satu jejak dari kalian sangat berarti untukku, terima kasih
“Papa… Papa, aku di sini.” “Melody!” Seketika itu Roland terjaga. Tapi begitu sadar hanya mimpi, dicengkramnya kuat kemudi. “Melody,” ujarnya dengan bibir bergetar. Kenapa hanya dalam mimpi Roland bisa mendengar suara lembut putrinya? Tuhan memang tidak adil pada gadis cantik itu, sehingga mereka harus dipisahkan oleh keadaan. Takdir macam apa yang sebenarnya sedang Roland jalani. “Melody, kemana mereka membawamu, sayang.” Setangguh apapun seorang ayah, jika ingat putri tercintanya dalam bahaya, maka tidak akan segan menitikan air mata. Bahkan entah berapa kali sejak mengetahui seseorang membawa putrinya, Roland menangisi Melody. Bukan hanya nasib kurang beruntung gadis itu yang membuat hati seorang Roland remuk redam, tapi juga mengutuk siapapun pelaku yang telah melibatkan putri kecilnya dalam urusan mereka. “Maafkan papa, Melody. Maaf.” Kalimat yang sudah puluhan ribu kali Roland ucapkan setiap kali mengingat ketidakberdayaannya. Hari sudah hampir kembali pagi, tapi tak meny
“Apa gunanya kau jika tidak bisa menjamin kebebasan putraku!” Di atas kursi rodanya, Nyonya Liem terus berkata lantang pada Tuan Liem. Wanita itu seperti sudah kehilangan akal sesaat setelah kembali dari rumah sakit. Mengingat bagaimana sulitnya hanya ingin melihat kondisi Firman. Setelah sempat berdebat dengan dua petugas kepolisian yang berjaga di depan pintu ruang rawat putranya, pada akhirnya Nyonya Liem tetap tidak diizinkan masuk. Diketahui Firman dilaporkan oleh Gusti dengan dugaan percobaan pembunuhan yang diperkuat dengan hasil medis Dewa. Kendati saat itu Firman tengah dirawat di sebuah rumah sakit, tapi pihak berwajib langsung menetapkannya sebagai tersangka. Tentu saja hal itu terjadi atas campur tangan Adiraksa, yang tidak ingin melihat pelaku penusukan putranya bebas berkeliaran tanpa bayang-bayang hukum. “Aku juga tidak habis pikir, apa yang kau kerjakan sampai tidak mengetahui Dewa putra yang selama ini Adiraksa rahasiakan.” Tuan Liem yang belum sepenuhnya pulih—mas
“Kenapa bisa terluka? Apa kau berkelahi dengan seseorang? Atau mungkin ada yang menyerangmu?” Mendengar pertanyaan beruntun Tika, Dewa justru melengkung senyum cerah meski wajahnya masih terlihat pucat. “Kenapa tersenyum?” ketus Tika menahan kesal. Seandainya Dewa tahu, betapa cemasnya Tika ketika pria itu terus mengigau semalaman dengan temperatur yang tidak juga stabil hingga pagi. “Dengan begitu aku tahu kau masih peduli padaku.” Tika langsung melengos, tidak bisa menampik dugaan Dewa. Tapi juga enggan mengakui. “Ceritanya panjang.” Dewa akhirnya memilih bercerita, nyatanya ia juga tidak bisa membiarkan Tika terus berpikir tentang apa yang sudah ia alami. “ Pelakunya bernama Firman. Tapi kau tidak perlu cemas, Gusti sudah melaporkannya pada pihak berwajib. Sekarang statusnya sudah menjadi tersangka.” Dewa telah diberitahu Gusti tidak lama setelah kepulangannya dari rumah sakit kemarin. Selain berterima kasih, Dewa juga mengapresiasi sahabatnya itu yang selalu sigap bertin
“Floren!” Mendengar namanya dipanggil, ia pun segera menoleh, dan seketika terkejut saat tahu siapa yang berdiri di depannya. “Kau!” Sama seperti pertemuan kemarin, Floren masih sulit percaya jika itu benar Roland. Bagaimana bisa pria itu menemukannya? “Kau mengikutiku?” tuduh Floren terus terang. Sebab, terlalu mustahil Roland bisa ada disana tanpa disengaja. “Aku kebetulan ada urusan di dekat sini, dan tidak sengaja melihatmu.” Alasan klasik yang tentu saja tidak mudah Floren percaya. Tapi ia memilih tak acuh dengan berniat kembali menutup pintu pagar, sampai tiba-tiba tangan Roland lebih dulu menahannya. “Singkirkan tanganmu!” Floren menatap tidak suka Roland, yang justru mendorong kembali pintu pagar hingga ia bisa melewatinya. “Apa kau baik-baik saja? Aku tidak bisa berhenti memikirkanmu sejak kemarin.” Roland memastikan Floren dari atas hingga bawah. Ia tampak khawatir. Namun, alih-alih percaya dengan kejujuran Roland, Floren malah berbicara lantang. “Apa pedulimu! Denga
