Bab 18. Aku Tidak Gila. Polisi datang. Aku diberikan banyak pertanyaan. Ku jawab semuanya dengan jujur apa adanya. Tak ada yang ku kurangi atau ku lebihkan. Aku ingin masalah ini cepat selesai karena memang tak ada unsur kejahatan dalam kasus ini. Yang ada cuma kebodohan yang tidak bisa dimaafkan. "Jadi itukah cerita yang sebenarnya? Tapi yang mereka katakan selama ini berbeda," kata ibu yang siang ini datang ditemani oleh Bagas, sepupuku yang seusia denganku. "Mereka menutupi aib mereka, bu," sahutku tanpa emosi. "Dasar laki-laki brengsek!" geram Bagas kesal. "Nggak perlu marah, Gas. Aku udah nggak peduli sama semua itu," kataku santai. "Tapi karena dia kamu sampai berbuat nekat begitu," kata Bagas lagi, masih dengan nada geram. "Ku pikir, itu karena kebodohanku aja. Tapi aku nggak menyesal melakukan itu. Karena aku bisa bertemu dengan Mas Pras, suamiku." "Suami?" Bagas tampak bingung menatapku. Ibu mendesah. Wajahnya terlihat sedih. "Sejak siuman Alyssa selalu mengaku kalau
Bab 19. Sebuah Permintaan Maaf. "Hai, Al," sapa Rama dengan sikap kaku. Aku tak menjawab. Aku hanya menatapnya dengan pandangan dingin. "Aku senang kamu udah sadar. Berbulan-bulan kamu koma. Aku sungguh khawatir," kata Rama lagi. "Bukannya kamu berharap Aku mati?" tanyaku tanpa basa-basi. Wajah Rama tampak terkejut. "Kenapa kamu bicara seperti itu, Al?" tanyanya cepat. "Kamu pasti nggak ingin rahasia busukmu bersama Sarah diketahui oleh orang banyak, kan? Sedang rahasia kalian itu ada di tanganku. Jadi kalau aku mati, rahasia kalian itu akan tetap terjaga selamanya." "Demi tuhan aku nggak pernah berpikir seperti itu! Bahkan setiap saat aku berdoa semoga kamu bisa segera sadar dan pulih seperti semula," kata Rama cepat. "Oh ya?" ucapku sinis. "Aku nggak sejahat yang kamu pikir, Al. Aku menyesal...." Suara Rama terdengar lirih dan penuh penyesalan. "Penyesalanmu terlambat!" ketusku kesal. "Aku udah membuang waktuku sekian bulan lamanya hanya untuk terbaring di tempat ini. Dan
Bab 20. Seorang Tamu. Aku sudah diperbolehkan untuk pulang. Dokter bilang kondisiku sudah membaik. Syukurlah. Karena aku pun sudah bosan berada di rumah sakit. Setiap hari hanya berbaring, tanpa melakukan satu pun kegiatan yang berarti. Ku pikir rumah dan kamarku tentu lebih baik. Lebih memberikan hawa positif untukku. Lebih bisa membuatku merasa nyaman hingga aku bisa merasa bahagia kembali ke duniaku yang sebenarnya. Tapi ternyata, apa yang ku rasakan tak sama dengan apa yang ku bayangkan. Karena ternyata rumah dan kamarku kini terasa asing bagiku. Aku tak lupa dengan rumah ini. Dengan tiap-tiap ruangan dan segala furniturenya. Tapi entah kenapa aku merasa ini bukan tempatku. Aku seperti harus beradaptasi dengan semuanya. Padahal sejak lahir aku telah berada di rumah ini. Aku tumbuh dan menghabiskan sebagian besar waktukku di sini. Tapi sekarang aku merasa asing dan tak betah. Aku merindukan rumahku bersama Mas Pras. Aku merindukan hari-hariku di sana. Aku rindu membuat kopi pahit
Bab 21. Laki-laki Bernama Prasetyo. Aku berlari menuju ruang tamu dan tertegun beberapa saat di sana. Seorang laki-laki berwajah tampan tampak duduk bersandar dengan santai sambil melepaskan pandangannya keluar jendela. Ketika menyadari kehadiranku, dia pun menoleh dan menegakkan posisi duduknya. Di bibirnya terbentuk sebersit senyuman untukku. Tapi aku tak membalasnya. Sebab segumpal kecewa terasa memenuhi rongga dadaku dan membuatku sulit untuk tersenyum. Ku biarkan senyumnya merekah tanpa balasan. Aku cuma berdiri diam sambil menatap wajah tampannya dengan kecewa. "Hai, kamu pasti Alyssa, kan?" sapanya ramah. Sedetik kemudian dia pun berdiri dan mengulurkan tangannya dengan sopan. Aku mengangguk dan menyambut uluran tangannya itu. "Saya Prasetyo," katanya lagi, memperkenalkan diri. Sekali lagi aku pun mengangguk. Jadi diakah Prasetyo yang Bagas bilang tadi? Tapi dia bukan Mas Pras-ku. Laki-laki berwajah tampan itu memiliki tubuh yang tidak segagah Mas Pras-ku. Meski tubuhnya s
