5. Suami istri?
Pagi itu setelah Mas Pras berangkat kerja, aku pun segera mengobrak-abrik isi seluruh laci yang ada di kamar itu. Ku keluarkan semuanya dan periksa satu persatu. Sebagian besar isi laci itu adalah foto-foto dari pasangan Pras dan Melly dan orang-orang yang mungkin keluarga atau teman mereka. Banyak sekali momen-momen bahagia yang mereka abadikan. Ada foto-foto ulang tahun, foto pernikahan mereka dan juga pernikahan anggota keluarga yang lainnya, foto liburan, foto mesra mereka berdua di kamar ini dan foto-foto yang lainnya lagi. Rasanya terlalu banyak jika harus ku periksa satu persatu.Uh! Aku pun duduk di lantai dengan kesal. Dari sebagian foto-foto yang sudah ku periksa, belum ada satu pun petunjuk yang ku dapatkan. Tak ada satu pun wajah yang ku kenali di foto-foto itu kecuali wajah perempuan yang ku panggil bibik tadi. Yah, setidaknya aku tahu kalau mereka ada hubungan keluarga, meskipun sesungguhnya itu tidaklah berguna untukku. Sedangkan dari berkas-berkas yang ada, cuma sedikit keterangan yang kudapatkan tentang mereka. Dan itu pun keterangan yang tidak penting bagiku. Cuma berupa data-data pribadi yang tidak ada hubungannya denganku sama sekali.Buntu! Aku tetap tidak tahu apa hubunganku dengan perempuan bernama Melly ini dan kenapa aku bisa sampai terkurung di dalam tubuhnya. Padahal dimana aku berada saat ini, seharusnya aku masih menjadi seorang bayi mungil yang baru dilahirkan.Yah, mungkin keterangan tentang siapa Melly tidaklah terlalu penting. Mungkin yang terpenting adalah mencaritahu tentang bagaimana caranya supaya aku bisa kembali ke tubuhku dan bisa kembali menjalani hidupku. Harus menunggu bulan purnamakah seperti yang sering ku lihat di film-film? Atau harus membaca mantera-mantera tertentu seperti ilmu sihir yang ajaib? Simsalabim? Abrakadabra? Hokus pokus? Hah, rasanya tidak masuk akal! Jadi bagaimana caranya untuk bisa keluar dari tubuh ini dan melesat kembali ke dua puluh tahun ke depan? Aku tidak tahu. Tidak ada jawabannya.Tak terasa setengah harian sudah aku berkutat dengan foto-foto dan dokumen-dokumen pribadi mereka. Perutku pun sudah terasa melilit kini. Lapar. Sudah jam makan siang. Hm, tapi apakah yang harus ku makan? Tak ada makanan di rumah ini. Karena terlalu asyik memeriksa foto dan dokumen pribadi mereka, aku sampai lupa kalau aku belum belanja. Bukankah seharusnya aku pergi belanja dan menyibukkan diriku dengan pekerjaan ibu rumah tangga? Bagaimana jika Mas Pras pulang sore nanti dan minta disiapkan makan malam seperti kemarin? Apa harus ku buatkan nasi goreng ajaib lagi?Bergegas aku pun berdiri dan melangkah keluar kamar. Aku harus belanja. Aku harus makan. Aku lapar. Tapi, dimana aku harus belanja? Apa aku harus mencari pasar? Mini market? Atau warteg? Ah, apa sajalah yang bisa ku temukan. Yang penting bisa membeli makanan untuk mengisi perutku yang lapar ini.Aku segera keluar rumah dan menyusuri jalan yang sepi. Semoga saja aku tidak salah arah. Aku cuma mengikuti kemana kaki melangkah tanpa ku tahu apakah arah jalan yang ku pilih ini benar atau tidak. Jika benar arahnya, aku pasti akan sampai di gerbang komplek. Dan ternyata arahku benar. Aku sampai di gerbang komplek dan sekarang sudah berdiri di pinggir jalan raya yang tidak terlalu ramai.Ku edarkan pandanganku ke sekeliling. Syukurlah, ternyata semua yang ku cari ada di sini. Mini market, rumah makan serta warung yang menjual sayuran, semuanya ada. Tapi ku putuskan untuk membeli lauk matang saja agar aku tak perlu repot-repot