Bab 3. Seorang Pria Tampan.
"Kenapa kamu malas sekali, Melly? Mestinya kamu nyalakan lampu-lampu sejak tadi," omel laki-laki tampan itu sambil melangkah masuk.Aku cuma berdiri, memperhatikannya dengan dada berdebar. Dia adalah laki-laki yang ada di dalam foto. Dia bertubuh tinggi tegap dengan dada yang bidang. Wajahnya tampan, menurutku. Hidungnya mancung. Matanya bening tapi tatapannya begitu tajam yang menyiratkan bahwa dia adalah seorang laki-laki yang tegas. Dan sungguh, kulit kecoklatannya membuat dia terlihat begitu seksi di mataku. Menurutku dia adalah seorang laki-laki yang bisa melindungi wanitanya. Aku yakin, perempuan manapun juga pasti akan merasa nyaman berada dalam peluknya.Aku terus berdiri memperhatikan. Kini laki-laki itu bertelanjang dada. Dia membuka kemejanya dan melemparnya ke dalam sebuah keranjang bambu. Mungkin itu keranjang baju kotor, pikirku. Hm, tanpa tertutup pakaian, dada bidangnya itu terlihat jauh lebih seksi. Aku suka melihatnya. Mataku seperti dimanjakan."Lain kali kalau hari udah sore dan cuaca sedang mendung seperti ini, lampu-lampu kamu nyalakan. Biar rumah ini terang benderang, nggak gelap seperti gua!" omelannya terus berlanjut.Aku cuma mengangguk. Masih merasa bingung dengan keanehan yang terus terjadi. Belum selesai kebingunganku tentang tempat asing ini dan tubuh yang bukan tubuhku ini, kini tiba-tiba saja datang seorang laki-laki tampan yang mengakui aku sebagai istrinya. Untung saja dia tampan. Jadi aku tidak terlalu syok diakui istri olehnya. Jika saja dia seorang laki-laki dengan wujud yang menyeramkan, mungkin sekarang ini aku sudah mati berdiri karena berpikir kalau aku sudah terdampar ke alam jin."Aku mau mandi. Setelah itu siapkan makanan untukku," kata laki-laki tampan itu lagi sambil membuka kancing celananya.Aku pun sontak menundukkan wajahku. Kalau pakaian yang atas yang dia buka, aku masih bisa melihatnya. Tapi kalau pakaian bawah yang dia buka, kurasa aku tak boleh melihatnya. Tidak. Itu bukan memanjakan mata lagi namanya. Tapi nakal!"Kamu kenapa?" tanyanya bingung melihatku memalingkan muka."Nggak apa-apa," sahutku pelan."Kamu sakit?" tanya laki-laki itu lagi sambil berjalan menghampiri.Oh, tidak! Jangan mendekat! Jangan biarkan aku melihat sesuatu yang sesungguhnya ingin ku lihat. Jangan biarkan otakku menjadi nakal. Bukankah laki-laki yang mengakui aku sebagai istrinya itu, sesungguhnya bukanlah suamiku? Sebab aku bukanlah pemilik tubuh ini. Aku cuma berada di dalam tubuh istrinya. Tapi sesungguhnya aku bukanlah istrinya.Laki-laki itu semakin mendekat hingga kini dia berdiri tepat di depanku. Aku pun segera memejamkan mata. Aku takut jika sampai melihat 'miliknya' yang kini ada di hadapanku. Tapi sayangnya laki-laki itu tak segera menjauh. Dia malah meraba kening dan leherku."Nggak demam," katanya kemudian."Aku nggak sakit. Aku nggak apa-apa," kataku bergetar.Ku pikir dia akan menjauh setelah ku katakan kalau aku baik-baik saja. Tapi ternyata dia tetap berdiri di depanku. Aku jadi serba salah. Kalau ku buka mataku, aku takut nanti melihat 'itu'. Tapi kalau aku terus terpejam seperti ini, dia pasti akan bingung melihatku. Jadi aku harus bagaimana? Tidak mungkin aku memintanya untuk pergi menjauh. Sedangkan jika dia terus berdiri di depanku seperti itu, mata dan otakku bisa menjadi nakal nanti. Bahkan sangat nakal!"Melly," panggilnya kemudian."Ya, Pras?" jawabku sambil menyebut namanya."Sejak kapan kamu memanggilku seperti itu?" tanyanya dengan nada terkejut.Ups! Pertanyaan itu membuatku gelagapan. Memanggil seperti itu? Memangnya aku harus