"Aku setuju.” Damar tersenyum, lalu mengangguk pelan.
Mereka berdua lalu berjabat tangan, tanda telah menyetujui perjanjian pernikahan. Meski tidak ada perjanjian secara tertulis—belum, tetapi Soraya yakin, Damar adalah pria yang bisa dipercaya.
Tidak hanya itu, Damar bahkan pria yang begitu perhatian. Sebab, sebelum mereka kembali masuk ke Gedung pernikahan Sabrina dan Cakra, pria itu meminta Soraya untuk mengganti bajunya dengan baju yang telah disiapkan oleh pria itu.
“Kapan kamu menyiapkannya?” Soraya bertanya saat seorang perempuan yang tebakannya adalah orang suruhan Damar, membawakannya sebuah gaun pernikahan. “Melihatmu menyiapkan semuanya, aku curiga kalau kamu bukan pelayan biasa.”
Kerutan di dahi Soraya tidak hilang-hilang ketika bertanya. Banyak kejanggalan yang ia temukan pada Damar, sikapnya dan juga kesiapannya pada pernikahan dadakan mereka.
Namun demikian, pria itu hanya tersenyum. “Meski pernikahan ini dadakan, aku ingin istriku memakai gaun semestinya.” Damar menunjuk kotak hitam yang berisikan baju pernikahan. “Meskipun itu hanya sebuah gaun sewaan.”
Soraya menatap kotak yang dipegangnya dan Damar secara bergantian. Gaun sewaan? Pikirnya lagi-lagi curiga.
Di kotak itu tertulis sebuah merk gaun ternama, yang mana ia yakin betul merk itu tidak menerima sewa, apalagi untuk gaun pernikahan. Tetapi, karena tidak memiliki waktu lagi karena pernikahan mereka akan segera dilaksanakan … Soraya pun akhirnya memilih untuk percaya.
Tepat setelah pernikahan Sabrina dan Cakra selesai digelar, ketika tamu sudah mulai meninggalkan gedung … pernikahan Soraya dan Damar dilaksanakan.
Meski diadakan dengan dekorasi sisa pernikahan adiknya, mendapati dirinya tetap menjadi pengantin wanita di hari ini nyatanya membuat Soraya gugup.
Tidak ada penyambutan kala dirinya jalan ke altar seperti pengantin lainnya, tapi Soraya tetap senang. Senyumnya tidak luntur kala ia melangkah menuju altar. Terlebih, saat melihat Sabrina terkejut sebab ia memakai gaun pernikahan juga.
Damar dan Soraya mengikat janji. Keduanya kini telah resmi menjadi sepasang suami istri.
Tepat setelah itu, Bu Amber menghampirinya. Bukan untuk mengucapkan selamat, melainkan datang dengan ucapan sinisnya.
"Setelah ini, kamu bisa mengemasi barangmu dan mengikuti suamimu. Kami tidak punya lagi kewajiban memberikan nafkah padamu."
"Tenang saja, Bu. Soraya sudah jadi tanggung jawab saya. Perihal nafkah, Anda tidak perlu khawatir."
Melihat kepercayaan diri tumbuh begitu besar di wajah kakak iparnya, Sabrina lantas berdecih. “Percuma punya wajah tampan, kalau kamu tidak kaya, Kakak Ipar.”
"Biarlah, Sayang. Dia dan Soraya memang pasangan yang cocok. Sama-sama berstatus rendah," ledek Cakra.
Soraya ingin membalas ucapan Cakra. Tapi Damar mencegahnya agar tidak menimbulkan keributan untuk kedua kalinya. “Terima kasih telah memberiku kesempatan menikahinya, Cakra.”
Di hadapannya, Cakra terlihat geram kala namanya disebut. Pria itu mengepalkan kedua tangan. “Meski kamu kakak iparku, bukankah seharusnya kamu tau sopan santun?”
“Sudahlah, Sayang. Mereka memang tidak punya otak! Jangankan otak, uang saja mereka mungkin tidak ada.” Sabrina mencoba menenangkan suaminya yang mulai kepanasan. “Lihat saja bajunya, meski itu sangat mirip dengan merk ternama, aku yakin itu hanyalah gaun imitasi. Mana mungkin, seorang pelayan dan anak angkat yang hanya desainer tidak berbakat mampu membeli gaun seperti itu, kan?”
Kini, Soraya tidak bisa diam lagi. Kekesalannya sudah mencapai puncak, sebab hinaan dari Sabrina bukan lagi mencecarnya, tetapi juga sang suami.
“Dengar, ya, Sabrina! Meski gaunku hanya gaun sewaan, aku senang karena gaun ini diberikan suamiku untukku!” Soraya memandang gaun yang dikenakan Sabrina dengan decihan, lalu bergantian menatap Cakra dengan pandangan murka. “Bukan seperti suamimu, memberikan gaun yang seharusnya untuk orang lain. Iya kan, Cakra?”