memasak lagi. Apalagi aku memang tidak bisa memasak. Jangan-jangan rasanya nanti ajaib lagi seperti nasi goreng semalam.Ketika kakiku melangkah menuju sebuah rumah makan, terdengar sebuah suara memanggilku. Aku pun menoleh dan mencari-cari siapakah orang yang telah memanggilku itu. Ah, rupanya bibik. Tampak dia sedang tersenyum sambil melambaikan tangannya padaku.Aku pun balas tersenyum dan segera menghampirinya. Bibik sedang berada di sebuah warung yang menjual sayur-mayur. Rupanya dia sedang berbelanja. Ku lihat ada sebuah bungkusan plastik di tangannya."Mau kemana kamu?" tanya bibik begitu aku sampai di hadapannya."Mau beli lauk, bik," jawabku segera."Kok, beli lauk mateng? Udah capek ya belajar masaknya?" tanya bibik lagi dengan senyum yang mengembang."Belajar masak?" Aku balik bertanya dengan bingung."Sejak kamu menikah, sampai sekarang ini, kamu kan nggak bisa masak, Mel. Tiapkali masak, selalu ujung-ujungnya kamu minta tolong bibik untuk mengajarkan," jawab bibik menerangkan.Huh? Sungguhkah? Tapi kemarin malam Mas Pras bilang kalau masakanku selalu enak. Yang manakah yang benar?"Tapi Mas Pras bilang, sejak kami menikah dulu masakanku selalu enak, bik," kataku memberitahu tentang pujian Mas Pras padaku. Ehm, maksudku pada Melly, istrinya.Mendengar kata-kataku itu bibik pun tertawa. "Suamimu itu memang luar biasa, Mel. Dia nggak pernah mau membuatmu kecewa. Masakan apa pun yang kamu hidangkan, pasti akan dia makan sampai habis walaupun rasanya nggak karuan. Dan dia juga akan selalu memuji masakanmu itu demi untuk menyenangkan hatimu.""Apa benar seperti itu?" tanyaku tak percaya."Apa menurutmu, kamu itu udah bisa memasak?" tanya bibik masih dengan senyumnya. "Hehee, bibik kan tahu gimana kamu, Mel. Jangankan menakar bumbu yang tepat, memberi garam pada masakanmu aja kamu nggak pernah tepat. Kalau nggak hambar, ya keasinan. Tapi untungnya Pras nggak pernah mempermasalahkan itu. Paling-paling dia akan bilang, 'lainkali masaknya lebih enak lagi, biar aku makannya bisa lebih banyak lagi'. Benar begitu, kan?"Aku mengangguk. Ya, benar. Mas Pras memang bicara seperti itu semalam setelah dia selesai menyantap nasi goreng ajaib buatanku. Hm, satu rasa kagum tumbuh di hatiku terhadap Mas Pras. Jadi laki-laki tampan itu selalu berusaha menjaga perasaan istrinya seperti itu? Sungguh luar biasa!"Pras memberi pujian sama kamu, supaya kamu tetap rajin belajar memasak. Sebagai seorang suami, dia pasti ingin agar istrinya pandai memasak. Iya, kan? Karena itu kamu nggak boleh nyerah belajar memasaknya. Buku-buku resep bibik kan udah ada di rumah kamu semua. Pelajari aja pelan-pelan. Jangan putus asa. Nanti lama-lama juga bisa."Begitukah? Jadi aku harus belajar memasak? Baiklah. Aku akan belajar memasak demi suami yang baik itu."Baiklah, bik, mulai besok aku akan belajar memasak lagi," janjiku."Besok? Kenapa nggak hari ini aja?"Aku menggeleng. "Ini udah siang, bik. Aku belum beres-beres rumah. Belum mencuci baju juga. Rasanya nggak ada waktu kalau hari ini.""Loh, memangnya ngapain aja kamu dari pagi? Tidur? Kok, sampai jam segini pekerjaan rumah masih menumpuk?"Aku cuma tersenyum menjawab pertanyaan bibik itu. Sebab aku tak mungkin bilang kalau dari pagi tadi aku sibuk mencari keterangan tentang Melly."Jadi istri itu harus rajin, Mel. Rajin bersih-bersih rumah, rajin memasak, rajin mengurus suami. Biar suamimu senang dan betah berada di rumah," nasihat bibik.Aku mengangguk. Jadi beginikah rasanya menikah dan punya suami? Harus rajin berkutat