“Floren!” Mendengar namanya dipanggil, ia pun segera menoleh, dan seketika terkejut saat tahu siapa yang berdiri di depannya. “Kau!” Sama seperti pertemuan kemarin, Floren masih sulit percaya jika itu benar Roland. Bagaimana bisa pria itu menemukannya? “Kau mengikutiku?” tuduh Floren terus terang. Sebab, terlalu mustahil Roland bisa ada disana tanpa disengaja. “Aku kebetulan ada urusan di dekat sini, dan tidak sengaja melihatmu.” Alasan klasik yang tentu saja tidak mudah Floren percaya. Tapi ia memilih tak acuh dengan berniat kembali menutup pintu pagar, sampai tiba-tiba tangan Roland lebih dulu menahannya. “Singkirkan tanganmu!” Floren menatap tidak suka Roland, yang justru mendorong kembali pintu pagar hingga ia bisa melewatinya. “Apa kau baik-baik saja? Aku tidak bisa berhenti memikirkanmu sejak kemarin.” Roland memastikan Floren dari atas hingga bawah. Ia tampak khawatir. Namun, alih-alih percaya dengan kejujuran Roland, Floren malah berbicara lantang. “Apa pedulimu! Denga
Roland berdecak kesal saat tahu asistennya tertelungkup di atas air. Lelaki itu berusaha berdiri, tetapi karena salah pijakan, membuatnya kembali terjatuh di dalam air yang kedalamannya sebatas lutut orang dewasa."Sungguh, Tuan. Saya pastikan sudah mandi sebelum datang ke tempat ini tadi."Setelah menghela nafas kasar, Roland memilih berbalik badan—keluar melalui pintu utama. Membiarkan asistennya berjalan di dalam air menuju tepi.Roland terus berlari mencari sumber keributan. Jelas di telinganya suara perkelahian itu semakin dekat, pun dengan suara gemuruh air berarus deras. Begitu mengetahui ada air terjun tidak jauh dari tempatnya berdiri, dan tepat di bawah air itu bermuara—-terjadi perkelahian para pria bayarannya melawan tiga pria yang dipastikan penculik Melody. Sementara perkelahian tetap berlanjut dengan kedua kubu yang sama kuatnya. Roland kembali memastikan sekitar—berharap bisa menemukan putrinya di dekat sana. "Sayang.. kamu dimana, Nak." Tidak melihat apapun lagi se
"Kau terlihat gugup."Sentuhan di punggung tangannya membuat Tika terhenyak. Ia langsung menoleh pada Dewa yang juga sedang menatapnya."Apa itu terlihat jelas di wajahku?""Aku bahkan tidak pernah melihatmu segugup ini. Di hari pernikahan kita saja kau masih cukup tenang." Tangan Dewa terangkat dan berpindah menyentuh pipi Tika yang masih terlihat chubby setelah melahirkan.Kendati persalinan dramatis itu sudah berlalu satu bulan lalu, tapi Tika belum berhasil mengembalikan bentuk tubuhnya. Sempat mengalami penambahan berat badan yang cukup drastis, Tika memilih tetap memberi asi dan berolahraga ringan untuk bisa memiliki tubuh kembali ideal. Selain tidak ingin melakukan diet ketat, Dewa juga tidak banyak menuntut. Lelaki yang kini bertanggung jawab penuh atas dirinya beserta sang putra itu hanya ingin ia fokus merawat Arkhan. Dewa juga belum mengizinkannya kembali ke perusahaan. Walaupun masih menggunakan nama samarannya—-Mr. X, tetapi keputusan Dewa untuk menjadi investor di perus
"Syukurlah kau datang." Senyum sumringah Floren menyambut kedatangan Dewa. Begitu antusiasnya ia sampai akan memeluk Dewa yang seketika mengangkat tangan. "Bisa kita bicara di dalam?""Tentu saja." Masih berusaha menunjukkan senyum terbaik, kendati hatinya lagi-lagi merasakan kecewa akan penolakan Dewa. Floren selalu berharap lamanya perpisahan akan menjadi momen membahagiakan mereka saat pertemuan terjadi, setidaknya pelukan hangat yang dulu pernah dia dapatkan akan kembali terulang. Tetapi yang ada, Dewa selalu menolaknya lagi dan lagi.Setelah pintu terbuka lembar, Floren masuk lebih dulu dan mempersilahkan Dewa duduk di sofa panjang—-tanpa menaruh curiga sedikitpun jika ada sosok lain di antara mereka."Duduklah. Aku akan siapkan minum. Atau kau mau makan sesuatu? Biar aku masakan untuk makan malam kita."Berdiri di dekat sofa panjang, bibir Dewa berkedut melihat Floren masih saja bersikap seperti dulu—saat mereka tinggal bersama. "Tidak usah repot-repot. Aku sudah makan di jala