memanggil dia seperti apa? Bukankah itu namanya seperti yang tertulis di atas foto itu? Lantas, dimana letak salahnya?"Mas? Mas Pras," ucapku ragu."Nah, begitu. Sejak kita kenal dulu kamu udah panggil aku seperti itu, kan? Kenapa sekarang tiba-tiba lupa? Bahkan waktu aku sebut namamu tadi, kamu terlihat seperti orang bingung. Apa kamu juga lupa kalau namamu Melly?"Aku menggeleng dengan mata yang masih terpejam dan kepala yang menunduk."Melly," panggil Mas Pras lagi. Kali ini sambil mengangkat kepalaku perlahan hingga kini wajahku berhadapan dengan wajahnya. "Buka matamu," perintahnya kemudian.Aku menurut. Ku buka mataku hingga kini aku bisa melihat wajah tampannya dari jarak yang sangat dekat. Oh, tuhan, melihatnya dari jarak sedekat ini benar-benar membuat dadaku berdebar. Jika saja keadaannya berbeda dari apa yang sedang terjadi sekarang, pasti aku akan membuka sedikit bibirku dan berharap agar dia mengecupnya. Tapi sayang, misteri aneh yang sedang ku hadapi sekarang ini membuatku tidak bisa melakukan itu. Aku hanya terpana dalam diam sambil terus berpikir tentang bagaimana caranya agar aku bisa segera kembali ke tempat dimana seharusnya aku berada."Kenapa kamu menunduk seperti itu?" tanya Mas Pras dengan pandangan mata yang serasa menghujam jantungku. "Kamu nggak suka lihat aku?" lanjutnya lagi."Kenapa aku harus nggak suka?" Aku balik bertanya dengan dada yang berdebar."Kalau kamu memang suka, lihat aku. Aku suamimu, kan?"Huh? Melihat dia berdiri di depanku tanpa busana seperti itu? Ohho, itu tantangan yang sulit untuk ku terima. Tidak. Rasanya aku memilih tantangan yang lain saja. Lebih baik aku menyiapkan makanan saja seperti yang dia minta tadi. Meskipun aku tidak tahu harus masak apa dan bagaimana cara memasaknya. Sebab aku tidak bisa memasak. Bahkan tidak pernah memasak!"Aku akan menyiapkan makanan untuk mas," kataku mengalihkan pembicaraan.Dia masih menatapku sesaat. Kemudian mengangguk dan berjalan pelan menuju kamar mandi. Uf! Aku pun segera menarik napas lega. Untunglah dia tak memaksaku untuk melihat tubuh telanjangnya. Jika hal itu sampai terjadi, duh, aku akan merasa malu-malu mau!Sebelum dia selesai mandi, aku pun bergegas melangkah keluar dari kamar. Kamar itu berada di lantai atas. Ada tangga yang menuju ke bawah dengan deretan foto-foto di sepanjang dindingnya. Hm, lagi-lagi foto mereka berdua. Pras dan Melly. Jika melihat semua foto-foto itu, sepertinya mereka pasangan yang romantis. Tapi jika melihat sikap Mas Pras tadi, aku jadi merasa kalau apa yang ada di dalam foto itu tidaklah sama dengan kenyataannya. Tapi entahlah. Aku baru beberapa menit mengenal laki-laki itu. Rasanya terlalu dini untuk menilai. Sedangkan perempuan yang tubuhnya sedang kutempati ini, bagaimanakah sifatnya? Aku tak tahu bagaimana cara mengetahuinya. Sebab aku berada di dalam tubuhnya dan akulah yang menggerakkan dia. Bagaimana kalau suami dan orang-orang terdekatnya bisa merasakan kalau dia berbeda?Ah, biarlah. Jangan dulu ku pikirkan nasib orang lain, sedangkan nasibku sendiri sedang tak jelas seperti ini. Sekarang lebih baik ku jalani saja peranku sebagai Melly dengan baik sambil ku caritahu siapa dia sebenarnya dan bagaimana caranya aku bisa kembali pada kehidupanku yang dulu.Aku pun melangkah pelan mencari dapur. Dimanakah letak dapurnya? Ah, rupanya di sana. Dapur kecil yang tampak bersih dan rapi. Tapi, apakah yang harus ku masak? Tidak banyak bahan makanan di rumah ini. Cuma ada beberapa butir telur, bawang, cabai merah dan sedikit nasi. Jika semua bahan itu kucampur, mungkin bisa jadi makanan yang