dengan pekerjaan rumah tangga yang melelahkan? Tapi tak apa, sebaiknya ku jalani saja semua itu. Hitung-hitung belajar menjadi seorang istri yang baik. Menjadi seorang istri? Hihihi, lucu kedengarannya. Tiba-tiba saja aku bersuami dan harus menjadi ibu rumah tangga seperti ini. Di kehidupanku yang sesungguhnya, aku belum menikah. Aku ingat betul itu. Tapi di sini, aku seorang istri dari seorang laki-laki tampan bernama Prasetyo. Hm, menarik."Ya udah, cepat sana beli lauk. Habis itu cepat pulang dan beres-beres. Jangan sampai suamimu pulang nanti rumahmu masih berantakan," kata bibik lagi.Aku pun bergegas pergi membeli lauk, juga tak lupa membeli roti untuk sarapan Mas Pras besok. Setelah itu cepat kembali pulang untuk segera berkutat dengan pekerjaan rumah yang bertumpuk.***Malam harinya badanku terasa remuk. Aku merasa lelah luar biasa. Pekerjaan rumah seberat itu memang belum pernah aku kerjakan sebelumnya. Bahkan tadi aku bingung harus memulainya darimana. Cuci piring, menyapu lantai, mengepel, mencuci baju, menyetrika dan memasak nasi. Oh, tuhan..., apa jadinya jika harus memasak lauk-pauknya juga? Rasanya aku bisa pingsan!Dengan tubuh lunglai aku menaiki tempat tidur. Tak ku sapa Mas Pras yang sedang asyik membaca buku. Dia duduk di atas ranjang dan menggunakan bantal sebagai sandaran punggung. Wajahnya tampak serius menatap pada buku yang sedang dibacanya itu. Entah apa yang dibacanya, aku tak tahu. Biarkan saja, aku tak mau tahu. Sekarang aku cuma mau tidur dan mengistirahatkan tubuhku yang kelelahan.Aku pun membaringkan tubuhku memunggungi Mas Pras. Ku tarik selimut dan mulai memejamkan mata. Aku siap untuk terbang ke alam mimpi yang indah. Tapi tiba-tiba aku merasakan satu sentuhan di pinggangku. Sentuhan tangan Mas Pras yang bergerak-gerak meraba pinggang dan punggungku. Oh, apakah ini? Dia menyentuhku?!Seketika mataku langsung terbelalak. Otakku pun bekerja cepat. Tentu saja dia bisa menyentuhku! Bukankah aku ini istrinya? Ya, dia tidak tahu jika aku sesungguhnya bukanlah Melly, istrinya! Jadi, harus bagaimana sekarang?"Jangan tidur dulu, Mel," bisiknya sambil mendekapku dari belakang.Oh, tidak! Dia mulai mengecupku! Leher dan punggungku jadi sasarannya. Darahku pun berdesir merasakan bibirnya menyentuh lembut kulitku. Dan hangat napasnya membelai hingga menimbulkan sensasi ganjil di seluruh tubuhku. Apalagi ketika tangannya bergerilya nakal. Darahku seperti mengalir lebih cepat membangkitkan gairahku. Tidak! Ini tidak boleh terjadi! Aku bukanlah istrinya meskipun saat ini aku berada di dalam tubuhnya!"Mas, aku capek," tolakku dengan suara bergetar."Ayolah, sayang. Sebentar aja. Aku udah mulai berdiri, nih." Dia kembali berbisik di telingaku."Berdiri?" Ku ulangi kata-katanya dengan suara yang tercekat."Iya. Biasanya kamu suka."Huh? Jawabannya membuatku merinding! Itu rahasia suami istri. Seharusnya aku tidak boleh tahu. Tapi sayangnya dia melihatku sebagai Melly, bukan Alyssa! Dan aku sedang berperan sebagai Melly sekarang. Oh, aku jadi malu sendiri membayangkan semua itu.Mas Pras perlahan menarik tubuhku hingga kini aku terlentang dalam dekapannya. Lalu dengan penuh gairah dia mencumbuku. Aku tak tahu harus berbuat apa. Tapi sebagai seorang perempuan yang normal, jujur saja gairahku pun mulai bangkit. Aku ingin menolak. Tapi sensasi ganjil yang bergejolak di dalam tubuhku membuatku tak berdaya untuk menolaknya. Ini pengalaman pertama bagiku. Aku belum pernah merasakan gejolak rasa yang seperti ini sebelumnya. Karena itulah