Seketika Cakra membulatkan matanya, ternyata Soraya menyadari kalau resepsi pernikahannya menggunakan semua ide yang dicetuskan oleh Soraya kala masih pacaran. Tapi Cakra berhasil menutupi kegugupannya itu dengan merangkul Sabrina yang kini resmi menjadi istri sah.
“Kamu ini bicara apa sih, jangan mengada-mengada deh,” ucap Cakra.
“Aku punya buktinya, Cakra. Apa kamu mau aku permalukan lagi,” balas Soraya dengan sorot mata yang tajam.
“Cukup Soraya. Jangan bertingkah konyol lagi di depan umum seperti ini,” tegas Pak Kwong.
Pak Kwong memberikan tiket pesawat untuk bulan madu, Cakra dan Sabrina. Lengkap dengan hotel dan fasilitas lainnya. Hati Soraya menjadi sesak, karena melihat hal itu. Beruntung sekali Sabrina mempunyai orang tua yang menyayanginya. Seandainya itu adalah Soraya, saat ini mungkin dia sudah menjadi orang yang paling bahagia.
“Cepatlah pergi bulan madu, anakku. Kalian harus menikmati masa indah pernikahan yang telah disiapkan oleh ayahmu,” ucap Bu Amber sembari melirik Soraya dengan senyuman menghina. Mungkin dia sadar mimik wajah Soraya yang menunjukkan kesedihan.
“Soraya, kamu tidak boleh iri denganku karena mendapatkan semua ini dari ayah dan ibu,” ledek Sabrina.
“Aku tidak akan pernah iri denganmu, karena suamiku akan mengajakku bulan madu setelah ini,” balas Soraya sambil menggandeng erat tangan Damar. “Iya, ‘kan, sayang?”
Damar hanya mengangguk tanda ia menyetujui pernyataan istrinya. Sedangkan Sabrina mendecih kesal, bisa-bisanya Soraya masih bisa menyombongkan diri menikah dengan seorang pelayan. Memangnya seorang pelayan bisa membawanya bulan madu kemana.
“Sabrina, jangan buang waktumu untuk hal yang tidak penting,” ucap Bu Amber. “Cepatlah pergi bersiap-siap untuk bulan madu,” imbuh Bu Amber. Sabrina mengangguk, lalu menggandeng Cakra dengan bahagia meninggalkan tempat itu.
Bu Amber menatap Soraya yang membuatnya kesal sekaligus malu di hari pernikahan sang putri hari ini.
“Kamu juga cepatlah pergi. Bukannya tadi kamu sudah bilang bisa menafkahi Soraya,” ucap Bu Amber sambil melipat kedua tangannya.
Damar menggenggam jemari tangan Soraya seraya membisikkan kalimat, “Pamitlah ke orang tuamu, kita akan pulang sekarang,”
“Kita langsung ke rumahmu sekarang?”
Damar hanya mengangguk pertanda mengiyakan. Soraya menatap kedua orang tua angkat yang ada di depannya itu, “Ayah, Ibu, saya pamit,” ucapnya kemudian. Bagaimanapun juga Pak Kwong dan Bu Amber sudah mengasuhnya, jadi ini adalah penghormatan terakhir untuknya. Pak Kwong mengangguk, sedangkan Bu Amber mengibaskan tangannya tanda menyuruh Soraya segera pergi dari hadapannya.
Soraya pergi, mengikuti langkah kaki Damar yang menggandeng tangannya. Hatinya sesak mengingat semau impian pernikahnnya dipakai orang lain. Tapi dia lega juga karena sudah tidak lagi menjadi beban di keluarga Kwong.
Sepanjang perjalanan menuju rumah Damar, Soraya hanya melamun, larut dalam pikirannya sendiri. Hingga tidak terasa mereka berdua sudah sampai di depan rumah mewah.
“Ayo turun, kita sudah sampai,” ajak Damar.
“Damar, kamu mau ajak aku tinggal di rumah majikanmu?” tanya Soraya yang kebingungan karena yang dia lihat adalah sebuah rumah mewah.
