Bab 6. Serpihan Memori.
Pagi itu aku terbangun dalam pelukan hangat Mas Pras. Ku kejapkan mataku dan ku coba untuk mengingat kembali peristiwa semalam. Ya, peristiwa semalam dimana aku membiarkan Mas Pras menyentuhku. Meski sesungguhnya yang dia sentuh adalah Melly, istrinya, tapi tetap saja aku merasa bersalah. Sebab yang merasakan semua itu adalah aku, bukan Melly. Aku yang merasakan indahnya. Aku yang merasakan nikmatnya. Aku yang merasakan gairahnya. Jika nanti malam, atau malam-malam berikutnya dia menginginkan itu lagi, apakah aku bisa untuk menolaknya? Bagaimana jika tidak? Bagaimana jika aku juga menginginkannya? Sebab meski salah, tapi jujur saja peristiwa semalam itu membekas indah dalam hatiku. Dan ku rasa, aku mulai merasa memiliki dia sebagai suamiku."Jam berapa, Mel?" tanya Mas Pras yang rupanya sudah terjaga."Udah pagi," sahutku. "Tidurlah lagi. Ini hari Minggu.""Meski hari Minggu tapi aku nggak boleh malas," katanya sambil kembali memejamkan matanya.Aku memperhatikan, lalu tersenyum. Tidak boleh malas tapi dia tidur lagi. Dengarlah, suara dengkurannya terdengar lembut. Mungkin dia masih mengantuk. Biarkan saja dia terlelap sebentar lagi. Aku tidak tega membangunkannya.Akhirnya aku bangun dengan perlahan. Ku rapikan lagi selimutnya yang tersingkap. Kasihan, nanti dia kedinginan. Lalu setelah itu aku pun pergi mandi dan bersiap untuk kembali menjalani aktivitasku sebagai seorang ibu rumah tangga.Aku turun ke lantai bawah, hendak mengambil sapu tapi tak jadi. Lantai masih bersih. Rasanya tidak perlu dibersihkan lagi. Mungkin sebaiknya aku cuci piring saja. Sebab di dapur ada sedikit piring kotor bekas makan semalam. Akhirnya aku pun sibuk berkutat di dapur. Ku cuci piring dan perabot kotor yang ada di sana. Setelah itu ku rapikan sampah dan ku buang keluar. Kemudian ku siapkan roti tawar yang ku beli kemarin di atas meja makan. Tak lupa ku letakan juga beberapa botol selai di sana. Karena aku tak tahu selai apa yang Mas Pras suka, akhirnya ku beli beberapa jenis selai untuknya. Biarlah dia yang memilihnya sendiri nanti.Setelah selesai dengan urusan dapur, aku pun kembali mencari-cari pekerjaan apa yang sekiranya harus ku lakukan. Ah, rasanya aku belum membersihkan halaman dari kemarin. Aku pun bergegas keluar dan mulai membersihkan pekarangan dari daun-daun kering yang berserakan. Lalu ku siram pohon-pohon bunga dan ku rapikan pot-pot bunga itu agar terlihat lebih rapi. Hm, cantik. Pekarangan kecil ini sudah tampak lebih rapi sekarang."Mel!" Terdengar suara panggilan Mas Pras dari dalam."Ya," sahutku sambil bergegas masuk.Rupanya Mas Pras sudah mandi. Dia duduk di ruang makan sambil memperhatikan botol-botol selai yang ku susun rapi di sana."Buatkan aku kopi," pintanya tanpa melepaskan pandangannya dari botol-botol selai itu.Tanpa banyak bicara aku pun segera ke dapur untuk membuatkannya kopi."Kenapa banyak sekali selai, Mel?" tanya Mas Pras ketika aku sedang mengaduk kopi.Aku tak segera menjawab. Ku selesaikan adukan kopiku, lalu ku bawa cangkir kopi itu padanya. "Ya, biar mas nggak bosan jadi ku beli beberapa jenis selai," kataku sambil duduk di hadapannya.Mendengar kata-kataku, kening Mas Pras pun berkerut. "Tapi aku nggak suka makan roti pakai selai, Mel," katanya hingga membuatku melongo terkejut."Jadi?" tanyaku bingung."Masa kamu lupa? Pakai margarin dan telur, seperti biasanya," jawabnya juga dengan wajah bingung.Huh? Dengan margarin dan telur? Jadi selai-selai itu siapa yang harus memakannya?"Kenapa dari kemarin kamu seperti lupa tentang banyak hal? Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?"Aku cepat menggeleng. "Nggak ada. Mungkin aku cuma kelelahan aja.""Sikapmu jadi aneh. Aku seperti berhadapan dengan orang lain," keluhnya sambil menatapku.Aku mencoba untuk tersenyum menanggapi kata-katanya itu. "Aku Melly, istrimu, mas. Memangnya siapa aku?" selorohku."Hm, ku pikir kamu mulai pikun," katanya menyahuti. "Sekarang tolong buatkan aku roti. Jangan sampai salah lagi," lanjutnya kemudian.Aku bergegas ke dapur untuk menggoreng telur. Tapi sedetik kemudian kembali terdengar suara Mas Pras memanggilku."Mel, kenapa kopinya kamu beri gula?"Huh? Salah lagi? Apa kopinya tidak boleh pakai gula? Duh, kenapa dia punya kebiasaan yang berbeda dari orang-orang pada umumnya? Kalau begini, aku akan mengalami banyak kesulitan. Semakin banyak aku melakukan kesalahan, maka akan semakin banyak tampak keanehan pada diri Melly, istrinya."Apa nggak boleh pakai gula?" tanyaku menghampiri."Memangnya sejak kapan aku suka kopi manis?""Hah? Nggak pakai gula sama sekali?"Mas Pras menghela napas dengan kesal. "Kopi pahit, Mel. Seperti biasanya."Aku pun segera membawa cangkir kopi itu ke dapur. Lalu kubuatkan lagi kopi yang baru. Kali ini tanpa gula sama sekali seperti yang dia minta. Aneh sekali! Apa enaknya minum kopi tanpa gula?Sambil berharap agar tak melakukan kesalahan lagi, ku letakan kopi dan roti itu di hadapan Mas Pras. Ternyata dia menikmatinya tanpa komentar apa-apa lagi. Aku pun menarik napas lega."Mas mau makan apa hari ini?" tanyaku setelah Mas Pras menyelesaikan sarapannya."Apa pun yang kamu masak aku suka," sahutnyaAku mengangguk. Oke, kamu membuatku bingung lagi, mas. Kenapa tidak kamu sebutkan saja menu masakan apa yang kamu mau, biar aku tidak melakukan kesalahan lagi? Bagaimana jika yang ku masak nanti ternyata makanan yang tidak kamu suka?"Sup ayam?" tanyaku."Ya," jawabnya."Tempe goreng?" tanyaku lagi."Boleh," angguknya."Telur dadar?"Mas Pras pun mengangkat wajahnya dan menatapku dengan kesal. "Kenapa kamu bawel sekali, Mel? Masak aja apa yang kamu mau masak. Kan, aku udah bilang kalau aku pasti suka."Aku tersenyum. Biarlah dia kesal karena kebawelanku. Yang penting aku tidak salah lagi nanti. Karena setidaknya sekarang aku tahu kalau dia suka dengan sayur dan lauk-pauk yang ku sebutkan tadi."Aku mau pergi belanja sekarang," kataku pamit."Ya," sahutnya.Bergegas aku pun keluar dan berjalan menuju warung sayur yang kemarin. Syukurlah tak perlu pergi jauh jika ingin berbelanja segala keperluan sehari-hari. Cukup berjalan kaki keluar komplek, aku sudah bisa berbelanja segala keperluan di sana. Hm, tapi rasanya kikuk juga berada di tengah ibu-ibu yang memenuhi warung sayur itu. Aku tak terbiasa melakukannya. Apa lagi dari semua pembeli sepertinya cuma aku saja yang kebingungan karena tak tahu bumbu apa saja yang kubutuhkan.Seorang ibu berdiri di sampingku. Kusenyumi dia untuk kemudian kutanyakan bumbu apa saja yang kuperlukan untuk memasak sup ayam dan tempe goreng. Semula wajahnya tampak sedikit bingung. Tapi kemudian dia membantuku dengan memberitahukan semua bumbu yang kuperlukan. Bahkan dia juga mengajariku bagaimana cara memasaknya. Aku tersenyum senang dan mengucapkan terima kasih padanya. Lalu kembali berjalan pulang dengan santai.Ketika sampai, ku dapati rumah dalam keadaan kosong. Padahal pintu depan dalam keadaan terbuka. Kemana Mas Pras? Rasanya tidak mungkin jika dia kembali masuk ke kamar. Tapi tak kutemukan dia dimanapun. Akhirnya ku taruh belanjaanku dan kulangkahkan kakiku menaiki tangga. Meski tak yakin Mas Pras berada di kamar, tapi tetap saja aku penasaran ingin mencarinya ke sana. Dan ternyata, benar. Kamar itu kosong. Mas Pras tidak ada di sana. Lantas, kemana dia?Aku pun kembali ke lantai bawah. Sekali lagi ku cari dia ke semua ruangan. Tapi tetap tidak ada. Aneh, pikirku. Kalau dia mau