aku begitu terbuai. Dan ketika Mas Pras mulai melucuti pakaianku, aku tak kuasa untuk menolaknya.Cacilah aku! Makilah aku! Tapi sungguh ini adalah satu pengalaman yang sangat indah buatku. Aku serasa terbang ke surga kenikmatan. Tubuhku menggelepar. Dadaku serasa sesak. Hanya desahan-desahan saja yang mampu ku ucapkan. Tanpa kata-kata, tanpa kalimat. Hanya berupa desahan pendek yang berulang-ulang. Sungguh luar biasa. Benar-benar pengalaman yang luar biasa indahnya!Maafkan aku, Melly. Aku telah menikmati gairah suamimu lewat tubuhmu. Tapi sungguh, aku tak kuasa untuk menolaknya.Bab 6. Serpihan Memori. Pagi itu aku terbangun dalam pelukan hangat Mas Pras. Ku kejapkan mataku dan ku coba untuk mengingat kembali peristiwa semalam. Ya, peristiwa semalam dimana aku membiarkan Mas Pras menyentuhku. Meski sesungguhnya yang dia sentuh adalah Melly, istrinya, tapi tetap saja aku merasa bersalah. Sebab yang merasakan semua itu adalah aku, bukan Melly. Aku yang merasakan indahnya. Aku yang merasakan nikmatnya. Aku yang merasakan gairahnya. Jika nanti malam, atau malam-malam berikutnya dia menginginkan itu lagi, apakah aku bisa untuk menolaknya? Bagaimana jika tidak? Bagaimana jika aku juga menginginkannya? Sebab meski salah, tapi jujur saja peristiwa semalam itu membekas indah dalam hatiku. Dan ku rasa, aku mulai merasa memiliki dia sebagai suamiku. "Jam berapa, Mel?" tanya Mas Pras yang rupanya sudah terjaga. "Udah pagi," sahutku. "Tidurlah lagi. Ini hari Minggu." "Meski hari Minggu tapi aku nggak boleh malas," katanya sambil kembali memejamkan matanya. Aku memper
Bab 7. Suami Setiaku. Aku tersadar ketika ada bau yang menyengat menusuk hidungku. Perlahan ku buka mataku dan ku lihat Mas Pras yang sedang duduk di sampingku. Wajahnya tampak cemas. Dia memegang botol minyak angin sambil terus menatapku. Oh, rupanya bau minyak angin itulah yang barusan menusuk hidungku hingga membuatku tersadar dari pingsanku. "Syukurlah kamu udah sadar, Mel. Aku cemas sekali sejak tadi," kata Mas Pras sambil membelai lembut pipiku. Aku mengernyit menahan rasa sakit di kepalaku. Ingatan tentang kejadian barusan terasa masuk dan berjejal di kepala hingga aku merasa sangat pening. Aku ingat, aku baru saja memergoki Mas Pras yang sedang berpelukan dengan Bella, perempuan penggoda yang tinggal di sebelah rumah. Dan seketika itu juga rasa cemburuku kembali memenuhi rongga dada. Aku marah dan menepiskan tangannya perlahan. "Jangan begitu, Mel. Kamu salah paham. Dengarkan dulu penjelasanku," kata Mas Pras bernada memohon. Aku menggeleng, lalu mengaduh pelan. Kepalaku
Bab 8. Gosip. "Selamat pagi, Mel. Rajin sekali kamu," sapa seorang perempuan yang tiba-tiba saja sudah berdiri di depan pintu pagar. Aku menoleh pada perempuan itu, lalu tersenyum. Pagi ini aku sedang menyiram tanaman dan membersihkan halaman. Mas Pras baru saja berangkat kerja. Dan seperti hari-hari kemarin, aku pun langsung menyibukan diri dengan pekerjaan rumah. "Biar segar," kataku menyahuti kata-kata perempuan itu. Aku sengaja tidak menambahkan satu panggilan untuknya. Memangnya aku harus memanggil dia dengan sebutan apa? Mbak? Adik? Atau aku terbiasa memanggil nama saja padanya? Aku takut salah lagi seperti kemarin ketika aku bertemu dengan bibik pertamakali. Karena itulah kali ini aku lebih berhati-hati. Perempuan itu melangkah masuk, lalu duduk di kursi yang ada di teras. Hm, dari sikapnya sepertinya dia sudah cukup akrab dengan Melly. Mungkin temannya, pikirku. Berarti aku harus lebih berhati-hati lagi supaya dia tidak sampai melihat perbedaan dalam diri Melly. Aku tidak
