Bab 4. Bella
"Kemarin kamu pasti nggak beli roti," kata Mas Pras sambil memakai kemejanya. Pagi ini dia sedang bersiap hendak berangkat kerja.Aku yang mendengar kata-katanya itu pun langsung tergagap bingung. Roti? Apakah Melly kemarin membeli roti? Aku tidak tahu. Tapi aku tidak melihat ada roti di atas meja makan semalam. Di dapur juga tidak ada. Sepertinya Melly memang tidak membeli roti kemarin. Jadi, aku pun mengangguk untuk menjawab pertanyaan Mas Pras itu."Kenapa kamu selalu lupa membeli roti sih, Mel? Kamu kan tahu kalau aku suka sarapan roti," kata Mas Pras seperti sebuah protes."Biar nanti aku beli," sahutku segera.Mas Pras mengancingkan rapi kemejanya, lalu berjalan menghampiri cermin. Sesaat dia mematut dirinya di sana. Merapikan pakaiannya dan menyisir rambutnya yang masih terlihat basah. Aku pun berdiri di belakangnya. Ikut bercermin dan menatap wajah Melly di sana.Melly tidak cantik, juga tidak jelek. Wajahnya biasa saja menurut penilaianku. Rambutnya dipotong pendek sebatas pundak. Tubuhnya kurus dengan ukuran dada yang terlihat kecil. Tapi kulitnya putih dan mulus sekali. Sepertinya kulit itu tak pernah tersentuh terik sinar matahari dan juga debu jalanan. Tak ada setitik pun noda di kulit putih cantiknya. Dia begitu mulus. Dan kulit putih mulus cantiknya itulah yang menutupi kekurangannya. Jadi meskipun dia tidak cantik dan tubuhnya kurus dengan dada yang sedikit rata, tapi dia tetap kelihatan menarik.Kira-kira berapakah usianya? Aku mencoba menebak meski tak ingin ku cari jawabannya. Entahlah, tapi yang pasti dia lebih tua dariku. Mungkin dua puluh lima, atau lebih?"Kenapa kamu ikut bercermin? Sudah mulai genit rupanya," kata Mas Pras hingga aku pun menoleh padanya."Cuma kepingin lihat wajahku aja," sahutku segera."Memangnya kenapa dengan wajahmu? Masih tetap cantik," kata Mas Pras sambil menatap wajahku lewat cermin.Aku tersenyum kecil. Amboi, jika saja pujian itu ditujukan untukku, pasti aku akan merasa bahagia sekali. Diberi pujian seperti itu oleh laki-laki setampan Mas Pras pasti akan membuatku melambung. Tapi sayangnya pujian itu dia tujukan untuk Melly, istrinya. Bukan untukku. Jadi aku tidak boleh ge-er, apa lagi sampai melambung."Mas mau sarapan apa? Sepertinya nggak ada bahan makanan di rumah," kataku mengalihkan pembicaraan karena hatiku sudah hampir menggelepar mendapat tatapan seperti itu darinya."Belikan nasi uduk aja di tempat biasa," jawabnya meminta.Aku kembali diam dan tergagap. Nasi uduk di tempat biasa? Tapi dimanakah? Aku tak mungkin bertanya dimana warung nasi uduk itu. Pastinya akan terlihat aneh jika aku menanyakan itu padanya."Nasi uduk?" kataku bingung."Iya, nasi uduk Mpok Yanah yang warungnya di kampung belakang. Kamu kan udah biasa beli ke sana," kata Mas Pras menyahuti.Warung di kampung belakang? Tapi dimana itu? Bagaimana caranya aku untuk bisa sampai ke sana? Arah jalannya pun aku tak tahu."Mel?" panggil Mas Pras karena melihatku bengong.Aku menoleh cepat padanya. "Ya?" sahutku."Kenapa bengong begitu? Apa selain lupa membeli roti, kamu juga lupa jalan menuju warung Mpok Yanah?" tanya Mas Pras dengan tatapan yang seolah merasa aneh melihat tingkahku yang seperti orang bingung."Nggak, kok. Aku nggak lupa. Aku kan belum pikun," jawabku gelagapan."Ya udah kalau begitu tunggu apa lagi? Nanti aku bisa kesiangan, Mel."Oh, aku kembali bingung. Dimanakah ku taruh dompetku? Aku kan harus membawa uang."Dompetmu ada dilaci meja," kata Mas Pras seolah tahu kebingunganku. "Jangan bilang kalau isinya udah habis karena kamu baru merampok gajiku seminggu yang lalu," lanjutnya lagi.Aku pun segera mengambil dompetku dari