Bab 2. Dimanakah aku?
Aku terbangun, membuka mata dan mendapati diriku berada di dalam sebuah kamar yang temaram. Dengan bingung kuedarkan pandanganku ke sekeliling. Oh, ini tempat asing. Aku tak mengenal kamar ini. Aku bahkan tak mengenal bau harum sprei dari tempat tidur dimana aku terbaring saat ini. Juga hiasan-hiasan dindingnya yang berupa foto-foto, lukisan dan jam dinding. Jendela, lemari, cermin rias serta nakas, semua bukan seperti yang ada di kamarku. Dimanakah aku?Uh, seluruh badanku terasa sakit ketika aku mencoba untuk bangun. Rasanya seperti remuk! Aku pun kembali membaringkan tubuhku dan mencoba mengingat apa yang telah terjadi sebelumnya dan kenapa aku bisa sampai berada di tempat asing ini. Tapi..., aneh. Aku seperti sulit untuk mengingat. Kepalaku serasa kosong. Seperti tak ada memori yang tertinggal. Dan ketika ku paksakan untuk kembali mengingat, aku malah merasakan pusing yang teramat sangat.Apakah yang telah terjadi padaku, tuhan? Kamar siapakah ini? Kenapa aku bisa berada di sini? Oh, berbagai pertanyaan menjejali kepalaku yang kosong. Jika harus bertanya, bertanya pada siapakah? Tak ada seorang pun di dalam kamar ini selain aku. Sepi. Bahkan tak terdengar suara apa pun dari luar sana. Sepertinya aku benar-benar sendiri di sini.Sekali lagi ku edarkan pandanganku. Ku sapu setiap sudut kamar yang gelap ini dengan teliti. Ternyata kamar ini tak begitu luas. Hanya ada sebuah lemari, sebuah meja rias dan juga nakas di samping tempat tidur. Oh, ada juga sebuah akuarium yang diletakkan di atas meja kecil di dekat jendela. Akuarium berukuran kecil yang isinya beberapa ikan-ikan kecil yang tampak berenang hilir mudik di sana.Hm, kamar ini sangat sederhana. Tak ada satu pun barang yang terlihat mahal dan mewah di sini. Mungkin si empunya memang tak peduli pada kemewahan. Mungkin dia memang lebih suka dengan kesederhanaan. Atau mungkin juga dia memang tidak punya uang? Ah, entahlah. Apa peduliku dengan semua itu? Bahkan aku tak tahu siapakah pemilik kamar asing ini. Orang jahatkah? Tapi, kalau dia orang jahat, kenapa dia membiarkan aku terlepas tanpa ikatan sama sekali? Seharusnya dia mengikat tanganku. Juga membekap mulutku agar aku tak berteriak. Bukannya malah membiarkanku terbaring nyaman di bawah selimut hangat seperti ini.Perlahan ku coba untuk kembali bangkit dan berdiri. Berhasil, meski dengan badan yang terasa sakit tak karuan. Lalu dengan langkah tertatih ku dekati sebuah bingkai foto yang menempel di dinding. Mungkin itu foto si pemilik kamar. Aku ingin tahu siapa dia. Mungkin saja aku mengenalnya. Tapi ternyata, aku tak mengenal wajahnya sama sekali. Laki-laki dan perempuan yang ada dalam foto itu bahkan belum pernah kulihat sebelumnya. Siapakah mereka?Dengan mata menyipit ku coba untuk memusatkan pandanganku pada dua wajah di foto itu. Tapi cahaya temaram di kamar ini mengganggu penglihatanku. Hm, rupanya langit diluar sana mendung. Pantas saja tak ada sinar yang masuk kemari. Kamar ini jadi temaram dan suram. Lalu mataku pun segera mencari tombol lampu di dinding dekat pintu dimana biasanya orang memasangnya. Benar. Ada sebuah tombol lampu di sana. Dengan segera kunyalakan hingga kamar ini jadi benderang. Lalu mulailah ku perhatikan satu demi satu foto-foto yang terpaku di dinding. Tak ada wajah lain selain wajah dua orang yang ku lihat di bingkai foto pertama tadi. Hm, jadi merekalah pemilik kamar ini. Tapi kenapa aku bisa ada di dalam kamar mereka? Untuk apa mereka