pergi keluar rumah, kenapa pintu depan dibiarkannya dalam keadaan terbuka? Seharusnya dia tutup dulu sebelum pergi. Kalau terbuka begini kan bisa mengundang pencuri masuk.Masih dengan rasa penasaran, kulangkahkan kembali kakiku keluar. Sepi. Bahkan di jalanan hanya terlihat beberapa anak kecil yang sedang bermain dan orang-orang berolahraga yang melintas saja. Selain itu tak ada."Cari siapa, Tante Mel? Cari Om Pras, ya?" tanya seorang bocah laki-laki yang tiba-tiba saja sudah berdiri di dekatku.Aku mengangguk. "Kamu lihat kemana Om Pras pergi?" tanyaku segera.Bocah laki-laki itu pun mengangguk. "Ke rumah Tante Bella," jawabnya seraya menunjuk ke arah rumah sebelah.Seketika aku menoleh ke arah yang ditunjuk oleh bocah laki-laki itu. Huh? Ke rumah perempuan penggoda itu? Tapi untuk apa? Untuk apa Mas Pras pergi ke sana? Apakah dia mulai tergoda?Kemudian, tanpa lupa mengucapkan terima kasih pada bocah tersebut, bergegas kulangkahkan kakiku ke sana. Kebetulan pintu pagarnya terbuka. Mungkin bekas Mas Pras masuk tadi. Lalu tanpa menimbulkan suara, aku mengendap menuju pintu depan yang juga dalam keadaan terbuka. Hm, tapi sepi. Tidak ada Mas Pras atau pun Bella di sana. Dimana mereka? Hatiku mulai dipenuhi rasa curiga.Tiba-tiba dari dalam rumah terdengar suara erangan perempuan. Oh, siapa itu? Bella? Aku pun semakin curiga. Dan tanpa berpikir panjang lagi segera aku masuk ke dalam dan menuju asal suara tadi. Ternyata, satu pemandangan tak menyenangkan ku temui. Aku melihat Mas Pras dan Bella sedang berpelukan di depan pintu kamar. Bella tampak merangkul pundak Mas Pras, sementara Mas Pras memeluk pinggang Bella. Oh, darahku serasa langsung naik ke kepala. Aku marah! Aku cemburu! Aku tak suka dia melakukan itu meskipun sesungguhnya dia bukanlah suamiku."Mas!" seruku marah.Mereka terkejut mendengar suaraku. Keduanya pun kompak menoleh. Bella menatapku, tapi tak melepaskan tangannya dari pundak Mas Pras. Agaknya perempuan itu sengaja ingin membakar cemburuku. Dia bergayut manja sembari menyandarkan kepalanya di dada Mas Pras.Darahku serasa menggelegak. Aku ingin menjerit. Aku ingin marah. Tapi aku tak melakukannya. Aku malah pergi berlari pulang dan meninggalkan mereka berdua di sana.Aku terus berlari masuk ke rumah dan menaiki tangga menuju kamar. Dadaku sesak. Kuhempaskan tubuhku di atas tempat tidur dan ku tumpahkan tangisku di sana. Oh, aku cemburu. Benar-benar cemburu!Tak lama ku dengar suara langkah kaki yang mendekat. Rupanya Mas Pras mengejarku. Dia pun naik ke atas tempat tidur dan duduk di sampingku yang sedang terbaring sambil menangis."Mel, kamu salah paham. Kejadiannya nggak seperti yang kamu bayangkan," kata Mas Pras membujukku.Aku tak menyahut. Rasa cemburu yang terlalu membuatku tak bisa bicara. Aku pun terus menangis sambil memejamkan mataku. Oh, kenapa ini? Kenapa aku cemburu seperti ini? Hatiku sakit. Terasa perih sekali. Kemudian perlahan aku merasa kepalaku pening dan berputar. Ada suara dengungan hebat yang memenuhi rongga kepalaku hingga aku seperti tak bisa mendengar suara dari luar. Tapi tiba-tiba aku seperti mengingat sesuatu. Sesuatu yang menyakitkan, sama seperti ini. Sebuah pengkhianatan. Sebuah kekecewaan. Sebuah luka.Satu memori kembali. Aku ingat satu kenyataan pahit yang pernah kualami sebelum ini. Tentang kekasih, sahabat dan pengkhianatan. Rupanya rasa cemburu ini menarik satu ingatan dengan luka yang sama. Memang bukan sebuah ingatan yang jelas. Hanya berupa potongan-potongan gambar seperti di dalam mimpi. Tapi cukuplah bagiku untuk menyadari kalau aku pernah punya luka yang sama dulu. Luka yang digoreskan oleh seseorang yang kucintai. Dan sebuah nama pun kembali terngiang di kepalaku. Rama.Aku