laci meja dan bergegas keluar untuk membeli nasi uduk. Tapi di depan pagar aku kembali bingung. Aku memperhatikan jalan dan mencoba menebak harus berjalan ke arah mana. Ke kanan atau ke kiri? Kemanakah arahnya untuk menuju kampung belakang? Jika harus bertanya, bertanya pada siapa? Pada ibu yang sedang menyapu halaman rumahnya di seberang sana, atau pada anak kecil yang sedang asyik bermain sepeda itu? Atau pada seorang ibu yang sedang berjalan pelan ke arahku?Aku masih bingung, tapi kemudian ku lihat ibu yang sedang berjalan ke arahku itu tersenyum kecil padaku. Ah, mungkin kutunggu saja dia mendekat dan kutanyakan saja padanya."Mau kemana?" tanya ibu itu mendahului. Senyuman di wajahnya tampak mengembang."Mau beli nasi uduk, bu," jawabku sopan.Mendengar jawabanku itu, tiba-tiba saja dia tertawa lepas. "Ibu? Sejak kapan kamu memanggil bibik seperti itu? Ada-ada aja kamu, Mel!""Oh." Aku ikut tertawa menimpali. Jadi aku biasa memanggil perempuan paruh baya ini dengan panggilan bibik? Oke, ini harus ku ingat biar kalau besok-besok aku bertemu lagi dengannya, aku tidak salah lagi."Yuk, bareng. Bibik juga mau beli," ajaknya.Oh, leganya aku. Setidaknya aku dapat pemandu jalan untuk ke warung Mpok Yanah tanpa harus kesasar dulu. Senangnya aku bisa terselamatkan dari tugas pertama sebagai Melly di hari ini.Aku pun berjalan pelan di samping perempuan yang biasa ku panggil bibik itu. Mau ngajak ngobrol tapi takut salah bicara. Bisa berabe kalau nanti aku membuatnya bingung dengan kata-kataku. Rasanya lebih baik diam dan tunggu biar dia saja yang mulai bicara."Bagaimana, Mel, apa Bella masih suka menggoda suamimu?" Satu pertanyaan dilontarkan perempuan itu hingga membuatku terkejut."Bella?" kataku dengan kening berkerut. Itu adalah nama yang disebut Mas Pras semalam. Ya, itu nama perempuan yang katanya sering membuatku cemburu. Hm, kebetulan sekali. Aku memang ingin tahu siapakah perempuan yang bernama Bella itu. Dan menurut cerita bibik barusan, dia adalah perempuan yang suka menggoda Mas Pras."Ya, Bella. Dia selalu mengejar Pras, kan? Sepertinya bukan cuma Pras. Tapi seluruh suami di komplek ini dia goda. Cuma memang dia penasarannya sama Pras aja. Mungkin karena cuma Pras yang nggak pernah tergoda sama rayuannya. Sedangkan suami-suami yang lain bisa langsung bertekuk lutut sama dia."Aku melongo mendengar cerita bibik tentang Bella. Jadi seperti itukah perangai perempuan itu? Wanita penggoda? Benarkah cuma Mas Pras saja yang tidak tergoda olehnya? Oh, suami yang setiakah dia?Sementara itu kami terus berjalan pelan menuju warung Mpok Yanah. Kami berbelok ke gang kecil yang ada di samping tembok rumah salah satu warga. Gang itu kecil sekali. Hanya bisa dilalui orang saja. Sedangkan kendaraan rasanya tidak ada yang bisa melewatinya. Tapi gang kecil itu ramai dilalui orang. Rupanya gang itu adalah penghubung antara komplek perumahan tempat Melly tinggal dengan kampung yang ada di belakang komplek perumahan itu. Dan di kampung itulah banyak terdapat warung-warung makanan hingga orang-orang yang tinggal di komplek banyak yang membeli ke sana."Syukurlah Mas Pras suami yang setia, bik," kataku menyahuti kata-kata bibik tadi."Ya. Tapi bagaimanapun juga kamu harus tetap waspada. Jangan lengah sedikit pun. Jangan sampai terjadi kejadian seperti di rumah tangganya Murti dulu. Suaminya terpikat pada perempuan penggoda itu sampai melupakan Murti dan anak-anaknya. Untung aja akhirnya suaminya itu bisa sadar dan kembali pada keluarganya. Coba kalau nggak? Bisa-bisa si Murti udah jadi janda sekarang. Kasihan. Mana anaknya banyak. Bisa terlantar semuanya."Aku bergidik ngeri membayangkan