membawaku kemari? Apakah mereka penculik?Dengan perasaan bingung bercampur takut, aku pun menatap pintu kamar yang tertutup rapat. Ada apakah dibalik pintu itu? Dapatkah aku keluar sana? Tapi bagaimana jika ternyata di sana ada seseorang yang jahat yang tak menginginkan aku keluar dari kamar ini? Laki-laki dan perempuan itu, apakah mereka berada di sana? Apakah mereka akan melukaiku jika aku keluar? Berjejal pertanyaan membuat rasa takutku memuncak. Tapi ku coba untuk memberanikan diriku melangkah mendekati pintu yang tertutup rapat itu.Aku melangkah perlahan agar tak menimbulkan suara. Aku tak mau menarik perhatian siapa pun yang ada diluar sana. Tapi ketika aku melewati meja rias, ada pantulan bayangan di cermin yang membuatku terkejut dan terpekik pelan. Ah, rupanya bayanganku sendiri. Tapi..., oh, tidak! Bukan! Itu bukan bayanganku sendiri! Itu wajah milik orang lain! Itu wajah perempuan yang ada di dalam foto itu! Hantukah dia? Bukankah seharusnya yang terpantul di cermin itu bayanganku? Tapi kenapa justru wajah perempuan itu yang ada di sana?Aku pun menjerit! Aku takut luar biasa! Tapi anehnya, ketika aku menjerit, bayangan di cermin itu pun ikut menjerit. Bahkan gerakkannya persis sama seperti gerakan yang aku lakukan. Aneh! Ini aneh! Benar-benar menyeramkan!Aku berlari menghampiri jendela dan terduduk lemas di sana. Apakah yang baru saja terjadi? Kenapa bayanganku yang terpantul di cermin barusan wajah orang lain? Apakah kamar ini berhantu? Tak terasa aku pun menangis karena ketakutan. Air mata membasahi pipiku. Lalu dengan tanganku ku hapus air mata itu. Tapi..., sekali lagi aku terkejut dan terpekik pelan. Tangan ini..., jari-jari ini..., bukanlah tangan dan jemariku!Oh, tuhan..., apa lagi ini? Kenapa semua jadi tambah menyeramkan begini? Ku pandangi tangan yang bukan tanganku itu dengan rasa takut yang memuncak. Ini tangan siapa? Kenapa menempel di tubuhku? Apa jangan-jangan tubuh ini pun bukan tubuhku?Bergegas aku berlari menuju cermin. Dengan keberanian yang ku paksakan ku pandangi lagi bayanganku yang terpantul di sana. Ya, benar. Bayangan itu memang bukan milikku. Bukan wajahku, juga tubuhku! Tapi bagaimana mungkin?Jadi aku berada di tubuh orang lain? Tubuh perempuan yang ada di dalam foto? Sudah gilakah aku? Aku memang tidak ingat siapa diriku. Tapi aku tahu kalau tubuh ini bukanlah tubuhku. Bagaimana semua ini bisa terjadi? Jika tubuh perempuan ini aku tempati, lantas dimanakah sekarang dia berada? Berkelana sebagai ruh tanpa jasad? Oh, menyeramkan sekali!Tenang Alyssa! Ini cuma mimpi!Benarkah? Sungguhkah semua ini cuma mimpi? Dengan segera ku tepuk-tepuk pipiku dengan keras. Harapanku agar aku bisa segera terjaga hingga keluar dari mimpi buruk ini. Tapi yang ku rasakan cuma sakit. Aku tetap tak terjaga dari mimpi ini. Aku masih tetap di sini. Di kamar asing ini dan di dalam tubuh perempuan yang tak ku kenal ini!Bagaimanakah caranya untuk kembali? Tapi, kembali kemana? Seperti apa kehidupanku yang lalu pun aku tak ingat. Sebab saat ini tak ada yang ku ingat kecuali sedikit saja dari memoriku yang masih tersisa. Yang aku ingat, namaku Alyssa. Seorang gadis berkulit kuning langsat dengan tubuh indah yang padat berisi. Wajahku oval dengan alis tebal indah yang menaungi mataku. Hidungku tidak mancung, juga tidak pesek. Dan aku mempunyai sebuah gigi gingsul yang membuat senyumku terlihat menarik dan istimewa. Selain dari itu aku hanya bisa mengingat sedikit saja dan sangat