Bab 13. Hamil. Aku terbangun di pagi ini dengan keadaan yang tidak biasa. Perutku terasa kembung dan mual sekali. Kepalaku juga terasa sakit dan badanku lemas tak bertenaga. Beberapakali aku harus berlari ke kamar mandi karena ingin muntah. Tapi tak ada yang keluar hingga perutku serasa diaduk-aduk. Kenapa ini? Apakah aku sakit? Mas Pras yang melihatku bolak-balik ke kamar mandi pun langsung cemas menatapku. Dia menghampiriku dan memeriksa keningku. Tidak hangat, karena aku memang tidak demam. Aku hanya merasa mual dan ingin muntah. Mungkin masuk angin, tebakku. "Kamu sakit, Mel?" tanya Mas Pras dengan wajah cemas. "Perutku mual. Mungkin masuk angin," sahutku lirih. "Mau aku panggilkan bibik? Biar badanmu dipijat pakai minyak angin. Kalau udah dipijat bibik kan biasanya kamu sembuh," kata Mas Pras menawarkan. Aku mengangguk. Meski belum pernah dipijat sebelumnya, tapi tak apalah, yang penting aku sembuh. Aku tak tahan jika harus merasakan mual ini. Rasanya benar-benar menyiksa.
Bab 14. Ngidam. "Mas Pras dimana, sih?" tanyaku sambil terus berbaring dan menutup wajahku dengan selimut. "Di sini, Sayang. Aku mau mandi dulu," sahut Mas Pras yang ternyata berada tak jauh dariku. "Jangan mandi!" pintaku seraya membuka selimut yang menutupi wajah. Mas Pras pun menoleh dan menatapku dengan bingung. "Jangan mandi? Tapi kenapa aku nggak boleh mandi? Ini udah siang loh, Mel. Udah jam sembilan. Aku belum mandi dari pagi." "Pokoknya jangan mandi!" Aku terus berkeras melarang. "Badanku bau keringat," kata Mas Pras lagi. "Biarin, nggak apa-apa. Aku suka bau keringat Mas Pras. Aku nggak suka kalau Mas Pras wangi!" kataku merengek. "Huh?" Mas Pras menghampiriku, lalu duduk di tepi tempat tidur. "Kamu nggak suka kalau aku wangi?" tanyanya bingung. Aku mengangguk. Entah kenapa sekarang-sekarang ini aku suka sekali mencium aroma tubuh Mas Pras. Bau keringatnya membuatku merasa nyaman. Entahlah, mungkin ini bawaan ngidamku. Tapi yang pasti sekarang aku suka sekali memben
Bab 15. Gosip Baru. Aku sedang duduk sendirian di ruang tamu ketika seorang tukang rujak keliling melintas di depan rumah. Aku pun segera keluar untuk membelinya. Kebetulan sekali Aku memang sedang ingin makan rujak. Perutku belum bisa menerima makanan lain selain buah-buahan. Sebetulnya sedikit-sedikit sudah bisa ku isi dengan bubur atau sayuran bening. Tapi aku lebih suka makan buah-buahan saja karena rasanya lebih nyaman di perut. Sambil menunggu tukang rujak itu menyiapkan pesananku, aku berdiri bersandar di pintu pagar dan memperhatikan sekeliling. Seperti biasa suasana sekitar tampak sepi. Cuma terlihat ada tiga orang ibu-ibu yang sedang berjalan santai ke arahku. Mereka berjalan sambil ngobrol dengan pandangan mata yang sepertinya tertuju padaku. Tapi aku tak berpikiran buruk melihat semua itu. Ku pikir mungkin mereka warga komplek ini yang tentunya kenal dengan Melly. Dan mungkin mereka baru melihat perutku yang mulai membuncit karena memang selama ini aku jarang sekali kelu
Bab 16. Melahirkan. Mas Pras memandangi perutku yang sudah semakin membuncit. Bibirnya tersenyum. Tampaknya dia bahagia sekali. Aku tahu kalau dia sudah tak sabar menunggu kelahiran bayi ini. Bayi berjenis kelamin laki-laki yang sangat diidamkannya. Bahkan dia sudah menyiapkan banyak nama untuk bayinya ini. Ada beberapa nama yang dicatatnya di sebuah buku. Nama-nama yang dicarinya sendiri karena aku memang sengaja tidak ingin ikut mencarikan nama. Sebab aku merasa tidak berhak untuk itu. Ini bayi Melly dan Mas Pras, bukan bayiku. Jadi aku tidak berhak untuk ikut mencarikan nama. Aku hanya memilih satu dari beberapa nama yang Mas Pras pilihkan untuk bayinya. "Ini," tunjukku pada satu nama. "Aku suka, artinya bagus." "Damar Aditya," gumam Mas Pras membaca nama itu. "Ya. Damar artinya sumber cahaya. Aditya artinya sang matahari. Semoga dia menjadi cahaya untuk kedua orangtuanya nanti." Mas Pras tertawa. "Ya, aku setuju. Semoga dia menjadi cahaya untuk kita, Mel. Ah, putraku." Mas Pr