semua itu. Alangkah sakitnya ditinggalkan suami karena orang ketiga. Betapa perihnya dicampakkan oleh orang yang kita sayangi. Oh, aku seperti bisa merasakan sakitnya. Entah kenapa hatiku perih. Aku seperti memiliki luka perih itu di dalam hatiku."Mel, itu dia orangnya," bisik bibik ketika kami telah sampai di ujung gang hingga aku cepat melihat ke arah depan. Di sana aku melihat ada sebuah pelataran luas yang cukup bersih dan terawat. Dan di pelataran itu ada sebuah warung yang terbuat dari papan. Terlihat sangat sederhana tapi ramai pembelinya. Beberapa orang tampak sedang berbelanja di sana. Ada juga yang sedang duduk makan di kursi-kursi kayu yang disediakan. Mungkin makanan yang dijual di sana enak rasanya. Karena warung itu terlihat paling ramai dari warung-warung yang ada di sekitarnya.Di sana, di antara kerumunan orang-orang yang berbelanja, aku melihat seorang perempuan yang tampak berbeda dari yang lainnya. Perempuan itu memakai pakaian yang kelewat seksi menurutku. Dia memakai celana pendek yang kelewat pendek hingga hampir memperlihatkan bagian bawah bokongnya yang padat berisi. Kaos lengan pendek yang dipakainya pun tampak kesempitan hingga menunjukkan tiap lekukan dan tonjolan di tubuhnya. Jangankan laki-laki, aku yang perempuan saja sampai tak lepas memperhatikannya. Selain itu dia memiliki paras yang sangat cantik. Bahkan nyaris sempurna. Ku rasa perempuan itulah yang dimaksud oleh bibik barusan. Ketika kami semakin dekat, dia pun menoleh dan menatapku dengan wajah yang cemberut.Aku diam. Tapi mataku sesekali mencuri pandang ke arahnya. Jika harus bersaing secara fisik, aku pastikan Melly tak akan menang melawan dia. Dan aku sedikit ragu jika Mas Pras tidak memiliki ketertarikan sama sekali pada perempuan secantik itu. Apa lagi ketika dia berbicara suaranya terdengar begitu lembut dan manja. Benar-benar menggoda.Bella kembali menoleh padaku. Pandangannya begitu sinis ku rasa. Dan ketika dia berjalan melewatiku, dia mendengus pelan seolah dia tak suka dengan kehadiranku di sana."Untung dia cepat pulang. Bibik sebal melihatnya," bisik bibik ketika Bella telah menjauh pergi.Aku cuma mengangguk, lalu segera membeli nasi uduk dua bungkus. Satu untuk Mas Pras dan satu lagi untukku. Kalau kelamaan, nanti Mas Pras bisa terlambat. Aku pun pamit pulang lebih dulu pada bibik. Sebab bibik belum selesai berbelanja. Tak apa. Toh, aku tahu jalan pulangnya. Aku tak mungkin kesasar untuk bisa sampai ke rumah.Tak lama kemudian aku pun telah sampai kembali di rumah. Ku dapati Mas Pras yang sedang duduk di teras ditemani oleh secangkir kopi dan roti tawar yang diletakkan di atas sebuah piring. Aku pun melihat roti itu dengan perasaan bingung. Bukankah di rumah tidak ada roti? Lantas darimanakah roti itu? Apakah ada tukang roti yang lewat barusan?"Darimana roti itu, mas? Apa mas beli?" tanyaku penasaran."Diberikan tetangga sebelah tadi. Rupanya dia bisa menebak kalau kita sedang tidak punya roti karena katanya dia bertemu denganmu di warung nasi uduk Mpok Yanah," jawab Mas Pras menjelaskan.Tetangga? Tetangga yang mana? Siapa? Aku pun dibuat penasaran oleh pertanyaan-pertanyaan yang ada di kepalaku."Siapa, mas?" tanyaku kemudian."Tetangga sebelah kita. Bella. Memangnya siapa lagi tetangga sebelah yang suka memberikan makanan?" kata Mas Pras menjawab pertanyaanku hingga darahku berdesir dibuatnya.Bella? Perempuan cantik yang tadi bertemu denganku di warung Mpok Yanah? Jadi setelah pulang dari sana dia lantas memberikan roti untuk Mas Pras? Dan dia sengaja melakukannya di belakangku. Kurangajar betul dia!"Tadi dia lewat dan melihatku sedang duduk ngopi