samar. Tapi yang jelas, aku tahu jika saat ini aku tak sedang berada di kehidupanku yang semestinya.Akhirnya aku duduk terdiam, mencoba mengingat tentang siapa diriku lebih dalam lagi. Ku ajak otakku untuk bekerja keras menguatkan kembali memoriku yang memudar. Sampai akhirnya aku berhasil mengingat tanggal dan tahun kelahiranku. Serta satu nama yang tiba-tiba saja terngiang di kepalaku. Rama. Hm, siapakah Rama? Entahlah, aku seperti sangat dekat dengan nama itu. Tapi aku tak bisa mengingat siapa dia dan seperti apa wajahnya.Ah, aku jadi semakin bingung. Ku pikir, aku harus segera mengetahui siapakah perempuan ini sesungguhnya. Adakah hubungannya dengan hidupku sebelum aku terkurung dalam tubuhnya ini? Mungkin dia masih keluargaku. Mungkin dia masih jadi bagian dari hidupku. Mungkin dia ada hubungannya dengan orang bernama Rama yang barusan hadir di kepalaku. Mungkin karena itulah aku terperangkap dalam tubuhnya. Yah, masih terlalu banyak kata mungkin yang tak ada jawabannya sama sekali. Buntu!Tiba-tiba aku melihat sebuah tulisan tangan kecil yang tertera di atas foto yang tadi ku perhatikan. Aneh. Kenapa aku baru melihatnya sekarang? Tulisan tangan itu begitu kecil dan rapi. Aku pun membacanya perlahan. 'Pras dan Melly'.Pras dan Melly? Itukah nama mereka? Hm, ternyata dibawah kedua nama itu ada tanggal dan tahunnya juga. Mungkin itu tanggal ketika foto ini dibuat. Hm, tanggal satu Januari tahun...?Oh, tidak! Bagaimana mungkin tahun yang tertulis di sana itu sama dengan tahun kelahiranku? Wajah perempuan yang ada di dalam foto itu sama persis dengan wajah yang ada di pantulan cermin tadi. Itu berarti perempuan yang tubuhnya ku tempati ini berada di tahun yang sama dengan waktu foto itu dibuat. Apakah aku telah mundur dua puluh tahun ke belakang? Ini gila! Benar-benar gila dan tidak masuk akal!Ketika aku sedang bergelut dengan rasa bingungku, tiba-tiba saja pintu kamar yang ada di belakangku dibuka seseorang dari luar. Aku pun terlonjak kaget. Seraut wajah tampan tampak berdiri di depan pintu. Dan ketika dia melihatku sedang duduk di dalam kamar, wajahnya pun seketika langsung berubah cemberut."Melly, sedang apa kamu di sini? Hari udah gelap. Kenapa kamu nggak menyalakan lampu?" Laki-laki yang baru masuk itu bertanya dengan kesal.Aku pun tergagap. "Aku? Melly?""Ya, tentu aja kamu Melly. Kamu istriku, kan?" kata laki-laki itu cepat.Huh? Aku istrinya? Benarkah?Bab 3. Seorang Pria Tampan. "Kenapa kamu malas sekali, Melly? Mestinya kamu nyalakan lampu-lampu sejak tadi," omel laki-laki tampan itu sambil melangkah masuk. Aku cuma berdiri, memperhatikannya dengan dada berdebar. Dia adalah laki-laki yang ada di dalam foto. Dia bertubuh tinggi tegap dengan dada yang bidang. Wajahnya tampan, menurutku. Hidungnya mancung. Matanya bening tapi tatapannya begitu tajam yang menyiratkan bahwa dia adalah seorang laki-laki yang tegas. Dan sungguh, kulit kecoklatannya membuat dia terlihat begitu seksi di mataku. Menurutku dia adalah seorang laki-laki yang bisa melindungi wanitanya. Aku yakin, perempuan manapun juga pasti akan merasa nyaman berada dalam peluknya. Aku terus berdiri memperhatikan. Kini laki-laki itu bertelanjang dada. Dia membuka kemejanya dan melemparnya ke dalam sebuah keranjang bambu. Mungkin itu keranjang baju kotor, pikirku. Hm, tanpa tertutup pakaian, dada bidangnya itu terlihat jauh lebih seksi. Aku suka melihatnya. Mataku seperti di