semakin tenggelam dalam tangisku. Hatiku berulangkali menjerit memekikkan amarah. Rama, tega kamu sakiti aku...! Terima kasih atas pengkhianatan kalian!Jeritan itu terus menggema dalam hatiku. Laki-laki bernama Rama itu telah mengkhianatiku. Dan aku ingat, dia adalah kekasihku! Kekasihku yang telah berkhianat dengan sahabatku! Sakit! Aku merasakan hatiku teramat sakit!Setelah itu aku pun pingsan.Bab 7. Suami Setiaku. Aku tersadar ketika ada bau yang menyengat menusuk hidungku. Perlahan ku buka mataku dan ku lihat Mas Pras yang sedang duduk di sampingku. Wajahnya tampak cemas. Dia memegang botol minyak angin sambil terus menatapku. Oh, rupanya bau minyak angin itulah yang barusan menusuk hidungku hingga membuatku tersadar dari pingsanku. "Syukurlah kamu udah sadar, Mel. Aku cemas sekali sejak tadi," kata Mas Pras sambil membelai lembut pipiku. Aku mengernyit menahan rasa sakit di kepalaku. Ingatan tentang kejadian barusan terasa masuk dan berjejal di kepala hingga aku merasa sangat pening. Aku ingat, aku baru saja memergoki Mas Pras yang sedang berpelukan dengan Bella, perempuan penggoda yang tinggal di sebelah rumah. Dan seketika itu juga rasa cemburuku kembali memenuhi rongga dada. Aku marah dan menepiskan tangannya perlahan. "Jangan begitu, Mel. Kamu salah paham. Dengarkan dulu penjelasanku," kata Mas Pras bernada memohon. Aku menggeleng, lalu mengaduh pelan. Kepalaku
Bab 8. Gosip. "Selamat pagi, Mel. Rajin sekali kamu," sapa seorang perempuan yang tiba-tiba saja sudah berdiri di depan pintu pagar. Aku menoleh pada perempuan itu, lalu tersenyum. Pagi ini aku sedang menyiram tanaman dan membersihkan halaman. Mas Pras baru saja berangkat kerja. Dan seperti hari-hari kemarin, aku pun langsung menyibukan diri dengan pekerjaan rumah. "Biar segar," kataku menyahuti kata-kata perempuan itu. Aku sengaja tidak menambahkan satu panggilan untuknya. Memangnya aku harus memanggil dia dengan sebutan apa? Mbak? Adik? Atau aku terbiasa memanggil nama saja padanya? Aku takut salah lagi seperti kemarin ketika aku bertemu dengan bibik pertamakali. Karena itulah kali ini aku lebih berhati-hati. Perempuan itu melangkah masuk, lalu duduk di kursi yang ada di teras. Hm, dari sikapnya sepertinya dia sudah cukup akrab dengan Melly. Mungkin temannya, pikirku. Berarti aku harus lebih berhati-hati lagi supaya dia tidak sampai melihat perbedaan dalam diri Melly. Aku tidak
Bab 9. Sebuah Perkelahian. Beberapa hari berlalu. Gosip itu ternyata belum mereda juga. Sepertinya ada sekelompok orang ibu yang tidak rela jika aku memiliki seorang suami yang setia. Karena itulah mereka terus menggosok dan menggosok lagi gosip murahan itu hingga terus menjadi hangat untuk diperbincangkan. Aneh, pikirku. Tidak adakah kegiatan lain yang lebih bermanfaat yang bisa mereka lakukan selain bergosip? Mas Pras bilang, cuma orang yang hidupnya tidak bahagia sajalah yang suka mengurusi hidup orang lain. Hm, mungkin itu benar. Mungkin karena mereka tidak bahagia makanya mereka tidak rela jika ada orang lain yang bahagia hingga mereka berusaha untuk mengorek-ngorek kekurangannya supaya bisa mereka jatuhkan. Jahat. Sebetulnya aku merasa terganggu juga dengan gosip yang terus beredar itu. Rasanya aku ingin mencaci mereka yang bermulut tajam itu agar mereka berhenti melakukannya. Apalagi setiapkali bertemu, mereka senang sekali menyindir aku dengan kata-kata yang bikin panas hat
