Bab 7. Suami Setiaku.
Aku tersadar ketika ada bau yang menyengat menusuk hidungku. Perlahan ku buka mataku dan ku lihat Mas Pras yang sedang duduk di sampingku. Wajahnya tampak cemas. Dia memegang botol minyak angin sambil terus menatapku. Oh, rupanya bau minyak angin itulah yang barusan menusuk hidungku hingga membuatku tersadar dari pingsanku."Syukurlah kamu udah sadar, Mel. Aku cemas sekali sejak tadi," kata Mas Pras sambil membelai lembut pipiku.Aku mengernyit menahan rasa sakit di kepalaku. Ingatan tentang kejadian barusan terasa masuk dan berjejal di kepala hingga aku merasa sangat pening. Aku ingat, aku baru saja memergoki Mas Pras yang sedang berpelukan dengan Bella, perempuan penggoda yang tinggal di sebelah rumah. Dan seketika itu juga rasa cemburuku kembali memenuhi rongga dada. Aku marah dan menepiskan tangannya perlahan."Jangan begitu, Mel. Kamu salah paham. Dengarkan dulu penjelasanku," kata Mas Pras bernada memohon.Aku menggeleng, lalu mengaduh pelan. Kepalaku rasanya seperti mau pecah. Kupegangi Kepalaku sambil berharap semoga sakitnya segera hilang. Aku harus bisa menenangkan diriku. Aku tak mau jika sampai jatuh sakit karena kejadian ini."Kepalamu sakit, Mel? Biar ku pijit pakai minyak angin, ya?" kata Mas Pras cemas.Sekali lagi aku menggeleng. "Yang sakit hatiku, mas," sahutku pelan."Jangan begitu, sayang. Biar ku jelaskan dulu apa yang sebenarnya terjadi. Semua nggak seperti yang kamu bayangkan," bujuk Mas Pras lembut."Mas masuk ke rumahnya dan memeluk dia," kataku kesal.Sesungguhnya aku tak tahu, Pantaskah aku untuk cemburu? Sebab cemburu ini murni dari hatiku. Bukan karena aku sedang berperan sebagai Melly, istrinya. Aku benar-benar tak rela melihat dia disentuh oleh perempuan lain seperti itu. Hatiku sakit seolah-olah dia adalah milikku yang tak boleh disentuh oleh siapa pun selain aku."Tadi aku sedang duduk di teras menunggu kamu pulang. Tapi tiba-tiba aja aku dengar Bella menjerit di dalam rumahnya. Aku sontak berlari menghampiri. Ternyata Bella jatuh terpeleset dan kakinya terkilir. Karena itulah aku menolongnya berdiri dan membawanya ke kamar supaya dia bisa beristirahat. Demi tuhan, Mel, itulah yang sesungguhnya terjadi tadi." Mas Pras menjelaskan meski aku tak memintanya.Benarkah seperti itu? Tapi hatiku masih tetap cemburu. Dan aku masih tetap kesal mengingat kejadian tadi."Kamu tahu, Mel? Sejak aku jatuh cinta sama kamu, aku nggak pernah lagi menginginkan perempuan lain selain kamu," kata Mas Pras lagi hingga aku menoleh padanya dengan perasaan berdebar."Tapi Bella cantik," sahutku memancing.Mas Pras menggeleng. "Secantik apa pun perempuan diluar sana, tapi di mataku tetap kamu yang paling cantik.""Jangan merayuku seperti itu," kataku menutupi debaran hatiku."Aku bicara jujur dari hatiku. Kamu adalah perempuan paling cantik yang ku nikahi untuk kujadikan teman hidupku selamanya."Kata-kata itu indah dan membuatku bahagia. Tapi aku tetap mencari kejujuran lewat matanya. Adakah dia berdusta? Ah, sepertinya aku melihat kejujuran terpancar di sana. Aku bisa melihat semua itu lewat mata beningnya yang menatapku dengan lembut. Amarahku pun perlahan mereda. Kini yang ada hanyalah rasa sayang dan cinta yang memenuhi hatiku dengan indah."Dengar," kata Mas Pras kemudian. "Aku bisa aja selingkuh dengan banyak perempuan diluar sana. Tapi aku nggak mau. Aku nggak pernah melakukan itu. Kamu tahu kenapa? Karena