“Jangan seperti ini, nanti kita bisa ketahuan.”
Soraya yang ingin menemui kekasihnya, Cakra, menghentikan langkah karena samar-samar mendengar obrolan pria itu dengan seorang wanita.
Penasaran, Soraya sengaja mengurungkan niat untuk membuka pintu dan menguping.
“Ketahuan siapa, sih? Nggak ada orang di sini, Cakra!” Wanita itu terdengar terus merangsek. “Lagian, ingat loh … kamu sudah janji memilihku, meskipun aku yang kedua!”
‘Tunggu dulu. Suara ini ….’ Soraya terhenyak di tempatnya. Suara wanita yang sedang terlibat percakapan mencurigakan dengan Cakra di dalam terdengar tidak asing.
Bersiaga, Soraya mengambil ponselnya dalam tas, membuka aplikasi perekam suara dan menaruhnya lagi ke dalam tas.
Jantung Soraya berdegup begitu cepat. Terlebih, saat suara seorang wanita itu kembali terdengar, kali ini lebih jelas.
“Bersabarlah sedikit lagi. Aku harus cari alasan untuk memutuskan hubunganku dengan Soraya dulu, Say—”
Brak!
Tidak tahan dihantui rasa penasarannya sendiri, Soraya akhirnya memutuskan untuk membuka pintu ruangan Cakra.
“Sabrina??”
Mata Soraya memelotot. Pantas saja suara wanita itu terasa tidak asing untuknya, sebab Sabrina memang bukan orang lain, melainkan adik tirinya sendiri.
Dengan mata yang mengembun, Soraya berujar, “Sejak kapan kalian sedekat ini?”
“Sejak kami berhubungan, tentu saja.” Perkataan Sabrina menjawab semuanya dengan gamblang. “Aku dan Cakra adalah pasangan kekasih.”
Tangan Soraya membekap mulutnya, tidak percaya dengan pengakuan Sabrina. “Kekasih? Tapi, kamu tahu kan, aku–”
“Iya. Cakra bilang Kakak terlalu membosankan.”
Nada penuh kepercayaan itu membuat Soraya semakin merasa sakit hati. Dia kemudian menatap Cakra yang masih berdiri di samping Sabrina, tengah terlihat kebingungan dengan wajah pucat pasi.
“Cakra, apa itu benar?”
Pria itu terlihat menggusar rambutnya dengan kasar, sebelum kemudian berujar, “Baiklah, karena kamu sudah tahu, aku akan jujur. Kami memang sudah berpacaran.” Wajah pria itu kemudian menatap ke arah Soraya dengan pandangan menilai. “Sabrina bisa memberikan aku kepuasan. Suatu hal yang tidak bisa kamu berikan.”
Tanpa terasa, setetes air mata turun ke pipi Soraya. “Tapi kenapa harus adikku?”
Lagi-lagi, dia merasa tersisihkan dan kalah dari Sabrina.
Sejak kelahiran Sabrina, Soraya yang dulunya mendapatkan kasih sayang penuh meski dia anak angkat mendadak tak dianggap. Adiknya itu selalu menjadi tokoh utama di rumah keluarga Kwong, sementara Soraya menjadi bayang-bayang dari adiknya itu.
Sampai kemudian hadir Cakra yang perlahan mampu membuat Soraya berdamai dengan nasibnya. Namun, kini … pria itu pun turut pergi dari sisinya. Ironisnya, semua orang seolah menjauh dan mendekat kepada adik tirinya.
“Karena kamu membosankan, tidak seperti Sabrina.”
Tangan Soraya di kedua sisi tubuhnya mengepal kuat. Namun, karena ia tak ingin kembali kehilangan orang yang dikasihinya, ia mengurungkan niatnya untuk marah. “Kamu yakin dengan keputusanmu? Kalau kamu mau berpikir ulang, aku masih bisa memaafkanmu.”
“Kakak, sejak kapan kamu jadi wanita murahan?” Terdengar, Sabrina mendengus. Ekspresi gadis itu begitu menghina, memandang jijik pada sang kakak. “Cakra sudah memilihku, bukankah seharusnya kamu merelakannya?”
“Aku yang seharusnya bertanya padamu, Sabrina.” Mata Soraya kembali terbuka. Kali ini dia menatap garang ke arah adik angkatnya. “Sejak kapan kamu jadi wanita murahan, merebut kekasih Kakakmu sendiri?”
Mendadak, raut wajah Sabrina berubah sedih. Wanita itu meraih tangan Cakra dan bergelayut di sana. “Cakra, apa yang harus kulakukan? Kak Soraya bahkan mengataiku gadis murahan?” ujarnya dengan nada manja.