Bab 17. Kembali. Kesadaranku kembali. Samar-samar ku dengar suara orang berbicara di dekatku. Tapi itu bukan suara Mas Pras, Bik Rum atau pun Bidan Dewi. Lantas, suara siapakah itu? Aku mencoba membuka mataku. Tapi cahaya yang masuk terasa sangat menyilaukan dan menusuk. Aku mengerang pelan sambil kembali menutup mata. Aneh. Mataku seperti tak kuat melihat cahaya. Padahal itu cuma cahaya lampu. Ya, menurutku yang tadi menyilaukan itu adalah cahaya lampu, bukan cahaya matahari. Perlahan ku coba untuk kembali membuka mata. Ku sipitkan mataku agar cahaya lampu yang menyilaukan itu tak masuk terlalu banyak. Lalu ku tahan beberapa saat sampai akhirnya aku berhasil membuka mataku secara sempurna. Ku tatap langit-langit kamar tempat ku berada. Itu bukan langit-langit kamarku. Jendela yang ada di dekatku pun bukan jendela kamarku. Otakku mulai menyadari kalau aku berada di satu tempat asing. Dimanakah aku? Aku ingat, barusan tadi aku melahirkan. Aku melahirkan seorang bayi laki-laki yan
Bab 18. Aku Tidak Gila. Polisi datang. Aku diberikan banyak pertanyaan. Ku jawab semuanya dengan jujur apa adanya. Tak ada yang ku kurangi atau ku lebihkan. Aku ingin masalah ini cepat selesai karena memang tak ada unsur kejahatan dalam kasus ini. Yang ada cuma kebodohan yang tidak bisa dimaafkan. "Jadi itukah cerita yang sebenarnya? Tapi yang mereka katakan selama ini berbeda," kata ibu yang siang ini datang ditemani oleh Bagas, sepupuku yang seusia denganku. "Mereka menutupi aib mereka, bu," sahutku tanpa emosi. "Dasar laki-laki brengsek!" geram Bagas kesal. "Nggak perlu marah, Gas. Aku udah nggak peduli sama semua itu," kataku santai. "Tapi karena dia kamu sampai berbuat nekat begitu," kata Bagas lagi, masih dengan nada geram. "Ku pikir, itu karena kebodohanku aja. Tapi aku nggak menyesal melakukan itu. Karena aku bisa bertemu dengan Mas Pras, suamiku." "Suami?" Bagas tampak bingung menatapku. Ibu mendesah. Wajahnya terlihat sedih. "Sejak siuman Alyssa selalu mengaku kalau
Bab 19. Sebuah Permintaan Maaf. "Hai, Al," sapa Rama dengan sikap kaku. Aku tak menjawab. Aku hanya menatapnya dengan pandangan dingin. "Aku senang kamu udah sadar. Berbulan-bulan kamu koma. Aku sungguh khawatir," kata Rama lagi. "Bukannya kamu berharap Aku mati?" tanyaku tanpa basa-basi. Wajah Rama tampak terkejut. "Kenapa kamu bicara seperti itu, Al?" tanyanya cepat. "Kamu pasti nggak ingin rahasia busukmu bersama Sarah diketahui oleh orang banyak, kan? Sedang rahasia kalian itu ada di tanganku. Jadi kalau aku mati, rahasia kalian itu akan tetap terjaga selamanya." "Demi tuhan aku nggak pernah berpikir seperti itu! Bahkan setiap saat aku berdoa semoga kamu bisa segera sadar dan pulih seperti semula," kata Rama cepat. "Oh ya?" ucapku sinis. "Aku nggak sejahat yang kamu pikir, Al. Aku menyesal...." Suara Rama terdengar lirih dan penuh penyesalan. "Penyesalanmu terlambat!" ketusku kesal. "Aku udah membuang waktuku sekian bulan lamanya hanya untuk terbaring di tempat ini. Dan
Bab 20. Seorang Tamu. Aku sudah diperbolehkan untuk pulang. Dokter bilang kondisiku sudah membaik. Syukurlah. Karena aku pun sudah bosan berada di rumah sakit. Setiap hari hanya berbaring, tanpa melakukan satu pun kegiatan yang berarti. Ku pikir rumah dan kamarku tentu lebih baik. Lebih memberikan hawa positif untukku. Lebih bisa membuatku merasa nyaman hingga aku bisa merasa bahagia kembali ke duniaku yang sebenarnya. Tapi ternyata, apa yang ku rasakan tak sama dengan apa yang ku bayangkan. Karena ternyata rumah dan kamarku kini terasa asing bagiku. Aku tak lupa dengan rumah ini. Dengan tiap-tiap ruangan dan segala furniturenya. Tapi entah kenapa aku merasa ini bukan tempatku. Aku seperti harus beradaptasi dengan semuanya. Padahal sejak lahir aku telah berada di rumah ini. Aku tumbuh dan menghabiskan sebagian besar waktukku di sini. Tapi sekarang aku merasa asing dan tak betah. Aku merindukan rumahku bersama Mas Pras. Aku merindukan hari-hariku di sana. Aku rindu membuat kopi pahit