aku udah berjanji sama diriku sendiri untuk selalu setia sama kamu, istriku."Senyumku mengembang mendengar kata-katanya itu. Dengan segera ku peluk dia dengan erat. Sungguh aku semakin jatuh cinta padanya. Ku rasa, aku ingin memiliki dia dalam kehidupanku yang nyata. Aku ingin dia mencintaiku sebagai Alyssa, bukan Melly. Berdosakah aku dengan keinginanku itu?"Sekarang hapus air matamu. Percayalah kalau aku nggak akan pernah mengkhianati kamu," kata Mas Pras sambil menghapus air mataku dengan jemari tangannya."Aku benar-benar cemburu melihat mas bersama Bella tadi," ucapku manja."Nggak usah cemburu. Aku cuma menolongnya, nggak lebih dari itu. Sekarang sebaiknya kamu istirahat, tenangin diri kamu. Aku benar-benar khawatir melihatmu pingsan tadi.""Tapi aku belum masak," kataku teringat pada belanjaanku."Biar aku yang memasak," sahut Mas Pras cepat."Mas bisa?" tanyaku ragu."Jangan diragukan lagi. Suamimu ini bisa segalanya, Mel," jawabnya seraya tersenyum lebar.Aku tertawa mendengar candanya. Dia pun mengecup pipiku dan beranjak turun dari tempat tidur. Ku pandangi dia yang melangkah keluar kamar dan meninggalkan aku sendirian di sini. Ah, alangkah bahagianya jika aku menjadi Melly. Sungguh dia seorang perempuan yang beruntung. Tidak seperti aku yang dikhianati dan tersakiti.Ya, aku ingat, di kehidupanku yang dulu aku telah dikhianati oleh kekasihku. Aku ingat, aku berdiri di depan pintu dan melihat kekasihku sedang bersama sahabatku. Lalu aku menangis. Lalu.... Ah, aku tak ingat lagi apa yang aku lakukan setelah itu. Terlalu samar ingatan itu muncul di kepalaku. Seperti potongan mimpi yang tak jelas, aku tak bisa mengingat kejadian itu secara utuh.Lama aku mencoba untuk mengingat kejadian itu. Aku ingin tahu apakah yang aku lakukan setelah aku mengetahui tentang pengkhianatan mereka padaku. Marahkah aku? Mengamuk membabi butakah aku? Atau, aku cuma menangis seperti yang barusan aku lakukan? Ah, kenapa aku tak bisa mengingatnya? Tolonglah, tuhan. Kembalikanlah ingatanku agar aku bisa tahu dengan jelas seperti apa kehidupanku yang dulu."Mel." Suara panggilan Mas Pras membuyarkan konsentrasiku. Aku pun menoleh ke arah pintu dimana wajah Mas Pras menyembul dan tersenyum manis padaku."Makan, yuk!" ajaknya."Udah matang masakannya?" tanyaku segera.Mas Pras mengangguk dan melangkah pelan menghampiriku. "Semua udah rapi tersaji di atas meja untukmu. Pokoknya dijamin enak," jawabnya penuh percaya diri."Nggak seperti masakanku, ya? Rasanya selalu nggak karuan," kataku malu."Ah, siapa bilang? Aku jatuh cinta sama kamu karena masakanmu, kok," kata Mas Pras sambil duduk di tepi tempat tidur."Sungguh?" tanyaku tak percaya.Mas Pras pun tertawa dan membawaku ke dalam pelukannya. "Aku jatuh cinta pada semua yang ada sama kamu, Mel. Termasuk pada masakanmu yang istimewa.""Ngeledek!" seruku manja."Serius!" ucapnya."Tapi masakanku nggak istimewa.""Ya istimewa, dong. Kan, dimasak pakai cinta."Aku pun tertawa bahagia mendengar kata-katanya itu. Ku peluk dia erat-erat dan ku sandarkan kepalaku di pundaknya. Ah, alangkah damainya. Sungguh aku ingin merasakan damai ini selamanya."Sayang, nanti makanannya keburu dingin," bisiknya di telingaku. "Sekarang kita makan dulu. Habis itu baru aku peluk kamu sampai sore.""Hanya sampai sore?""Ya, karena kita harus mandi dulu dan makan malam."Aku pun terkikik lucu mendengar jawabannya. "Yuk, kita makan