Bab 1. Luka.
Aku berlari-lari kecil menuju halte bus yang ada di depan kampusku. Siang ini hujan turun membasahi sekitar. Tidak deras, tapi cukup untuk bisa membuatku basah terkena tetesannya. Ah, kenapa hujan harus turun di hari ini? Tidak bisakah ditunda sampai besok? Sebab aku dan Rama punya rencana siang ini. Kami akan merayakan hari jadi kami yang pertama. Ya, hari ini genap satu tahun aku dan Rama berpacaran. Dan kami berencana akan merayakannya berdua. Hanya sederhana saja. Pergi makan dan nonton film. Setelah itu kami akan saling memberikan kado istimewa sebagai ungkapan kasih sayang dan kebahagiaan atas kebersamaan indah kami satu tahun ini.Hm, aku tersenyum sendiri membayangkan kebahagiaan yang akan aku alami bersama Rama siang ini. Rama pasti akan bersikap romantis dan memperlakukan aku bagai seorang putri. Sebab Rama memang orang yang romantis. Dia pandai melambungkan aku dengan kata-kata yang indah dan juga selalu memanjakan aku sedemikian rupa hingga aku merasa sangat berarti untuknya. Sungguh aku merasa sangat beruntung memiliki dia sebagai kekasihku.Rama kekasihku seorang laki-laki yang tampan. Usianya dua puluh tiga tahun. Terpaut tiga tahun lebih tua dariku. Namun begitu, meski hanya terpaut tiga tahun saja, Rama adalah sosok yang sangat dewasa. Tidak seperti aku yang masih sering bersikap kekanakan dan keras kepala. Rama selalu tahu kapan dia harus tegas dan kapan dia harus bersikap lembut padaku. Bersamanya aku tak hanya merasa memiliki seorang kekasih, tapi juga memiliki sahabat, sekaligus kakak."Besok kamu ke kampus nggak usah naik mobil, ya. Soalnya aku mau jemput kamu," kata Rama kemarin."Jemput aku? Memangnya kamu nggak kerja?" tanyaku bingung."Aku mau izin pulang lebih cepat besok," jawab Rama seraya menatapku dengan bola matanya yang bening."Izin?" Keningku berkerut. Setahuku Rama adalah orang yang sangat rajin bekerja. Bahkan dalam keadaan sakit pun dia tetap masuk. Pokoknya, kalau tidak benar-benar mendesak, dia tidak akan izin libur dari kantornya.Rama tersenyum dan mencubit gemas hidungku. "Besok kan hari istimewa kita, sayang. Kan kita udah janjian mau habiskan waktu berdua.""Tapi kan rencananya kamu jemput aku sore di rumah. Nanti kita nontonnya malam."Rama mendesah pelan. "Maaf, sayang. Aku nggak bisa kalau malam. Aku harus temani ibu di rumah sakit. Kamu bisa mengerti itu, kan?" Wajah Rama tampak sedih.Aku mengangguk. Ya, ibu Rama memang sedang dirawat di rumah sakit. Rama dan adiknya bergantian menjaga di sana. Jadi aku harus bisa memaklumi jika besok malam Rama harus menjaga ibunya dan tak bisa bersamaku untuk merayakan hari jadi kami."Jadi diganti siang?"Rama mengangguk. "Ya. Nggak apa-apa, kan? Sore kita pulang karena aku harus ke rumah sakit.""Ya," jawabku mengerti hingga Rama tersenyum senang.Sekarang, di sinilah aku. Berdiri di halte bus dengan rambut dan tubuh yang basah tertimpa air hujan, menanti Rama datang menjemputku.Satu jam berlalu, Rama tak juga datang. Aku mulai gelisah. Apa lagi hpnya tidak bisa aku hubungi. Aneh. Biasanya Rama tidak pernah mematikan hpnya. Apakah yang terjadi? Adakah yang terjadi pada ibunya? Bukan kebiasaan Rama mematikan hp seperti ini. Dichat tidak masuk, ditelepon