sendirian di sini. Jadi dia memberikan roti ini. Buat teman ngopi, katanya. Menurut dia, sarapan roti jauh lebih baik dari pada sepiring nasi uduk.""Jadi mas lebih memilih sarapan roti pemberiannya itu dari pada nasi uduk yang aku beli?" tanyaku kesal.Mas Pras menggeleng. "Roti itu nggak aku sentuh, kan?" jawabnya dengan sikap yang tenang."Kenapa nggak disentuh? Makan aja roti itu! Biar nasi uduk ini aku buang!" kataku kesal sambil melangkah cepat masuk ke dalam. Oh, tuhan, kenapa aku cemburu? Dan kenapa rasa cemburu itu seperti pernah aku rasakan sebelumnya?Mas Pras mengikutiku masuk ke dalam. Dia menghampiriku, lalu mengambil bungkusan nasi uduk itu dari tanganku. Dan tanpa bicara sepatah kata pun dia berjalan ke dapur untuk mengambil piring dan kemudian kembali dengan dua piring berisi nasi uduk di tangannya. Aku cuma diam memperhatikan Mas Pras meletakkan piring nasi uduk itu di atas meja."Yuk, kita sarapan," ajaknya. Dia pun menarik tanganku dan menarikkan sebuah kursi untukku. Kemudian dia mengecup keningku sebelum dia duduk di sebelahku dan menyantap sarapannya dengan nikmat.Oh, inikah yang dirasakan Melly selama ini? Cemburu. Tapi kenapa aku seperti bisa ikut merasakannya?5. Suami istri? Pagi itu setelah Mas Pras berangkat kerja, aku pun segera mengobrak-abrik isi seluruh laci yang ada di kamar itu. Ku keluarkan semuanya dan periksa satu persatu. Sebagian besar isi laci itu adalah foto-foto dari pasangan Pras dan Melly dan orang-orang yang mungkin keluarga atau teman mereka. Banyak sekali momen-momen bahagia yang mereka abadikan. Ada foto-foto ulang tahun, foto pernikahan mereka dan juga pernikahan anggota keluarga yang lainnya, foto liburan, foto mesra mereka berdua di kamar ini dan foto-foto yang lainnya lagi. Rasanya terlalu banyak jika harus ku periksa satu persatu. Uh! Aku pun duduk di lantai dengan kesal. Dari sebagian foto-foto yang sudah ku periksa, belum ada satu pun petunjuk yang ku dapatkan. Tak ada satu pun wajah yang ku kenali di foto-foto itu kecuali wajah perempuan yang ku panggil bibik tadi. Yah, setidaknya aku tahu kalau mereka ada hubungan keluarga, meskipun sesungguhnya itu tidaklah berguna untukku. Sedangkan dari berkas-berkas yan
Bab 6. Serpihan Memori. Pagi itu aku terbangun dalam pelukan hangat Mas Pras. Ku kejapkan mataku dan ku coba untuk mengingat kembali peristiwa semalam. Ya, peristiwa semalam dimana aku membiarkan Mas Pras menyentuhku. Meski sesungguhnya yang dia sentuh adalah Melly, istrinya, tapi tetap saja aku merasa bersalah. Sebab yang merasakan semua itu adalah aku, bukan Melly. Aku yang merasakan indahnya. Aku yang merasakan nikmatnya. Aku yang merasakan gairahnya. Jika nanti malam, atau malam-malam berikutnya dia menginginkan itu lagi, apakah aku bisa untuk menolaknya? Bagaimana jika tidak? Bagaimana jika aku juga menginginkannya? Sebab meski salah, tapi jujur saja peristiwa semalam itu membekas indah dalam hatiku. Dan ku rasa, aku mulai merasa memiliki dia sebagai suamiku. "Jam berapa, Mel?" tanya Mas Pras yang rupanya sudah terjaga. "Udah pagi," sahutku. "Tidurlah lagi. Ini hari Minggu." "Meski hari Minggu tapi aku nggak boleh malas," katanya sambil kembali memejamkan matanya. Aku memper
