Bab 30. Bertemu Lagi. "Mau kemana, Al?" tanya ibu ketika melihatku sudah berdandan rapi. "Mau jalan sama Bagas, bu," sahutku sambil mematut diri di depan cermin yang ada di ruang tengah. Ku pikir, aku harus terlihat cantik malam ini. "Jalan kemana?" tanya ibu lagi. "Ke rumah teman." "Ke rumah teman? Siapa? Setahu ibu kamu udah lama nggak berhubungan dengan teman-temanmu." "Dia teman baru, bu." "Teman baru? Dimana kamu berkenalan sama dia? Kamu kan jarang sekali keluar rumah." "Di rumah Bagas beberapa hari yang lalu." "Oh, temanya Bagas?" "Ya, teman kuliahnya." "Laki-laki?" Ibu terus memberondongku dengan pertanyaan. "Ya, laki-laki. Namanya Damar." Mendengar itu ibu pun tersenyum senang. "Ibu senang akhirnya kamu mau membuka diri untuk teman baru." "Tapi bagaimana dengan Tyo?" sambar Mas Fandy cepat. "Prasetyo atau siapa pun juga orangnya, yang penting dia bisa membuat Alyssa melupakan laki-laki khayalannya itu. Ibu benar-benar khawatir karena adikmu udah semakin berlaru
Bab 1. Luka. Aku berlari-lari kecil menuju halte bus yang ada di depan kampusku. Siang ini hujan turun membasahi sekitar. Tidak deras, tapi cukup untuk bisa membuatku basah terkena tetesannya. Ah, kenapa hujan harus turun di hari ini? Tidak bisakah ditunda sampai besok? Sebab aku dan Rama punya rencana siang ini. Kami akan merayakan hari jadi kami yang pertama. Ya, hari ini genap satu tahun aku dan Rama berpacaran. Dan kami berencana akan merayakannya berdua. Hanya sederhana saja. Pergi makan dan nonton film. Setelah itu kami akan saling memberikan kado istimewa sebagai ungkapan kasih sayang dan kebahagiaan atas kebersamaan indah kami satu tahun ini. Hm, aku tersenyum sendiri membayangkan kebahagiaan yang akan aku alami bersama Rama siang ini. Rama pasti akan bersikap romantis dan memperlakukan aku bagai seorang putri. Sebab Rama memang orang yang romantis. Dia pandai melambungkan aku dengan kata-kata yang indah dan juga selalu memanjakan aku sedemikian rupa hingga aku merasa sangat
Bab 2. Dimanakah aku? Aku terbangun, membuka mata dan mendapati diriku berada di dalam sebuah kamar yang temaram. Dengan bingung kuedarkan pandanganku ke sekeliling. Oh, ini tempat asing. Aku tak mengenal kamar ini. Aku bahkan tak mengenal bau harum sprei dari tempat tidur dimana aku terbaring saat ini. Juga hiasan-hiasan dindingnya yang berupa foto-foto, lukisan dan jam dinding. Jendela, lemari, cermin rias serta nakas, semua bukan seperti yang ada di kamarku. Dimanakah aku? Uh, seluruh badanku terasa sakit ketika aku mencoba untuk bangun. Rasanya seperti remuk! Aku pun kembali membaringkan tubuhku dan mencoba mengingat apa yang telah terjadi sebelumnya dan kenapa aku bisa sampai berada di tempat asing ini. Tapi..., aneh. Aku seperti sulit untuk mengingat. Kepalaku serasa kosong. Seperti tak ada memori yang tertinggal. Dan ketika ku paksakan untuk kembali mengingat, aku malah merasakan pusing yang teramat sangat. Apakah yang telah terjadi padaku, tuhan? Kamar siapakah ini? Kenapa
Bab 3. Seorang Pria Tampan. "Kenapa kamu malas sekali, Melly? Mestinya kamu nyalakan lampu-lampu sejak tadi," omel laki-laki tampan itu sambil melangkah masuk. Aku cuma berdiri, memperhatikannya dengan dada berdebar. Dia adalah laki-laki yang ada di dalam foto. Dia bertubuh tinggi tegap dengan dada yang bidang. Wajahnya tampan, menurutku. Hidungnya mancung. Matanya bening tapi tatapannya begitu tajam yang menyiratkan bahwa dia adalah seorang laki-laki yang tegas. Dan sungguh, kulit kecoklatannya membuat dia terlihat begitu seksi di mataku. Menurutku dia adalah seorang laki-laki yang bisa melindungi wanitanya. Aku yakin, perempuan manapun juga pasti akan merasa nyaman berada dalam peluknya. Aku terus berdiri memperhatikan. Kini laki-laki itu bertelanjang dada. Dia membuka kemejanya dan melemparnya ke dalam sebuah keranjang bambu. Mungkin itu keranjang baju kotor, pikirku. Hm, tanpa tertutup pakaian, dada bidangnya itu terlihat jauh lebih seksi. Aku suka melihatnya. Mataku seperti di
