“Rumah majikan?” ucap Damar sambil mengerutkan keningnya, tetapi tidak lama pria itu kembali bersuara. “Ya, ini rumah majikanku,” ucapnya sambil tertawa.
Sontak, Soraya dirundung kepanikan. Ia meraih lengan Damar, menahan pria itu untuk melangkah.
“Kamu gila?!” makinya dengan berbisik. “Kenapa tidak bicara dari awal? Kalau gitu, ayo kita cari kontrakan saja. Uangku kayaknya masih cukup untuk cari kontrakan petak beberapa bulan.”
Di hadapannya Damar menatap Soraya dengan tatapan lembut, “Tidak usah khawatir, percaya saja padaku.”
Meski masih ragu, Soraya akhirnya mengangguk. Sebab, pria itu terlihat begitu yakin, terlebih kala tangan pria itu menggenggam tangannya dan mereka melangkah memasuki rumah mewah itu bersama.
“Damar!”
Seorang wanita separuh baya yang terlihat masih cantik menyambut mereka dengan tatapan membola. Soraya tebak, wanita itu adalah majikan Damar yang marah karena anak buahnya tidak bekerja dengan baik.
Soraya jadi takut kalau Damar akan dipecat dari pekerjaannya. “Perkenalkan Bu, saya Soraya, istrinya Damar.” Berpacu dengan degup jantungnya, ia menatap sorot ibu tersebut yang kini mengarah padanya. “Maaf, kalau kedatangan saya ke sini mengagetkan. Tapi, kalau Ibu tidak berkenan, kami akan segera pergi dari sini.”
“Suami?” Wanita paruh baya itu menatap Soraya, lalu bergantian menatap Damar. “Kapan kamu menikah, kenapa keluargamu tidak tahu?”
Soraya semakin gugup. Namun berbeda dengan Damar yang justru terlihat santai. Pria itu bahkan berusaha menahan tawa.
“I-itu … Maafkan saya lagi, Bu. Tapi, pernikahan kami memang mendadak.” Soraya menatap Damar, meminta pertolongan, tetapi pria itu tak acuh. “Damar diminta menikahi saya tadi, ketika dia sedang bekerja sebagai pelayan di pernikahan adik saya.”
Kerutan yang semakin dalam terlihat di dahi wanita tua itu. “Tapi anakku bukan pelayan.”
Mendadak, Soraya membatu, kemudian dia menoleh ke arah Damar seolah meminta jawaban.
“Soraya, perkenalkan wanita yang ada di depanmu ini adalah mamaku,” ujar Damar setelahnya.
“Jadi, dia … M-mama?” ucap Soraya terkejut.
Damar mengangguk pelan seraya tersenyum. Soraya menjadi kikuk mau berbuat apa.
“T-tapi, kamu bilang kamu–”
Kini, Soraya mulai mengerti sedikit demi sedikit. Damar yang ia kira pelayan, dan bekerja di pernikahan adiknya ternyata adalah seorang anak dari kalangan berada.
Memikirkan hal itu, mendadak terbesit di pikiran Soraya kalau pernikahan mereka mungkin akan menghadapi halangan. Orang kaya, mungkin akan menginginkan pernikahan anak mereka dengan anak dari keluarga setara.
Sementara dirinya … hanya anak angkat dari keluarga kaya. Itu pun ia telah dibuang, dan kini hanya tersisa asal usulnya yang hanyalah seorang anak dari panti asuhan belaka.
“Tenanglah, Soraya. Pernikahan kita bukanlah masalah.” Seolah mengerti, ucapan Damar barusan benar-benar membuatnya tenang.
“Bukan masalah, memang … tapi Mama butuh penjelasan.” Wanita paruh baya itu bertitah tegas. “Damar, bawa istrimu ke ruang keluarga.”
Kemudian wanita itu melangkah lebih dulu, membuat Damar dan Soraya mengikuti langkahnya.
