Rekaman suara bukti perselingkuhan sudah berhenti. Namun bisik-bisik dari tamu undangan masih terus berlanjut. Bu Amber mencoba menenangkan bola panas yang bergulir itu sebisanya.
Tak mau ketinggalan, Cakra pun turut campur tangan. “Semua itu fitnah! Yang benar adalah, aku sudah lama putus dari Soraya karena tidak ada kecocokan.”
Di sisi Cakra, Sabrina berlagak menenangkan suaminya. Ia bahkan sudah berlinang dengan air mata. “Tolong maafkan Kakak. Mungkin, Kakak cemburu dan masih tidak rela melihat mantannya lebih memilihku.” Sabrina melirih sendu ke arah Kakaknya.
Andai Soraya tidak mengenal buruknya Sabrina, jelas dia akan termakan akting paripurna tersebut. Namun, karena tahu adiknya itu lihai sekali memanipulasi, dia hanya mendengus menyaksikan semua orang yang menyakitinya kalang kabut menangani ulah balas dendamnya ini.
Beberapa tamu mulai terdiam, memikirkan penjelasan dari pasangan pengantin itu. Namun, sebagian lainnya masih saja menjatuhkan cibiran, sebab ketidakpantasan seorang adik menikahi pria yang pernah jadi pasangan kakaknya.
Tidak ingin keributan kembali membesar, ayah Soraya pun meminta pemberkat acara pernikahan putrinya untuk menunda prosesi pernikahan.
Tak ketinggalan, tamu-tamu pun diminta keluar dari ballroom untuk mendinginkan suasana.
Tidak membuang waktu, ketika para tamu bergerak keluar, Bu Amber mendatangi Soraya dan melayangkan sebuah tamparan keras.
Plak!
“Puas kamu mengacaukan pernikahan putriku?!” Bu Amber terus menyerang Soraya yang sudah tertunduk dengan pipi memerah dengan sorot tajamnya. “Apa ini balas budimu pada kami!”
Berbondong-bondong lantas keluarga Kwon dan besannya menghampiri Soraya. Mereka mengitari gadis itu dan memberikan tatapan intimidasi.
“Aku tidak menyangka, Kakak yang aku cintai dan jadikan panutan ternyata sejahat ini padaku!” Sabrina dengan tangisannya bersuara.
Lalu bergantian, Ibu Cakra melontarkan kalimat sinisnya untuk Soraya. “Syukurlah, topengmu terbuka. Kamu memang tidak pantas untuk putraku.” Wanita sosialita yang dulu begitu ramah padanya itu kini menyerangnya dengan kalimat tajam. “Kalian memang tidak sepadan. Wanita sok polos sepertimu memang pantas dicampakkan!”
Saat semua orang sudah mengambil bagian memakinya, Soraya yang semula diam tiba-tiba tersenyum. Wajahnya tetap tenang, seolah tidak terganggu dengan semua umpatan tersebut.
“Aku senang, kalian terkejut dengan hadiah pernikahan yang sudah kusiapkan.”
Mendadak, raut wajah Sabrina memerah. Calon pengantin wanita itu bahkan sudah melupakan tangisnya yang begitu tersakiti, dan berganti dengan dua tangannya yang terkepal kuat di samping tubuhnya.
Sejurus kemudian sang adik berseru sembari mengangkat tangan, “Kurang ajar!”
Namun dengan cepat, Soraya mampu menangkap tangan tersebut sebelum mendarat di pipinya.
Ditariknya tangan Sabrina, dan dia mendekat lalu berbisik, “Adikku, apa kamu lupa kalau kamu selalu menjaga citramu sebagai anak baik di depan umum?”
Sabrina memang begitu menjaga imejnya di depan umum. Dia selalu menampilkan gambaran Perempuan anggun nan lemah lembut.
Upaya Soraya berhasil, sebab sang adik langsung menarik tangannya dan kembali mendekat ke ibunya seraya mengentakkan kaki.
“Bagaimana ini, Bu? Rasanya aku malu kalau keluar rumah.”
Ibunya itu lantas memeluk sang putri kesayangan. “Tenanglah, Sayang. Ini tidak akan berlalu lama.”