sekarang," ajakku kemudian.Di ruang makan aku dibuat terkejut oleh masakan Mas Pras yang lezat sempurna. Sungguh bertolak belakang dengan hasil masakanku yang kemarin. Aku pun segera menyantapnya dengan nikmat."Mel," panggil Mas Pras hingga aku menoleh padanya dan menghentikan makanku."Huh? Ada apa, mas?""Nggak ada apa-apa. Aku cuma mau tanya.""Tanya apa?""Bulan depan kan kamu ulang tahun, kalau kali ini kita rayakan berdua aja, gimana? Cuma kamu sama aku. Kamu mau?"Aku pun melongo. Bulan depan? Ulang tahun? Ya, ampun! Kenapa aku bisa lupa? Bukankah aku sudah melihat data pribadi Melly kemarin? Kenapa aku bisa lupa kalau hari ulang tahunnya sudah begitu dekat?"Ah, aku lupa. Mungkin karena aku takut mengingat umurku yang semakin tua," sahutku sekenanya."Hei, kamu belum tua, Sayang. Tahun ini kamu baru dua puluh enam tahun. Masih terlalu muda untuk merasa tua.""Dua puluh enam tahun. Ya, memang belum tua." Tawaku pun berderai."Kalau kamu yang baru dua puluh enam tahun merasa udah tua, berarti aku beneran udah tua, dong? Karena umurku tiga puluh tahun, tahun ini."Aku tersenyum. Ah, pasangan muda yang serasi. Andai saja lahir seorang anak dalam pernikahan mereka ini, maka kebahagiaan mereka pasti akan terasa sempurna.Ups, anak? Tidak. Tidak selagi aku masih berada di dalam tubuh Melly. Karena tidak mungkin aku yang merasakan mengandung dan melahirkan anak untuk mereka."Mel," panggil Mas Pras lagi."Ya, ada apa lagi, mas? Tentang ulang tahunku? Ya, aku setuju kalau tahun ini kita merayakannya berdua aja. Lebih romantis, kan?" sahutku segera."Bukan tentang itu.""Lalu tentang apa?"Mas Pras pun tersenyum menatapku. "Bagaimana kalau tahun ini kita punya momongan?"Huh?! Hampir saja aku tersedak mendengar kata-katanya. "Anak?" tanyaku terkejut. Aneh, dia seperti terhubung dengan pikiranku!Mas Pras mengangguk dengan semangat."Tapi anak itu rezeki dari tuhan, mas. Kita nggak bisa mengatur kapan rezeki itu datang," kataku cepat."Ya, aku tahu itu. Tapi kan kalau kita lebih rajin lagi membuatnya, kemungkinan besar kamu bisa cepat hamil, Mel."Huh? Dia mengajakku rajin buat anak? Tidak salahkah pendengaranku?Aku tak bisa menjawabnya. Aku cuma bisa tersenyum, lalu kembali melanjutkan makanku.Bab 8. Gosip. "Selamat pagi, Mel. Rajin sekali kamu," sapa seorang perempuan yang tiba-tiba saja sudah berdiri di depan pintu pagar. Aku menoleh pada perempuan itu, lalu tersenyum. Pagi ini aku sedang menyiram tanaman dan membersihkan halaman. Mas Pras baru saja berangkat kerja. Dan seperti hari-hari kemarin, aku pun langsung menyibukan diri dengan pekerjaan rumah. "Biar segar," kataku menyahuti kata-kata perempuan itu. Aku sengaja tidak menambahkan satu panggilan untuknya. Memangnya aku harus memanggil dia dengan sebutan apa? Mbak? Adik? Atau aku terbiasa memanggil nama saja padanya? Aku takut salah lagi seperti kemarin ketika aku bertemu dengan bibik pertamakali. Karena itulah kali ini aku lebih berhati-hati. Perempuan itu melangkah masuk, lalu duduk di kursi yang ada di teras. Hm, dari sikapnya sepertinya dia sudah cukup akrab dengan Melly. Mungkin temannya, pikirku. Berarti aku harus lebih berhati-hati lagi supaya dia tidak sampai melihat perbedaan dalam diri Melly. Aku tidak