“Siapa yang mau menjelaskan semuanya?” Mamanya Damar langsung membuka pertanyaan, setelah seorang pembantu rumah tangganya menyajikan minuman dan camilan di hadapan mereka.
Kembali, Soraya menjelaskan dengan ringkas asal mula mereka mendadak menikah, asal-usul Soraya dan keluarganya pun tidak tertinggal. Tentu, tanpa menceritakan mereka telah terlibat kesepakatan pernikahan sebelumnya.
Semua itu dijelaskan oleh Soraya seorang diri dengan perasaan gugup. Damar justru diam. Pria itu sama sekali tidak membantu Soraya, membuat gadis itu didera rasa kesal.
Soraya harap-harap cemas. Ia sudah menceritakan semua, sekarang tinggal menunggu tanggapan dari mamanya Damar soal dirinya.
Meski pernikahan ini terjadi karena kesepakatan, dan tanpa cinta … tetapi entah mengapa Soraya risau jika mertuanya tidak memberikan restu.
Terdengar helaan napas panjang dari wanita paruh baya itu.
“Semua ini memang ulah anak nakal itu!” Mama Damar menatap anaknya dengan tatapan geram. “Kamu benar-benar mempermalukan keluarga kita, Damar!”
Mendengar hal itu, Soraya mengerjap. Ia kira, ia akan kena marah dan penolakan. Namun … agaknya mertuanya itu tidak membahas lebih lanjut restunya, melainkan langsung menyalahkan sang anak karena tindakan impulsifnya.
‘Jadi, Mamanya Damar setuju?’ Soraya membatin.
“Aku akan beritahu Kakek soal ini, Ma. Mama tidak perlu khawatir,” sahut Damar, tenang.
“Tentu, itu tugasmu!” Nada geram masih terdengar saat wanita itu menimpali Damar. Mama Damar kemudian berdiri dan menatap Soraya. Tatapannya lembut, dengan lengan terbuka, “Selamat datang di keluarga Huang, Soraya. Bersiaplah, Mama akan kenalkan kamu sebagai menantu di pesta pernikahan.”
**
Setelah berbincang dengan mamanya, Damar mengajak Soraya untuk istirahat di kamar. Tapi sampai di kamar wajah Soraya menjadi tegang, dia menatap garang Damar sambil bersedekap, "Jadi, penjelasan apa yang ingin kamu berikan padaku, Tuan Pembohong?"
Damar menatap Soraya yang sedang marah itu, jika dilihat Soraya semakin cantik membuat jantungnya berdekup kencang seperti orang yang sedang jatuh cinta.
“Mama sudah menjelaskan semuanya tadi,” jawab Damar singkat.
“Tapi aku ingin dengar lagi penjelasan darimu langsung,” sahut Soraya lalu mendekat ke arah Damar yang sepertinya tidak mau buka suara itu.”Tanpa kebohongan, tentu saja!”
“Kamu sudah mengetahui semua tentang diriku dari mama tadi. Sekarang cepat mandi dan tidurlah, besok kita akan pergi bulan madu,” pinta Damar.
Tak lupa Damar menunjukkan sebuah ruangan kecil di kamar yang besar itu berisi baju, sepatu, dan aksesoris wanita.
“Pernikahan kita hanya perjanjian kontrak. Tapi kamu sudah menyiapkan segala kebutuhanku??”
“Walau pernikahan kontrak, aku harus mendalami peranku sebagai seorang suami.”
Karena sudah lelah, Soraya tidak bertanya lagi, dia langsung mengambil salah satu baju lalu menuju kamar mandi.
Tanpa Soraya tahu, pria itu tersenyum menatap Soraya yang berjalan dari walk-in-closet menuju kamar mandi.
Keesokan harinya, Soraya dan Damar terbang menuju sebuah pulau yang indah dengan pemandangan lautan biru yang memanjakan mata.
Soraya merentangkan kedua tangannya, ketika berada di pinggir pantai, menikmati indahnya pemandangan ciptaan Tuhan yang belum pernah dia nikmati sebelumnya.
