Soraya menelengkan kepalanya menatap Damar. “Apa yang aku dapatkan dari menikahimu, Damar?”
Lelaki itu mengedikkan bahu, santai. “Kebebasanmu, mungkin?”
Sesaat, Soraya terhenyak. Ucapan Damar begitu tepat, seolah lelaki itu sudah tahu kehidupannya.
Namun, cepat-cepat ia menggelengkan kepala, mengusir kemungkinan-kemungkinan yang mana sulit terjadi di dunia nyata.
Bagaimana pun, menemukan lelaki yang ternyata telah mengagumi sang wanita sejak lama tanpa wanita itu tahu … adalah hal yang sangat tidak mungkin terjadi di dunia nyata!
Soraya mengembuskan napas panjang, sebelum menjawab. “Katakanlah aku bersedia. Apa isi perjanjian itu?”
Kemudian, Damar terlihat menoleh ke kiri dan kanan, menilai situasi. Terlihat, para tamu mulai kembali memadati aula pernikahan Sabrina. Antreannya bahkan mengular, hingga keluar.
“Mau berbicara di luar?” tawar Damar. Lelaki itu kemudian melihat jam di pergelangan tangannya. “Sudah waktunya makan siang.”
“Tidak usah. Aku tidak lapar.”
Namun kemudian, tiba-tiba terdengar suara perut Soraya berbunyi.
Damar terlihat menahan tawa. Lelaki itu berdeham. “Ya, aku percaya kamu tidak lapar.”
Seketika, pipi Soraya bersemu merah. Ia malu, karena Damar menggodanya karena suara perutnya yang bunyi tadi.
Tanpa menunggu persetujuan lagi, Damar kemudian menarik Soraya keluar dari area Gedung pernikahan, menuju sebuah restoran yang berada di seberangnya.
“Kamu yakin mau makan di sini?” Ketika duduk di bangku yang dipersilakan Damar, Soraya berbisik. Ia mendongak, menatap Damar yang masih berdiri dan berbisik, “Harga restoran di sini mahal loh?”
Damar tersenyum tipis. “Tenang saja, aku masih sanggup membayar bill-nya.”
Kemudian, pria itu menarik kursi di hadapan Soraya. “Kita masih bisa pindah, kalau kamu mau. Aku hanya tidak mau kamu menguras semua tabunganmu.”
“Kamu tidak perlu khawatir, tabunganku masih cukup.”
Menyerah membujuk Damar untuk mencari restoran yang lain, Soraya pun pasrah. Namun, ia bertekad, akan memilih menu dengan harga paling murah.
Meski ia lapar, ia tidak ingin menyulitkan Damar, orang yang baru ditemuinya hari ini.
Rupanya, hal itu disadari Damar. Lelaki itu gegas menyebutkan menu tambahan, ketika Soraya hanya memesan air mineral dan sepotong roti saja.
Melihat hal itu, Soraya memelotot. Namun, ia menahan suaranya hingga pelayan pergi dari meja meraka.
“Bukankah lebih baik uangmu itu ditabung untuk membeli barang yang lebih penting?” tanya Soraya. Jika ditilik, mungkin pesanan mereka berdua bisa menyentuh angka sekian juta.
“Membelikan calon istriku makanan yang layak juga bagian dari hal penting.” Jawaban Damar lagi-lagi sukses membuat Soraya terpaku.
“Kamu ternyata bermulut manis, ya?” Wanita itu mencoba mengalihkan gombalan Damar yang berhasil membuatnya tersipu.
“Tidak juga.” Damar menyahut singkat, sebab terlihat pelayan mulai menyajikan pesanan mereka.
Meja mereka kini penuh dengan makanan. Damar benar-benar berniat memperbaiki gizi, rupanya. Sebab lelaki itu memesan hampir semua—protein, sayuran, hingga makanan penutup yang beragam.
“Kamu tahu, Damar. Meski dibesarkan oleh keluarga kaya, aku jarang sekali memakan makanan seperti ini.”
Soraya tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya, tentu saja. Meski ia lebih mampu membeli makanan enak untuk dirinya sendiri, tetapi karena keadaannya yang agak berbeda, ia lebih memilih untuk menggunakan uangnya sewajarnya.
Di hadapannya, Damar mengangguk-anggukkan kepalanya tanpa bicara. Lelaki itu dengan setia mendengarkan celoteh Soraya sambil gadis itu memakan makanan mereka.
“Makanlah. Kalau kurang, kita bisa pesan lagi.”
Mulut yang masih penuh dengan makanan, membuat Soraya menggoyang-goyangkan tangannya, tanda menolak. Setelah mulutnya kosong, barulah ia berujar, “Tidak perlu. Aku tidak mau berhutang banyak padamu.”
Damar tidak menyahut, mereka berdua kemudian terhanyut dalam makanan masing-masing.
Setelah semua makanan habis dan piring-piring kosong diangkut oleh pelayan … Damar dan Soraya memulai percakapan serius mereka.