Bab 9. Sebuah Perkelahian. Beberapa hari berlalu. Gosip itu ternyata belum mereda juga. Sepertinya ada sekelompok orang ibu yang tidak rela jika aku memiliki seorang suami yang setia. Karena itulah mereka terus menggosok dan menggosok lagi gosip murahan itu hingga terus menjadi hangat untuk diperbincangkan. Aneh, pikirku. Tidak adakah kegiatan lain yang lebih bermanfaat yang bisa mereka lakukan selain bergosip? Mas Pras bilang, cuma orang yang hidupnya tidak bahagia sajalah yang suka mengurusi hidup orang lain. Hm, mungkin itu benar. Mungkin karena mereka tidak bahagia makanya mereka tidak rela jika ada orang lain yang bahagia hingga mereka berusaha untuk mengorek-ngorek kekurangannya supaya bisa mereka jatuhkan. Jahat. Sebetulnya aku merasa terganggu juga dengan gosip yang terus beredar itu. Rasanya aku ingin mencaci mereka yang bermulut tajam itu agar mereka berhenti melakukannya. Apalagi setiapkali bertemu, mereka senang sekali menyindir aku dengan kata-kata yang bikin panas hat
Bab 10. Tamu Tak Diundang. "Halo, Mel. Apa kabar?" sapa laki-laki itu sambil tersenyum. "Baik," sahutku seraya bertanya-tanya siapakah gerangan laki-laki itu. Dia mengenalku, tapi aku tidak tahu siapa dia. "Maaf aku datang nggak kasih kabar terlebih dulu. Rencananya dadakan. Aku butuh tempat tinggal yang dekat dengan kantorku yang baru. Dan berhubung aku belum dapat kontrakan, jadinya aku memutuskan untuk tinggal di sini sementara waktu. Boleh, kan?" Laki-laki itu menatapku dan Mas Pras bergantian. Aku cuma bisa bengong, tak tahu harus menjawab apa. Tinggal di sini? Tapi tidakkah aku akan merasa risih dengan kehadirannya? Sebab dia cuma orang asing buatku. Aku tidak mengenalnya. Aku tak tahu apa hubungannya denganku dan juga Mas Pras. Tapi dari sikapnya ku rasa dia cukup akrab dengan kami. "Kantor yang baru? Jadi kamu keluar lagi dari pekerjaanmu yang dulu?" tanya Mas Pras sedikit terkejut. "Ya, aku udah berhenti dari sana," sahutnya santai. "Kenapa ganti-ganti pekerjaan terus
Bab 11. Mantan Kekasih. Aku menatap Bimo lekat-lekat. Untuk beberapa saat aku tak bisa berkata-kata. Mantan kekasih? Menyerahkan kesucian padanya? Ah, Melly..., apa yang telah kamu lakukan? Terlalu bodohkah kamu sebagai perempuan? Benarkah Mas Pras bukan laki-laki pertama untukmu? Aku kini tak tahu harus berbuat apa. Mengusir Bimo begitu saja rasanya tak mungkin. Tapi membiarkannya tetap di sini, itu sama saja dengan membuka pintu bagi orang ketiga untuk menghancurkan keutuhan rumah tangga Melly dan Mas Pras. Sungguh kamu menempatkan aku dalam posisi yang sulit, Melly. "Semua itu masa lalu. Jadi jangan diungkit lagi," kataku akhirnya. "Tapi aku nggak bisa lupain semuanya," sahut Bimo menatapku. "Aku istri Mas Pras sekarang." "Ah." Bimo mendesah pelan, lalu mengusap wajahnya dengan galau. "Semua memang salahku. Aku yang telah membuatmu pergi meninggalkan aku." Aku diam dan menyimak keluhannya itu. Ku pikir, biarlah dia sendiri yang bercerita tanpa aku harus memancingnya terlebih