Namun, tiba-tiba suara seseorang mengganggu kenikmatan Soraya.
“Lihatlah kita bertemu siapa di sini.”
Dialah Sabrina yang kini menatap penuh dengki ke arah Soraya dan Damar.
“Kenapa di mana-mana aku selalu bertemu kalian?” ucap Cakra dengan malas. “Apa kalian mengikuti kami?”
Sabrina mendengus. “Kakak ipar itu hanya seorang pelayan, kenapa bisa menyusul kita bulan madu di sini. Jangan-jangan dia rela berhutang demi bersaing dengan kita.”
“Kamu benar, Sayang,” ucap Cakra lalu tertawa setelahnya. “Tapi aku heran, mereka memilih berhutang untuk ke sini. Bukankah itu keputusan bodoh?”
Damar mengacuhkan ucapan Sabrina dan Cakra. Pria itu bahkan seolah tidak terganggu sama sekali dengan cibiran tersebut.
Berbeda dengan Soraya yang sudah gatal ingin membalas, tetapi masih ditahannya.
“Kakak ipar kenapa diam saja, jangan-jangan memang betul kamu berhutang pada rentenir demi gengsi bisa setara dengan kita?”
“Kami tidak berusaha untuk jadi setara dengan kalian.” Akhirnya, Soraya berucap. “Lagipula, untuk apa bersikap sok kaya, lebih baik hidup apa adanya saja.”
“Menikahi pelayan saja, membuatmu berubah angkuh, Kak.” Sabrina tak mau kalah. Dia mengangkat dagunya tinggi. “Pantaslah, Tuhan tidak memberikanmu jodoh orang kaya.”
Soraya tersenyum, nyaris menyeringai. Dia meraih tangan Damar, berniat pergi dari sana.
Namun sebelum itu, dia berujar tepat di telinga Sabrina.“Tunggu sampai kamu tau satu hal, Sab. Aku tidak yakin, apakah jantungmu itu sanggup berdetak setelah kamu mengetahui kebenarannya.”
Saat Soraya dan Damar menunggu pukul enam sore untuk bisa makan malam di restoran bawah laut ... Lagi-lagi mereka bertemu dengan dua orang yang paling dibenci.“Mau apa kalian di sini? Numpang foto doang!” ledek Sabrina.“Untuk bisa masuk ke sini harus reservasi dahulu dan hanya orang-orang tertentu yang bisa masuk,” imbuh Cakra.“Kalau belum reservasi untuk apa kami menunggu di sini,” balas Soraya sambil memutar bola mata.Cakra dan Sabrina saling bertatap muka kemudian menertawakan Soraya. “Jangan mimpi kamu Soraya bisa makan di restoran bawah laut ini,” ledek Sabrina. “Kamu tahu, harganya bahkan bisa menghabiskan gajimu setahun.”“Jangan-jangan suamimu yang pelayan itu ingin melamar kerja di sini,” ucap Cakra yang menunjukkan senyuman mengejek. “Sudahlah Soraya kamu tidak akan pernah bisa bersaing dengan kami,” cela Sabrina.Damar kelewat cuek, dia sama sekali tidak menyahut kedua orang yang bermulut lemes itu. Tepat pukul enam sore waktu setempat, seorang executive chef menghamp
Soraya segera memasukkan ponselnya ke tas karena mobil jembutan sudah datang. Sampai di rumah, Soraya mandi dengan air hangat, lalu tidur sampai pagi. Ketika bangun tidur dipagi hari, Soraya tidak melihat Damar berada di sisinya. “Aku sudah lama tidak tidur senyenyak ini,” gumam Soraya seraya melihat ke seluruh ruangan berharap menemukan Damar di ruangan itu. Sepucuk kertas dengan catatan dia temukan di nakas samping tempat tidurnya. “Apa ini?” ucap Soraya penasaran lalu membacanya. “Aku berangkat kerja duluan, tidurmu terlalu nyenyak jadi aku tidak tega membangunkanmu. Sampai jumpa sore nanti,” Soraya senyum-senyum sendiri membaca catatan itu. Ternyata Damar mempunyai sisi tidak tegaan dibalik sikapnya yang dingin. Ponsel Soraya bergetar tanda sebuah pesan masuk dia segera mengeceknya. [“Cepat datang ke butik, apa kamu tidak butuh uang lagi!”] Soraya melempar ponselnya ke kasur, masih teringat jelas bagaimana Pak Kwong dan Bu Amber secara tidak langsung mengusirnya setelah res