“Cukup, Soraya!” Cakra kembali bersuara, kali ini bahkan dia berteriak karena tidak terima dengan perkataan Soraya pada Sabrina. “Tidak ada yang perlu diperdebatkan lagi. Semakin ke sini, aku jadi semakin yakin. Sikapmu tidak sebaik yang kamu tampilkan ketika di depanku. Jadi … mulai hari ini kita putus.”
Betapa sakit hati Soraya mendengar ini semua. Ditambah, lengkungan senyum yang dia lihat muncul di wajah Sabrina.
Sementara Cakra, masih menatap garang ke arahnya, dengan sebelah tangan yang terus membelai lembut tangan Sabrina.
“Ternyata, kamu sudah memilih.” Soraya menatap ke arah dua pasangan itu dengan perasaan campur aduk.
“Memang. Apa kamu berharap aku akan memohon?” Cakra berdecih. “Aku tidak akan merendahkan harga diriku di depanmu. Anak pungut, meski dipungut oleh keluarga terpandang, tetaplah anak pungut!”
Kaki Soraya terasa lemas, dia hampir saja terjatuh karena tidak dapat menopang tubuhnya sendiri. Beruntung dia berdiri di dekat sofa sehingga dia menyandarkan tangannya dan duduk di sana.
“J-jadi, semua ini karena statusku?” Soraya dengan sisa-sisa kekuatannya kembali bertanya.
Dia sama sekali tidak menyangka, kalau Cakra yang selama ini terlihat tulus padanya justru menjadi orang yang paling kuat menyakitinya.
“Kakak, sepertinya kamu masih bermimpi.” Sabrina melangkah mendekati Soraya yang terduduk lesu di sofa. “Keluarga terhormat seperti Cakra, mana mungkin mau menikahi anak dengan latar belakang tidak jelas?”
Soraya mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat. Dia memang anak yang dipungut dari panti asuhan. Dia juga tidak tahu siapa orang tuanya, dan asal mula dia hadir ke dunia.
Hanya saja, dia merasa tidak sepantasnya adik angkatnya itu menghina dia sebegitu rendahnya. Sebagai seorang saudara, bukankah seharusnya Sabrina pun memiliki rasa kasih sayang padanya?
Ah, Soraya lupa. Bagaimana mungkin adik yang tengah tersenyum di atas penderitaannya itu memiliki rasa sayang padanya, jika sesaat setelah kelahiran Sabrina … orang tuanya mendadak berubah. Mereka bahkan mengikutsertakan Sabrina sedari kecil untuk tidak menganggapnya kakak.
Perbedaan perlakuan yang dia terima tidak melemahkan Soraya. Jika Sabrina dapat fasilitas mewah dari uang orang tuanya, Soraya harus memutar otak guna memberdayakan diri untuk bisa memenuhi kebutuhannya.
Walhasil, dia pandai menjahit dan mendesain. Boleh dibilang, status legalitasnya saja yang anak adopsi, padahal … sudah sejak lama Soraya hidup di atas kakinya sendiri.
“Baiklah, kalau itu keputusan akhirnya.” Meski berat hati, Soraya akhirnya menyerah. Percuma mempertahankan sesuatu jika sesuatu itu penuh dengan duri yang hanya bisa melukainya. “Kuucapkan selamat untuk hubungan kalian.”
Setelahnya, Soraya bersiap meninggalkan ruang kerja Cakra. Namun, belum sampai di ujung pintu, pria itu kembali memanggilnya.“Kami akan segera menikah.” Cakra berujar lugas. Di sampingnya, Sabrina semakin melebarkan senyum dan mengeratkan gandengannya di lengan sang kekasih. “Sebenarnya, kami tidak butuh restumu. Tapi, kekasihku memohon untuk tetap mendapatkan restu dari kakaknya. Kuharap kamu tidak mengecewakannya.”
Soraya yang telah menghentikan langkahnya itu menoleh dengan wajah datar. Hatinya yang telah berdarah-darah itu kini terasa kebas, sebab luka yang bertubi-tubi dia terima.
Tak ingin menunjukkan lukanya lagi di hadapan dua orang tersebut, Soraya pun berujar, “Restuku tidak untuk pasangan pengkhianat seperti kalian.” Dia menatap tajam penuh akan kebencian pada dua orang itu. “Dan untukmu, Sabrina … sayang sekali kamu memungut sampah yang telah kubuang. Kurasa, kamu harus berpikir ulang.”