Bab 12. Bella Dan Bimo. Hari-hari berlalu. Aku selalu menjauh dari Bimo sebisa mungkin. Jujur saja, hidupku jadi terasa tak nyaman karenanya. Rasanya seperti main petak umpet. Aku bersembunyi saat dia mendekat dan aku keluar bebas ketika dia menjauh. Aku tak tahu apakah Mas Pras tahu tentang semua ini. Tapi yang ku lihat dia bersikap biasa saja seolah dia tak menyadari kalau sekarang aku sering bersembunyi di dalam kamar saat Bimo sedang berada di rumah. Atau sesungguhnya dia menyadari itu? Hanya saja dia tidak mau membuatnya menjadi satu masalah yang besar di antara kami. Aku ingin bertanya, tapi aku takut nanti akan menimbulkan masalah. Jadi, jika Mas Pras menganggap semuanya baik-baik saja, ya sudah biarkanlah. Aku hanya berharap semoga Bimo cepat pergi dan tak lagi mengganggu hidupku seperti ini. Lain dengan Bimo, lain pula dengan Bella. Jika Bimo menggangguku dengan rayuannya, maka Bella menggangguku dengan mulut usilnya. Perempuan satu itu sepertinya tidak pernah jenuh untuk
Bab 13. Hamil. Aku terbangun di pagi ini dengan keadaan yang tidak biasa. Perutku terasa kembung dan mual sekali. Kepalaku juga terasa sakit dan badanku lemas tak bertenaga. Beberapakali aku harus berlari ke kamar mandi karena ingin muntah. Tapi tak ada yang keluar hingga perutku serasa diaduk-aduk. Kenapa ini? Apakah aku sakit? Mas Pras yang melihatku bolak-balik ke kamar mandi pun langsung cemas menatapku. Dia menghampiriku dan memeriksa keningku. Tidak hangat, karena aku memang tidak demam. Aku hanya merasa mual dan ingin muntah. Mungkin masuk angin, tebakku. "Kamu sakit, Mel?" tanya Mas Pras dengan wajah cemas. "Perutku mual. Mungkin masuk angin," sahutku lirih. "Mau aku panggilkan bibik? Biar badanmu dipijat pakai minyak angin. Kalau udah dipijat bibik kan biasanya kamu sembuh," kata Mas Pras menawarkan. Aku mengangguk. Meski belum pernah dipijat sebelumnya, tapi tak apalah, yang penting aku sembuh. Aku tak tahan jika harus merasakan mual ini. Rasanya benar-benar menyiksa.
Bab 30. Bertemu Lagi. "Mau kemana, Al?" tanya ibu ketika melihatku sudah berdandan rapi. "Mau jalan sama Bagas, bu," sahutku sambil mematut diri di depan cermin yang ada di ruang tengah. Ku pikir, aku harus terlihat cantik malam ini. "Jalan kemana?" tanya ibu lagi. "Ke rumah teman." "Ke rumah teman? Siapa? Setahu ibu kamu udah lama nggak berhubungan dengan teman-temanmu." "Dia teman baru, bu." "Teman baru? Dimana kamu berkenalan sama dia? Kamu kan jarang sekali keluar rumah." "Di rumah Bagas beberapa hari yang lalu." "Oh, temanya Bagas?" "Ya, teman kuliahnya." "Laki-laki?" Ibu terus memberondongku dengan pertanyaan. "Ya, laki-laki. Namanya Damar." Mendengar itu ibu pun tersenyum senang. "Ibu senang akhirnya kamu mau membuka diri untuk teman baru." "Tapi bagaimana dengan Tyo?" sambar Mas Fandy cepat. "Prasetyo atau siapa pun juga orangnya, yang penting dia bisa membuat Alyssa melupakan laki-laki khayalannya itu. Ibu benar-benar khawatir karena adikmu udah semakin berlaru
Bab 29. Kejutan. Bagas membawaku masuk ke rumahnya. Diajaknya aku duduk di ruang tamu. Sementara itu temannya yang tadi ikut memegangiku kini duduk di dekatku dengan wajah yang bingung. Sepertinya dia belum pernah melihat perempuan yang mengamuk seperti aku barusan. Sesungguhnya aku pun belum pernah melakukan itu sebelumnya. Kecuali saat aku menghajar Bella di kehidupanku yang lain kemarin. Tapi semua bukan aku yang memulainya. Dulu Bella yang memancing emosiku dengan kata-katanya. Sekarang juga Sarah yang memulai duluan, yang juga memancing emosiku dengan kata-katanya. Kenapa perempuan senang sekali memancing emosi seseorang dengan mulut mereka yang tajam? "Ada apa sih, Al? Kenapa kamu berkelahi seperti itu? Kalian memperebutkan Rama?" tanya Bagas sambil meletakkan segelas air putih di hadapanku. "Memperebutkan Rama? Kamu pikir aku udah gila?" bantahku cepat. "Jadi apa dong yang menyebabkan kamu sampai mengamuk seperti barusan? Untung aja ibumu dan Mas Fandy nggak dengar keributa