Bab 22. Sore Itu. Tak terasa waktu terus bergulir begitu cepat. Hari berganti minggu dan minggu pun berganti bulan. Tak terhitung, entah berapakali sudah Mas Pasetyo datang ke rumah menemuiku. Tapi kami selalu menghabiskan waktu di rumah saja. Ngobrol berdua di ruang tamu karena aku selalu menolak tiap kali dia mengajakku jalan keluar. Ku pikir dia akan bosan hanya dengan ngobrol di rumah saja dan jadi enggan untuk datang lagi. Tapi ternyata dia datang dan datang lagi menemuiku. Ku akui, Mas Fandy memang benar. Mas Prasetyo temannya itu adalah seorang laki-laki yang baik dan menyenangkan. Ngobrol berdua dengannya tak pernah menimbulkan rasa bosan. Pengetahuannya yang luas membuat dia bisa mengimbangi setiap topik obrolan yang ku bahas. Tapi bagiku dia hanya sebatas teman bicara yang menyenangkan. Tak lebih. Sebab sampai hari ini dia tidak bisa menempati ruang istimewa dalam hatiku. Masih tetap tak bisa menggeser posisi Mas Pras yang teramat istimewa bagiku. "Kita jalan, yuk," aja
Bab 23. Mantan Dan Sahabat. Sarah berdiri dengan wajah yang cemberut. Dia menatap Rama, lalu menatapku dengan pandangan yang cemburu. Sementara itu wajah Rama menunjukkan rasa tak suka dengan kehadiran Sarah yang tiba-tiba di antara kami. Sarah mendekat. Aku pun berusaha untuk menyembunyikan perasaan marahku padanya. aku tak ingin ribut, apa lagi di tengah keramaian seperti ini. Akhirnya dengan sikap tenang ku tunggu dia sampai dia berdiri di hadapanku. "Sedang apa kalian berdua di sini?" tanyanya tanpa basa-basi. "Memangnya kenapa kalau kami berdua ada di sini? Ini tempat umum, kan?" jawab Rama segera. "Kalian janjian?" tanya Sarah lagi dengan nada cemburu yang terdengar jelas. Rama menggeleng. "Kami bertemu nggak sengaja di sini," jawabnya jujur. Ekspresi wajah Sarah tampak tak percaya. "Benarkah?" "Memangnya untuk apa aku bohong padamu, Sarah?" kata Rama tak suka dengan kecurigaan Sarah itu. "Ku pikir kamu ingin kembali pada Alyssa dan meninggalkan aku, Rama." Sarah berkat
Bab 24. Hampa. Keesokan paginya segera kuceritakan pada Bagas tentang laki-laki yang ku lihat semalam. Bagas serius mendengarkan, lalu mengeleng pelan saat aku selesai bercerita. "Tapi itu nggak mungkin, Al. Pasti dia cuma seseorang yang mirip dengan laki-laki dalam mimpimu itu," sanggah Bagas menentangku. "Nggak, Gas! Itu beneran dia!" Aku sedikit ngotot pada Bagas. "Al, kamu melihat dia di malam hari dan dalam jarak yang lumayan jauh. Dan wajahnya pun jauh lebih tua dari Mas Pras-mu itu, kan? Jadi bagaimana kamu bisa yakin kalau laki-laki itu adalah dia? Lagi pula percayalah kalau Mas Pras-mu itu nggak ada, Al! Tolong, kembalilah pada kenyataan." Bagas masih tak peraya dan seperti biasa memintaku untuk percaya kalau sesungguhnya Mas Pras itu tidak ada. Aku menggeleng, kukuh pada pendirianku. "Aku yakin kalau itu benar dia. Meski dalam jarak yang cukup jauh, aku bisa mengenalinya, Gas. Sebab dia suamiku! Jadi aku nggak mungkin salah mengenali suamiku sendiri!" Bagas menghela na
Bab 25. Sebuah Cinta. Rintik hujan jatuh menimpa kuncup-kuncup bunga hingga ranting-rantingnya bergoyang-goyang bagai meliukkan sebuah tarian yang indah. Suara gemuruh guntur sesekali terdengar di kejauhan. Bergetar mendekat, lalu menghilang. Langit bagai mengeluh. Seperti lelah menaungi bumi yang memiliki banyak kisah. Mungkin salah satunya adalah kisahku. Kisah sedih dan kecewa yang tak bisa ku bagi pada siapa pun. Kenapa malam ini harus turun hujan, tuhan? Sedangkan ini adalah malam terakhir aku bisa mencari dia di sana. Besok pusat jajanan itu akan tutup. Harus menunggu hingga bulan depan untuk bisa kembali mencarinya di sana. Tapi apakah dia akan ada? Bagaimana jika bulan depan dia telah pindah jauh ke satu kota? Hatiku tak bisa tenang hanya karena satu kalimat yang mengatakan 'jodoh tak kan lari kemana'. Ya, jodoh memang tak kan lari kemana. Tapi bagaimana jika ternyata dia bukan jodohku? Dia akan lari ke dalam pelukan perempuan lain dan membiarkanku yang tenggelam dalam rindu