Bab 16. Melahirkan. Mas Pras memandangi perutku yang sudah semakin membuncit. Bibirnya tersenyum. Tampaknya dia bahagia sekali. Aku tahu kalau dia sudah tak sabar menunggu kelahiran bayi ini. Bayi berjenis kelamin laki-laki yang sangat diidamkannya. Bahkan dia sudah menyiapkan banyak nama untuk bayinya ini. Ada beberapa nama yang dicatatnya di sebuah buku. Nama-nama yang dicarinya sendiri karena aku memang sengaja tidak ingin ikut mencarikan nama. Sebab aku merasa tidak berhak untuk itu. Ini bayi Melly dan Mas Pras, bukan bayiku. Jadi aku tidak berhak untuk ikut mencarikan nama. Aku hanya memilih satu dari beberapa nama yang Mas Pras pilihkan untuk bayinya. "Ini," tunjukku pada satu nama. "Aku suka, artinya bagus." "Damar Aditya," gumam Mas Pras membaca nama itu. "Ya. Damar artinya sumber cahaya. Aditya artinya sang matahari. Semoga dia menjadi cahaya untuk kedua orangtuanya nanti." Mas Pras tertawa. "Ya, aku setuju. Semoga dia menjadi cahaya untuk kita, Mel. Ah, putraku." Mas Pr
Bab 17. Kembali. Kesadaranku kembali. Samar-samar ku dengar suara orang berbicara di dekatku. Tapi itu bukan suara Mas Pras, Bik Rum atau pun Bidan Dewi. Lantas, suara siapakah itu? Aku mencoba membuka mataku. Tapi cahaya yang masuk terasa sangat menyilaukan dan menusuk. Aku mengerang pelan sambil kembali menutup mata. Aneh. Mataku seperti tak kuat melihat cahaya. Padahal itu cuma cahaya lampu. Ya, menurutku yang tadi menyilaukan itu adalah cahaya lampu, bukan cahaya matahari. Perlahan ku coba untuk kembali membuka mata. Ku sipitkan mataku agar cahaya lampu yang menyilaukan itu tak masuk terlalu banyak. Lalu ku tahan beberapa saat sampai akhirnya aku berhasil membuka mataku secara sempurna. Ku tatap langit-langit kamar tempat ku berada. Itu bukan langit-langit kamarku. Jendela yang ada di dekatku pun bukan jendela kamarku. Otakku mulai menyadari kalau aku berada di satu tempat asing. Dimanakah aku? Aku ingat, barusan tadi aku melahirkan. Aku melahirkan seorang bayi laki-laki yan
Bab 18. Aku Tidak Gila. Polisi datang. Aku diberikan banyak pertanyaan. Ku jawab semuanya dengan jujur apa adanya. Tak ada yang ku kurangi atau ku lebihkan. Aku ingin masalah ini cepat selesai karena memang tak ada unsur kejahatan dalam kasus ini. Yang ada cuma kebodohan yang tidak bisa dimaafkan. "Jadi itukah cerita yang sebenarnya? Tapi yang mereka katakan selama ini berbeda," kata ibu yang siang ini datang ditemani oleh Bagas, sepupuku yang seusia denganku. "Mereka menutupi aib mereka, bu," sahutku tanpa emosi. "Dasar laki-laki brengsek!" geram Bagas kesal. "Nggak perlu marah, Gas. Aku udah nggak peduli sama semua itu," kataku santai. "Tapi karena dia kamu sampai berbuat nekat begitu," kata Bagas lagi, masih dengan nada geram. "Ku pikir, itu karena kebodohanku aja. Tapi aku nggak menyesal melakukan itu. Karena aku bisa bertemu dengan Mas Pras, suamiku." "Suami?" Bagas tampak bingung menatapku. Ibu mendesah. Wajahnya terlihat sedih. "Sejak siuman Alyssa selalu mengaku kalau
Bab 19. Sebuah Permintaan Maaf. "Hai, Al," sapa Rama dengan sikap kaku. Aku tak menjawab. Aku hanya menatapnya dengan pandangan dingin. "Aku senang kamu udah sadar. Berbulan-bulan kamu koma. Aku sungguh khawatir," kata Rama lagi. "Bukannya kamu berharap Aku mati?" tanyaku tanpa basa-basi. Wajah Rama tampak terkejut. "Kenapa kamu bicara seperti itu, Al?" tanyanya cepat. "Kamu pasti nggak ingin rahasia busukmu bersama Sarah diketahui oleh orang banyak, kan? Sedang rahasia kalian itu ada di tanganku. Jadi kalau aku mati, rahasia kalian itu akan tetap terjaga selamanya." "Demi tuhan aku nggak pernah berpikir seperti itu! Bahkan setiap saat aku berdoa semoga kamu bisa segera sadar dan pulih seperti semula," kata Rama cepat. "Oh ya?" ucapku sinis. "Aku nggak sejahat yang kamu pikir, Al. Aku menyesal...." Suara Rama terdengar lirih dan penuh penyesalan. "Penyesalanmu terlambat!" ketusku kesal. "Aku udah membuang waktuku sekian bulan lamanya hanya untuk terbaring di tempat ini. Dan