tidak tersambung. Benar-benar membuat gelisah.Apakah aku harus terus menunggu di sini? Atau sebaiknya aku ke rumahnya saja? Tapi bagaimana kalau nanti ternyata Rama sedang dalam perjalanan menuju ke sini dan kami selisih jalan? Ah, sebaiknya kutunggu saja beberapa saat lagi. Mungkin sebentar lagi Rama tiba di sini. Jangan sampai rencana ini gagal cuma gara-gara aku yang tidak sabar menunggu kedatangannya."Hai, Al. Kok, tumben sendirian? Sarah mana?" sapa seorang teman yang baru datang dan ikut berteduh di halte bus ini."Sarah udah pulang dari tadi," jawabku segera."Loh, kok, tumben kamu ditinggal? Biasanya selalu pulang bareng?" tanyanya lagi."Ya, aku mau jalan sama teman. Makanya nggak pulang bareng," jawabku dengan sebuah senyuman kecut yang ku sembunyikan. Sebab hatiku kini gelisah. Rama yang ku tunggu tak juga datang menjemput. Padahal waktu terus berjalan. Satu setengah jam sudah aku berdiri di sini. Kedinginan, karena tubuh basah terkena tetesan hujan."Wah, teman istimewa, ya? Soalnya Sarah sampai dicampakkan," candanya.Aku cuma tertawa pelan menanggapi. Saat ini aku sedang tidak ingin bercanda. Aku sedang merasa kesal karena hp Rama tak juga bisa kuhubungi.Tak lama sebuah motor ojek online menghampiri. Rupanya teman tadi yang memesannya. Ku perhatikan dia yang sedang bersiap hendak naik ke atas motor itu. Dipakainya jas hujan dan helm, lalu melompat naik ke boncengan motor."Duluan ya, Al!" pamitnya sebelum motor melaju."Ya," sahutku sambil tersenyum. Lalu aku pun terdiam menatapnya yang semakin menjauh.Apakah sebaiknya aku pulang saja? Memesan ojol dan segera cabut dari sini. Sebab ini sudah terlalu lama. Apa aku masih harus tetap di sini, berdiri dan Kedinginan seperti ini? Sementara yang kutunggu tak kunjung datang tanpa berita. Sungguh membuatku merasa cemas!Akhirnya ku pesan juga sebuah ojol. Tapi bukan menuju alamat rumahku, melainkan alamat rumah Rama. Sebab aku merasa penasaran juga kenapa dia berbuat begini. Terlambat menjemput tanpa memberi kabar, bahkan ponselnya pun tidak aktif sampai sekarang. Oh, semoga tak terjadi apa-apa dengannya di sana, hatiku terus berdoa.Ketika sampai di rumah Rama, suasana tampak sepi. Bahkan mobilnya pun tak terlihat terparkir di sana. Itu tandanya Rama sedang tidak berada di rumah. Tapi kemanakah dia?Dengan menahan rasa penasaran, segera ku ketuk pintu rumahnya dan berharap seseorang bisa memberi jawaban atas gelisahku yang terlepas kabar darinya. Pintu pun terbuka. Wajah tua Bik Mar menyembul dari baliknya. Perempuan tua itu pun tersenyum begitu dia melihatku."Eh, Mbak Alyssa. Kok, tumben datang kemari siang-siang? Mas Rama belum pulang kerja," kata Bik Mar sebelum aku bertanya.Aku terdiam beberapa saat. Kalau Rama tidak ada di rumah, apakah dia masih di kantornya? Atau sedang terjebak macet di jalan? Atau.... Adakah yang terjadi?"Oh, Mas Rama-nya belum pulang ya, bik?" tanyaku dengan perasaan cemas yang semakin menggelisahkan."Biasanya kan pulangnya sore, Mbak Al," sahut Bik Mar seolah mengingatkan aku kalau jam pulang kerja Rama itu adalah sore hari, bukan siang hari seperti ini.Aku mengangguk. "Ya," ucapku pelan.Bik Mar menatapku bingung sambil memperhatikan tubuhku yang sedikit basah. "Mbak