"Kau tidak bisa melakukan ini, Dewa!" Floren merasa tertipu, dan tentu saja tidak terima dengan menunjukkan kemarahan saat terjingkat berdiri dari sofa. "Kau pikir mudah menjadi diriku setelah apa yang kita lalui dulu? Apalagi aku pernah mengandung bayimu." Floren mengingatkan, mungkin saja Dewa yang masih sangat tenang lupa, bagaimana dulu mereka pernah tinggal bersama, dan melakukan banyak hal layaknya pasangan suami istri. Floren tidak peduli kehidupan macam apa yang Dewa jalani sekarang. Dengan Dewa datang, sudah membuktikan jika memang tujuan Dewa hanya dirinya. Menghela nafas panjang dan berat, Dewa mencoba mengesampingkan rasa bersalah atas perbuatannya di masa lalu. Apapun yang terjadi pada mereka dulu, semua telah berakhir, dan tidak sepatutnya dikenang lagi. Keadaan sudah berubah, sekarang Tika-lah tujuan hidupnya. "Memang ini tujuanku menemuimu. Agar kau tidak lagi berharap padaku." "Tapi kenapa? Apa karena masa laluku dengan Roland?" Dewa langsung menggeleng tegas, me
"Bangsat! Sialan! Apa yang membuat mereka begitu setia sampai tidak mau buka mulut." Keluar dari kantor kepolisian, Roland meluapkan kekesalannya dengan mengumpat di tempat parkir. Ingin rasanya ia kembali masuk untuk menghajar dengan tangannya sendiri para pelaku penculik Floren yang memilih tetap bungkam, meski sudah diiming-imingi berbagai tawaran menggiurkan darinya. Sadar tidak bisa berbuat brutal di sana, akhirnya Roland memutuskan keluar dengan hati dongkol. "Ini pasti perbuatan perempuan sialan itu. Dasar licik!" geram Roland mengingat wajah menyebalkan Pertiwi. Kesabaran Roland benar-benar seperti terbuang habis lantaran semua usahanya hari itu belum juga membuahkan hasil. Dari banyaknya orang yang dikerahkan untuk mencari keberadaan Melody, sampai hari berganti petang belum juga ada yang menemukannya. "Aku akan mencarimu walau ke lubang semut sekalipun," desis Roland dengan rahang mengeras. Setelah tidak menemukan Pratiwi dimanapun ia cari siang tadi, sekarang Roland ak
"Sayang.. nenek pulang." Suara riang Fatma melenyapkan kesunyian di seluruh ruangan. Tika yang mengetahui kedatangan mama mertuanya bergegas mendekat, tapi begitu melihat Fatma tidak datang sendiri, Tika lantas menunjukkan senyum canggung pada Melati. "Siapa si Cantik ini, Ma?" Tika memang belum tahu seperti apa rupa Miranda. Maka tak heran jika ia tidak mengenali Melati. Tetapi ketika melihat gestur Fatma maupun Melati, Tika merasa dua wanita berbeda generasi itu cukup dekat. Tika sebenarnya sudah sangat penasaran untuk segera bertanya, lantaran rasa cemburu sudah lebih dulu hadir. Namun, sadar tidak ingin merusak suasana ataupun kebahagiaan mama mertunya, Tika memilih menahan diri. "Duduk, Ma. Ayo, Cantik. Jangan sungkan-sungkan." Tika tetap bersikap ramah, meski belum tahu siapa gadis anggun yang juga terus balas tersenyum hangat padanya. "Terima kasih, Sayang. Berikan cucu mama. Sehari tidak bertemu ternyata mama sudah sangat merindukannya." Sesaat setelah Fatma duduk begitu
Beberapa jam sebelumnya. "Kita turun sekarang, Tuan?" Sam sudah tidak tahan lagi hanya duduk diam, jadi penonton. "Tidak! Biarkan dia menyelesaikan sendiri masalahnya." Sayangnya, perintah Adiraksa memaksa Sam untuk tetap berada di tempat. "Tapi Tuan Muda sepertinya terluka." "Aku tahu batas kemampuannya." Adiraksa masih memperhatikan Dewa yang sesekali memegangi perutnya yang terluka di tengah perkelahian. "Sebaiknya kita pergi sekarang." "Baik, Tuan." Kendati ingin membantu, tapi perintah Adiraksa yang utama harus Sam patuhi. Adiraksa bersikap seperti ayah yang tega meninggalkan putranya yang terluka, dan tetap harus menghadapi lawannya. Meski tidak sendiri, seharusnya Adiraksa mengkhawatirkan Dewa yang jelas sedang menahan sakit. Hal itu dilakukan lantaran Adiraksa ingin melihat jiwa kepemimpinan putranya. Bukan hanya sebagai kakak bagi para pemuda klubnya, tetapi juga sebagai kepala keluarga dan pemimpin ADS Group. Dewa dituntut harus memiliki kesiapan tidak hanya secara