Bab 10. Tamu Tak Diundang. "Halo, Mel. Apa kabar?" sapa laki-laki itu sambil tersenyum. "Baik," sahutku seraya bertanya-tanya siapakah gerangan laki-laki itu. Dia mengenalku, tapi aku tidak tahu siapa dia. "Maaf aku datang nggak kasih kabar terlebih dulu. Rencananya dadakan. Aku butuh tempat tinggal yang dekat dengan kantorku yang baru. Dan berhubung aku belum dapat kontrakan, jadinya aku memutuskan untuk tinggal di sini sementara waktu. Boleh, kan?" Laki-laki itu menatapku dan Mas Pras bergantian. Aku cuma bisa bengong, tak tahu harus menjawab apa. Tinggal di sini? Tapi tidakkah aku akan merasa risih dengan kehadirannya? Sebab dia cuma orang asing buatku. Aku tidak mengenalnya. Aku tak tahu apa hubungannya denganku dan juga Mas Pras. Tapi dari sikapnya ku rasa dia cukup akrab dengan kami. "Kantor yang baru? Jadi kamu keluar lagi dari pekerjaanmu yang dulu?" tanya Mas Pras sedikit terkejut. "Ya, aku udah berhenti dari sana," sahutnya santai. "Kenapa ganti-ganti pekerjaan terus
Bab 11. Mantan Kekasih. Aku menatap Bimo lekat-lekat. Untuk beberapa saat aku tak bisa berkata-kata. Mantan kekasih? Menyerahkan kesucian padanya? Ah, Melly..., apa yang telah kamu lakukan? Terlalu bodohkah kamu sebagai perempuan? Benarkah Mas Pras bukan laki-laki pertama untukmu? Aku kini tak tahu harus berbuat apa. Mengusir Bimo begitu saja rasanya tak mungkin. Tapi membiarkannya tetap di sini, itu sama saja dengan membuka pintu bagi orang ketiga untuk menghancurkan keutuhan rumah tangga Melly dan Mas Pras. Sungguh kamu menempatkan aku dalam posisi yang sulit, Melly. "Semua itu masa lalu. Jadi jangan diungkit lagi," kataku akhirnya. "Tapi aku nggak bisa lupain semuanya," sahut Bimo menatapku. "Aku istri Mas Pras sekarang." "Ah." Bimo mendesah pelan, lalu mengusap wajahnya dengan galau. "Semua memang salahku. Aku yang telah membuatmu pergi meninggalkan aku." Aku diam dan menyimak keluhannya itu. Ku pikir, biarlah dia sendiri yang bercerita tanpa aku harus memancingnya terlebih
Bab 12. Bella Dan Bimo. Hari-hari berlalu. Aku selalu menjauh dari Bimo sebisa mungkin. Jujur saja, hidupku jadi terasa tak nyaman karenanya. Rasanya seperti main petak umpet. Aku bersembunyi saat dia mendekat dan aku keluar bebas ketika dia menjauh. Aku tak tahu apakah Mas Pras tahu tentang semua ini. Tapi yang ku lihat dia bersikap biasa saja seolah dia tak menyadari kalau sekarang aku sering bersembunyi di dalam kamar saat Bimo sedang berada di rumah. Atau sesungguhnya dia menyadari itu? Hanya saja dia tidak mau membuatnya menjadi satu masalah yang besar di antara kami. Aku ingin bertanya, tapi aku takut nanti akan menimbulkan masalah. Jadi, jika Mas Pras menganggap semuanya baik-baik saja, ya sudah biarkanlah. Aku hanya berharap semoga Bimo cepat pergi dan tak lagi mengganggu hidupku seperti ini. Lain dengan Bimo, lain pula dengan Bella. Jika Bimo menggangguku dengan rayuannya, maka Bella menggangguku dengan mulut usilnya. Perempuan satu itu sepertinya tidak pernah jenuh untuk
Bab 13. Hamil. Aku terbangun di pagi ini dengan keadaan yang tidak biasa. Perutku terasa kembung dan mual sekali. Kepalaku juga terasa sakit dan badanku lemas tak bertenaga. Beberapakali aku harus berlari ke kamar mandi karena ingin muntah. Tapi tak ada yang keluar hingga perutku serasa diaduk-aduk. Kenapa ini? Apakah aku sakit? Mas Pras yang melihatku bolak-balik ke kamar mandi pun langsung cemas menatapku. Dia menghampiriku dan memeriksa keningku. Tidak hangat, karena aku memang tidak demam. Aku hanya merasa mual dan ingin muntah. Mungkin masuk angin, tebakku. "Kamu sakit, Mel?" tanya Mas Pras dengan wajah cemas. "Perutku mual. Mungkin masuk angin," sahutku lirih. "Mau aku panggilkan bibik? Biar badanmu dipijat pakai minyak angin. Kalau udah dipijat bibik kan biasanya kamu sembuh," kata Mas Pras menawarkan. Aku mengangguk. Meski belum pernah dipijat sebelumnya, tapi tak apalah, yang penting aku sembuh. Aku tak tahan jika harus merasakan mual ini. Rasanya benar-benar menyiksa.