Al mau masuk? Biar bibik buatkan teh hangat buat Mbak Al," katanya menawarkan.Aku menggeleng. "Biar saya pulang aja, bik," tolakku. "Tapi..., apa Mas Rama nggak ninggalin satu pesan untuk saya?" lanjutku bertanya."Pesan?" Kening Bik Mar berkerut. "Pesan apa, Mbak Al? Rasanya nggak ada pesan apa-apa.""Oh, ya udah kalau begitu. Oh ya, bik, bagaimana keadaan ibu sekarang? Apa udah membaik?" tanyaku sebelum pamit pulang."Alhamdulillah, ibu udah membaik, mbak. Mudah-mudahan ibu bisa cepat pulang," jawab Bik Mar tersenyum lega."Oh, syukurlah kalau begitu," sahutku ikut merasa lega.Setelah itu aku pamit. Tapi sebelum beranjak pergi, ku coba untuk menghubungi ponsel Rama sekali lagi. Ah, masih tetap tidak aktif. Bagaimana ini?Aku kembali memesan ojol. Tapi tidak untuk pulang. Aku ingin mampir dulu ke apartemen Sarah, sahabatku. Aku ingin menceritakan tentang semua ini padanya. Biarlah kubagi sedikit cemasku pada sahabatku itu. Biar berkurang rasa gelisah yang sejak tadi menggayuti hatiku.Sementara itu hujan masih terus merintik. Langit masih tampak gelap. Suasana sendu yang tercipta seolah ikut mendukung hatiku yang gelisah. Oh, mengapa jadi begini? Rencana indah yang kemarin kubuat bersama Rama, kini hancur berantakan seperti ini!Tak lama aku sampai di depan apartemen Sarah. Aku pun bergegas masuk ke dalam gedung, menyapa satpam yang sedang berjaga lalu naik ke lantai atas dengan menggunakan lift.Sarah tinggal sendirian di sini. Kedua orangtuanya sedang berada diluar negeri mengurusi bisnis mereka. Mungkin beberapa bulan sekali mereka baru pulang untuk menengok sahabatku itu. Selebihnya, mereka biarkan Sarah sendirian tinggal di apartemen ini.Seperti biasa aku bisa langsung masuk ke apartemennya tanpa harus minta dibukakan lagi. Sepi. Tapi samar-samar telingaku mendengar seperti ada suara desahan dari dalam kamar. Aku pun tertegun sejenak di tempatku berdiri. Apakah Sarah sedang bersama seseorang di dalam sana? Oh, itu suara desahan birahi yang menggebu! Siapakah yang berada di dalam sana? Sarahkah? Setahuku Sarah tidak punya kekasih. Bahkan laki-laki yang sedang dekat dengannya pun tidak ada. Lalu siapakah yang ada di dalam sana...?Bukan bermaksud untuk mengintip, tapi kakiku tiba-tiba saja bergerak dan melangkah pelan mendekati pintu kamar. Oh, pintunya sedikit terbuka! Suara desahan itu pun semakin jelas terdengar. Tapi aku tidak berani untuk mengintip ke dalam. Aku cuma berdiri diam dengan hati yang penasaran."Oh, terus.... jangan berhenti, ku mohon...," rintih suara Sarah penuh birahi.Oh! Aku menutup mulutku agar tak mengeluarkan suara. Jadi itu benar Sarah. Rupanya inilah yang membuat dia bergegas pulang tadi. Tapi kenapa Sarah tak pernah bercerita kalau dia sedang dekat dengan seseorang? Bahkan mereka sudah sampai sejauh ini. Hm, biarlah nanti kutanyakan padanya kenapa dia merahasiakan hubungannya dengan laki-laki itu padaku.Aku pun bergegas hendak pergi dari sana. Tapi baru saja aku membalikkan badan, sebuah desahan yang kembali terdengar menghentikan langkahku."Ah, Rama.... Terus.... Nikmatnya.... puaskan aku...," desah Sarah menyebut nama seseorang.Seketika jantungku serasa berhenti. Tidak salahkah pendengaranku barusan? Benarkah Sarah