Bab 7. Suami Setiaku. Aku tersadar ketika ada bau yang menyengat menusuk hidungku. Perlahan ku buka mataku dan ku lihat Mas Pras yang sedang duduk di sampingku. Wajahnya tampak cemas. Dia memegang botol minyak angin sambil terus menatapku. Oh, rupanya bau minyak angin itulah yang barusan menusuk hidungku hingga membuatku tersadar dari pingsanku. "Syukurlah kamu udah sadar, Mel. Aku cemas sekali sejak tadi," kata Mas Pras sambil membelai lembut pipiku. Aku mengernyit menahan rasa sakit di kepalaku. Ingatan tentang kejadian barusan terasa masuk dan berjejal di kepala hingga aku merasa sangat pening. Aku ingat, aku baru saja memergoki Mas Pras yang sedang berpelukan dengan Bella, perempuan penggoda yang tinggal di sebelah rumah. Dan seketika itu juga rasa cemburuku kembali memenuhi rongga dada. Aku marah dan menepiskan tangannya perlahan. "Jangan begitu, Mel. Kamu salah paham. Dengarkan dulu penjelasanku," kata Mas Pras bernada memohon. Aku menggeleng, lalu mengaduh pelan. Kepalaku
Bab 8. Gosip. "Selamat pagi, Mel. Rajin sekali kamu," sapa seorang perempuan yang tiba-tiba saja sudah berdiri di depan pintu pagar. Aku menoleh pada perempuan itu, lalu tersenyum. Pagi ini aku sedang menyiram tanaman dan membersihkan halaman. Mas Pras baru saja berangkat kerja. Dan seperti hari-hari kemarin, aku pun langsung menyibukan diri dengan pekerjaan rumah. "Biar segar," kataku menyahuti kata-kata perempuan itu. Aku sengaja tidak menambahkan satu panggilan untuknya. Memangnya aku harus memanggil dia dengan sebutan apa? Mbak? Adik? Atau aku terbiasa memanggil nama saja padanya? Aku takut salah lagi seperti kemarin ketika aku bertemu dengan bibik pertamakali. Karena itulah kali ini aku lebih berhati-hati. Perempuan itu melangkah masuk, lalu duduk di kursi yang ada di teras. Hm, dari sikapnya sepertinya dia sudah cukup akrab dengan Melly. Mungkin temannya, pikirku. Berarti aku harus lebih berhati-hati lagi supaya dia tidak sampai melihat perbedaan dalam diri Melly. Aku tidak
Bab 9. Sebuah Perkelahian. Beberapa hari berlalu. Gosip itu ternyata belum mereda juga. Sepertinya ada sekelompok orang ibu yang tidak rela jika aku memiliki seorang suami yang setia. Karena itulah mereka terus menggosok dan menggosok lagi gosip murahan itu hingga terus menjadi hangat untuk diperbincangkan. Aneh, pikirku. Tidak adakah kegiatan lain yang lebih bermanfaat yang bisa mereka lakukan selain bergosip? Mas Pras bilang, cuma orang yang hidupnya tidak bahagia sajalah yang suka mengurusi hidup orang lain. Hm, mungkin itu benar. Mungkin karena mereka tidak bahagia makanya mereka tidak rela jika ada orang lain yang bahagia hingga mereka berusaha untuk mengorek-ngorek kekurangannya supaya bisa mereka jatuhkan. Jahat. Sebetulnya aku merasa terganggu juga dengan gosip yang terus beredar itu. Rasanya aku ingin mencaci mereka yang bermulut tajam itu agar mereka berhenti melakukannya. Apalagi setiapkali bertemu, mereka senang sekali menyindir aku dengan kata-kata yang bikin panas hat
Bab 10. Tamu Tak Diundang. "Halo, Mel. Apa kabar?" sapa laki-laki itu sambil tersenyum. "Baik," sahutku seraya bertanya-tanya siapakah gerangan laki-laki itu. Dia mengenalku, tapi aku tidak tahu siapa dia. "Maaf aku datang nggak kasih kabar terlebih dulu. Rencananya dadakan. Aku butuh tempat tinggal yang dekat dengan kantorku yang baru. Dan berhubung aku belum dapat kontrakan, jadinya aku memutuskan untuk tinggal di sini sementara waktu. Boleh, kan?" Laki-laki itu menatapku dan Mas Pras bergantian. Aku cuma bisa bengong, tak tahu harus menjawab apa. Tinggal di sini? Tapi tidakkah aku akan merasa risih dengan kehadirannya? Sebab dia cuma orang asing buatku. Aku tidak mengenalnya. Aku tak tahu apa hubungannya denganku dan juga Mas Pras. Tapi dari sikapnya ku rasa dia cukup akrab dengan kami. "Kantor yang baru? Jadi kamu keluar lagi dari pekerjaanmu yang dulu?" tanya Mas Pras sedikit terkejut. "Ya, aku udah berhenti dari sana," sahutnya santai. "Kenapa ganti-ganti pekerjaan terus