Roland berdecak kesal saat tahu asistennya tertelungkup di atas air. Lelaki itu berusaha berdiri, tetapi karena salah pijakan, membuatnya kembali terjatuh di dalam air yang kedalamannya sebatas lutut orang dewasa."Sungguh, Tuan. Saya pastikan sudah mandi sebelum datang ke tempat ini tadi."Setelah menghela nafas kasar, Roland memilih berbalik badan—keluar melalui pintu utama. Membiarkan asistennya berjalan di dalam air menuju tepi.Roland terus berlari mencari sumber keributan. Jelas di telinganya suara perkelahian itu semakin dekat, pun dengan suara gemuruh air berarus deras. Begitu mengetahui ada air terjun tidak jauh dari tempatnya berdiri, dan tepat di bawah air itu bermuara—-terjadi perkelahian para pria bayarannya melawan tiga pria yang dipastikan penculik Melody. Sementara perkelahian tetap berlanjut dengan kedua kubu yang sama kuatnya. Roland kembali memastikan sekitar—berharap bisa menemukan putrinya di dekat sana. "Sayang.. kamu dimana, Nak." Tidak melihat apapun lagi se
"Kau terlihat gugup."Sentuhan di punggung tangannya membuat Tika terhenyak. Ia langsung menoleh pada Dewa yang juga sedang menatapnya."Apa itu terlihat jelas di wajahku?""Aku bahkan tidak pernah melihatmu segugup ini. Di hari pernikahan kita saja kau masih cukup tenang." Tangan Dewa terangkat dan berpindah menyentuh pipi Tika yang masih terlihat chubby setelah melahirkan.Kendati persalinan dramatis itu sudah berlalu satu bulan lalu, tapi Tika belum berhasil mengembalikan bentuk tubuhnya. Sempat mengalami penambahan berat badan yang cukup drastis, Tika memilih tetap memberi asi dan berolahraga ringan untuk bisa memiliki tubuh kembali ideal. Selain tidak ingin melakukan diet ketat, Dewa juga tidak banyak menuntut. Lelaki yang kini bertanggung jawab penuh atas dirinya beserta sang putra itu hanya ingin ia fokus merawat Arkhan. Dewa juga belum mengizinkannya kembali ke perusahaan. Walaupun masih menggunakan nama samarannya—-Mr. X, tetapi keputusan Dewa untuk menjadi investor di perus
"Syukurlah kau datang." Senyum sumringah Floren menyambut kedatangan Dewa. Begitu antusiasnya ia sampai akan memeluk Dewa yang seketika mengangkat tangan. "Bisa kita bicara di dalam?""Tentu saja." Masih berusaha menunjukkan senyum terbaik, kendati hatinya lagi-lagi merasakan kecewa akan penolakan Dewa. Floren selalu berharap lamanya perpisahan akan menjadi momen membahagiakan mereka saat pertemuan terjadi, setidaknya pelukan hangat yang dulu pernah dia dapatkan akan kembali terulang. Tetapi yang ada, Dewa selalu menolaknya lagi dan lagi.Setelah pintu terbuka lembar, Floren masuk lebih dulu dan mempersilahkan Dewa duduk di sofa panjang—-tanpa menaruh curiga sedikitpun jika ada sosok lain di antara mereka."Duduklah. Aku akan siapkan minum. Atau kau mau makan sesuatu? Biar aku masakan untuk makan malam kita."Berdiri di dekat sofa panjang, bibir Dewa berkedut melihat Floren masih saja bersikap seperti dulu—saat mereka tinggal bersama. "Tidak usah repot-repot. Aku sudah makan di jala
"Berhenti! Atau aku bisa melakukan sesuatu yang pasti akan membuatmu menyesal!" Ancaman tersebut tak menyurutkan tekad Roland untuk tetap melanjutkan langkahnya. "Apa kau tuli sekarang?!""Kau tidak akan melakukan itu pada suamimu sendiri, bukan?""Omong kosong! Ingat pernikahan kita hanya kontrak, dan kau tidak berhak menyentuhku!"Roland menyeringai licik. Langkahnya baru berhenti begitu punggung Pratiwi sudah membentur dinding."Itu tetap berlaku jika kau tidak pernah mengusikku, Tiwi. Tapi setelah kau berani membahayakan nyawa Melody, keadaan telah berbeda."Dengan jarak yang sangat dekat, Pratiwi berusaha melindungi diri dari tatapan liar Roland yang siap menerkamnya. Selain menahan kesal, tentu saja Pratiwi benar-benar merutuki kecerobohannya yang lupa tidak mengunci pintu kamar. Alhasil ketika ia berada di dalam kamar mandi—berniat memasuki jazzuki, tanpa diprediksi Roland dengan pakaiannya yang berantakan—baru kembali entah darimana, dan tidak tahu sejak kapan sudah berdiri di