Sabrina masih mematung melihat kepergian Damar dan Soraya. Dia bahkan mencubit pipinya untuk membuktikan kalau dia tidak bermimpi.“Ti-dak mungkin, ini tidak mungkin terjadi,” keluh Sabrina.“Soraya bisa mendapatkan Damar Huang, seorang cucu konglomerat di kota ini,” imbuhnya.Sebagian orang mungkin mengetahui nama orang besar saja, tapi jarang mengetahui bagaimana wajah asli orang tersebut.Saat Sabrina tengah frustasi mengetahui fakta bahwa Soraya bisa menikah dengan orang terkaya di kota ini. Soraya justru tengah merasakan kebahagian karena dicintai dengan tulus oleh Damar. Dia bisa merasakan bagaimana rasanya dikhawatirkan seperti ini.“Berikan ponselmu,” pinta Damar sembari mengulurkan tangannya.“Ini, tapi buat apa?” tanya Soraya sambil menyerahkan ponselnya.Damar segera meraih ponsel itu tanpa menjawab pertanyaan Soraya. Pria tampan itu langsung mengetik nomor telponnya dan menyimpan dengan nama “suamiku,” lalu dia menyerahkan ponsel Soraya kembali.“Lain kali kamu mau apapun
Soraya terus melangkahkan kakinya, dia tidak peduli Sabrina terus mengoloknya. Percuma bersuara sekarang, Soraya ingin Sabrina akan diam dan malu pada saat yang tepat.“Huft, menyebalkan sekali,” ucap Soraya sambil menyandarkan punggung pada tembok di sudut tempat janjian dia bertemu Damar.“Sepertinya kamu sangat lelah,” ucap Damar yang tiba-tiba berada di samping Soraya.Soraya langsung memeluk Damar, dia lelah dengan perilaku Soraya hari ini. Walau sudah terbiasa hingga kebal menghadapi penindasan dari Sabrina, tapi hari ini Sabrina ingin seseorang menguatkannya.“Kamu boleh menangis kalau itu bisa membuatmu tenang,” ucap Damar sembari mengusap lembut rambut Soraya. Dilihat dari gelagat Soraya sepertinya dia sangat tertekan.Detik itu juga, Soraya menitikkan air mata dan menangis sesenggukan di pelukan Damar. Kalau biasanya dia menangis sendirian di pojok ranjang usangnya. Kali ini Soraya menangis dipelukan orang yang membuatnya nyaman.“Aku kira, aku kuat, ternyata aku seorang wan
“Bu Maneger,” ucap Soraya lembut. Sebenarnya dia kaget kenapa sepagi ini Bu Manager bisa berada di rumahnya.“Aku tanya padamu sekali lagi. Apa kamu adalah seorang pelayan di rumah ini?” tanya Bu Manager dengan galak.Soraya masih mematung di tempatnya. Dia masih berpikir, kalau dia mengungkapkan identitasnya apakah Bu Maneger itu akan percaya dengan ucapannya.“Kenapa diam saja, cepat kamu beritahu Pak Damar kalau aku sudah datang,” ucap Bu Manager dengan angkuh.“Ada urusan apa sepagi ini ingin menemui Pak Damar?” tanya Soraya.Bu Manager itu menertawakan Soraya, memandangnya sinis karena bertanya seolah dia adalah nyonya rumah. Pasalnya selama bekerja di mall milik keluarga Huang, manager itu belum pernah melihat Soraya sebelumnya.“Itu bukan urusanmu, aku sudah sering ke rumah ini membicarakan soal penjualan di gerai,” jawab Bu Manager dengan angkuh, dia melipat kedua tangannya ke depan seolah menantang Soraya.“Oh, seperti itu. Pak Damar sudah berangkat bekerja, kamu terlambat da