“Rumah majikan?” ucap Damar sambil mengerutkan keningnya, tetapi tidak lama pria itu kembali bersuara. “Ya, ini rumah majikanku,” ucapnya sambil tertawa.Sontak, Soraya dirundung kepanikan. Ia meraih lengan Damar, menahan pria itu untuk melangkah.“Kamu gila?!” makinya dengan berbisik. “Kenapa tidak bicara dari awal? Kalau gitu, ayo kita cari kontrakan saja. Uangku kayaknya masih cukup untuk cari kontrakan petak beberapa bulan.”Di hadapannya Damar menatap Soraya dengan tatapan lembut, “Tidak usah khawatir, percaya saja padaku.”Meski masih ragu, Soraya akhirnya mengangguk. Sebab, pria itu terlihat begitu yakin, terlebih kala tangan pria itu menggenggam tangannya dan mereka melangkah memasuki rumah mewah itu bersama.“Damar!”Seorang wanita separuh baya yang terlihat masih cantik menyambut mereka dengan tatapan membola. Soraya tebak, wanita itu adalah majikan Damar yang marah karena anak buahnya tidak bekerja dengan baik.Soraya jadi takut kalau Damar akan dipecat dari pekerjaannya. “P
Saat Soraya dan Damar menunggu pukul enam sore untuk bisa makan malam di restoran bawah laut ... Lagi-lagi mereka bertemu dengan dua orang yang paling dibenci.“Mau apa kalian di sini? Numpang foto doang!” ledek Sabrina.“Untuk bisa masuk ke sini harus reservasi dahulu dan hanya orang-orang tertentu yang bisa masuk,” imbuh Cakra.“Kalau belum reservasi untuk apa kami menunggu di sini,” balas Soraya sambil memutar bola mata.Cakra dan Sabrina saling bertatap muka kemudian menertawakan Soraya. “Jangan mimpi kamu Soraya bisa makan di restoran bawah laut ini,” ledek Sabrina. “Kamu tahu, harganya bahkan bisa menghabiskan gajimu setahun.”“Jangan-jangan suamimu yang pelayan itu ingin melamar kerja di sini,” ucap Cakra yang menunjukkan senyuman mengejek. “Sudahlah Soraya kamu tidak akan pernah bisa bersaing dengan kami,” cela Sabrina.Damar kelewat cuek, dia sama sekali tidak menyahut kedua orang yang bermulut lemes itu. Tepat pukul enam sore waktu setempat, seorang executive chef menghamp
Soraya segera memasukkan ponselnya ke tas karena mobil jembutan sudah datang. Sampai di rumah, Soraya mandi dengan air hangat, lalu tidur sampai pagi. Ketika bangun tidur dipagi hari, Soraya tidak melihat Damar berada di sisinya. “Aku sudah lama tidak tidur senyenyak ini,” gumam Soraya seraya melihat ke seluruh ruangan berharap menemukan Damar di ruangan itu. Sepucuk kertas dengan catatan dia temukan di nakas samping tempat tidurnya. “Apa ini?” ucap Soraya penasaran lalu membacanya. “Aku berangkat kerja duluan, tidurmu terlalu nyenyak jadi aku tidak tega membangunkanmu. Sampai jumpa sore nanti,” Soraya senyum-senyum sendiri membaca catatan itu. Ternyata Damar mempunyai sisi tidak tegaan dibalik sikapnya yang dingin. Ponsel Soraya bergetar tanda sebuah pesan masuk dia segera mengeceknya. [“Cepat datang ke butik, apa kamu tidak butuh uang lagi!”] Soraya melempar ponselnya ke kasur, masih teringat jelas bagaimana Pak Kwong dan Bu Amber secara tidak langsung mengusirnya setelah res
Sabrina masih mematung melihat kepergian Damar dan Soraya. Dia bahkan mencubit pipinya untuk membuktikan kalau dia tidak bermimpi.“Ti-dak mungkin, ini tidak mungkin terjadi,” keluh Sabrina.“Soraya bisa mendapatkan Damar Huang, seorang cucu konglomerat di kota ini,” imbuhnya.Sebagian orang mungkin mengetahui nama orang besar saja, tapi jarang mengetahui bagaimana wajah asli orang tersebut.Saat Sabrina tengah frustasi mengetahui fakta bahwa Soraya bisa menikah dengan orang terkaya di kota ini. Soraya justru tengah merasakan kebahagian karena dicintai dengan tulus oleh Damar. Dia bisa merasakan bagaimana rasanya dikhawatirkan seperti ini.“Berikan ponselmu,” pinta Damar sembari mengulurkan tangannya.“Ini, tapi buat apa?” tanya Soraya sambil menyerahkan ponselnya.Damar segera meraih ponsel itu tanpa menjawab pertanyaan Soraya. Pria tampan itu langsung mengetik nomor telponnya dan menyimpan dengan nama “suamiku,” lalu dia menyerahkan ponsel Soraya kembali.“Lain kali kamu mau apapun