Bab 11. Mantan Kekasih. Aku menatap Bimo lekat-lekat. Untuk beberapa saat aku tak bisa berkata-kata. Mantan kekasih? Menyerahkan kesucian padanya? Ah, Melly..., apa yang telah kamu lakukan? Terlalu bodohkah kamu sebagai perempuan? Benarkah Mas Pras bukan laki-laki pertama untukmu? Aku kini tak tahu harus berbuat apa. Mengusir Bimo begitu saja rasanya tak mungkin. Tapi membiarkannya tetap di sini, itu sama saja dengan membuka pintu bagi orang ketiga untuk menghancurkan keutuhan rumah tangga Melly dan Mas Pras. Sungguh kamu menempatkan aku dalam posisi yang sulit, Melly. "Semua itu masa lalu. Jadi jangan diungkit lagi," kataku akhirnya. "Tapi aku nggak bisa lupain semuanya," sahut Bimo menatapku. "Aku istri Mas Pras sekarang." "Ah." Bimo mendesah pelan, lalu mengusap wajahnya dengan galau. "Semua memang salahku. Aku yang telah membuatmu pergi meninggalkan aku." Aku diam dan menyimak keluhannya itu. Ku pikir, biarlah dia sendiri yang bercerita tanpa aku harus memancingnya terlebih
Bab 12. Bella Dan Bimo. Hari-hari berlalu. Aku selalu menjauh dari Bimo sebisa mungkin. Jujur saja, hidupku jadi terasa tak nyaman karenanya. Rasanya seperti main petak umpet. Aku bersembunyi saat dia mendekat dan aku keluar bebas ketika dia menjauh. Aku tak tahu apakah Mas Pras tahu tentang semua ini. Tapi yang ku lihat dia bersikap biasa saja seolah dia tak menyadari kalau sekarang aku sering bersembunyi di dalam kamar saat Bimo sedang berada di rumah. Atau sesungguhnya dia menyadari itu? Hanya saja dia tidak mau membuatnya menjadi satu masalah yang besar di antara kami. Aku ingin bertanya, tapi aku takut nanti akan menimbulkan masalah. Jadi, jika Mas Pras menganggap semuanya baik-baik saja, ya sudah biarkanlah. Aku hanya berharap semoga Bimo cepat pergi dan tak lagi mengganggu hidupku seperti ini. Lain dengan Bimo, lain pula dengan Bella. Jika Bimo menggangguku dengan rayuannya, maka Bella menggangguku dengan mulut usilnya. Perempuan satu itu sepertinya tidak pernah jenuh untuk
Bab 30. Bertemu Lagi. "Mau kemana, Al?" tanya ibu ketika melihatku sudah berdandan rapi. "Mau jalan sama Bagas, bu," sahutku sambil mematut diri di depan cermin yang ada di ruang tengah. Ku pikir, aku harus terlihat cantik malam ini. "Jalan kemana?" tanya ibu lagi. "Ke rumah teman." "Ke rumah teman? Siapa? Setahu ibu kamu udah lama nggak berhubungan dengan teman-temanmu." "Dia teman baru, bu." "Teman baru? Dimana kamu berkenalan sama dia? Kamu kan jarang sekali keluar rumah." "Di rumah Bagas beberapa hari yang lalu." "Oh, temanya Bagas?" "Ya, teman kuliahnya." "Laki-laki?" Ibu terus memberondongku dengan pertanyaan. "Ya, laki-laki. Namanya Damar." Mendengar itu ibu pun tersenyum senang. "Ibu senang akhirnya kamu mau membuka diri untuk teman baru." "Tapi bagaimana dengan Tyo?" sambar Mas Fandy cepat. "Prasetyo atau siapa pun juga orangnya, yang penting dia bisa membuat Alyssa melupakan laki-laki khayalannya itu. Ibu benar-benar khawatir karena adikmu udah semakin berlaru
Bab 29. Kejutan. Bagas membawaku masuk ke rumahnya. Diajaknya aku duduk di ruang tamu. Sementara itu temannya yang tadi ikut memegangiku kini duduk di dekatku dengan wajah yang bingung. Sepertinya dia belum pernah melihat perempuan yang mengamuk seperti aku barusan. Sesungguhnya aku pun belum pernah melakukan itu sebelumnya. Kecuali saat aku menghajar Bella di kehidupanku yang lain kemarin. Tapi semua bukan aku yang memulainya. Dulu Bella yang memancing emosiku dengan kata-katanya. Sekarang juga Sarah yang memulai duluan, yang juga memancing emosiku dengan kata-katanya. Kenapa perempuan senang sekali memancing emosi seseorang dengan mulut mereka yang tajam? "Ada apa sih, Al? Kenapa kamu berkelahi seperti itu? Kalian memperebutkan Rama?" tanya Bagas sambil meletakkan segelas air putih di hadapanku. "Memperebutkan Rama? Kamu pikir aku udah gila?" bantahku cepat. "Jadi apa dong yang menyebabkan kamu sampai mengamuk seperti barusan? Untung aja ibumu dan Mas Fandy nggak dengar keributa