"Berhenti! Atau aku bisa melakukan sesuatu yang pasti akan membuatmu menyesal!" Ancaman tersebut tak menyurutkan tekad Roland untuk tetap melanjutkan langkahnya. "Apa kau tuli sekarang?!""Kau tidak akan melakukan itu pada suamimu sendiri, bukan?""Omong kosong! Ingat pernikahan kita hanya kontrak, dan kau tidak berhak menyentuhku!"Roland menyeringai licik. Langkahnya baru berhenti begitu punggung Pratiwi sudah membentur dinding."Itu tetap berlaku jika kau tidak pernah mengusikku, Tiwi. Tapi setelah kau berani membahayakan nyawa Melody, keadaan telah berbeda."Dengan jarak yang sangat dekat, Pratiwi berusaha melindungi diri dari tatapan liar Roland yang siap menerkamnya. Selain menahan kesal, tentu saja Pratiwi benar-benar merutuki kecerobohannya yang lupa tidak mengunci pintu kamar. Alhasil ketika ia berada di dalam kamar mandi—berniat memasuki jazzuki, tanpa diprediksi Roland dengan pakaiannya yang berantakan—baru kembali entah darimana, dan tidak tahu sejak kapan sudah berdiri di
Di bawah kucuran air shower, Roland masih betah merapatkan dahi ke dinding. Dengan kedua tangan mencengkram rambut belakang, ia masih saja menyesali tindakannya yang sudah menggoda Pratiwi. Sehingga memberi kesempatan perempuan itu untuk bisa menggagahi tubuhnya. Mungkin ia sudah benar-benar sinting karena berani menantang predator yang memang pecandu seks, hingga akhirnya menodai kesucian tubuhnya yang pernah ia dedikasikan hanya untuk satu perempuan saja.Floren memiliki berpengaruh penting sampai ia bisa menjadi sosok yang sekarang—-dingin nyaris tak tersentuh. Bahkan sering kali Pratiwi beranggapan, jika keegoisan Tuan Liem juga telah memangkas jiwa kelelakian Roland yang selalu tak acuh padanya.Padahal sekian tahun tinggal bersama dalam satu atap, mendapati Pratiwi mengenakan gaun seksi bahkan nyaris seperti tak berbusana hampir setiap hari Roland temui. Tetapi lelaki yang memiliki tahi lalat di dekat hidung itu, tak sekalipun menunjukan ketertarikannya. Meski sebenarnya Pratiwi
"Sialan! Dia benar-benar keras kepala," geram Dewa seraya menyadarkan punggung dan menyilangkan satu kaki di atas kaki yang lain. "Cih. Dia pikir aku akan tetap diam saja dan membiarkan dia semakin besar kepala? Jelas saja tidak!"Gusti yang masih serius membaca berkas di depannya, menoleh singkah. Rupanya gerutuan Dewa cukup membuatnya terusik. "Kasih dia paham, seberapa berharga Kak Tika untukmu. Dia hanya masa lalu, tidak berhak mencampuri masa depanmu. Apalagi yang terjadi pada kalian dulu bukanlah cinta, melainkan simbiosis mutualisme, dan seharusnya dia cukup sadar diri akan itu," ujarnya tanpa mengalihkan pandangan."Kau tahu sendiri, aku tidak bisa berbuat banyak saat Tika bersamaku. Bahkan ketika dia mengklaim Tika juga tidak berhak denganku, jika aku tidak mau menerimanya. Hampir saja aku hilang kendali. Bagaimana bisa dia selancang itu pada ibu dari putraku!"Dewa semakin bersungut-sungut—-sangat kesal akan sikap Floren semalam yang masih bersikeras ingin memisahkan dirinya
Clara begitu terkejut setelah mendengar apa yang baru saja ibunya sampaikan. Bahkan karena terlalu terkejut, sampai-sampai perempuan yang masih menggulung rambutnya dengan handuk kecil itu, masih mematung meski ibunya telah berlalu."Tidak mungkin, tidak mungkin dia pewaris tunggal Adiraksa. Dia hanya berandal yang kebetulan bisa menikahi wanita konglomerat itu. Yah! Derajatnya tidak mungkin lebih tinggi dari Alan." Berulang kali Clara menyakinkan diri, apa yang ibunya sampaikan hanyalah rumor yang pasti tidak valid kebenarannya. Mustahil Dewa seorang milyader yang kekayaannya jangankan satu Alan, bahkan sepuluh Alan pun tidak bisa menandinginya. "Tapi jika itu benar, apa yang harus kulakukan agar bisa kembali padanya?""Clara!!"Namun, di selah-selah perempuan itu sedang menyusun rencana, tiba-tiba suara teriakan dari lantai dua—tepatnya kamar utama, terdengar menggema ke segala penjuru rumah Alan yang memang tidak terlalu luas. Seketika itu, Clara berdecak kesal saat melirik ke la