mendesahkan nama Rama? Rama siapa? Rama yang ada dalam benakkukah? Rama kekasihku?Tanpa dikomando lagi, kakiku segera melangkah mendekati pintu dan mengintip ke dalam lewat celah pintu yang terbuka. Oh, tuhan...! Di sana, di atas ranjang yang tampak berantakan itu, aku melihat sepasang manusia yang sedang bergumul liar. Keduanya bergulat tanpa sehelai benang pun. Sarah yang terlentang tampak menggelinjang penuh nikmat. Sementara laki-laki yang berada di atasnya terus menggerakkan pinggulnya dengan hentakkan-hentakkan yang membuat Sarah terpekik penuh kenikmatan. Sedangkan satu tangannya sibuk meremas dan membelai dada Sarah yang indah. Dan laki-laki itu..., Rama! Ramaku! Kekasihku!Jika saja aku tidak berpegangan pada dinding, aku pasti sudah jatuh terkulai lemas di lantai. Bagaimana tidak, mereka yang ada di sana adalah dua orang yang sangat aku sayangi. Dan mereka mengkhianatiku!Jadi di sini rupanya kamu Rama? Padahal sejak tadi aku menunggumu dengan cemas. Jadi inikah sebabnya hpmu kamu matikan? Tidakkah kamu tahu kalau aku begitu mengkhawatirkanmu? Ku pikir ada sesuatu yang buruk menimpamu hingga hpmu tidak bisa aktif dan kamu tidak bisa menjemputku. Tapi ternyata kamu sedang asyik bercinta dengan sahabatku. Tidakkah kamu berpikir kalau aku akan menunggu? Ya, aku menunggumu, Rama. Aku mengkhawatirkanmu....Aahhh!! Suara jeritan tertahan dari Sarah terdengar. Sepertinya dia sudah mencapai puncak kenikmatannya. Lalu tak lama terdengar pula erangan panjang Rama. Setelah itu sepi. Sepertinya mereka telah selesai dengan perbuatan gila mereka."Kamu tahu, Alyssa pasti menungguku." Terdengar suara Rama bicara."Ah, biarin aja. Kalau dia capek menunggu, nanti juga dia akan pulang. Jujur aja, deh. Kamu pasti lebih suka menghabiskan waktu bersamaku dari pada bersama dia, kan?" Suara Sarah bertanya."Ya, bersamamu lebih menggairahkan, Sarah." Terdengar Rama menyahuti."Ya, tentu aja. Buktinya kamu ketagihan, kepingin menikmati tubuhku setiap waktu." Sarah bicara sambil tertawa pelan. Nada suaranya terdengar begitu puas.Oh, tuhan...! Betapa sakitnya hatiku mendengar percakapan mereka. Ini benar-benar sebuah pengkhianatan yang gila! Kekasih dan sahabatku telah menikamku dari belakang! Kenapa mereka tega melakukan itu padaku? Tidakkah mereka tahu kalau pengkhianatan mereka itu akan menghancurkan aku?Brak! Kudorong pintu kamar kuat-kuat hingga menimbulkan suara gaduh. Mereka yang sedang berada di atas ranjang itu pun terlonjak kaget. Keduanya terduduk dengan wajah yang terkejut."Alyssa?!" seru Rama dengan suara tercekik.Aku tak dapat berkata-kata. Yang kulakukan hanyalah berdiri kaku memandang mereka dengan air mata yang bercucuran."Apa yang kamu lakukan di sini, Al?" tanya Rama mulai panik."Apa yang aku lakukan? Yang aku lakukan adalah menunggumu hampir dua jam lamanya, Rama!" jawabku dengan suara bergetar."Al, ku mohon maafkan aku," kata Rama sambil bergegas bangkit dan menghampiriku.Aku bergerak mundur. Tubuh Rama yang telanjang dan berlumur keringat membuatku merasa jijik."Berhenti! Jangan dekati aku! Aku jijik sama kamu!" seruku sambil menangis."Jangan begitu, Al. Ku mohon maafkan aku," pinta Rama lagi.Perlahan aku terus melangkah mundur. Pemandangan di