Bab 28. Jangan Ganggu Aku! Aku menangis tersedu ketika telah berada di dalam mobil Rama. Sedih dan putus asa menyelimutiku saat ini. Aku merasa tak lagi punya harapan. Pertemuan barusan tak seindah dalam bayangan. Seharusnya pertemuan itu bisa membuatku bahagia. Sebab dia yang selama ini cuma mimpi ternyata bisa ku jumpai di alam nyata. Aku bisa menatapnya. Aku bisa bicara dengannya. Tapi setelah itu, apa? tidak ada! Dia malah menganggapku mempermainkannya lalu pergi begitu saja. Sekarang semuanya di mulai lagi dari nol. Aku tak tahu lagi tentang keberadaannya dan tak tahu harus bicara apa jika satu hari nanti berjumpa lagi dengannya. Ku yakin dia telah menganggapku gila. Sebab penjelasanku barusan pasti terdengar sangat aneh di telinganya. Masih maukah dia bicara denganku? Masih maukah dia mendengarkan penjelasanku? Sungguh aku merasa hancur kini. Benar-benar hancur! "Apa yang kamu lakukan tadi, Al?" tanya Rama ketika kami telah berada di jalan raya. "Aku telah kehilangan dia," l
Bab 27. Dia Yang Ku Cari. Aku menatapnya dengan berjuta perasaan. Rasanya seperti mimpi melihat dia ada di hadapanku sepert ini. Sungguh aku ingin menangis karena bahagia hingga untuk beberapa saat lamanya aku tak sanggup berkata-kata. Sementara itu dia pun tak mengucap sepatah kata untukku. Sepertinya dia merasa bingung melihat tingkahku ini. Biarlah, aku bisa maklumi itu. Tentu saja dia merasa bingung karena bertemu dengan gadis yang tidak dia kenal yang bertingkah aneh seperti aku. "Saya senang sekali akhirnya kita bisa bertemu lagi, mas," kataku setelah beberapa saat lamanya hanya bisa berdiri menatapnya. "Maksudnya?" tanya Mas Pras dengan wajah yang semakin bingung. "Saya...." "Duduklah dulu. Jangan berdiri terus seperti itu," pinta Mas Pras sambil menunjuk bangku yang ada di depannya. Aku pun segera duduk. Sementara Rama yang tak mengerti dengan apa yang ku lakukan ikut duduk di samping. Dia tak bicara. Hanya diam dan memperhatikan dengan wajah yang bingung. "Kalian ini s
Bab 26. Sebuah Pertemuan. Hari-hari berikutnya berlalu dalam keresahan. Aku berusaha menguatkan hati untuk memberikan sebuah penolakan pada pernyataan cinta Mas Tyo. Laki-laki itu pasti kecewa. Hatinya pasti terluka. Tapi tak ada yang bisa aku lakukan untuk menghibur hatinya. Ku pikir inilah kenyataan yang harus bisa dia terima. Bukankah apa yang kita inginkan belum tentu bisa kita miliki? Seperti aku yang sangat ingin memiliki Mas Pras, tapi sampai sekarang dia hanya sebatas mimpi. Bagaimanakah reaksi ibu dan Mas Fandy jika mereka tahu kalau aku telah menolak cinta dari Mas Tyo? Akan marahkah mereka? Atau hanya sebatas kecewa tanpa menyalahkan aku yang telah mengambil keputusan yang tidak sesuai dengan keinginan mereka? Hm, tapi aku seorang perempuan dewasa sekarang. Segala keputusan tentang hidupku ada di tanganku. Mereka hanya boleh memberi saran. Tapi tak boleh mendikte keputusan apa yang harus ku ambil untuk hidupku dan juga masa depanku. Apalagi ini masalah cinta. Urusan hati