Bab 9. Sebuah Perkelahian. Beberapa hari berlalu. Gosip itu ternyata belum mereda juga. Sepertinya ada sekelompok orang ibu yang tidak rela jika aku memiliki seorang suami yang setia. Karena itulah mereka terus menggosok dan menggosok lagi gosip murahan itu hingga terus menjadi hangat untuk diperbincangkan. Aneh, pikirku. Tidak adakah kegiatan lain yang lebih bermanfaat yang bisa mereka lakukan selain bergosip? Mas Pras bilang, cuma orang yang hidupnya tidak bahagia sajalah yang suka mengurusi hidup orang lain. Hm, mungkin itu benar. Mungkin karena mereka tidak bahagia makanya mereka tidak rela jika ada orang lain yang bahagia hingga mereka berusaha untuk mengorek-ngorek kekurangannya supaya bisa mereka jatuhkan. Jahat. Sebetulnya aku merasa terganggu juga dengan gosip yang terus beredar itu. Rasanya aku ingin mencaci mereka yang bermulut tajam itu agar mereka berhenti melakukannya. Apalagi setiapkali bertemu, mereka senang sekali menyindir aku dengan kata-kata yang bikin panas hat
Bab 10. Tamu Tak Diundang. "Halo, Mel. Apa kabar?" sapa laki-laki itu sambil tersenyum. "Baik," sahutku seraya bertanya-tanya siapakah gerangan laki-laki itu. Dia mengenalku, tapi aku tidak tahu siapa dia. "Maaf aku datang nggak kasih kabar terlebih dulu. Rencananya dadakan. Aku butuh tempat tinggal yang dekat dengan kantorku yang baru. Dan berhubung aku belum dapat kontrakan, jadinya aku memutuskan untuk tinggal di sini sementara waktu. Boleh, kan?" Laki-laki itu menatapku dan Mas Pras bergantian. Aku cuma bisa bengong, tak tahu harus menjawab apa. Tinggal di sini? Tapi tidakkah aku akan merasa risih dengan kehadirannya? Sebab dia cuma orang asing buatku. Aku tidak mengenalnya. Aku tak tahu apa hubungannya denganku dan juga Mas Pras. Tapi dari sikapnya ku rasa dia cukup akrab dengan kami. "Kantor yang baru? Jadi kamu keluar lagi dari pekerjaanmu yang dulu?" tanya Mas Pras sedikit terkejut. "Ya, aku udah berhenti dari sana," sahutnya santai. "Kenapa ganti-ganti pekerjaan terus
Bab 11. Mantan Kekasih. Aku menatap Bimo lekat-lekat. Untuk beberapa saat aku tak bisa berkata-kata. Mantan kekasih? Menyerahkan kesucian padanya? Ah, Melly..., apa yang telah kamu lakukan? Terlalu bodohkah kamu sebagai perempuan? Benarkah Mas Pras bukan laki-laki pertama untukmu? Aku kini tak tahu harus berbuat apa. Mengusir Bimo begitu saja rasanya tak mungkin. Tapi membiarkannya tetap di sini, itu sama saja dengan membuka pintu bagi orang ketiga untuk menghancurkan keutuhan rumah tangga Melly dan Mas Pras. Sungguh kamu menempatkan aku dalam posisi yang sulit, Melly. "Semua itu masa lalu. Jadi jangan diungkit lagi," kataku akhirnya. "Tapi aku nggak bisa lupain semuanya," sahut Bimo menatapku. "Aku istri Mas Pras sekarang." "Ah." Bimo mendesah pelan, lalu mengusap wajahnya dengan galau. "Semua memang salahku. Aku yang telah membuatmu pergi meninggalkan aku." Aku diam dan menyimak keluhannya itu. Ku pikir, biarlah dia sendiri yang bercerita tanpa aku harus memancingnya terlebih
Bab 12. Bella Dan Bimo. Hari-hari berlalu. Aku selalu menjauh dari Bimo sebisa mungkin. Jujur saja, hidupku jadi terasa tak nyaman karenanya. Rasanya seperti main petak umpet. Aku bersembunyi saat dia mendekat dan aku keluar bebas ketika dia menjauh. Aku tak tahu apakah Mas Pras tahu tentang semua ini. Tapi yang ku lihat dia bersikap biasa saja seolah dia tak menyadari kalau sekarang aku sering bersembunyi di dalam kamar saat Bimo sedang berada di rumah. Atau sesungguhnya dia menyadari itu? Hanya saja dia tidak mau membuatnya menjadi satu masalah yang besar di antara kami. Aku ingin bertanya, tapi aku takut nanti akan menimbulkan masalah. Jadi, jika Mas Pras menganggap semuanya baik-baik saja, ya sudah biarkanlah. Aku hanya berharap semoga Bimo cepat pergi dan tak lagi mengganggu hidupku seperti ini. Lain dengan Bimo, lain pula dengan Bella. Jika Bimo menggangguku dengan rayuannya, maka Bella menggangguku dengan mulut usilnya. Perempuan satu itu sepertinya tidak pernah jenuh untuk