depanku benar-benar membuatku muak. Mereka masih tetap telanjang, berkeringat dengan rambut yang acak-acakan. Demi tuhan aku jijik! Aku jijik mengingat apa yang baru saja mereka lakukan dan aku jijik melihat mereka telanjang di hadapanku."Rama, biarkan dia!" seru Sarah tiba-tiba. "Ku rasa sebaiknya kita jujur aja sama dia sekarang. Biarkan dia tahu kalau kita sering melakukan ini di belakangnya. Biar dia tahu kalau kamu lebih mencintai aku dari pada dia!""Benarkah itu? Kenapa kamu tega mengkhianati aku, Rama? Kenapa kamu tega menyakiti aku seperti ini?!" tanyaku mulai histeris.Rama tak dapat bicara. Dia cuma berdiri menatapku dengan wajah yang penuh penyesalan. Tapi aku tak peduli dengan penyesalannya itu. Hatiku terlanjur sakit. Aku merasa hancur! Kemudian, tanpa bicara apa-apa lagi aku berlari menuju balkon yang terbuka. Aku berdiri di sana sesaat. Ku dengar langkah kaki Rama yang mengejarku. Aku pun menoleh. Ya, benar saja, Rama memang mengejarku. Disusul oleh Sarah yang memakai selimut untuk menutupi tubuhnya. Keduanya tampak terkejut. Mereka berseru memanggil namaku. Tapi aku tak ingin mendengarnya. Aku cuma tersenyum tipis menatap mereka yang berdiri tegak di hadapanku."Terima kasih atas pengkhianatan kalian," ucapku perih. Lalu tanpa berpikir panjang lagi aku membalikkan tubuhku dan segera melompat dari balkon itu. Sesaat masih bisa ku dengar suara jeritan mereka. Tapi kemudian aku hanya bisa merasakan tubuhku yang melayang menuju bumi, yang semakin lama semakin terlihat dekat. Lalu, buk! Sakit yang teramat sangat ku rasakan saat tubuhku menghantam bumi. Dan setelah itu pun, yang ada cuma gelap.Bab 2. Dimanakah aku? Aku terbangun, membuka mata dan mendapati diriku berada di dalam sebuah kamar yang temaram. Dengan bingung kuedarkan pandanganku ke sekeliling. Oh, ini tempat asing. Aku tak mengenal kamar ini. Aku bahkan tak mengenal bau harum sprei dari tempat tidur dimana aku terbaring saat ini. Juga hiasan-hiasan dindingnya yang berupa foto-foto, lukisan dan jam dinding. Jendela, lemari, cermin rias serta nakas, semua bukan seperti yang ada di kamarku. Dimanakah aku? Uh, seluruh badanku terasa sakit ketika aku mencoba untuk bangun. Rasanya seperti remuk! Aku pun kembali membaringkan tubuhku dan mencoba mengingat apa yang telah terjadi sebelumnya dan kenapa aku bisa sampai berada di tempat asing ini. Tapi..., aneh. Aku seperti sulit untuk mengingat. Kepalaku serasa kosong. Seperti tak ada memori yang tertinggal. Dan ketika ku paksakan untuk kembali mengingat, aku malah merasakan pusing yang teramat sangat. Apakah yang telah terjadi padaku, tuhan? Kamar siapakah ini? Kenapa
Bab 3. Seorang Pria Tampan. "Kenapa kamu malas sekali, Melly? Mestinya kamu nyalakan lampu-lampu sejak tadi," omel laki-laki tampan itu sambil melangkah masuk. Aku cuma berdiri, memperhatikannya dengan dada berdebar. Dia adalah laki-laki yang ada di dalam foto. Dia bertubuh tinggi tegap dengan dada yang bidang. Wajahnya tampan, menurutku. Hidungnya mancung. Matanya bening tapi tatapannya begitu tajam yang menyiratkan bahwa dia adalah seorang laki-laki yang tegas. Dan sungguh, kulit kecoklatannya membuat dia terlihat begitu seksi di mataku. Menurutku dia adalah seorang laki-laki yang bisa melindungi wanitanya. Aku yakin, perempuan manapun juga pasti akan merasa nyaman berada dalam peluknya. Aku terus berdiri memperhatikan. Kini laki-laki itu bertelanjang dada. Dia membuka kemejanya dan melemparnya ke dalam sebuah keranjang bambu. Mungkin itu keranjang baju kotor, pikirku. Hm, tanpa tertutup pakaian, dada bidangnya itu terlihat jauh lebih seksi. Aku suka melihatnya. Mataku seperti di