Bab 4. Bella "Kemarin kamu pasti nggak beli roti," kata Mas Pras sambil memakai kemejanya. Pagi ini dia sedang bersiap hendak berangkat kerja. Aku yang mendengar kata-katanya itu pun langsung tergagap bingung. Roti? Apakah Melly kemarin membeli roti? Aku tidak tahu. Tapi aku tidak melihat ada roti di atas meja makan semalam. Di dapur juga tidak ada. Sepertinya Melly memang tidak membeli roti kemarin. Jadi, aku pun mengangguk untuk menjawab pertanyaan Mas Pras itu. "Kenapa kamu selalu lupa membeli roti sih, Mel? Kamu kan tahu kalau aku suka sarapan roti," kata Mas Pras seperti sebuah protes. "Biar nanti aku beli," sahutku segera. Mas Pras mengancingkan rapi kemejanya, lalu berjalan menghampiri cermin. Sesaat dia mematut dirinya di sana. Merapikan pakaiannya dan menyisir rambutnya yang masih terlihat basah. Aku pun berdiri di belakangnya. Ikut bercermin dan menatap wajah Melly di sana. Melly tidak cantik, juga tidak jelek. Wajahnya biasa saja menurut penilaianku. Rambutnya dipoton
5. Suami istri? Pagi itu setelah Mas Pras berangkat kerja, aku pun segera mengobrak-abrik isi seluruh laci yang ada di kamar itu. Ku keluarkan semuanya dan periksa satu persatu. Sebagian besar isi laci itu adalah foto-foto dari pasangan Pras dan Melly dan orang-orang yang mungkin keluarga atau teman mereka. Banyak sekali momen-momen bahagia yang mereka abadikan. Ada foto-foto ulang tahun, foto pernikahan mereka dan juga pernikahan anggota keluarga yang lainnya, foto liburan, foto mesra mereka berdua di kamar ini dan foto-foto yang lainnya lagi. Rasanya terlalu banyak jika harus ku periksa satu persatu. Uh! Aku pun duduk di lantai dengan kesal. Dari sebagian foto-foto yang sudah ku periksa, belum ada satu pun petunjuk yang ku dapatkan. Tak ada satu pun wajah yang ku kenali di foto-foto itu kecuali wajah perempuan yang ku panggil bibik tadi. Yah, setidaknya aku tahu kalau mereka ada hubungan keluarga, meskipun sesungguhnya itu tidaklah berguna untukku. Sedangkan dari berkas-berkas yan
Bab 6. Serpihan Memori. Pagi itu aku terbangun dalam pelukan hangat Mas Pras. Ku kejapkan mataku dan ku coba untuk mengingat kembali peristiwa semalam. Ya, peristiwa semalam dimana aku membiarkan Mas Pras menyentuhku. Meski sesungguhnya yang dia sentuh adalah Melly, istrinya, tapi tetap saja aku merasa bersalah. Sebab yang merasakan semua itu adalah aku, bukan Melly. Aku yang merasakan indahnya. Aku yang merasakan nikmatnya. Aku yang merasakan gairahnya. Jika nanti malam, atau malam-malam berikutnya dia menginginkan itu lagi, apakah aku bisa untuk menolaknya? Bagaimana jika tidak? Bagaimana jika aku juga menginginkannya? Sebab meski salah, tapi jujur saja peristiwa semalam itu membekas indah dalam hatiku. Dan ku rasa, aku mulai merasa memiliki dia sebagai suamiku. "Jam berapa, Mel?" tanya Mas Pras yang rupanya sudah terjaga. "Udah pagi," sahutku. "Tidurlah lagi. Ini hari Minggu." "Meski hari Minggu tapi aku nggak boleh malas," katanya sambil kembali memejamkan matanya. Aku memper
Bab 7. Suami Setiaku. Aku tersadar ketika ada bau yang menyengat menusuk hidungku. Perlahan ku buka mataku dan ku lihat Mas Pras yang sedang duduk di sampingku. Wajahnya tampak cemas. Dia memegang botol minyak angin sambil terus menatapku. Oh, rupanya bau minyak angin itulah yang barusan menusuk hidungku hingga membuatku tersadar dari pingsanku. "Syukurlah kamu udah sadar, Mel. Aku cemas sekali sejak tadi," kata Mas Pras sambil membelai lembut pipiku. Aku mengernyit menahan rasa sakit di kepalaku. Ingatan tentang kejadian barusan terasa masuk dan berjejal di kepala hingga aku merasa sangat pening. Aku ingat, aku baru saja memergoki Mas Pras yang sedang berpelukan dengan Bella, perempuan penggoda yang tinggal di sebelah rumah. Dan seketika itu juga rasa cemburuku kembali memenuhi rongga dada. Aku marah dan menepiskan tangannya perlahan. "Jangan begitu, Mel. Kamu salah paham. Dengarkan dulu penjelasanku," kata Mas Pras bernada memohon. Aku menggeleng, lalu mengaduh pelan. Kepalaku
