"Sayang.. nenek pulang." Suara riang Fatma melenyapkan kesunyian di seluruh ruangan. Tika yang mengetahui kedatangan mama mertuanya bergegas mendekat, tapi begitu melihat Fatma tidak datang sendiri, Tika lantas menunjukkan senyum canggung pada Melati. "Siapa si Cantik ini, Ma?" Tika memang belum tahu seperti apa rupa Miranda. Maka tak heran jika ia tidak mengenali Melati. Tetapi ketika melihat gestur Fatma maupun Melati, Tika merasa dua wanita berbeda generasi itu cukup dekat. Tika sebenarnya sudah sangat penasaran untuk segera bertanya, lantaran rasa cemburu sudah lebih dulu hadir. Namun, sadar tidak ingin merusak suasana ataupun kebahagiaan mama mertunya, Tika memilih menahan diri. "Duduk, Ma. Ayo, Cantik. Jangan sungkan-sungkan." Tika tetap bersikap ramah, meski belum tahu siapa gadis anggun yang juga terus balas tersenyum hangat padanya. "Terima kasih, Sayang. Berikan cucu mama. Sehari tidak bertemu ternyata mama sudah sangat merindukannya." Sesaat setelah Fatma duduk begitu
Beberapa jam sebelumnya. "Kita turun sekarang, Tuan?" Sam sudah tidak tahan lagi hanya duduk diam, jadi penonton. "Tidak! Biarkan dia menyelesaikan sendiri masalahnya." Sayangnya, perintah Adiraksa memaksa Sam untuk tetap berada di tempat. "Tapi Tuan Muda sepertinya terluka." "Aku tahu batas kemampuannya." Adiraksa masih memperhatikan Dewa yang sesekali memegangi perutnya yang terluka di tengah perkelahian. "Sebaiknya kita pergi sekarang." "Baik, Tuan." Kendati ingin membantu, tapi perintah Adiraksa yang utama harus Sam patuhi. Adiraksa bersikap seperti ayah yang tega meninggalkan putranya yang terluka, dan tetap harus menghadapi lawannya. Meski tidak sendiri, seharusnya Adiraksa mengkhawatirkan Dewa yang jelas sedang menahan sakit. Hal itu dilakukan lantaran Adiraksa ingin melihat jiwa kepemimpinan putranya. Bukan hanya sebagai kakak bagi para pemuda klubnya, tetapi juga sebagai kepala keluarga dan pemimpin ADS Group. Dewa dituntut harus memiliki kesiapan tidak hanya secara
"Sayang.. apa kamu baik-baik saja? Kenapa wajahmu terlihat pucat?" Pertanyaan Fatma mewakili rasa ingin tahu Tika yang enggan bertanya lebih dulu. Mereka sedang berkumpul di meja makan untuk melakukan sarapan bersama. Tadi sesaat duduk di kursinya, pandangan Dewa sempat tertuju pada Melati, yang juga langsung balas tersenyum padanya. Setidaknya Dewa lega, dengan begitu kekhawatirannya akan penolakan sang mama tidak terjadi. Sekarang ia benar-benar memiliki keluarga yang utuh. Tika yang masih terlalu gengsi untuk bersikap biasa pada Dewa, memilih diam menyimak. Kekecewaan yang dirasakan selalu berhasil memprovokasi dirinya untuk terus bersikap tak acuh pada sang suami. Sebenarnya Dewa terkejut diperhatikan Fatma, dan usahanya untuk berpura-pura baik-baik saja sepertinya memang tidak luput dari perhatian wanita yang telah melahirkannya itu. Fatma selalu peka dengan apa yang terjadi pada putranya. "Aku baik-baik saja, Ma. Hanya sedikit kecapean." Dewa beralasan. Sebenarnya tidak
“Papa… Papa, aku di sini.” “Melody!” Seketika itu Roland terjaga. Tapi begitu sadar hanya mimpi, dicengkramnya kuat kemudi. “Melody,” ujarnya dengan bibir bergetar. Kenapa hanya dalam mimpi Roland bisa mendengar suara lembut putrinya? Tuhan memang tidak adil pada gadis cantik itu, sehingga mereka harus dipisahkan oleh keadaan. Takdir macam apa yang sebenarnya sedang Roland jalani. “Melody, kemana mereka membawamu, sayang.” Setangguh apapun seorang ayah, jika ingat putri tercintanya dalam bahaya, maka tidak akan segan menitikan air mata. Bahkan entah berapa kali sejak mengetahui seseorang membawa putrinya, Roland menangisi Melody. Bukan hanya nasib kurang beruntung gadis itu yang membuat hati seorang Roland remuk redam, tapi juga mengutuk siapapun pelaku yang telah melibatkan putri kecilnya dalam urusan mereka. “Maafkan papa, Melody. Maaf.” Kalimat yang sudah puluhan ribu kali Roland ucapkan setiap kali mengingat ketidakberdayaannya. Hari sudah hampir kembali pagi, tapi tak meny