Bab 4. Bella "Kemarin kamu pasti nggak beli roti," kata Mas Pras sambil memakai kemejanya. Pagi ini dia sedang bersiap hendak berangkat kerja. Aku yang mendengar kata-katanya itu pun langsung tergagap bingung. Roti? Apakah Melly kemarin membeli roti? Aku tidak tahu. Tapi aku tidak melihat ada roti di atas meja makan semalam. Di dapur juga tidak ada. Sepertinya Melly memang tidak membeli roti kemarin. Jadi, aku pun mengangguk untuk menjawab pertanyaan Mas Pras itu. "Kenapa kamu selalu lupa membeli roti sih, Mel? Kamu kan tahu kalau aku suka sarapan roti," kata Mas Pras seperti sebuah protes. "Biar nanti aku beli," sahutku segera. Mas Pras mengancingkan rapi kemejanya, lalu berjalan menghampiri cermin. Sesaat dia mematut dirinya di sana. Merapikan pakaiannya dan menyisir rambutnya yang masih terlihat basah. Aku pun berdiri di belakangnya. Ikut bercermin dan menatap wajah Melly di sana. Melly tidak cantik, juga tidak jelek. Wajahnya biasa saja menurut penilaianku. Rambutnya dipoton
5. Suami istri? Pagi itu setelah Mas Pras berangkat kerja, aku pun segera mengobrak-abrik isi seluruh laci yang ada di kamar itu. Ku keluarkan semuanya dan periksa satu persatu. Sebagian besar isi laci itu adalah foto-foto dari pasangan Pras dan Melly dan orang-orang yang mungkin keluarga atau teman mereka. Banyak sekali momen-momen bahagia yang mereka abadikan. Ada foto-foto ulang tahun, foto pernikahan mereka dan juga pernikahan anggota keluarga yang lainnya, foto liburan, foto mesra mereka berdua di kamar ini dan foto-foto yang lainnya lagi. Rasanya terlalu banyak jika harus ku periksa satu persatu. Uh! Aku pun duduk di lantai dengan kesal. Dari sebagian foto-foto yang sudah ku periksa, belum ada satu pun petunjuk yang ku dapatkan. Tak ada satu pun wajah yang ku kenali di foto-foto itu kecuali wajah perempuan yang ku panggil bibik tadi. Yah, setidaknya aku tahu kalau mereka ada hubungan keluarga, meskipun sesungguhnya itu tidaklah berguna untukku. Sedangkan dari berkas-berkas yan
Bab 6. Serpihan Memori. Pagi itu aku terbangun dalam pelukan hangat Mas Pras. Ku kejapkan mataku dan ku coba untuk mengingat kembali peristiwa semalam. Ya, peristiwa semalam dimana aku membiarkan Mas Pras menyentuhku. Meski sesungguhnya yang dia sentuh adalah Melly, istrinya, tapi tetap saja aku merasa bersalah. Sebab yang merasakan semua itu adalah aku, bukan Melly. Aku yang merasakan indahnya. Aku yang merasakan nikmatnya. Aku yang merasakan gairahnya. Jika nanti malam, atau malam-malam berikutnya dia menginginkan itu lagi, apakah aku bisa untuk menolaknya? Bagaimana jika tidak? Bagaimana jika aku juga menginginkannya? Sebab meski salah, tapi jujur saja peristiwa semalam itu membekas indah dalam hatiku. Dan ku rasa, aku mulai merasa memiliki dia sebagai suamiku. "Jam berapa, Mel?" tanya Mas Pras yang rupanya sudah terjaga. "Udah pagi," sahutku. "Tidurlah lagi. Ini hari Minggu." "Meski hari Minggu tapi aku nggak boleh malas," katanya sambil kembali memejamkan matanya. Aku memper