“Boleh aku mengajuan perjanjian lebih dulu?” tanya Soraya.
“Boleh, silakan.” jawab Damar.
“Karena pernikahan ini bukan didasari suka sama suka, aku minta ketika menikah nanti kamu tidak boleh mencampuri urusan pribadiku, begitu sebaliknya aku tidak akan mencampuri urusan pribadimu.”
“Oke, aku setuju,” jawab Damar cepat.
“Bagaimana dengan durasi perjanjian?” tanya Soraya lagi.
Damar terlihat berpikir. “Seperti yang kubilang, aku tidak keberatan menjalani pernikahan sungguhan, tapi kalau kamu keberatan … kita bisa coba satu tahun dulu.”
Kemudian, Soraya menimbang. Ia yang tidak pernah berniat mempermainkan pernikahan, jelas menginginkan pernikahan yang langgeng.
Namun, mengingat pertemuannya dengan lelaki di hadapannya ini terjadi tanpa diduga … rasanya satu tahun itu dibutuhkan sebagai waktu pengenalan.
Soraya mengangguk, “Baiklah. Satu tahun agaknya waktu yang pas untuk kita saling mengenal.”
"Aku setuju.” Damar tersenyum, lalu mengangguk pelan. Mereka berdua lalu berjabat tangan, tanda telah menyetujui perjanjian pernikahan. Meski tidak ada perjanjian secara tertulis—belum, tetapi Soraya yakin, Damar adalah pria yang bisa dipercaya. Tidak hanya itu, Damar bahkan pria yang begitu perhatian. Sebab, sebelum mereka kembali masuk ke Gedung pernikahan Sabrina dan Cakra, pria itu meminta Soraya untuk mengganti bajunya dengan baju yang telah disiapkan oleh pria itu. “Kapan kamu menyiapkannya?” Soraya bertanya saat seorang perempuan yang tebakannya adalah orang suruhan Damar, membawakannya sebuah gaun pernikahan. “Melihatmu menyiapkan semuanya, aku curiga kalau kamu bukan pelayan biasa.” Kerutan di dahi Soraya tidak hilang-hilang ketika bertanya. Banyak kejanggalan yang ia temukan pada Damar, sikapnya dan juga kesiapannya pada pernikahan dadakan mereka. Namun demikian, pria itu hanya tersenyum. “Meski pernikahan ini dadakan, aku ingin istriku memakai gaun semestinya.” Damar me
“Rumah majikan?” ucap Damar sambil mengerutkan keningnya, tetapi tidak lama pria itu kembali bersuara. “Ya, ini rumah majikanku,” ucapnya sambil tertawa.Sontak, Soraya dirundung kepanikan. Ia meraih lengan Damar, menahan pria itu untuk melangkah.“Kamu gila?!” makinya dengan berbisik. “Kenapa tidak bicara dari awal? Kalau gitu, ayo kita cari kontrakan saja. Uangku kayaknya masih cukup untuk cari kontrakan petak beberapa bulan.”Di hadapannya Damar menatap Soraya dengan tatapan lembut, “Tidak usah khawatir, percaya saja padaku.”Meski masih ragu, Soraya akhirnya mengangguk. Sebab, pria itu terlihat begitu yakin, terlebih kala tangan pria itu menggenggam tangannya dan mereka melangkah memasuki rumah mewah itu bersama.“Damar!”Seorang wanita separuh baya yang terlihat masih cantik menyambut mereka dengan tatapan membola. Soraya tebak, wanita itu adalah majikan Damar yang marah karena anak buahnya tidak bekerja dengan baik.Soraya jadi takut kalau Damar akan dipecat dari pekerjaannya. “P
Saat Soraya dan Damar menunggu pukul enam sore untuk bisa makan malam di restoran bawah laut ... Lagi-lagi mereka bertemu dengan dua orang yang paling dibenci.“Mau apa kalian di sini? Numpang foto doang!” ledek Sabrina.“Untuk bisa masuk ke sini harus reservasi dahulu dan hanya orang-orang tertentu yang bisa masuk,” imbuh Cakra.“Kalau belum reservasi untuk apa kami menunggu di sini,” balas Soraya sambil memutar bola mata.Cakra dan Sabrina saling bertatap muka kemudian menertawakan Soraya. “Jangan mimpi kamu Soraya bisa makan di restoran bawah laut ini,” ledek Sabrina. “Kamu tahu, harganya bahkan bisa menghabiskan gajimu setahun.”“Jangan-jangan suamimu yang pelayan itu ingin melamar kerja di sini,” ucap Cakra yang menunjukkan senyuman mengejek. “Sudahlah Soraya kamu tidak akan pernah bisa bersaing dengan kami,” cela Sabrina.Damar kelewat cuek, dia sama sekali tidak menyahut kedua orang yang bermulut lemes itu. Tepat pukul enam sore waktu setempat, seorang executive chef menghamp