“Apa gunanya kau jika tidak bisa menjamin kebebasan putraku!” Di atas kursi rodanya, Nyonya Liem terus berkata lantang pada Tuan Liem. Wanita itu seperti sudah kehilangan akal sesaat setelah kembali dari rumah sakit. Mengingat bagaimana sulitnya hanya ingin melihat kondisi Firman. Setelah sempat berdebat dengan dua petugas kepolisian yang berjaga di depan pintu ruang rawat putranya, pada akhirnya Nyonya Liem tetap tidak diizinkan masuk. Diketahui Firman dilaporkan oleh Gusti dengan dugaan percobaan pembunuhan yang diperkuat dengan hasil medis Dewa. Kendati saat itu Firman tengah dirawat di sebuah rumah sakit, tapi pihak berwajib langsung menetapkannya sebagai tersangka. Tentu saja hal itu terjadi atas campur tangan Adiraksa, yang tidak ingin melihat pelaku penusukan putranya bebas berkeliaran tanpa bayang-bayang hukum. “Aku juga tidak habis pikir, apa yang kau kerjakan sampai tidak mengetahui Dewa putra yang selama ini Adiraksa rahasiakan.” Tuan Liem yang belum sepenuhnya pulih—mas
“Kenapa bisa terluka? Apa kau berkelahi dengan seseorang? Atau mungkin ada yang menyerangmu?” Mendengar pertanyaan beruntun Tika, Dewa justru melengkung senyum cerah meski wajahnya masih terlihat pucat. “Kenapa tersenyum?” ketus Tika menahan kesal. Seandainya Dewa tahu, betapa cemasnya Tika ketika pria itu terus mengigau semalaman dengan temperatur yang tidak juga stabil hingga pagi. “Dengan begitu aku tahu kau masih peduli padaku.” Tika langsung melengos, tidak bisa menampik dugaan Dewa. Tapi juga enggan mengakui. “Ceritanya panjang.” Dewa akhirnya memilih bercerita, nyatanya ia juga tidak bisa membiarkan Tika terus berpikir tentang apa yang sudah ia alami. “ Pelakunya bernama Firman. Tapi kau tidak perlu cemas, Gusti sudah melaporkannya pada pihak berwajib. Sekarang statusnya sudah menjadi tersangka.” Dewa telah diberitahu Gusti tidak lama setelah kepulangannya dari rumah sakit kemarin. Selain berterima kasih, Dewa juga mengapresiasi sahabatnya itu yang selalu sigap bertin
“Floren!” Mendengar namanya dipanggil, ia pun segera menoleh, dan seketika terkejut saat tahu siapa yang berdiri di depannya. “Kau!” Sama seperti pertemuan kemarin, Floren masih sulit percaya jika itu benar Roland. Bagaimana bisa pria itu menemukannya? “Kau mengikutiku?” tuduh Floren terus terang. Sebab, terlalu mustahil Roland bisa ada disana tanpa disengaja. “Aku kebetulan ada urusan di dekat sini, dan tidak sengaja melihatmu.” Alasan klasik yang tentu saja tidak mudah Floren percaya. Tapi ia memilih tak acuh dengan berniat kembali menutup pintu pagar, sampai tiba-tiba tangan Roland lebih dulu menahannya. “Singkirkan tanganmu!” Floren menatap tidak suka Roland, yang justru mendorong kembali pintu pagar hingga ia bisa melewatinya. “Apa kau baik-baik saja? Aku tidak bisa berhenti memikirkanmu sejak kemarin.” Roland memastikan Floren dari atas hingga bawah. Ia tampak khawatir. Namun, alih-alih percaya dengan kejujuran Roland, Floren malah berbicara lantang. “Apa pedulimu! Denga
Roland berdecak kesal saat tahu asistennya tertelungkup di atas air. Lelaki itu berusaha berdiri, tetapi karena salah pijakan, membuatnya kembali terjatuh di dalam air yang kedalamannya sebatas lutut orang dewasa."Sungguh, Tuan. Saya pastikan sudah mandi sebelum datang ke tempat ini tadi."Setelah menghela nafas kasar, Roland memilih berbalik badan—keluar melalui pintu utama. Membiarkan asistennya berjalan di dalam air menuju tepi.Roland terus berlari mencari sumber keributan. Jelas di telinganya suara perkelahian itu semakin dekat, pun dengan suara gemuruh air berarus deras. Begitu mengetahui ada air terjun tidak jauh dari tempatnya berdiri, dan tepat di bawah air itu bermuara—-terjadi perkelahian para pria bayarannya melawan tiga pria yang dipastikan penculik Melody. Sementara perkelahian tetap berlanjut dengan kedua kubu yang sama kuatnya. Roland kembali memastikan sekitar—berharap bisa menemukan putrinya di dekat sana. "Sayang.. kamu dimana, Nak." Tidak melihat apapun lagi se