Bab 8. Gosip. "Selamat pagi, Mel. Rajin sekali kamu," sapa seorang perempuan yang tiba-tiba saja sudah berdiri di depan pintu pagar. Aku menoleh pada perempuan itu, lalu tersenyum. Pagi ini aku sedang menyiram tanaman dan membersihkan halaman. Mas Pras baru saja berangkat kerja. Dan seperti hari-hari kemarin, aku pun langsung menyibukan diri dengan pekerjaan rumah. "Biar segar," kataku menyahuti kata-kata perempuan itu. Aku sengaja tidak menambahkan satu panggilan untuknya. Memangnya aku harus memanggil dia dengan sebutan apa? Mbak? Adik? Atau aku terbiasa memanggil nama saja padanya? Aku takut salah lagi seperti kemarin ketika aku bertemu dengan bibik pertamakali. Karena itulah kali ini aku lebih berhati-hati. Perempuan itu melangkah masuk, lalu duduk di kursi yang ada di teras. Hm, dari sikapnya sepertinya dia sudah cukup akrab dengan Melly. Mungkin temannya, pikirku. Berarti aku harus lebih berhati-hati lagi supaya dia tidak sampai melihat perbedaan dalam diri Melly. Aku tidak
Bab 9. Sebuah Perkelahian. Beberapa hari berlalu. Gosip itu ternyata belum mereda juga. Sepertinya ada sekelompok orang ibu yang tidak rela jika aku memiliki seorang suami yang setia. Karena itulah mereka terus menggosok dan menggosok lagi gosip murahan itu hingga terus menjadi hangat untuk diperbincangkan. Aneh, pikirku. Tidak adakah kegiatan lain yang lebih bermanfaat yang bisa mereka lakukan selain bergosip? Mas Pras bilang, cuma orang yang hidupnya tidak bahagia sajalah yang suka mengurusi hidup orang lain. Hm, mungkin itu benar. Mungkin karena mereka tidak bahagia makanya mereka tidak rela jika ada orang lain yang bahagia hingga mereka berusaha untuk mengorek-ngorek kekurangannya supaya bisa mereka jatuhkan. Jahat. Sebetulnya aku merasa terganggu juga dengan gosip yang terus beredar itu. Rasanya aku ingin mencaci mereka yang bermulut tajam itu agar mereka berhenti melakukannya. Apalagi setiapkali bertemu, mereka senang sekali menyindir aku dengan kata-kata yang bikin panas hat
Bab 10. Tamu Tak Diundang. "Halo, Mel. Apa kabar?" sapa laki-laki itu sambil tersenyum. "Baik," sahutku seraya bertanya-tanya siapakah gerangan laki-laki itu. Dia mengenalku, tapi aku tidak tahu siapa dia. "Maaf aku datang nggak kasih kabar terlebih dulu. Rencananya dadakan. Aku butuh tempat tinggal yang dekat dengan kantorku yang baru. Dan berhubung aku belum dapat kontrakan, jadinya aku memutuskan untuk tinggal di sini sementara waktu. Boleh, kan?" Laki-laki itu menatapku dan Mas Pras bergantian. Aku cuma bisa bengong, tak tahu harus menjawab apa. Tinggal di sini? Tapi tidakkah aku akan merasa risih dengan kehadirannya? Sebab dia cuma orang asing buatku. Aku tidak mengenalnya. Aku tak tahu apa hubungannya denganku dan juga Mas Pras. Tapi dari sikapnya ku rasa dia cukup akrab dengan kami. "Kantor yang baru? Jadi kamu keluar lagi dari pekerjaanmu yang dulu?" tanya Mas Pras sedikit terkejut. "Ya, aku udah berhenti dari sana," sahutnya santai. "Kenapa ganti-ganti pekerjaan terus