Pemandangan itu tidak luput dari pengelihatan Soraya. Bibirnya tersenyum miris, melihat perbedaan yang begitu jelas antara dirinya dan Sabrina.
Di saat terpuruk, sang adik masih memiliki orang-orang yang mendukungnya. Sungguh berbeda dengan Soraya yang harus bangun sendiri, dan berdiri untuk dirinya sendiri.
"Kamu iri pada pernikahan adikmu? Apa kamu juga ingin menikah?" Tiba-tiba, suara dalam Pak Kwon memecah perhatian Soraya.
Gadis itu menoleh ke arah sang ayah dengan alis tertaut. “Ayah tidak salah bertanya?”
“Kurasa itu benar.” Bu Amber menjawab ucapan sang suami. Pandangannya lalu beralih kembali ke Soraya. “Daripada kamu mengganggu rumah tangga adikmu, lebih baik kamu menikah.”
Soraya tersenyum. Ada rasa geli dalam dirinya, sebab dinilai berpotensi menjadi pengganggu rumah tangga sang adik.
“Kalau kamu mau, mungkin Ayah bisa menjodohkanmu dengan anak kenalan Ayah,” ucap Pak Kwong.
“Nah, terima saja tawaran ayahmu! Tidak usah banyak berpikir.” Lagi-lagi Bu Amber menyahut dengan semangat.
Masih dengan ketenangan yang tidak tergoyahkan, Soraya tersenyum. Tak lupa dia menggerakkan jari untuk menyelipkan rambut ke belakang telinga, seraya berkata, “Terima kasih, Ayah. Tapi, aku akan menikah dengan lelaki pilihanku.”
Orang-orang yang ada di hadapan gadis itu lantas tersenyum miring. Sebab, mereka berpikiran kalau Soraya tengah mencoba tegar di tengah tekanan saat ini.
Sementara itu, Pak Kwon mengerutkan dahi, “Jadi, kamu sudah punya kekasih lain?” tanyanya.
“Dia pasti berbohong, Ayah!” teriak Sabrina. Perempuan itu bangun dari pelukan ibunya. “Bagaimana mungkin dia bisa menemukan pria lain dalam waktu singkat?”
Terus didesak seperti itu, membuat Soraya berpikir cepat. Ia lantas mengedarkan pandangan ke penjuru. Tidak lama, dia tersenyum karena menemukan sosok yang bisa menolongnya.
Kemudian, Soraya berjalan menghampiri lelaki itu yang terlihat sibuk dengan pekerjaannya.
Dengan spontan, Soraya kemudian mengamit lengan lelaki itu dan memperkenalkannya di hadapan keluarga. “Biar kuberitahu. Dia calon suamiku.”
“Apa yang—”Ucapan kebingungan pelayan itu langsung dihentikan Soraya dengan cubitan kecil di lengannya.“Bantu aku, tolong,” bisiknya nyaris tidak menggerakkan bibir.Di hadapannya, sebuah senyum penuh kemenangan terbit dari Sabrina. Gadis itu terlihat meneliti penampilan dari sosok lelaki yang dikenalkan Soraya sebagai calon suaminya.“Kakak berhubungan dengan seorang pelayan?” ucap Sabrina. Seperti biasa, nada bicaranya dibuat lembut, tetapi sarat akan penghakiman.Sementara itu, suara sumbang lainnya juga terdengar dari yang lain. Mereka kira, Soraya akan mengenalkan sosok lelaki yang lebih kaya daripada Cakra.Namun, ketika mengetahui pengganti Cakra yang berhasil didapatkan hanyalah seorang pelayan, mereka semua merasa tak terkalahkan.“Kamu yakin?” tanya Pak Kwong. Ekspresi ragunya semakin kentara.Soraya tetap tersenyum. “Iya, aku yakin. Dia pilihan terbaik untukku.”Ia pikir, kebohongannya kali ini akan menyelamatkannya. Namun ternyata, ucapan selanjutnya dari Pak Kwong justr