enak. Tapi bagaimana cara membuatnya?Pertama ku kupas bawang merah. Lalu ku cuci cabai merahnya dan kemudian ku iris-iris kedua bahan itu. Setelah itu ku panaskan sedikit minyak goreng. Dan ketika minyak itu telah panas, ku campurkan semua bahan dan ku aduk-aduk hingga tercampur rata. Tak lupa ku beri sedikit garam dan penyedap agar tak hambar. Kemudian ku aduk-aduk lagi sebelum akhirnya ku cicipi.Ya, ampun! Nasi goreng apa ini? Rasanya sungguh tak karuan! Jangankan Mas Pras, aku sendiri pun tak mau memakannya. Lalu sekarang apa yang harus aku katakan pada Mas Pras jika dia menanyakan makan malamnya?"Mel, mana makan malamnya?" Terdengar suara Mas Pras memanggilku dari ruang makan.Aku pun bergegas menghampiri. "Aku buatkan mas nasi goreng. Tapi....""Tapi apa?" tanya Mas Pras sambil menarik sebuah kursi lalu duduk di sana."Rasanya nggak enak," jawabku jujur."Nggak enak? Tapi sejak kita menikah dulu, rasanya belum pernah ada masakanmu yang rasanya nggak enak," kata Mas Pras hingga membuatku ciut seketika."Tapi yang ini beneran rasanya nggak enak. Mungkin sebaiknya aku belikan aja mas makanan. Nasi gorengnya biar dibuang aja."Dia menggeleng. "Mubazir. Udah terlanjur kamu masak, biar sini aku makan," pintanya.Aku berdiri ragu. Rasanya tak yakin jika dia bisa memakannya. Tapi karena dia terus menunggu, akhirnya ku ambilkan juga nasi goreng itu dan ku hidangkan di hadapannya. Setelah itu aku menunggu, ingin melihat reaksinya ketika menyantap nasi goreng buatanku itu.Yap, dia menyuap suapan pertamanya. Seketika dia terdiam dengan ekspresi wajah yang berubah. Aku pun menunggu komentar apa yang akan dia berikan. Tapi ternyata dia kembali menyuap nasi goreng itu tanpa bicara sepatah kata pun."Nggak enak, kan?" tanyaku penasaran.Dia mengangkat wajahnya dan menatapku dengan tatapan yang kaku. Jantungku bergetar. Ku pikir dia akan marah padaku."Enak," jawabnya mengejutkan. "Tapi lain kali masaknya yang lebih enak lagi. Biar aku bisa makan lebih banyak lagi."Huh? Aku cuma bisa melongo mendengar kata-katanya itu. Bagaimana mungkin laki-laki yang terkesan kaku itu bisa memuji masakanku yang rasanya tak karuan seperti itu? Ku kira dia akan marah dan menghina masakanku. Tapi diluar dugaan, dia justru memujinya."Apa ada sesuatu yang terjadi padamu hari ini, Mel?" tanyanya setelah menyelesaikan makannya."Maksud mas?" Aku balik bertanya dengan dada yang berdebar. Sepertinya dia telah merasakan perbedaan dalam diri Melly, istrinya. Semoga keadaan tidak bertambah sulit untukku."Sejak tadi sikapmu sedikit aneh. Tadi kamu memanggil namaku, sedangkan aku tahu kamu nggak pernah melakukan itu. Kamu juga nggak mau melihatku ketika kita di kamar tadi. Dan masakanmu ini rasanya sedikit berbeda dari biasanya. Apa ada sesuatu?"Aku menggeleng. "Nggak ada," jawabku berbohong."Tapi aku merasa seperti ada yang berbeda.""Itu cuma perasaan mas aja.""Benarkah begitu?""Ya," anggukku."Oh, ku pikir karena Bella.""Bella?""Ya. Kamu kan sering cemburuan sama dia. Aku kira dia mengganggumu lagi."Duh, siapa lagikah itu? Bella. Jadi Melly sering merasa cemburu padanya? Apakah yang menyebabkan Melly cemburu? Karena Bella suka mengganggu Mas Pras? Atau karena Bella adalah mantan Mas Pras? Atau..., Bella dan Mas Pras pernah melakukan sebuah perselingkuhan?"Kamu udah makan?" tanya Mas Pras sambil mengeluarkan sebatang rokok lalu menyalakannya.Aku meraba perutku yang tiba-tiba saja merasa lapar. "Belum," jawabku pelan."Mau kubelikan soto yang ada dipinggir jalan sana?"Membeli soto? Kalau mau keluar membeli soto, kenapa dia harus melahap nasi goreng