Bab 14. Ngidam. "Mas Pras dimana, sih?" tanyaku sambil terus berbaring dan menutup wajahku dengan selimut. "Di sini, Sayang. Aku mau mandi dulu," sahut Mas Pras yang ternyata berada tak jauh dariku. "Jangan mandi!" pintaku seraya membuka selimut yang menutupi wajah. Mas Pras pun menoleh dan menatapku dengan bingung. "Jangan mandi? Tapi kenapa aku nggak boleh mandi? Ini udah siang loh, Mel. Udah jam sembilan. Aku belum mandi dari pagi." "Pokoknya jangan mandi!" Aku terus berkeras melarang. "Badanku bau keringat," kata Mas Pras lagi. "Biarin, nggak apa-apa. Aku suka bau keringat Mas Pras. Aku nggak suka kalau Mas Pras wangi!" kataku merengek. "Huh?" Mas Pras menghampiriku, lalu duduk di tepi tempat tidur. "Kamu nggak suka kalau aku wangi?" tanyanya bingung. Aku mengangguk. Entah kenapa sekarang-sekarang ini aku suka sekali mencium aroma tubuh Mas Pras. Bau keringatnya membuatku merasa nyaman. Entahlah, mungkin ini bawaan ngidamku. Tapi yang pasti sekarang aku suka sekali memben
Bab 30. Bertemu Lagi. "Mau kemana, Al?" tanya ibu ketika melihatku sudah berdandan rapi. "Mau jalan sama Bagas, bu," sahutku sambil mematut diri di depan cermin yang ada di ruang tengah. Ku pikir, aku harus terlihat cantik malam ini. "Jalan kemana?" tanya ibu lagi. "Ke rumah teman." "Ke rumah teman? Siapa? Setahu ibu kamu udah lama nggak berhubungan dengan teman-temanmu." "Dia teman baru, bu." "Teman baru? Dimana kamu berkenalan sama dia? Kamu kan jarang sekali keluar rumah." "Di rumah Bagas beberapa hari yang lalu." "Oh, temanya Bagas?" "Ya, teman kuliahnya." "Laki-laki?" Ibu terus memberondongku dengan pertanyaan. "Ya, laki-laki. Namanya Damar." Mendengar itu ibu pun tersenyum senang. "Ibu senang akhirnya kamu mau membuka diri untuk teman baru." "Tapi bagaimana dengan Tyo?" sambar Mas Fandy cepat. "Prasetyo atau siapa pun juga orangnya, yang penting dia bisa membuat Alyssa melupakan laki-laki khayalannya itu. Ibu benar-benar khawatir karena adikmu udah semakin berlaru
Bab 29. Kejutan. Bagas membawaku masuk ke rumahnya. Diajaknya aku duduk di ruang tamu. Sementara itu temannya yang tadi ikut memegangiku kini duduk di dekatku dengan wajah yang bingung. Sepertinya dia belum pernah melihat perempuan yang mengamuk seperti aku barusan. Sesungguhnya aku pun belum pernah melakukan itu sebelumnya. Kecuali saat aku menghajar Bella di kehidupanku yang lain kemarin. Tapi semua bukan aku yang memulainya. Dulu Bella yang memancing emosiku dengan kata-katanya. Sekarang juga Sarah yang memulai duluan, yang juga memancing emosiku dengan kata-katanya. Kenapa perempuan senang sekali memancing emosi seseorang dengan mulut mereka yang tajam? "Ada apa sih, Al? Kenapa kamu berkelahi seperti itu? Kalian memperebutkan Rama?" tanya Bagas sambil meletakkan segelas air putih di hadapanku. "Memperebutkan Rama? Kamu pikir aku udah gila?" bantahku cepat. "Jadi apa dong yang menyebabkan kamu sampai mengamuk seperti barusan? Untung aja ibumu dan Mas Fandy nggak dengar keributa