Bab 20. Seorang Tamu. Aku sudah diperbolehkan untuk pulang. Dokter bilang kondisiku sudah membaik. Syukurlah. Karena aku pun sudah bosan berada di rumah sakit. Setiap hari hanya berbaring, tanpa melakukan satu pun kegiatan yang berarti. Ku pikir rumah dan kamarku tentu lebih baik. Lebih memberikan hawa positif untukku. Lebih bisa membuatku merasa nyaman hingga aku bisa merasa bahagia kembali ke duniaku yang sebenarnya. Tapi ternyata, apa yang ku rasakan tak sama dengan apa yang ku bayangkan. Karena ternyata rumah dan kamarku kini terasa asing bagiku. Aku tak lupa dengan rumah ini. Dengan tiap-tiap ruangan dan segala furniturenya. Tapi entah kenapa aku merasa ini bukan tempatku. Aku seperti harus beradaptasi dengan semuanya. Padahal sejak lahir aku telah berada di rumah ini. Aku tumbuh dan menghabiskan sebagian besar waktukku di sini. Tapi sekarang aku merasa asing dan tak betah. Aku merindukan rumahku bersama Mas Pras. Aku merindukan hari-hariku di sana. Aku rindu membuat kopi pahit
Bab 21. Laki-laki Bernama Prasetyo. Aku berlari menuju ruang tamu dan tertegun beberapa saat di sana. Seorang laki-laki berwajah tampan tampak duduk bersandar dengan santai sambil melepaskan pandangannya keluar jendela. Ketika menyadari kehadiranku, dia pun menoleh dan menegakkan posisi duduknya. Di bibirnya terbentuk sebersit senyuman untukku. Tapi aku tak membalasnya. Sebab segumpal kecewa terasa memenuhi rongga dadaku dan membuatku sulit untuk tersenyum. Ku biarkan senyumnya merekah tanpa balasan. Aku cuma berdiri diam sambil menatap wajah tampannya dengan kecewa. "Hai, kamu pasti Alyssa, kan?" sapanya ramah. Sedetik kemudian dia pun berdiri dan mengulurkan tangannya dengan sopan. Aku mengangguk dan menyambut uluran tangannya itu. "Saya Prasetyo," katanya lagi, memperkenalkan diri. Sekali lagi aku pun mengangguk. Jadi diakah Prasetyo yang Bagas bilang tadi? Tapi dia bukan Mas Pras-ku. Laki-laki berwajah tampan itu memiliki tubuh yang tidak segagah Mas Pras-ku. Meski tubuhnya s
Bab 22. Sore Itu. Tak terasa waktu terus bergulir begitu cepat. Hari berganti minggu dan minggu pun berganti bulan. Tak terhitung, entah berapakali sudah Mas Pasetyo datang ke rumah menemuiku. Tapi kami selalu menghabiskan waktu di rumah saja. Ngobrol berdua di ruang tamu karena aku selalu menolak tiap kali dia mengajakku jalan keluar. Ku pikir dia akan bosan hanya dengan ngobrol di rumah saja dan jadi enggan untuk datang lagi. Tapi ternyata dia datang dan datang lagi menemuiku. Ku akui, Mas Fandy memang benar. Mas Prasetyo temannya itu adalah seorang laki-laki yang baik dan menyenangkan. Ngobrol berdua dengannya tak pernah menimbulkan rasa bosan. Pengetahuannya yang luas membuat dia bisa mengimbangi setiap topik obrolan yang ku bahas. Tapi bagiku dia hanya sebatas teman bicara yang menyenangkan. Tak lebih. Sebab sampai hari ini dia tidak bisa menempati ruang istimewa dalam hatiku. Masih tetap tak bisa menggeser posisi Mas Pras yang teramat istimewa bagiku. "Kita jalan, yuk," aja
Bab 23. Mantan Dan Sahabat. Sarah berdiri dengan wajah yang cemberut. Dia menatap Rama, lalu menatapku dengan pandangan yang cemburu. Sementara itu wajah Rama menunjukkan rasa tak suka dengan kehadiran Sarah yang tiba-tiba di antara kami. Sarah mendekat. Aku pun berusaha untuk menyembunyikan perasaan marahku padanya. aku tak ingin ribut, apa lagi di tengah keramaian seperti ini. Akhirnya dengan sikap tenang ku tunggu dia sampai dia berdiri di hadapanku. "Sedang apa kalian berdua di sini?" tanyanya tanpa basa-basi. "Memangnya kenapa kalau kami berdua ada di sini? Ini tempat umum, kan?" jawab Rama segera. "Kalian janjian?" tanya Sarah lagi dengan nada cemburu yang terdengar jelas. Rama menggeleng. "Kami bertemu nggak sengaja di sini," jawabnya jujur. Ekspresi wajah Sarah tampak tak percaya. "Benarkah?" "Memangnya untuk apa aku bohong padamu, Sarah?" kata Rama tak suka dengan kecurigaan Sarah itu. "Ku pikir kamu ingin kembali pada Alyssa dan meninggalkan aku, Rama." Sarah berkat