buatanku yang rasanya ajaib itu?"Kalau mau membeli soto, kenapa harus makan nasi goreng yang nggak enak itu?" tanyaku penasaran."Sotonya kan buat kamu. Kalau untuk aku, cukuplah nasi goreng buatan istriku."Aku tersenyum mendengar jawabannya. Hm, sepertinya dia seorang suami yang manis. Lihatlah bagaimana dia menghargai masakanku yang rasanya luar biasa itu. Dia bisa menghabiskannya tanpa mengeluh meskipun ku tahu sesungguhnya dia tak ingin melakukan itu.Setelah itu dia pun pergi keluar untuk membeli soto. Sementara aku duduk menunggu sambil mengedarkan pandanganku ke sekeliling ruangan. Ada sebuah kalender yang menempel di dinding yang menarik perhatianku. Ku dekati kalender itu supaya bisa melihatnya lebih jelas lagi. Dan ternyata tahun yang tertulis di sana sama dengan tahun yang ada di foto itu. Berarti benar, aku berada di dua puluh tahun yang lalu dimana seharusnya aku baru dilahirkan ke dunia ini.Bab 4. Bella "Kemarin kamu pasti nggak beli roti," kata Mas Pras sambil memakai kemejanya. Pagi ini dia sedang bersiap hendak berangkat kerja. Aku yang mendengar kata-katanya itu pun langsung tergagap bingung. Roti? Apakah Melly kemarin membeli roti? Aku tidak tahu. Tapi aku tidak melihat ada roti di atas meja makan semalam. Di dapur juga tidak ada. Sepertinya Melly memang tidak membeli roti kemarin. Jadi, aku pun mengangguk untuk menjawab pertanyaan Mas Pras itu. "Kenapa kamu selalu lupa membeli roti sih, Mel? Kamu kan tahu kalau aku suka sarapan roti," kata Mas Pras seperti sebuah protes. "Biar nanti aku beli," sahutku segera. Mas Pras mengancingkan rapi kemejanya, lalu berjalan menghampiri cermin. Sesaat dia mematut dirinya di sana. Merapikan pakaiannya dan menyisir rambutnya yang masih terlihat basah. Aku pun berdiri di belakangnya. Ikut bercermin dan menatap wajah Melly di sana. Melly tidak cantik, juga tidak jelek. Wajahnya biasa saja menurut penilaianku. Rambutnya dipoton
5. Suami istri? Pagi itu setelah Mas Pras berangkat kerja, aku pun segera mengobrak-abrik isi seluruh laci yang ada di kamar itu. Ku keluarkan semuanya dan periksa satu persatu. Sebagian besar isi laci itu adalah foto-foto dari pasangan Pras dan Melly dan orang-orang yang mungkin keluarga atau teman mereka. Banyak sekali momen-momen bahagia yang mereka abadikan. Ada foto-foto ulang tahun, foto pernikahan mereka dan juga pernikahan anggota keluarga yang lainnya, foto liburan, foto mesra mereka berdua di kamar ini dan foto-foto yang lainnya lagi. Rasanya terlalu banyak jika harus ku periksa satu persatu. Uh! Aku pun duduk di lantai dengan kesal. Dari sebagian foto-foto yang sudah ku periksa, belum ada satu pun petunjuk yang ku dapatkan. Tak ada satu pun wajah yang ku kenali di foto-foto itu kecuali wajah perempuan yang ku panggil bibik tadi. Yah, setidaknya aku tahu kalau mereka ada hubungan keluarga, meskipun sesungguhnya itu tidaklah berguna untukku. Sedangkan dari berkas-berkas yan
Bab 6. Serpihan Memori. Pagi itu aku terbangun dalam pelukan hangat Mas Pras. Ku kejapkan mataku dan ku coba untuk mengingat kembali peristiwa semalam. Ya, peristiwa semalam dimana aku membiarkan Mas Pras menyentuhku. Meski sesungguhnya yang dia sentuh adalah Melly, istrinya, tapi tetap saja aku merasa bersalah. Sebab yang merasakan semua itu adalah aku, bukan Melly. Aku yang merasakan indahnya. Aku yang merasakan nikmatnya. Aku yang merasakan gairahnya. Jika nanti malam, atau malam-malam berikutnya dia menginginkan itu lagi, apakah aku bisa untuk menolaknya? Bagaimana jika tidak? Bagaimana jika aku juga menginginkannya? Sebab meski salah, tapi jujur saja peristiwa semalam itu membekas indah dalam hatiku. Dan ku rasa, aku mulai merasa memiliki dia sebagai suamiku. "Jam berapa, Mel?" tanya Mas Pras yang rupanya sudah terjaga. "Udah pagi," sahutku. "Tidurlah lagi. Ini hari Minggu." "Meski hari Minggu tapi aku nggak boleh malas," katanya sambil kembali memejamkan matanya. Aku memper