Bab 28. Jangan Ganggu Aku! Aku menangis tersedu ketika telah berada di dalam mobil Rama. Sedih dan putus asa menyelimutiku saat ini. Aku merasa tak lagi punya harapan. Pertemuan barusan tak seindah dalam bayangan. Seharusnya pertemuan itu bisa membuatku bahagia. Sebab dia yang selama ini cuma mimpi ternyata bisa ku jumpai di alam nyata. Aku bisa menatapnya. Aku bisa bicara dengannya. Tapi setelah itu, apa? tidak ada! Dia malah menganggapku mempermainkannya lalu pergi begitu saja. Sekarang semuanya di mulai lagi dari nol. Aku tak tahu lagi tentang keberadaannya dan tak tahu harus bicara apa jika satu hari nanti berjumpa lagi dengannya. Ku yakin dia telah menganggapku gila. Sebab penjelasanku barusan pasti terdengar sangat aneh di telinganya. Masih maukah dia bicara denganku? Masih maukah dia mendengarkan penjelasanku? Sungguh aku merasa hancur kini. Benar-benar hancur! "Apa yang kamu lakukan tadi, Al?" tanya Rama ketika kami telah berada di jalan raya. "Aku telah kehilangan dia," l
Bab 27. Dia Yang Ku Cari. Aku menatapnya dengan berjuta perasaan. Rasanya seperti mimpi melihat dia ada di hadapanku sepert ini. Sungguh aku ingin menangis karena bahagia hingga untuk beberapa saat lamanya aku tak sanggup berkata-kata. Sementara itu dia pun tak mengucap sepatah kata untukku. Sepertinya dia merasa bingung melihat tingkahku ini. Biarlah, aku bisa maklumi itu. Tentu saja dia merasa bingung karena bertemu dengan gadis yang tidak dia kenal yang bertingkah aneh seperti aku. "Saya senang sekali akhirnya kita bisa bertemu lagi, mas," kataku setelah beberapa saat lamanya hanya bisa berdiri menatapnya. "Maksudnya?" tanya Mas Pras dengan wajah yang semakin bingung. "Saya...." "Duduklah dulu. Jangan berdiri terus seperti itu," pinta Mas Pras sambil menunjuk bangku yang ada di depannya. Aku pun segera duduk. Sementara Rama yang tak mengerti dengan apa yang ku lakukan ikut duduk di samping. Dia tak bicara. Hanya diam dan memperhatikan dengan wajah yang bingung. "Kalian ini s
Bab 26. Sebuah Pertemuan. Hari-hari berikutnya berlalu dalam keresahan. Aku berusaha menguatkan hati untuk memberikan sebuah penolakan pada pernyataan cinta Mas Tyo. Laki-laki itu pasti kecewa. Hatinya pasti terluka. Tapi tak ada yang bisa aku lakukan untuk menghibur hatinya. Ku pikir inilah kenyataan yang harus bisa dia terima. Bukankah apa yang kita inginkan belum tentu bisa kita miliki? Seperti aku yang sangat ingin memiliki Mas Pras, tapi sampai sekarang dia hanya sebatas mimpi. Bagaimanakah reaksi ibu dan Mas Fandy jika mereka tahu kalau aku telah menolak cinta dari Mas Tyo? Akan marahkah mereka? Atau hanya sebatas kecewa tanpa menyalahkan aku yang telah mengambil keputusan yang tidak sesuai dengan keinginan mereka? Hm, tapi aku seorang perempuan dewasa sekarang. Segala keputusan tentang hidupku ada di tanganku. Mereka hanya boleh memberi saran. Tapi tak boleh mendikte keputusan apa yang harus ku ambil untuk hidupku dan juga masa depanku. Apalagi ini masalah cinta. Urusan hati
Bab 25. Sebuah Cinta. Rintik hujan jatuh menimpa kuncup-kuncup bunga hingga ranting-rantingnya bergoyang-goyang bagai meliukkan sebuah tarian yang indah. Suara gemuruh guntur sesekali terdengar di kejauhan. Bergetar mendekat, lalu menghilang. Langit bagai mengeluh. Seperti lelah menaungi bumi yang memiliki banyak kisah. Mungkin salah satunya adalah kisahku. Kisah sedih dan kecewa yang tak bisa ku bagi pada siapa pun. Kenapa malam ini harus turun hujan, tuhan? Sedangkan ini adalah malam terakhir aku bisa mencari dia di sana. Besok pusat jajanan itu akan tutup. Harus menunggu hingga bulan depan untuk bisa kembali mencarinya di sana. Tapi apakah dia akan ada? Bagaimana jika bulan depan dia telah pindah jauh ke satu kota? Hatiku tak bisa tenang hanya karena satu kalimat yang mengatakan 'jodoh tak kan lari kemana'. Ya, jodoh memang tak kan lari kemana. Tapi bagaimana jika ternyata dia bukan jodohku? Dia akan lari ke dalam pelukan perempuan lain dan membiarkanku yang tenggelam dalam rindu