Bab 4. Bella "Kemarin kamu pasti nggak beli roti," kata Mas Pras sambil memakai kemejanya. Pagi ini dia sedang bersiap hendak berangkat kerja. Aku yang mendengar kata-katanya itu pun langsung tergagap bingung. Roti? Apakah Melly kemarin membeli roti? Aku tidak tahu. Tapi aku tidak melihat ada roti di atas meja makan semalam. Di dapur juga tidak ada. Sepertinya Melly memang tidak membeli roti kemarin. Jadi, aku pun mengangguk untuk menjawab pertanyaan Mas Pras itu. "Kenapa kamu selalu lupa membeli roti sih, Mel? Kamu kan tahu kalau aku suka sarapan roti," kata Mas Pras seperti sebuah protes. "Biar nanti aku beli," sahutku segera. Mas Pras mengancingkan rapi kemejanya, lalu berjalan menghampiri cermin. Sesaat dia mematut dirinya di sana. Merapikan pakaiannya dan menyisir rambutnya yang masih terlihat basah. Aku pun berdiri di belakangnya. Ikut bercermin dan menatap wajah Melly di sana. Melly tidak cantik, juga tidak jelek. Wajahnya biasa saja menurut penilaianku. Rambutnya dipoton
5. Suami istri? Pagi itu setelah Mas Pras berangkat kerja, aku pun segera mengobrak-abrik isi seluruh laci yang ada di kamar itu. Ku keluarkan semuanya dan periksa satu persatu. Sebagian besar isi laci itu adalah foto-foto dari pasangan Pras dan Melly dan orang-orang yang mungkin keluarga atau teman mereka. Banyak sekali momen-momen bahagia yang mereka abadikan. Ada foto-foto ulang tahun, foto pernikahan mereka dan juga pernikahan anggota keluarga yang lainnya, foto liburan, foto mesra mereka berdua di kamar ini dan foto-foto yang lainnya lagi. Rasanya terlalu banyak jika harus ku periksa satu persatu. Uh! Aku pun duduk di lantai dengan kesal. Dari sebagian foto-foto yang sudah ku periksa, belum ada satu pun petunjuk yang ku dapatkan. Tak ada satu pun wajah yang ku kenali di foto-foto itu kecuali wajah perempuan yang ku panggil bibik tadi. Yah, setidaknya aku tahu kalau mereka ada hubungan keluarga, meskipun sesungguhnya itu tidaklah berguna untukku. Sedangkan dari berkas-berkas yan
Bab 6. Serpihan Memori. Pagi itu aku terbangun dalam pelukan hangat Mas Pras. Ku kejapkan mataku dan ku coba untuk mengingat kembali peristiwa semalam. Ya, peristiwa semalam dimana aku membiarkan Mas Pras menyentuhku. Meski sesungguhnya yang dia sentuh adalah Melly, istrinya, tapi tetap saja aku merasa bersalah. Sebab yang merasakan semua itu adalah aku, bukan Melly. Aku yang merasakan indahnya. Aku yang merasakan nikmatnya. Aku yang merasakan gairahnya. Jika nanti malam, atau malam-malam berikutnya dia menginginkan itu lagi, apakah aku bisa untuk menolaknya? Bagaimana jika tidak? Bagaimana jika aku juga menginginkannya? Sebab meski salah, tapi jujur saja peristiwa semalam itu membekas indah dalam hatiku. Dan ku rasa, aku mulai merasa memiliki dia sebagai suamiku. "Jam berapa, Mel?" tanya Mas Pras yang rupanya sudah terjaga. "Udah pagi," sahutku. "Tidurlah lagi. Ini hari Minggu." "Meski hari Minggu tapi aku nggak boleh malas," katanya sambil kembali memejamkan matanya. Aku memper
Bab 7. Suami Setiaku. Aku tersadar ketika ada bau yang menyengat menusuk hidungku. Perlahan ku buka mataku dan ku lihat Mas Pras yang sedang duduk di sampingku. Wajahnya tampak cemas. Dia memegang botol minyak angin sambil terus menatapku. Oh, rupanya bau minyak angin itulah yang barusan menusuk hidungku hingga membuatku tersadar dari pingsanku. "Syukurlah kamu udah sadar, Mel. Aku cemas sekali sejak tadi," kata Mas Pras sambil membelai lembut pipiku. Aku mengernyit menahan rasa sakit di kepalaku. Ingatan tentang kejadian barusan terasa masuk dan berjejal di kepala hingga aku merasa sangat pening. Aku ingat, aku baru saja memergoki Mas Pras yang sedang berpelukan dengan Bella, perempuan penggoda yang tinggal di sebelah rumah. Dan seketika itu juga rasa cemburuku kembali memenuhi rongga dada. Aku marah dan menepiskan tangannya perlahan. "Jangan begitu, Mel. Kamu salah paham. Dengarkan dulu penjelasanku," kata Mas Pras bernada memohon. Aku menggeleng, lalu mengaduh pelan. Kepalaku