Soraya menelengkan kepalanya menatap Damar. “Apa yang aku dapatkan dari menikahimu, Damar?”Lelaki itu mengedikkan bahu, santai. “Kebebasanmu, mungkin?”Sesaat, Soraya terhenyak. Ucapan Damar begitu tepat, seolah lelaki itu sudah tahu kehidupannya.Namun, cepat-cepat ia menggelengkan kepala, mengusir kemungkinan-kemungkinan yang mana sulit terjadi di dunia nyata.Bagaimana pun, menemukan lelaki yang ternyata telah mengagumi sang wanita sejak lama tanpa wanita itu tahu … adalah hal yang sangat tidak mungkin terjadi di dunia nyata!Soraya mengembuskan napas panjang, sebelum menjawab. “Katakanlah aku bersedia. Apa isi perjanjian itu?”Kemudian, Damar terlihat menoleh ke kiri dan kanan, menilai situasi. Terlihat, para tamu mulai kembali memadati aula pernikahan Sabrina. Antreannya bahkan mengular, hingga keluar.“Mau berbicara di luar?” tawar Damar. Lelaki itu kemudian melihat jam di pergelangan tangannya. “Sudah waktunya makan siang.”“Tidak usah. Aku tidak lapar.”Namun kemudian, tiba-t
"Aku setuju.” Damar tersenyum, lalu mengangguk pelan. Mereka berdua lalu berjabat tangan, tanda telah menyetujui perjanjian pernikahan. Meski tidak ada perjanjian secara tertulis—belum, tetapi Soraya yakin, Damar adalah pria yang bisa dipercaya. Tidak hanya itu, Damar bahkan pria yang begitu perhatian. Sebab, sebelum mereka kembali masuk ke Gedung pernikahan Sabrina dan Cakra, pria itu meminta Soraya untuk mengganti bajunya dengan baju yang telah disiapkan oleh pria itu. “Kapan kamu menyiapkannya?” Soraya bertanya saat seorang perempuan yang tebakannya adalah orang suruhan Damar, membawakannya sebuah gaun pernikahan. “Melihatmu menyiapkan semuanya, aku curiga kalau kamu bukan pelayan biasa.” Kerutan di dahi Soraya tidak hilang-hilang ketika bertanya. Banyak kejanggalan yang ia temukan pada Damar, sikapnya dan juga kesiapannya pada pernikahan dadakan mereka. Namun demikian, pria itu hanya tersenyum. “Meski pernikahan ini dadakan, aku ingin istriku memakai gaun semestinya.” Damar me
“Rumah majikan?” ucap Damar sambil mengerutkan keningnya, tetapi tidak lama pria itu kembali bersuara. “Ya, ini rumah majikanku,” ucapnya sambil tertawa.Sontak, Soraya dirundung kepanikan. Ia meraih lengan Damar, menahan pria itu untuk melangkah.“Kamu gila?!” makinya dengan berbisik. “Kenapa tidak bicara dari awal? Kalau gitu, ayo kita cari kontrakan saja. Uangku kayaknya masih cukup untuk cari kontrakan petak beberapa bulan.”Di hadapannya Damar menatap Soraya dengan tatapan lembut, “Tidak usah khawatir, percaya saja padaku.”Meski masih ragu, Soraya akhirnya mengangguk. Sebab, pria itu terlihat begitu yakin, terlebih kala tangan pria itu menggenggam tangannya dan mereka melangkah memasuki rumah mewah itu bersama.“Damar!”Seorang wanita separuh baya yang terlihat masih cantik menyambut mereka dengan tatapan membola. Soraya tebak, wanita itu adalah majikan Damar yang marah karena anak buahnya tidak bekerja dengan baik.Soraya jadi takut kalau Damar akan dipecat dari pekerjaannya. “P
Saat Soraya dan Damar menunggu pukul enam sore untuk bisa makan malam di restoran bawah laut ... Lagi-lagi mereka bertemu dengan dua orang yang paling dibenci.“Mau apa kalian di sini? Numpang foto doang!” ledek Sabrina.“Untuk bisa masuk ke sini harus reservasi dahulu dan hanya orang-orang tertentu yang bisa masuk,” imbuh Cakra.“Kalau belum reservasi untuk apa kami menunggu di sini,” balas Soraya sambil memutar bola mata.Cakra dan Sabrina saling bertatap muka kemudian menertawakan Soraya. “Jangan mimpi kamu Soraya bisa makan di restoran bawah laut ini,” ledek Sabrina. “Kamu tahu, harganya bahkan bisa menghabiskan gajimu setahun.”“Jangan-jangan suamimu yang pelayan itu ingin melamar kerja di sini,” ucap Cakra yang menunjukkan senyuman mengejek. “Sudahlah Soraya kamu tidak akan pernah bisa bersaing dengan kami,” cela Sabrina.Damar kelewat cuek, dia sama sekali tidak menyahut kedua orang yang bermulut lemes itu. Tepat pukul enam sore waktu setempat, seorang executive chef menghamp