Bab 25. Sebuah Cinta. Rintik hujan jatuh menimpa kuncup-kuncup bunga hingga ranting-rantingnya bergoyang-goyang bagai meliukkan sebuah tarian yang indah. Suara gemuruh guntur sesekali terdengar di kejauhan. Bergetar mendekat, lalu menghilang. Langit bagai mengeluh. Seperti lelah menaungi bumi yang memiliki banyak kisah. Mungkin salah satunya adalah kisahku. Kisah sedih dan kecewa yang tak bisa ku bagi pada siapa pun. Kenapa malam ini harus turun hujan, tuhan? Sedangkan ini adalah malam terakhir aku bisa mencari dia di sana. Besok pusat jajanan itu akan tutup. Harus menunggu hingga bulan depan untuk bisa kembali mencarinya di sana. Tapi apakah dia akan ada? Bagaimana jika bulan depan dia telah pindah jauh ke satu kota? Hatiku tak bisa tenang hanya karena satu kalimat yang mengatakan 'jodoh tak kan lari kemana'. Ya, jodoh memang tak kan lari kemana. Tapi bagaimana jika ternyata dia bukan jodohku? Dia akan lari ke dalam pelukan perempuan lain dan membiarkanku yang tenggelam dalam rindu
Bab 24. Hampa. Keesokan paginya segera kuceritakan pada Bagas tentang laki-laki yang ku lihat semalam. Bagas serius mendengarkan, lalu mengeleng pelan saat aku selesai bercerita. "Tapi itu nggak mungkin, Al. Pasti dia cuma seseorang yang mirip dengan laki-laki dalam mimpimu itu," sanggah Bagas menentangku. "Nggak, Gas! Itu beneran dia!" Aku sedikit ngotot pada Bagas. "Al, kamu melihat dia di malam hari dan dalam jarak yang lumayan jauh. Dan wajahnya pun jauh lebih tua dari Mas Pras-mu itu, kan? Jadi bagaimana kamu bisa yakin kalau laki-laki itu adalah dia? Lagi pula percayalah kalau Mas Pras-mu itu nggak ada, Al! Tolong, kembalilah pada kenyataan." Bagas masih tak peraya dan seperti biasa memintaku untuk percaya kalau sesungguhnya Mas Pras itu tidak ada. Aku menggeleng, kukuh pada pendirianku. "Aku yakin kalau itu benar dia. Meski dalam jarak yang cukup jauh, aku bisa mengenalinya, Gas. Sebab dia suamiku! Jadi aku nggak mungkin salah mengenali suamiku sendiri!" Bagas menghela na
Bab 23. Mantan Dan Sahabat. Sarah berdiri dengan wajah yang cemberut. Dia menatap Rama, lalu menatapku dengan pandangan yang cemburu. Sementara itu wajah Rama menunjukkan rasa tak suka dengan kehadiran Sarah yang tiba-tiba di antara kami. Sarah mendekat. Aku pun berusaha untuk menyembunyikan perasaan marahku padanya. aku tak ingin ribut, apa lagi di tengah keramaian seperti ini. Akhirnya dengan sikap tenang ku tunggu dia sampai dia berdiri di hadapanku. "Sedang apa kalian berdua di sini?" tanyanya tanpa basa-basi. "Memangnya kenapa kalau kami berdua ada di sini? Ini tempat umum, kan?" jawab Rama segera. "Kalian janjian?" tanya Sarah lagi dengan nada cemburu yang terdengar jelas. Rama menggeleng. "Kami bertemu nggak sengaja di sini," jawabnya jujur. Ekspresi wajah Sarah tampak tak percaya. "Benarkah?" "Memangnya untuk apa aku bohong padamu, Sarah?" kata Rama tak suka dengan kecurigaan Sarah itu. "Ku pikir kamu ingin kembali pada Alyssa dan meninggalkan aku, Rama." Sarah berkat
Bab 22. Sore Itu. Tak terasa waktu terus bergulir begitu cepat. Hari berganti minggu dan minggu pun berganti bulan. Tak terhitung, entah berapakali sudah Mas Pasetyo datang ke rumah menemuiku. Tapi kami selalu menghabiskan waktu di rumah saja. Ngobrol berdua di ruang tamu karena aku selalu menolak tiap kali dia mengajakku jalan keluar. Ku pikir dia akan bosan hanya dengan ngobrol di rumah saja dan jadi enggan untuk datang lagi. Tapi ternyata dia datang dan datang lagi menemuiku. Ku akui, Mas Fandy memang benar. Mas Prasetyo temannya itu adalah seorang laki-laki yang baik dan menyenangkan. Ngobrol berdua dengannya tak pernah menimbulkan rasa bosan. Pengetahuannya yang luas membuat dia bisa mengimbangi setiap topik obrolan yang ku bahas. Tapi bagiku dia hanya sebatas teman bicara yang menyenangkan. Tak lebih. Sebab sampai hari ini dia tidak bisa menempati ruang istimewa dalam hatiku. Masih tetap tak bisa menggeser posisi Mas Pras yang teramat istimewa bagiku. "Kita jalan, yuk," aja