Bab 7. Suami Setiaku. Aku tersadar ketika ada bau yang menyengat menusuk hidungku. Perlahan ku buka mataku dan ku lihat Mas Pras yang sedang duduk di sampingku. Wajahnya tampak cemas. Dia memegang botol minyak angin sambil terus menatapku. Oh, rupanya bau minyak angin itulah yang barusan menusuk hidungku hingga membuatku tersadar dari pingsanku. "Syukurlah kamu udah sadar, Mel. Aku cemas sekali sejak tadi," kata Mas Pras sambil membelai lembut pipiku. Aku mengernyit menahan rasa sakit di kepalaku. Ingatan tentang kejadian barusan terasa masuk dan berjejal di kepala hingga aku merasa sangat pening. Aku ingat, aku baru saja memergoki Mas Pras yang sedang berpelukan dengan Bella, perempuan penggoda yang tinggal di sebelah rumah. Dan seketika itu juga rasa cemburuku kembali memenuhi rongga dada. Aku marah dan menepiskan tangannya perlahan. "Jangan begitu, Mel. Kamu salah paham. Dengarkan dulu penjelasanku," kata Mas Pras bernada memohon. Aku menggeleng, lalu mengaduh pelan. Kepalaku
Bab 8. Gosip. "Selamat pagi, Mel. Rajin sekali kamu," sapa seorang perempuan yang tiba-tiba saja sudah berdiri di depan pintu pagar. Aku menoleh pada perempuan itu, lalu tersenyum. Pagi ini aku sedang menyiram tanaman dan membersihkan halaman. Mas Pras baru saja berangkat kerja. Dan seperti hari-hari kemarin, aku pun langsung menyibukan diri dengan pekerjaan rumah. "Biar segar," kataku menyahuti kata-kata perempuan itu. Aku sengaja tidak menambahkan satu panggilan untuknya. Memangnya aku harus memanggil dia dengan sebutan apa? Mbak? Adik? Atau aku terbiasa memanggil nama saja padanya? Aku takut salah lagi seperti kemarin ketika aku bertemu dengan bibik pertamakali. Karena itulah kali ini aku lebih berhati-hati. Perempuan itu melangkah masuk, lalu duduk di kursi yang ada di teras. Hm, dari sikapnya sepertinya dia sudah cukup akrab dengan Melly. Mungkin temannya, pikirku. Berarti aku harus lebih berhati-hati lagi supaya dia tidak sampai melihat perbedaan dalam diri Melly. Aku tidak
Bab 9. Sebuah Perkelahian. Beberapa hari berlalu. Gosip itu ternyata belum mereda juga. Sepertinya ada sekelompok orang ibu yang tidak rela jika aku memiliki seorang suami yang setia. Karena itulah mereka terus menggosok dan menggosok lagi gosip murahan itu hingga terus menjadi hangat untuk diperbincangkan. Aneh, pikirku. Tidak adakah kegiatan lain yang lebih bermanfaat yang bisa mereka lakukan selain bergosip? Mas Pras bilang, cuma orang yang hidupnya tidak bahagia sajalah yang suka mengurusi hidup orang lain. Hm, mungkin itu benar. Mungkin karena mereka tidak bahagia makanya mereka tidak rela jika ada orang lain yang bahagia hingga mereka berusaha untuk mengorek-ngorek kekurangannya supaya bisa mereka jatuhkan. Jahat. Sebetulnya aku merasa terganggu juga dengan gosip yang terus beredar itu. Rasanya aku ingin mencaci mereka yang bermulut tajam itu agar mereka berhenti melakukannya. Apalagi setiapkali bertemu, mereka senang sekali menyindir aku dengan kata-kata yang bikin panas hat