Soraya segera memasukkan ponselnya ke tas karena mobil jembutan sudah datang. Sampai di rumah, Soraya mandi dengan air hangat, lalu tidur sampai pagi. Ketika bangun tidur dipagi hari, Soraya tidak melihat Damar berada di sisinya. “Aku sudah lama tidak tidur senyenyak ini,” gumam Soraya seraya melihat ke seluruh ruangan berharap menemukan Damar di ruangan itu. Sepucuk kertas dengan catatan dia temukan di nakas samping tempat tidurnya. “Apa ini?” ucap Soraya penasaran lalu membacanya. “Aku berangkat kerja duluan, tidurmu terlalu nyenyak jadi aku tidak tega membangunkanmu. Sampai jumpa sore nanti,” Soraya senyum-senyum sendiri membaca catatan itu. Ternyata Damar mempunyai sisi tidak tegaan dibalik sikapnya yang dingin. Ponsel Soraya bergetar tanda sebuah pesan masuk dia segera mengeceknya. [“Cepat datang ke butik, apa kamu tidak butuh uang lagi!”] Soraya melempar ponselnya ke kasur, masih teringat jelas bagaimana Pak Kwong dan Bu Amber secara tidak langsung mengusirnya setelah res
Sabrina masih mematung melihat kepergian Damar dan Soraya. Dia bahkan mencubit pipinya untuk membuktikan kalau dia tidak bermimpi.“Ti-dak mungkin, ini tidak mungkin terjadi,” keluh Sabrina.“Soraya bisa mendapatkan Damar Huang, seorang cucu konglomerat di kota ini,” imbuhnya.Sebagian orang mungkin mengetahui nama orang besar saja, tapi jarang mengetahui bagaimana wajah asli orang tersebut.Saat Sabrina tengah frustasi mengetahui fakta bahwa Soraya bisa menikah dengan orang terkaya di kota ini. Soraya justru tengah merasakan kebahagian karena dicintai dengan tulus oleh Damar. Dia bisa merasakan bagaimana rasanya dikhawatirkan seperti ini.“Berikan ponselmu,” pinta Damar sembari mengulurkan tangannya.“Ini, tapi buat apa?” tanya Soraya sambil menyerahkan ponselnya.Damar segera meraih ponsel itu tanpa menjawab pertanyaan Soraya. Pria tampan itu langsung mengetik nomor telponnya dan menyimpan dengan nama “suamiku,” lalu dia menyerahkan ponsel Soraya kembali.“Lain kali kamu mau apapun
Soraya terus melangkahkan kakinya, dia tidak peduli Sabrina terus mengoloknya. Percuma bersuara sekarang, Soraya ingin Sabrina akan diam dan malu pada saat yang tepat.“Huft, menyebalkan sekali,” ucap Soraya sambil menyandarkan punggung pada tembok di sudut tempat janjian dia bertemu Damar.“Sepertinya kamu sangat lelah,” ucap Damar yang tiba-tiba berada di samping Soraya.Soraya langsung memeluk Damar, dia lelah dengan perilaku Soraya hari ini. Walau sudah terbiasa hingga kebal menghadapi penindasan dari Sabrina, tapi hari ini Sabrina ingin seseorang menguatkannya.“Kamu boleh menangis kalau itu bisa membuatmu tenang,” ucap Damar sembari mengusap lembut rambut Soraya. Dilihat dari gelagat Soraya sepertinya dia sangat tertekan.Detik itu juga, Soraya menitikkan air mata dan menangis sesenggukan di pelukan Damar. Kalau biasanya dia menangis sendirian di pojok ranjang usangnya. Kali ini Soraya menangis dipelukan orang yang membuatnya nyaman.“Aku kira, aku kuat, ternyata aku seorang wan