Soraya perlahan mendekat ke arah pria tua, berpenampilan necis, serta tongkat di tangan itu. Walau wajahnya sudah dipenuhi kerutan masih memancarkan ketampanan.“Siapa Anda sebenarnya?” tanya Soraya.“Dasar pelayan tidak tahu diri. Mengaku sebagai istri Pak Damar tapi tidak tahu siapa orang yang berdiri di depannya ini,” cerocos Manager.Plak, Kakek tua itu menampar Manager yang tidak tahu sopan santun itu, “Diam!” seru Kakek tua itu.“Namaku, Elio Huang, kakeknya Damar,” ucap Pak Elio dengan lembut, tak lupa pak tua itu mengarahkan tangannya untuk berjabat tangan.Soraya menjadi kikuk saat tahu siapa yang berdiri di depannya itu, dia menjabat tangan kakak itu lalu berkata,” Silahkan duduk,”Pak Elio duduk di sofa ruang tamu, Soraya segera membuatkan teh untuk pria tua itu lalu duduk di sofa seberangnya. Soraya sudah siap kalau mendapatkan kata makian atau hinaan dari Pak Elio saat ini. Soraya meremas kedua tangannya menghadapi Pak Elio.“Tidak usah gugup seperti itu, aku hanya datang
Soraya mengelap air matanya, dia menangis karena terharu bukan karena ditindas. Untuk apa Damar sampai semarah itu. “Ini tidak seperti yang kamu bayangkan. Aku hanya menangis bahagia karena keluargamu menerimaku,” ucap Soraya. Wajah Damar menciut, ekspresinya berubah saat Soraya mengatakan itu. Tapi seorang Damar tidak pernah mengakui kalau dia salah di depan sang Kakek. “Kamu membuatku khawatir saja,” ucap Damar sambil melirik sang Kakek. “Kakek akui kamu tidak salah memilih,” puji Pak Elio sambil mengangkat kedua jempol jarinya. “Aku memang tidak pernah salah menilai,” balas Damar sambil tersenyum bangga. Damar melihat seisi ruangan itu, tentu saja yang dia cari adalah bawahan yang berani menindas Soraya kemarin. Dia ingin memberinya peringatan kalau menyakiti Soraya berarti telah menentangnya. “Bu Manger sudah kembali bekerja. Aku sendiri yang memberinya satu kesempatan untuk berubah,” ucp Soraya. “Kenapa kamu begitu bermurah hati seperti itu. Tapi apapun keputusanmu, aku ak
Damar sudah tidak bisa lagi menahan amarahnya, setiap kali bertemu dengan Sabrina selalu saja wanita itu menghina Soraya. Ini adalah pernikahan yang diadakan oleh keluarga Huang, mereka tidak tahu menempatkan diri jika masih saja menindas Soraya.“Putraku benar, keluarga Kwong tidak setara dengan keluarga Huang,” ucap Bu Margaret sambil melipat kedua tangannya.“Kamu sudah menghina cucu menantuku, yang berarti menghina kami juga. Mulai sekarang, kami tidak akan menghentikan pendanaan modal untuk keluarga Kwong,” imbuh Pak Elio.Lutut Sabrina menjadi lemas mendengar hal ini. Kalau peminjaman modal dari bank milik keluarga Huang dihentikan. Keluarga mereka akan benar-benar bangkrut.“Soraya, kamu jangan diam saja, cepat katakan pada keluarga suamimu kalau hubungan kita baik-baik saja,” ucap Sabrina sambil mencengkram kedua pundak Soraya.“Hubungan kita tidak baik-baik saja, kamu selalu mengucapkan kata makian jika bertemu denganku,”Damar melepas paksa cengkraman tangan Sabrina yang ter