Bab 10. Tamu Tak Diundang. "Halo, Mel. Apa kabar?" sapa laki-laki itu sambil tersenyum. "Baik," sahutku seraya bertanya-tanya siapakah gerangan laki-laki itu. Dia mengenalku, tapi aku tidak tahu siapa dia. "Maaf aku datang nggak kasih kabar terlebih dulu. Rencananya dadakan. Aku butuh tempat tinggal yang dekat dengan kantorku yang baru. Dan berhubung aku belum dapat kontrakan, jadinya aku memutuskan untuk tinggal di sini sementara waktu. Boleh, kan?" Laki-laki itu menatapku dan Mas Pras bergantian. Aku cuma bisa bengong, tak tahu harus menjawab apa. Tinggal di sini? Tapi tidakkah aku akan merasa risih dengan kehadirannya? Sebab dia cuma orang asing buatku. Aku tidak mengenalnya. Aku tak tahu apa hubungannya denganku dan juga Mas Pras. Tapi dari sikapnya ku rasa dia cukup akrab dengan kami. "Kantor yang baru? Jadi kamu keluar lagi dari pekerjaanmu yang dulu?" tanya Mas Pras sedikit terkejut. "Ya, aku udah berhenti dari sana," sahutnya santai. "Kenapa ganti-ganti pekerjaan terus
Bab 11. Mantan Kekasih. Aku menatap Bimo lekat-lekat. Untuk beberapa saat aku tak bisa berkata-kata. Mantan kekasih? Menyerahkan kesucian padanya? Ah, Melly..., apa yang telah kamu lakukan? Terlalu bodohkah kamu sebagai perempuan? Benarkah Mas Pras bukan laki-laki pertama untukmu? Aku kini tak tahu harus berbuat apa. Mengusir Bimo begitu saja rasanya tak mungkin. Tapi membiarkannya tetap di sini, itu sama saja dengan membuka pintu bagi orang ketiga untuk menghancurkan keutuhan rumah tangga Melly dan Mas Pras. Sungguh kamu menempatkan aku dalam posisi yang sulit, Melly. "Semua itu masa lalu. Jadi jangan diungkit lagi," kataku akhirnya. "Tapi aku nggak bisa lupain semuanya," sahut Bimo menatapku. "Aku istri Mas Pras sekarang." "Ah." Bimo mendesah pelan, lalu mengusap wajahnya dengan galau. "Semua memang salahku. Aku yang telah membuatmu pergi meninggalkan aku." Aku diam dan menyimak keluhannya itu. Ku pikir, biarlah dia sendiri yang bercerita tanpa aku harus memancingnya terlebih
Bab 30. Bertemu Lagi. "Mau kemana, Al?" tanya ibu ketika melihatku sudah berdandan rapi. "Mau jalan sama Bagas, bu," sahutku sambil mematut diri di depan cermin yang ada di ruang tengah. Ku pikir, aku harus terlihat cantik malam ini. "Jalan kemana?" tanya ibu lagi. "Ke rumah teman." "Ke rumah teman? Siapa? Setahu ibu kamu udah lama nggak berhubungan dengan teman-temanmu." "Dia teman baru, bu." "Teman baru? Dimana kamu berkenalan sama dia? Kamu kan jarang sekali keluar rumah." "Di rumah Bagas beberapa hari yang lalu." "Oh, temanya Bagas?" "Ya, teman kuliahnya." "Laki-laki?" Ibu terus memberondongku dengan pertanyaan. "Ya, laki-laki. Namanya Damar." Mendengar itu ibu pun tersenyum senang. "Ibu senang akhirnya kamu mau membuka diri untuk teman baru." "Tapi bagaimana dengan Tyo?" sambar Mas Fandy cepat. "Prasetyo atau siapa pun juga orangnya, yang penting dia bisa membuat Alyssa melupakan laki-laki khayalannya itu. Ibu benar-benar khawatir karena adikmu udah semakin berlaru
Bab 29. Kejutan. Bagas membawaku masuk ke rumahnya. Diajaknya aku duduk di ruang tamu. Sementara itu temannya yang tadi ikut memegangiku kini duduk di dekatku dengan wajah yang bingung. Sepertinya dia belum pernah melihat perempuan yang mengamuk seperti aku barusan. Sesungguhnya aku pun belum pernah melakukan itu sebelumnya. Kecuali saat aku menghajar Bella di kehidupanku yang lain kemarin. Tapi semua bukan aku yang memulainya. Dulu Bella yang memancing emosiku dengan kata-katanya. Sekarang juga Sarah yang memulai duluan, yang juga memancing emosiku dengan kata-katanya. Kenapa perempuan senang sekali memancing emosi seseorang dengan mulut mereka yang tajam? "Ada apa sih, Al? Kenapa kamu berkelahi seperti itu? Kalian memperebutkan Rama?" tanya Bagas sambil meletakkan segelas air putih di hadapanku. "Memperebutkan Rama? Kamu pikir aku udah gila?" bantahku cepat. "Jadi apa dong yang menyebabkan kamu sampai mengamuk seperti barusan? Untung aja ibumu dan Mas Fandy nggak dengar keributa