Bab 28. Jangan Ganggu Aku! Aku menangis tersedu ketika telah berada di dalam mobil Rama. Sedih dan putus asa menyelimutiku saat ini. Aku merasa tak lagi punya harapan. Pertemuan barusan tak seindah dalam bayangan. Seharusnya pertemuan itu bisa membuatku bahagia. Sebab dia yang selama ini cuma mimpi ternyata bisa ku jumpai di alam nyata. Aku bisa menatapnya. Aku bisa bicara dengannya. Tapi setelah itu, apa? tidak ada! Dia malah menganggapku mempermainkannya lalu pergi begitu saja. Sekarang semuanya di mulai lagi dari nol. Aku tak tahu lagi tentang keberadaannya dan tak tahu harus bicara apa jika satu hari nanti berjumpa lagi dengannya. Ku yakin dia telah menganggapku gila. Sebab penjelasanku barusan pasti terdengar sangat aneh di telinganya. Masih maukah dia bicara denganku? Masih maukah dia mendengarkan penjelasanku? Sungguh aku merasa hancur kini. Benar-benar hancur! "Apa yang kamu lakukan tadi, Al?" tanya Rama ketika kami telah berada di jalan raya. "Aku telah kehilangan dia," l
Bab 27. Dia Yang Ku Cari. Aku menatapnya dengan berjuta perasaan. Rasanya seperti mimpi melihat dia ada di hadapanku sepert ini. Sungguh aku ingin menangis karena bahagia hingga untuk beberapa saat lamanya aku tak sanggup berkata-kata. Sementara itu dia pun tak mengucap sepatah kata untukku. Sepertinya dia merasa bingung melihat tingkahku ini. Biarlah, aku bisa maklumi itu. Tentu saja dia merasa bingung karena bertemu dengan gadis yang tidak dia kenal yang bertingkah aneh seperti aku. "Saya senang sekali akhirnya kita bisa bertemu lagi, mas," kataku setelah beberapa saat lamanya hanya bisa berdiri menatapnya. "Maksudnya?" tanya Mas Pras dengan wajah yang semakin bingung. "Saya...." "Duduklah dulu. Jangan berdiri terus seperti itu," pinta Mas Pras sambil menunjuk bangku yang ada di depannya. Aku pun segera duduk. Sementara Rama yang tak mengerti dengan apa yang ku lakukan ikut duduk di samping. Dia tak bicara. Hanya diam dan memperhatikan dengan wajah yang bingung. "Kalian ini s
Bab 26. Sebuah Pertemuan. Hari-hari berikutnya berlalu dalam keresahan. Aku berusaha menguatkan hati untuk memberikan sebuah penolakan pada pernyataan cinta Mas Tyo. Laki-laki itu pasti kecewa. Hatinya pasti terluka. Tapi tak ada yang bisa aku lakukan untuk menghibur hatinya. Ku pikir inilah kenyataan yang harus bisa dia terima. Bukankah apa yang kita inginkan belum tentu bisa kita miliki? Seperti aku yang sangat ingin memiliki Mas Pras, tapi sampai sekarang dia hanya sebatas mimpi. Bagaimanakah reaksi ibu dan Mas Fandy jika mereka tahu kalau aku telah menolak cinta dari Mas Tyo? Akan marahkah mereka? Atau hanya sebatas kecewa tanpa menyalahkan aku yang telah mengambil keputusan yang tidak sesuai dengan keinginan mereka? Hm, tapi aku seorang perempuan dewasa sekarang. Segala keputusan tentang hidupku ada di tanganku. Mereka hanya boleh memberi saran. Tapi tak boleh mendikte keputusan apa yang harus ku ambil untuk hidupku dan juga masa depanku. Apalagi ini masalah cinta. Urusan hati