Soraya terus melangkahkan kakinya, dia tidak peduli Sabrina terus mengoloknya. Percuma bersuara sekarang, Soraya ingin Sabrina akan diam dan malu pada saat yang tepat.“Huft, menyebalkan sekali,” ucap Soraya sambil menyandarkan punggung pada tembok di sudut tempat janjian dia bertemu Damar.“Sepertinya kamu sangat lelah,” ucap Damar yang tiba-tiba berada di samping Soraya.Soraya langsung memeluk Damar, dia lelah dengan perilaku Soraya hari ini. Walau sudah terbiasa hingga kebal menghadapi penindasan dari Sabrina, tapi hari ini Sabrina ingin seseorang menguatkannya.“Kamu boleh menangis kalau itu bisa membuatmu tenang,” ucap Damar sembari mengusap lembut rambut Soraya. Dilihat dari gelagat Soraya sepertinya dia sangat tertekan.Detik itu juga, Soraya menitikkan air mata dan menangis sesenggukan di pelukan Damar. Kalau biasanya dia menangis sendirian di pojok ranjang usangnya. Kali ini Soraya menangis dipelukan orang yang membuatnya nyaman.“Aku kira, aku kuat, ternyata aku seorang wan
“Bu Maneger,” ucap Soraya lembut. Sebenarnya dia kaget kenapa sepagi ini Bu Manager bisa berada di rumahnya.“Aku tanya padamu sekali lagi. Apa kamu adalah seorang pelayan di rumah ini?” tanya Bu Manager dengan galak.Soraya masih mematung di tempatnya. Dia masih berpikir, kalau dia mengungkapkan identitasnya apakah Bu Maneger itu akan percaya dengan ucapannya.“Kenapa diam saja, cepat kamu beritahu Pak Damar kalau aku sudah datang,” ucap Bu Manager dengan angkuh.“Ada urusan apa sepagi ini ingin menemui Pak Damar?” tanya Soraya.Bu Manager itu menertawakan Soraya, memandangnya sinis karena bertanya seolah dia adalah nyonya rumah. Pasalnya selama bekerja di mall milik keluarga Huang, manager itu belum pernah melihat Soraya sebelumnya.“Itu bukan urusanmu, aku sudah sering ke rumah ini membicarakan soal penjualan di gerai,” jawab Bu Manager dengan angkuh, dia melipat kedua tangannya ke depan seolah menantang Soraya.“Oh, seperti itu. Pak Damar sudah berangkat bekerja, kamu terlambat da
Soraya perlahan mendekat ke arah pria tua, berpenampilan necis, serta tongkat di tangan itu. Walau wajahnya sudah dipenuhi kerutan masih memancarkan ketampanan.“Siapa Anda sebenarnya?” tanya Soraya.“Dasar pelayan tidak tahu diri. Mengaku sebagai istri Pak Damar tapi tidak tahu siapa orang yang berdiri di depannya ini,” cerocos Manager.Plak, Kakek tua itu menampar Manager yang tidak tahu sopan santun itu, “Diam!” seru Kakek tua itu.“Namaku, Elio Huang, kakeknya Damar,” ucap Pak Elio dengan lembut, tak lupa pak tua itu mengarahkan tangannya untuk berjabat tangan.Soraya menjadi kikuk saat tahu siapa yang berdiri di depannya itu, dia menjabat tangan kakak itu lalu berkata,” Silahkan duduk,”Pak Elio duduk di sofa ruang tamu, Soraya segera membuatkan teh untuk pria tua itu lalu duduk di sofa seberangnya. Soraya sudah siap kalau mendapatkan kata makian atau hinaan dari Pak Elio saat ini. Soraya meremas kedua tangannya menghadapi Pak Elio.“Tidak usah gugup seperti itu, aku hanya datang
Soraya mengelap air matanya, dia menangis karena terharu bukan karena ditindas. Untuk apa Damar sampai semarah itu. “Ini tidak seperti yang kamu bayangkan. Aku hanya menangis bahagia karena keluargamu menerimaku,” ucap Soraya. Wajah Damar menciut, ekspresinya berubah saat Soraya mengatakan itu. Tapi seorang Damar tidak pernah mengakui kalau dia salah di depan sang Kakek. “Kamu membuatku khawatir saja,” ucap Damar sambil melirik sang Kakek. “Kakek akui kamu tidak salah memilih,” puji Pak Elio sambil mengangkat kedua jempol jarinya. “Aku memang tidak pernah salah menilai,” balas Damar sambil tersenyum bangga. Damar melihat seisi ruangan itu, tentu saja yang dia cari adalah bawahan yang berani menindas Soraya kemarin. Dia ingin memberinya peringatan kalau menyakiti Soraya berarti telah menentangnya. “Bu Manger sudah kembali bekerja. Aku sendiri yang memberinya satu kesempatan untuk berubah,” ucp Soraya. “Kenapa kamu begitu bermurah hati seperti itu. Tapi apapun keputusanmu, aku ak