"Sayang.. apa kamu baik-baik saja? Kenapa wajahmu terlihat pucat?" Pertanyaan Fatma mewakili rasa ingin tahu Tika yang enggan bertanya lebih dulu. Mereka sedang berkumpul di meja makan untuk melakukan sarapan bersama. Tadi sesaat duduk di kursinya, pandangan Dewa sempat tertuju pada Melati, yang juga langsung balas tersenyum padanya. Setidaknya Dewa lega, dengan begitu kekhawatirannya akan penolakan sang mama tidak terjadi. Sekarang ia benar-benar memiliki keluarga yang utuh. Tika yang masih terlalu gengsi untuk bersikap biasa pada Dewa, memilih diam menyimak. Kekecewaan yang dirasakan selalu berhasil memprovokasi dirinya untuk terus bersikap tak acuh pada sang suami. Sebenarnya Dewa terkejut diperhatikan Fatma, dan usahanya untuk berpura-pura baik-baik saja sepertinya memang tidak luput dari perhatian wanita yang telah melahirkannya itu. Fatma selalu peka dengan apa yang terjadi pada putranya. "Aku baik-baik saja, Ma. Hanya sedikit kecapean." Dewa beralasan. Sebenarnya tidak
“Papa… Papa, aku di sini.” “Melody!” Seketika itu Roland terjaga. Tapi begitu sadar hanya mimpi, dicengkramnya kuat kemudi. “Melody,” ujarnya dengan bibir bergetar. Kenapa hanya dalam mimpi Roland bisa mendengar suara lembut putrinya? Tuhan memang tidak adil pada gadis cantik itu, sehingga mereka harus dipisahkan oleh keadaan. Takdir macam apa yang sebenarnya sedang Roland jalani. “Melody, kemana mereka membawamu, sayang.” Setangguh apapun seorang ayah, jika ingat putri tercintanya dalam bahaya, maka tidak akan segan menitikan air mata. Bahkan entah berapa kali sejak mengetahui seseorang membawa putrinya, Roland menangisi Melody. Bukan hanya nasib kurang beruntung gadis itu yang membuat hati seorang Roland remuk redam, tapi juga mengutuk siapapun pelaku yang telah melibatkan putri kecilnya dalam urusan mereka. “Maafkan papa, Melody. Maaf.” Kalimat yang sudah puluhan ribu kali Roland ucapkan setiap kali mengingat ketidakberdayaannya. Hari sudah hampir kembali pagi, tapi tak meny
“Apa gunanya kau jika tidak bisa menjamin kebebasan putraku!” Di atas kursi rodanya, Nyonya Liem terus berkata lantang pada Tuan Liem. Wanita itu seperti sudah kehilangan akal sesaat setelah kembali dari rumah sakit. Mengingat bagaimana sulitnya hanya ingin melihat kondisi Firman. Setelah sempat berdebat dengan dua petugas kepolisian yang berjaga di depan pintu ruang rawat putranya, pada akhirnya Nyonya Liem tetap tidak diizinkan masuk. Diketahui Firman dilaporkan oleh Gusti dengan dugaan percobaan pembunuhan yang diperkuat dengan hasil medis Dewa. Kendati saat itu Firman tengah dirawat di sebuah rumah sakit, tapi pihak berwajib langsung menetapkannya sebagai tersangka. Tentu saja hal itu terjadi atas campur tangan Adiraksa, yang tidak ingin melihat pelaku penusukan putranya bebas berkeliaran tanpa bayang-bayang hukum. “Aku juga tidak habis pikir, apa yang kau kerjakan sampai tidak mengetahui Dewa putra yang selama ini Adiraksa rahasiakan.” Tuan Liem yang belum sepenuhnya pulih—mas
“Kenapa bisa terluka? Apa kau berkelahi dengan seseorang? Atau mungkin ada yang menyerangmu?” Mendengar pertanyaan beruntun Tika, Dewa justru melengkung senyum cerah meski wajahnya masih terlihat pucat. “Kenapa tersenyum?” ketus Tika menahan kesal. Seandainya Dewa tahu, betapa cemasnya Tika ketika pria itu terus mengigau semalaman dengan temperatur yang tidak juga stabil hingga pagi. “Dengan begitu aku tahu kau masih peduli padaku.” Tika langsung melengos, tidak bisa menampik dugaan Dewa. Tapi juga enggan mengakui. “Ceritanya panjang.” Dewa akhirnya memilih bercerita, nyatanya ia juga tidak bisa membiarkan Tika terus berpikir tentang apa yang sudah ia alami. “ Pelakunya bernama Firman. Tapi kau tidak perlu cemas, Gusti sudah melaporkannya pada pihak berwajib. Sekarang statusnya sudah menjadi tersangka.” Dewa telah diberitahu Gusti tidak lama setelah kepulangannya dari rumah sakit kemarin. Selain berterima kasih, Dewa juga mengapresiasi sahabatnya itu yang selalu sigap bertin