Bab 25. Sebuah Cinta. Rintik hujan jatuh menimpa kuncup-kuncup bunga hingga ranting-rantingnya bergoyang-goyang bagai meliukkan sebuah tarian yang indah. Suara gemuruh guntur sesekali terdengar di kejauhan. Bergetar mendekat, lalu menghilang. Langit bagai mengeluh. Seperti lelah menaungi bumi yang memiliki banyak kisah. Mungkin salah satunya adalah kisahku. Kisah sedih dan kecewa yang tak bisa ku bagi pada siapa pun. Kenapa malam ini harus turun hujan, tuhan? Sedangkan ini adalah malam terakhir aku bisa mencari dia di sana. Besok pusat jajanan itu akan tutup. Harus menunggu hingga bulan depan untuk bisa kembali mencarinya di sana. Tapi apakah dia akan ada? Bagaimana jika bulan depan dia telah pindah jauh ke satu kota? Hatiku tak bisa tenang hanya karena satu kalimat yang mengatakan 'jodoh tak kan lari kemana'. Ya, jodoh memang tak kan lari kemana. Tapi bagaimana jika ternyata dia bukan jodohku? Dia akan lari ke dalam pelukan perempuan lain dan membiarkanku yang tenggelam dalam rindu
Bab 24. Hampa. Keesokan paginya segera kuceritakan pada Bagas tentang laki-laki yang ku lihat semalam. Bagas serius mendengarkan, lalu mengeleng pelan saat aku selesai bercerita. "Tapi itu nggak mungkin, Al. Pasti dia cuma seseorang yang mirip dengan laki-laki dalam mimpimu itu," sanggah Bagas menentangku. "Nggak, Gas! Itu beneran dia!" Aku sedikit ngotot pada Bagas. "Al, kamu melihat dia di malam hari dan dalam jarak yang lumayan jauh. Dan wajahnya pun jauh lebih tua dari Mas Pras-mu itu, kan? Jadi bagaimana kamu bisa yakin kalau laki-laki itu adalah dia? Lagi pula percayalah kalau Mas Pras-mu itu nggak ada, Al! Tolong, kembalilah pada kenyataan." Bagas masih tak peraya dan seperti biasa memintaku untuk percaya kalau sesungguhnya Mas Pras itu tidak ada. Aku menggeleng, kukuh pada pendirianku. "Aku yakin kalau itu benar dia. Meski dalam jarak yang cukup jauh, aku bisa mengenalinya, Gas. Sebab dia suamiku! Jadi aku nggak mungkin salah mengenali suamiku sendiri!" Bagas menghela na
Bab 23. Mantan Dan Sahabat. Sarah berdiri dengan wajah yang cemberut. Dia menatap Rama, lalu menatapku dengan pandangan yang cemburu. Sementara itu wajah Rama menunjukkan rasa tak suka dengan kehadiran Sarah yang tiba-tiba di antara kami. Sarah mendekat. Aku pun berusaha untuk menyembunyikan perasaan marahku padanya. aku tak ingin ribut, apa lagi di tengah keramaian seperti ini. Akhirnya dengan sikap tenang ku tunggu dia sampai dia berdiri di hadapanku. "Sedang apa kalian berdua di sini?" tanyanya tanpa basa-basi. "Memangnya kenapa kalau kami berdua ada di sini? Ini tempat umum, kan?" jawab Rama segera. "Kalian janjian?" tanya Sarah lagi dengan nada cemburu yang terdengar jelas. Rama menggeleng. "Kami bertemu nggak sengaja di sini," jawabnya jujur. Ekspresi wajah Sarah tampak tak percaya. "Benarkah?" "Memangnya untuk apa aku bohong padamu, Sarah?" kata Rama tak suka dengan kecurigaan Sarah itu. "Ku pikir kamu ingin kembali pada Alyssa dan meninggalkan aku, Rama." Sarah berkat
Bab 22. Sore Itu. Tak terasa waktu terus bergulir begitu cepat. Hari berganti minggu dan minggu pun berganti bulan. Tak terhitung, entah berapakali sudah Mas Pasetyo datang ke rumah menemuiku. Tapi kami selalu menghabiskan waktu di rumah saja. Ngobrol berdua di ruang tamu karena aku selalu menolak tiap kali dia mengajakku jalan keluar. Ku pikir dia akan bosan hanya dengan ngobrol di rumah saja dan jadi enggan untuk datang lagi. Tapi ternyata dia datang dan datang lagi menemuiku. Ku akui, Mas Fandy memang benar. Mas Prasetyo temannya itu adalah seorang laki-laki yang baik dan menyenangkan. Ngobrol berdua dengannya tak pernah menimbulkan rasa bosan. Pengetahuannya yang luas membuat dia bisa mengimbangi setiap topik obrolan yang ku bahas. Tapi bagiku dia hanya sebatas teman bicara yang menyenangkan. Tak lebih. Sebab sampai hari ini dia tidak bisa menempati ruang istimewa dalam hatiku. Masih tetap tak bisa menggeser posisi Mas Pras yang teramat istimewa bagiku. "Kita jalan, yuk," aja