Bab 7. Suami Setiaku. Aku tersadar ketika ada bau yang menyengat menusuk hidungku. Perlahan ku buka mataku dan ku lihat Mas Pras yang sedang duduk di sampingku. Wajahnya tampak cemas. Dia memegang botol minyak angin sambil terus menatapku. Oh, rupanya bau minyak angin itulah yang barusan menusuk hidungku hingga membuatku tersadar dari pingsanku. "Syukurlah kamu udah sadar, Mel. Aku cemas sekali sejak tadi," kata Mas Pras sambil membelai lembut pipiku. Aku mengernyit menahan rasa sakit di kepalaku. Ingatan tentang kejadian barusan terasa masuk dan berjejal di kepala hingga aku merasa sangat pening. Aku ingat, aku baru saja memergoki Mas Pras yang sedang berpelukan dengan Bella, perempuan penggoda yang tinggal di sebelah rumah. Dan seketika itu juga rasa cemburuku kembali memenuhi rongga dada. Aku marah dan menepiskan tangannya perlahan. "Jangan begitu, Mel. Kamu salah paham. Dengarkan dulu penjelasanku," kata Mas Pras bernada memohon. Aku menggeleng, lalu mengaduh pelan. Kepalaku
Bab 8. Gosip. "Selamat pagi, Mel. Rajin sekali kamu," sapa seorang perempuan yang tiba-tiba saja sudah berdiri di depan pintu pagar. Aku menoleh pada perempuan itu, lalu tersenyum. Pagi ini aku sedang menyiram tanaman dan membersihkan halaman. Mas Pras baru saja berangkat kerja. Dan seperti hari-hari kemarin, aku pun langsung menyibukan diri dengan pekerjaan rumah. "Biar segar," kataku menyahuti kata-kata perempuan itu. Aku sengaja tidak menambahkan satu panggilan untuknya. Memangnya aku harus memanggil dia dengan sebutan apa? Mbak? Adik? Atau aku terbiasa memanggil nama saja padanya? Aku takut salah lagi seperti kemarin ketika aku bertemu dengan bibik pertamakali. Karena itulah kali ini aku lebih berhati-hati. Perempuan itu melangkah masuk, lalu duduk di kursi yang ada di teras. Hm, dari sikapnya sepertinya dia sudah cukup akrab dengan Melly. Mungkin temannya, pikirku. Berarti aku harus lebih berhati-hati lagi supaya dia tidak sampai melihat perbedaan dalam diri Melly. Aku tidak
Bab 9. Sebuah Perkelahian. Beberapa hari berlalu. Gosip itu ternyata belum mereda juga. Sepertinya ada sekelompok orang ibu yang tidak rela jika aku memiliki seorang suami yang setia. Karena itulah mereka terus menggosok dan menggosok lagi gosip murahan itu hingga terus menjadi hangat untuk diperbincangkan. Aneh, pikirku. Tidak adakah kegiatan lain yang lebih bermanfaat yang bisa mereka lakukan selain bergosip? Mas Pras bilang, cuma orang yang hidupnya tidak bahagia sajalah yang suka mengurusi hidup orang lain. Hm, mungkin itu benar. Mungkin karena mereka tidak bahagia makanya mereka tidak rela jika ada orang lain yang bahagia hingga mereka berusaha untuk mengorek-ngorek kekurangannya supaya bisa mereka jatuhkan. Jahat. Sebetulnya aku merasa terganggu juga dengan gosip yang terus beredar itu. Rasanya aku ingin mencaci mereka yang bermulut tajam itu agar mereka berhenti melakukannya. Apalagi setiapkali bertemu, mereka senang sekali menyindir aku dengan kata-kata yang bikin panas hat