Bab 13. Hamil. Aku terbangun di pagi ini dengan keadaan yang tidak biasa. Perutku terasa kembung dan mual sekali. Kepalaku juga terasa sakit dan badanku lemas tak bertenaga. Beberapakali aku harus berlari ke kamar mandi karena ingin muntah. Tapi tak ada yang keluar hingga perutku serasa diaduk-aduk. Kenapa ini? Apakah aku sakit? Mas Pras yang melihatku bolak-balik ke kamar mandi pun langsung cemas menatapku. Dia menghampiriku dan memeriksa keningku. Tidak hangat, karena aku memang tidak demam. Aku hanya merasa mual dan ingin muntah. Mungkin masuk angin, tebakku. "Kamu sakit, Mel?" tanya Mas Pras dengan wajah cemas. "Perutku mual. Mungkin masuk angin," sahutku lirih. "Mau aku panggilkan bibik? Biar badanmu dipijat pakai minyak angin. Kalau udah dipijat bibik kan biasanya kamu sembuh," kata Mas Pras menawarkan. Aku mengangguk. Meski belum pernah dipijat sebelumnya, tapi tak apalah, yang penting aku sembuh. Aku tak tahan jika harus merasakan mual ini. Rasanya benar-benar menyiksa.
Bab 14. Ngidam. "Mas Pras dimana, sih?" tanyaku sambil terus berbaring dan menutup wajahku dengan selimut. "Di sini, Sayang. Aku mau mandi dulu," sahut Mas Pras yang ternyata berada tak jauh dariku. "Jangan mandi!" pintaku seraya membuka selimut yang menutupi wajah. Mas Pras pun menoleh dan menatapku dengan bingung. "Jangan mandi? Tapi kenapa aku nggak boleh mandi? Ini udah siang loh, Mel. Udah jam sembilan. Aku belum mandi dari pagi." "Pokoknya jangan mandi!" Aku terus berkeras melarang. "Badanku bau keringat," kata Mas Pras lagi. "Biarin, nggak apa-apa. Aku suka bau keringat Mas Pras. Aku nggak suka kalau Mas Pras wangi!" kataku merengek. "Huh?" Mas Pras menghampiriku, lalu duduk di tepi tempat tidur. "Kamu nggak suka kalau aku wangi?" tanyanya bingung. Aku mengangguk. Entah kenapa sekarang-sekarang ini aku suka sekali mencium aroma tubuh Mas Pras. Bau keringatnya membuatku merasa nyaman. Entahlah, mungkin ini bawaan ngidamku. Tapi yang pasti sekarang aku suka sekali memben
Bab 15. Gosip Baru. Aku sedang duduk sendirian di ruang tamu ketika seorang tukang rujak keliling melintas di depan rumah. Aku pun segera keluar untuk membelinya. Kebetulan sekali Aku memang sedang ingin makan rujak. Perutku belum bisa menerima makanan lain selain buah-buahan. Sebetulnya sedikit-sedikit sudah bisa ku isi dengan bubur atau sayuran bening. Tapi aku lebih suka makan buah-buahan saja karena rasanya lebih nyaman di perut. Sambil menunggu tukang rujak itu menyiapkan pesananku, aku berdiri bersandar di pintu pagar dan memperhatikan sekeliling. Seperti biasa suasana sekitar tampak sepi. Cuma terlihat ada tiga orang ibu-ibu yang sedang berjalan santai ke arahku. Mereka berjalan sambil ngobrol dengan pandangan mata yang sepertinya tertuju padaku. Tapi aku tak berpikiran buruk melihat semua itu. Ku pikir mungkin mereka warga komplek ini yang tentunya kenal dengan Melly. Dan mungkin mereka baru melihat perutku yang mulai membuncit karena memang selama ini aku jarang sekali kelu