“Kamu cantik sekali, putriku,” puji Bu Amber sembari membetulkan sanggul Sabrina.“Aku memang cantik sejak lahir, Bu,” balas Sabrina sambil tertawa.Soraya memperhatikan ibu dan anak itu dengan hati yang sesak. Tatapannya sedih. Bukan hanya Cakra–pria yang pernah diimpikannya menjadi suami yang diambil Sabrina. Tetapi, segala hal yang berkaitan dengan impiannya, mendadak berbelok kepada wanita itu.Contohnya, gaun pernikahan yang dikenakan Sabrina. Gaun putih dengan hiasan bunga di sudut pinggang, juga sanggul modern dipadu mahkota permata itu adalah gaun pernikahan impiannya.“Aku baru tahu kalau kita benar-benar memiliki selera yang sama, Sabrina.”Meski hatinya kesal bukan main, Soraya berusaha menjaga intonasi suaranya tetap rendah. Lagi, sebagai kakak yang baik, meski hatinya sedang terluka, dia ingin ada untuk hari bahagia adiknya. “Untuk apa kamu berada di sini? Cepat kamu ke dapur dan bantu-bantu di sana!” perintah Bu Amber, ibu angkat Soraya.Wanita itu terlihat tidak senan
Rekaman suara bukti perselingkuhan sudah berhenti. Namun bisik-bisik dari tamu undangan masih terus berlanjut. Bu Amber mencoba menenangkan bola panas yang bergulir itu sebisanya. Tak mau ketinggalan, Cakra pun turut campur tangan. “Semua itu fitnah! Yang benar adalah, aku sudah lama putus dari Soraya karena tidak ada kecocokan.”Di sisi Cakra, Sabrina berlagak menenangkan suaminya. Ia bahkan sudah berlinang dengan air mata. “Tolong maafkan Kakak. Mungkin, Kakak cemburu dan masih tidak rela melihat mantannya lebih memilihku.” Sabrina melirih sendu ke arah Kakaknya.Andai Soraya tidak mengenal buruknya Sabrina, jelas dia akan termakan akting paripurna tersebut. Namun, karena tahu adiknya itu lihai sekali memanipulasi, dia hanya mendengus menyaksikan semua orang yang menyakitinya kalang kabut menangani ulah balas dendamnya ini.Beberapa tamu mulai terdiam, memikirkan penjelasan dari pasangan pengantin itu. Namun, sebagian lainnya masih saja menjatuhkan cibiran, sebab ketidakpantasan se
“Apa yang—”Ucapan kebingungan pelayan itu langsung dihentikan Soraya dengan cubitan kecil di lengannya.“Bantu aku, tolong,” bisiknya nyaris tidak menggerakkan bibir.Di hadapannya, sebuah senyum penuh kemenangan terbit dari Sabrina. Gadis itu terlihat meneliti penampilan dari sosok lelaki yang dikenalkan Soraya sebagai calon suaminya.“Kakak berhubungan dengan seorang pelayan?” ucap Sabrina. Seperti biasa, nada bicaranya dibuat lembut, tetapi sarat akan penghakiman.Sementara itu, suara sumbang lainnya juga terdengar dari yang lain. Mereka kira, Soraya akan mengenalkan sosok lelaki yang lebih kaya daripada Cakra.Namun, ketika mengetahui pengganti Cakra yang berhasil didapatkan hanyalah seorang pelayan, mereka semua merasa tak terkalahkan.“Kamu yakin?” tanya Pak Kwong. Ekspresi ragunya semakin kentara.Soraya tetap tersenyum. “Iya, aku yakin. Dia pilihan terbaik untukku.”Ia pikir, kebohongannya kali ini akan menyelamatkannya. Namun ternyata, ucapan selanjutnya dari Pak Kwong justr
Soraya menelengkan kepalanya menatap Damar. “Apa yang aku dapatkan dari menikahimu, Damar?”Lelaki itu mengedikkan bahu, santai. “Kebebasanmu, mungkin?”Sesaat, Soraya terhenyak. Ucapan Damar begitu tepat, seolah lelaki itu sudah tahu kehidupannya.Namun, cepat-cepat ia menggelengkan kepala, mengusir kemungkinan-kemungkinan yang mana sulit terjadi di dunia nyata.Bagaimana pun, menemukan lelaki yang ternyata telah mengagumi sang wanita sejak lama tanpa wanita itu tahu … adalah hal yang sangat tidak mungkin terjadi di dunia nyata!Soraya mengembuskan napas panjang, sebelum menjawab. “Katakanlah aku bersedia. Apa isi perjanjian itu?”Kemudian, Damar terlihat menoleh ke kiri dan kanan, menilai situasi. Terlihat, para tamu mulai kembali memadati aula pernikahan Sabrina. Antreannya bahkan mengular, hingga keluar.“Mau berbicara di luar?” tawar Damar. Lelaki itu kemudian melihat jam di pergelangan tangannya. “Sudah waktunya makan siang.”“Tidak usah. Aku tidak lapar.”Namun kemudian, tiba-t