Bab 24. Hampa. Keesokan paginya segera kuceritakan pada Bagas tentang laki-laki yang ku lihat semalam. Bagas serius mendengarkan, lalu mengeleng pelan saat aku selesai bercerita. "Tapi itu nggak mungkin, Al. Pasti dia cuma seseorang yang mirip dengan laki-laki dalam mimpimu itu," sanggah Bagas menentangku. "Nggak, Gas! Itu beneran dia!" Aku sedikit ngotot pada Bagas. "Al, kamu melihat dia di malam hari dan dalam jarak yang lumayan jauh. Dan wajahnya pun jauh lebih tua dari Mas Pras-mu itu, kan? Jadi bagaimana kamu bisa yakin kalau laki-laki itu adalah dia? Lagi pula percayalah kalau Mas Pras-mu itu nggak ada, Al! Tolong, kembalilah pada kenyataan." Bagas masih tak peraya dan seperti biasa memintaku untuk percaya kalau sesungguhnya Mas Pras itu tidak ada. Aku menggeleng, kukuh pada pendirianku. "Aku yakin kalau itu benar dia. Meski dalam jarak yang cukup jauh, aku bisa mengenalinya, Gas. Sebab dia suamiku! Jadi aku nggak mungkin salah mengenali suamiku sendiri!" Bagas menghela na
Bab 23. Mantan Dan Sahabat. Sarah berdiri dengan wajah yang cemberut. Dia menatap Rama, lalu menatapku dengan pandangan yang cemburu. Sementara itu wajah Rama menunjukkan rasa tak suka dengan kehadiran Sarah yang tiba-tiba di antara kami. Sarah mendekat. Aku pun berusaha untuk menyembunyikan perasaan marahku padanya. aku tak ingin ribut, apa lagi di tengah keramaian seperti ini. Akhirnya dengan sikap tenang ku tunggu dia sampai dia berdiri di hadapanku. "Sedang apa kalian berdua di sini?" tanyanya tanpa basa-basi. "Memangnya kenapa kalau kami berdua ada di sini? Ini tempat umum, kan?" jawab Rama segera. "Kalian janjian?" tanya Sarah lagi dengan nada cemburu yang terdengar jelas. Rama menggeleng. "Kami bertemu nggak sengaja di sini," jawabnya jujur. Ekspresi wajah Sarah tampak tak percaya. "Benarkah?" "Memangnya untuk apa aku bohong padamu, Sarah?" kata Rama tak suka dengan kecurigaan Sarah itu. "Ku pikir kamu ingin kembali pada Alyssa dan meninggalkan aku, Rama." Sarah berkat
Bab 22. Sore Itu. Tak terasa waktu terus bergulir begitu cepat. Hari berganti minggu dan minggu pun berganti bulan. Tak terhitung, entah berapakali sudah Mas Pasetyo datang ke rumah menemuiku. Tapi kami selalu menghabiskan waktu di rumah saja. Ngobrol berdua di ruang tamu karena aku selalu menolak tiap kali dia mengajakku jalan keluar. Ku pikir dia akan bosan hanya dengan ngobrol di rumah saja dan jadi enggan untuk datang lagi. Tapi ternyata dia datang dan datang lagi menemuiku. Ku akui, Mas Fandy memang benar. Mas Prasetyo temannya itu adalah seorang laki-laki yang baik dan menyenangkan. Ngobrol berdua dengannya tak pernah menimbulkan rasa bosan. Pengetahuannya yang luas membuat dia bisa mengimbangi setiap topik obrolan yang ku bahas. Tapi bagiku dia hanya sebatas teman bicara yang menyenangkan. Tak lebih. Sebab sampai hari ini dia tidak bisa menempati ruang istimewa dalam hatiku. Masih tetap tak bisa menggeser posisi Mas Pras yang teramat istimewa bagiku. "Kita jalan, yuk," aja