepertinya dia ingin bermain-main dengan saya. Kalau saja tadi dia tidak mengatakan saya seorang suami dari Ceo ternama. Sudah bisa dipastikan, saya akan membuat wajah menyebalkannya itu babak belur," geram Dewa begitu mendudukan diri di sofa—bersebelahan dengan Tika."Sudahlah. Tidak perlu dipermasalahkan lagi. Ronald memang seperti itu, suka mencari keributan."Bukannya tenang, Dewa malah bertambah kesal mendengarnya. Ternyata Tika masih saja ingin melindungi laki-laki itu. Kendati itu memang hak Tika, tetapi tindakan Roland sudah benar-benar melukai harga dirinya. Ia memang berandal, tapi baru Roland yang berani mempermalukannya di tempat umum. "Cih. Seperti orang tidak bermartabat saja." Ternyata harta dan pendidikan tinggi tidak menjadikan seseorang bisa ber attitude baik. Sama halnya Roland, Dewa tidak menyangka terlalu cerdas Roland akan bertindak serendah itu untuk menjatuhkan orang lain. Bahkan untuk disebut laki-laki sejati pun tindakannya tidak akan pernah layak.
"Sejak kapan kau ada di sini?" "Dewa! Astaga. Ngagetin aja!" Terlalu terkejut, Gusti yang sebelumnya sedang menyeduh kopi, spontan mendekap area bawahnya dengan kedua tangan. "Najis! Kau pikir aku sudi menyentuh itumu?" Menatap sinis Gusti yang polosnya juga menundukan kepala—mencemaskan aset berharganya."Hehe… itu namanya gerakan reflek melindungi diri dari predator.""Predator. Mama Muda, iya."Mata Gusti mendelik tajam seketika, dan detik berikutnya bergidik ngeri. "Aku selalu merinding setiap kali mendengar ada yang menyebut Mama Muda."Dewa terbahak, suaranya semakin menggelegar manakala melihat wajah tegang Gusti. Bisa dipastikan, peristiwa menggelikan beberapa bulan lalu kembali melintasi benak sahabatnya itu. "Momen itu terlalu sulit aku lupakan.""Yah! Dan tertawalah sepuasmu sekarang," kesal Gusti sebelum akhirnya menyadari penampilan Dewa yang berbeda dari biasanya. "Kau jauh lebih baik dengan pakaian rapi begini. Setelah hilang dua hari, tak kusangka pulang berubah bak
"Terima kasih, Anda boleh pergi sekarang.""Sama-sama, Nyonya. Kalau begitu saya permisi."Melihat Tika mengangguk, pria itu pun langsung mengangguk patuh, dan bergegas pergi meninggalkan Tika di ruang tengah. Tidak bisa menunggu lagi, Tika yang memang sudah sangat penasaran—membuka berkas terbungkus map coklat. Setelah menarik semua lembaran yang ada di dalam map tersebut, dengan teliti Tika membaca tulisan yang tertera di setiap lembaran—berharap tidak ada satupun keterangan yang terlewatkan."Jadi ini kehidupan bebas yang dia maksud? Tapi aneh. Kenapa tidak tercantum siapa orang tuanya? Apa dia yatim piatu?" Tika bermonolog."Kakak bicara dengan siapa?" "Tidak ada."Kemunculan Inez yang tiba-tiba, mengejutkan Tika. Tidak ingin Inez mengetahui jika itu data diri Dewa yang baru didapatkan dari orang suruhannya, Tika buru-buru memasukan semua lembaran ke dalam map. "Oh." Kendati tidak percaya begitu saja. Terlebih setelah menangkap wajah terkejut sang kakak, pun dengan map yang ada d