Bab 28. Jangan Ganggu Aku! Aku menangis tersedu ketika telah berada di dalam mobil Rama. Sedih dan putus asa menyelimutiku saat ini. Aku merasa tak lagi punya harapan. Pertemuan barusan tak seindah dalam bayangan. Seharusnya pertemuan itu bisa membuatku bahagia. Sebab dia yang selama ini cuma mimpi ternyata bisa ku jumpai di alam nyata. Aku bisa menatapnya. Aku bisa bicara dengannya. Tapi setelah itu, apa? tidak ada! Dia malah menganggapku mempermainkannya lalu pergi begitu saja. Sekarang semuanya di mulai lagi dari nol. Aku tak tahu lagi tentang keberadaannya dan tak tahu harus bicara apa jika satu hari nanti berjumpa lagi dengannya. Ku yakin dia telah menganggapku gila. Sebab penjelasanku barusan pasti terdengar sangat aneh di telinganya. Masih maukah dia bicara denganku? Masih maukah dia mendengarkan penjelasanku? Sungguh aku merasa hancur kini. Benar-benar hancur! "Apa yang kamu lakukan tadi, Al?" tanya Rama ketika kami telah berada di jalan raya. "Aku telah kehilangan dia," l
Bab 27. Dia Yang Ku Cari. Aku menatapnya dengan berjuta perasaan. Rasanya seperti mimpi melihat dia ada di hadapanku sepert ini. Sungguh aku ingin menangis karena bahagia hingga untuk beberapa saat lamanya aku tak sanggup berkata-kata. Sementara itu dia pun tak mengucap sepatah kata untukku. Sepertinya dia merasa bingung melihat tingkahku ini. Biarlah, aku bisa maklumi itu. Tentu saja dia merasa bingung karena bertemu dengan gadis yang tidak dia kenal yang bertingkah aneh seperti aku. "Saya senang sekali akhirnya kita bisa bertemu lagi, mas," kataku setelah beberapa saat lamanya hanya bisa berdiri menatapnya. "Maksudnya?" tanya Mas Pras dengan wajah yang semakin bingung. "Saya...." "Duduklah dulu. Jangan berdiri terus seperti itu," pinta Mas Pras sambil menunjuk bangku yang ada di depannya. Aku pun segera duduk. Sementara Rama yang tak mengerti dengan apa yang ku lakukan ikut duduk di samping. Dia tak bicara. Hanya diam dan memperhatikan dengan wajah yang bingung. "Kalian ini s
Bab 26. Sebuah Pertemuan. Hari-hari berikutnya berlalu dalam keresahan. Aku berusaha menguatkan hati untuk memberikan sebuah penolakan pada pernyataan cinta Mas Tyo. Laki-laki itu pasti kecewa. Hatinya pasti terluka. Tapi tak ada yang bisa aku lakukan untuk menghibur hatinya. Ku pikir inilah kenyataan yang harus bisa dia terima. Bukankah apa yang kita inginkan belum tentu bisa kita miliki? Seperti aku yang sangat ingin memiliki Mas Pras, tapi sampai sekarang dia hanya sebatas mimpi. Bagaimanakah reaksi ibu dan Mas Fandy jika mereka tahu kalau aku telah menolak cinta dari Mas Tyo? Akan marahkah mereka? Atau hanya sebatas kecewa tanpa menyalahkan aku yang telah mengambil keputusan yang tidak sesuai dengan keinginan mereka? Hm, tapi aku seorang perempuan dewasa sekarang. Segala keputusan tentang hidupku ada di tanganku. Mereka hanya boleh memberi saran. Tapi tak boleh mendikte keputusan apa yang harus ku ambil untuk hidupku dan juga masa depanku. Apalagi ini masalah cinta. Urusan hati