"Aku setuju.” Damar tersenyum, lalu mengangguk pelan. Mereka berdua lalu berjabat tangan, tanda telah menyetujui perjanjian pernikahan. Meski tidak ada perjanjian secara tertulis—belum, tetapi Soraya yakin, Damar adalah pria yang bisa dipercaya. Tidak hanya itu, Damar bahkan pria yang begitu perhatian. Sebab, sebelum mereka kembali masuk ke Gedung pernikahan Sabrina dan Cakra, pria itu meminta Soraya untuk mengganti bajunya dengan baju yang telah disiapkan oleh pria itu. “Kapan kamu menyiapkannya?” Soraya bertanya saat seorang perempuan yang tebakannya adalah orang suruhan Damar, membawakannya sebuah gaun pernikahan. “Melihatmu menyiapkan semuanya, aku curiga kalau kamu bukan pelayan biasa.” Kerutan di dahi Soraya tidak hilang-hilang ketika bertanya. Banyak kejanggalan yang ia temukan pada Damar, sikapnya dan juga kesiapannya pada pernikahan dadakan mereka. Namun demikian, pria itu hanya tersenyum. “Meski pernikahan ini dadakan, aku ingin istriku memakai gaun semestinya.” Damar me
“Rumah majikan?” ucap Damar sambil mengerutkan keningnya, tetapi tidak lama pria itu kembali bersuara. “Ya, ini rumah majikanku,” ucapnya sambil tertawa.Sontak, Soraya dirundung kepanikan. Ia meraih lengan Damar, menahan pria itu untuk melangkah.“Kamu gila?!” makinya dengan berbisik. “Kenapa tidak bicara dari awal? Kalau gitu, ayo kita cari kontrakan saja. Uangku kayaknya masih cukup untuk cari kontrakan petak beberapa bulan.”Di hadapannya Damar menatap Soraya dengan tatapan lembut, “Tidak usah khawatir, percaya saja padaku.”Meski masih ragu, Soraya akhirnya mengangguk. Sebab, pria itu terlihat begitu yakin, terlebih kala tangan pria itu menggenggam tangannya dan mereka melangkah memasuki rumah mewah itu bersama.“Damar!”Seorang wanita separuh baya yang terlihat masih cantik menyambut mereka dengan tatapan membola. Soraya tebak, wanita itu adalah majikan Damar yang marah karena anak buahnya tidak bekerja dengan baik.Soraya jadi takut kalau Damar akan dipecat dari pekerjaannya. “P
Saat Soraya dan Damar menunggu pukul enam sore untuk bisa makan malam di restoran bawah laut ... Lagi-lagi mereka bertemu dengan dua orang yang paling dibenci.“Mau apa kalian di sini? Numpang foto doang!” ledek Sabrina.“Untuk bisa masuk ke sini harus reservasi dahulu dan hanya orang-orang tertentu yang bisa masuk,” imbuh Cakra.“Kalau belum reservasi untuk apa kami menunggu di sini,” balas Soraya sambil memutar bola mata.Cakra dan Sabrina saling bertatap muka kemudian menertawakan Soraya. “Jangan mimpi kamu Soraya bisa makan di restoran bawah laut ini,” ledek Sabrina. “Kamu tahu, harganya bahkan bisa menghabiskan gajimu setahun.”“Jangan-jangan suamimu yang pelayan itu ingin melamar kerja di sini,” ucap Cakra yang menunjukkan senyuman mengejek. “Sudahlah Soraya kamu tidak akan pernah bisa bersaing dengan kami,” cela Sabrina.Damar kelewat cuek, dia sama sekali tidak menyahut kedua orang yang bermulut lemes itu. Tepat pukul enam sore waktu setempat, seorang executive chef menghamp
Soraya segera memasukkan ponselnya ke tas karena mobil jembutan sudah datang. Sampai di rumah, Soraya mandi dengan air hangat, lalu tidur sampai pagi. Ketika bangun tidur dipagi hari, Soraya tidak melihat Damar berada di sisinya. “Aku sudah lama tidak tidur senyenyak ini,” gumam Soraya seraya melihat ke seluruh ruangan berharap menemukan Damar di ruangan itu. Sepucuk kertas dengan catatan dia temukan di nakas samping tempat tidurnya. “Apa ini?” ucap Soraya penasaran lalu membacanya. “Aku berangkat kerja duluan, tidurmu terlalu nyenyak jadi aku tidak tega membangunkanmu. Sampai jumpa sore nanti,” Soraya senyum-senyum sendiri membaca catatan itu. Ternyata Damar mempunyai sisi tidak tegaan dibalik sikapnya yang dingin. Ponsel Soraya bergetar tanda sebuah pesan masuk dia segera mengeceknya. [“Cepat datang ke butik, apa kamu tidak butuh uang lagi!”] Soraya melempar ponselnya ke kasur, masih teringat jelas bagaimana Pak Kwong dan Bu Amber secara tidak langsung mengusirnya setelah res