Bab 25. Sebuah Cinta. Rintik hujan jatuh menimpa kuncup-kuncup bunga hingga ranting-rantingnya bergoyang-goyang bagai meliukkan sebuah tarian yang indah. Suara gemuruh guntur sesekali terdengar di kejauhan. Bergetar mendekat, lalu menghilang. Langit bagai mengeluh. Seperti lelah menaungi bumi yang memiliki banyak kisah. Mungkin salah satunya adalah kisahku. Kisah sedih dan kecewa yang tak bisa ku bagi pada siapa pun. Kenapa malam ini harus turun hujan, tuhan? Sedangkan ini adalah malam terakhir aku bisa mencari dia di sana. Besok pusat jajanan itu akan tutup. Harus menunggu hingga bulan depan untuk bisa kembali mencarinya di sana. Tapi apakah dia akan ada? Bagaimana jika bulan depan dia telah pindah jauh ke satu kota? Hatiku tak bisa tenang hanya karena satu kalimat yang mengatakan 'jodoh tak kan lari kemana'. Ya, jodoh memang tak kan lari kemana. Tapi bagaimana jika ternyata dia bukan jodohku? Dia akan lari ke dalam pelukan perempuan lain dan membiarkanku yang tenggelam dalam rindu
Bab 24. Hampa. Keesokan paginya segera kuceritakan pada Bagas tentang laki-laki yang ku lihat semalam. Bagas serius mendengarkan, lalu mengeleng pelan saat aku selesai bercerita. "Tapi itu nggak mungkin, Al. Pasti dia cuma seseorang yang mirip dengan laki-laki dalam mimpimu itu," sanggah Bagas menentangku. "Nggak, Gas! Itu beneran dia!" Aku sedikit ngotot pada Bagas. "Al, kamu melihat dia di malam hari dan dalam jarak yang lumayan jauh. Dan wajahnya pun jauh lebih tua dari Mas Pras-mu itu, kan? Jadi bagaimana kamu bisa yakin kalau laki-laki itu adalah dia? Lagi pula percayalah kalau Mas Pras-mu itu nggak ada, Al! Tolong, kembalilah pada kenyataan." Bagas masih tak peraya dan seperti biasa memintaku untuk percaya kalau sesungguhnya Mas Pras itu tidak ada. Aku menggeleng, kukuh pada pendirianku. "Aku yakin kalau itu benar dia. Meski dalam jarak yang cukup jauh, aku bisa mengenalinya, Gas. Sebab dia suamiku! Jadi aku nggak mungkin salah mengenali suamiku sendiri!" Bagas menghela na
Bab 23. Mantan Dan Sahabat. Sarah berdiri dengan wajah yang cemberut. Dia menatap Rama, lalu menatapku dengan pandangan yang cemburu. Sementara itu wajah Rama menunjukkan rasa tak suka dengan kehadiran Sarah yang tiba-tiba di antara kami. Sarah mendekat. Aku pun berusaha untuk menyembunyikan perasaan marahku padanya. aku tak ingin ribut, apa lagi di tengah keramaian seperti ini. Akhirnya dengan sikap tenang ku tunggu dia sampai dia berdiri di hadapanku. "Sedang apa kalian berdua di sini?" tanyanya tanpa basa-basi. "Memangnya kenapa kalau kami berdua ada di sini? Ini tempat umum, kan?" jawab Rama segera. "Kalian janjian?" tanya Sarah lagi dengan nada cemburu yang terdengar jelas. Rama menggeleng. "Kami bertemu nggak sengaja di sini," jawabnya jujur. Ekspresi wajah Sarah tampak tak percaya. "Benarkah?" "Memangnya untuk apa aku bohong padamu, Sarah?" kata Rama tak suka dengan kecurigaan Sarah itu. "Ku pikir kamu ingin kembali pada Alyssa dan meninggalkan aku, Rama." Sarah berkat
Bab 22. Sore Itu. Tak terasa waktu terus bergulir begitu cepat. Hari berganti minggu dan minggu pun berganti bulan. Tak terhitung, entah berapakali sudah Mas Pasetyo datang ke rumah menemuiku. Tapi kami selalu menghabiskan waktu di rumah saja. Ngobrol berdua di ruang tamu karena aku selalu menolak tiap kali dia mengajakku jalan keluar. Ku pikir dia akan bosan hanya dengan ngobrol di rumah saja dan jadi enggan untuk datang lagi. Tapi ternyata dia datang dan datang lagi menemuiku. Ku akui, Mas Fandy memang benar. Mas Prasetyo temannya itu adalah seorang laki-laki yang baik dan menyenangkan. Ngobrol berdua dengannya tak pernah menimbulkan rasa bosan. Pengetahuannya yang luas membuat dia bisa mengimbangi setiap topik obrolan yang ku bahas. Tapi bagiku dia hanya sebatas teman bicara yang menyenangkan. Tak lebih. Sebab sampai hari ini dia tidak bisa menempati ruang istimewa dalam hatiku. Masih tetap tak bisa menggeser posisi Mas Pras yang teramat istimewa bagiku. "Kita jalan, yuk," aja