Soraya segera memasukkan ponselnya ke tas karena mobil jembutan sudah datang. Sampai di rumah, Soraya mandi dengan air hangat, lalu tidur sampai pagi. Ketika bangun tidur dipagi hari, Soraya tidak melihat Damar berada di sisinya. “Aku sudah lama tidak tidur senyenyak ini,” gumam Soraya seraya melihat ke seluruh ruangan berharap menemukan Damar di ruangan itu. Sepucuk kertas dengan catatan dia temukan di nakas samping tempat tidurnya. “Apa ini?” ucap Soraya penasaran lalu membacanya. “Aku berangkat kerja duluan, tidurmu terlalu nyenyak jadi aku tidak tega membangunkanmu. Sampai jumpa sore nanti,” Soraya senyum-senyum sendiri membaca catatan itu. Ternyata Damar mempunyai sisi tidak tegaan dibalik sikapnya yang dingin. Ponsel Soraya bergetar tanda sebuah pesan masuk dia segera mengeceknya. [“Cepat datang ke butik, apa kamu tidak butuh uang lagi!”] Soraya melempar ponselnya ke kasur, masih teringat jelas bagaimana Pak Kwong dan Bu Amber secara tidak langsung mengusirnya setelah res
Sabrina masih mematung melihat kepergian Damar dan Soraya. Dia bahkan mencubit pipinya untuk membuktikan kalau dia tidak bermimpi.“Ti-dak mungkin, ini tidak mungkin terjadi,” keluh Sabrina.“Soraya bisa mendapatkan Damar Huang, seorang cucu konglomerat di kota ini,” imbuhnya.Sebagian orang mungkin mengetahui nama orang besar saja, tapi jarang mengetahui bagaimana wajah asli orang tersebut.Saat Sabrina tengah frustasi mengetahui fakta bahwa Soraya bisa menikah dengan orang terkaya di kota ini. Soraya justru tengah merasakan kebahagian karena dicintai dengan tulus oleh Damar. Dia bisa merasakan bagaimana rasanya dikhawatirkan seperti ini.“Berikan ponselmu,” pinta Damar sembari mengulurkan tangannya.“Ini, tapi buat apa?” tanya Soraya sambil menyerahkan ponselnya.Damar segera meraih ponsel itu tanpa menjawab pertanyaan Soraya. Pria tampan itu langsung mengetik nomor telponnya dan menyimpan dengan nama “suamiku,” lalu dia menyerahkan ponsel Soraya kembali.“Lain kali kamu mau apapun
Soraya terus melangkahkan kakinya, dia tidak peduli Sabrina terus mengoloknya. Percuma bersuara sekarang, Soraya ingin Sabrina akan diam dan malu pada saat yang tepat.“Huft, menyebalkan sekali,” ucap Soraya sambil menyandarkan punggung pada tembok di sudut tempat janjian dia bertemu Damar.“Sepertinya kamu sangat lelah,” ucap Damar yang tiba-tiba berada di samping Soraya.Soraya langsung memeluk Damar, dia lelah dengan perilaku Soraya hari ini. Walau sudah terbiasa hingga kebal menghadapi penindasan dari Sabrina, tapi hari ini Sabrina ingin seseorang menguatkannya.“Kamu boleh menangis kalau itu bisa membuatmu tenang,” ucap Damar sembari mengusap lembut rambut Soraya. Dilihat dari gelagat Soraya sepertinya dia sangat tertekan.Detik itu juga, Soraya menitikkan air mata dan menangis sesenggukan di pelukan Damar. Kalau biasanya dia menangis sendirian di pojok ranjang usangnya. Kali ini Soraya menangis dipelukan orang yang membuatnya nyaman.“Aku kira, aku kuat, ternyata aku seorang wan
“Bu Maneger,” ucap Soraya lembut. Sebenarnya dia kaget kenapa sepagi ini Bu Manager bisa berada di rumahnya.“Aku tanya padamu sekali lagi. Apa kamu adalah seorang pelayan di rumah ini?” tanya Bu Manager dengan galak.Soraya masih mematung di tempatnya. Dia masih berpikir, kalau dia mengungkapkan identitasnya apakah Bu Maneger itu akan percaya dengan ucapannya.“Kenapa diam saja, cepat kamu beritahu Pak Damar kalau aku sudah datang,” ucap Bu Manager dengan angkuh.“Ada urusan apa sepagi ini ingin menemui Pak Damar?” tanya Soraya.Bu Manager itu menertawakan Soraya, memandangnya sinis karena bertanya seolah dia adalah nyonya rumah. Pasalnya selama bekerja di mall milik keluarga Huang, manager itu belum pernah melihat Soraya sebelumnya.“Itu bukan urusanmu, aku sudah sering ke rumah ini membicarakan soal penjualan di gerai,” jawab Bu Manager dengan angkuh, dia melipat kedua tangannya ke depan seolah menantang Soraya.“Oh, seperti itu. Pak Damar sudah berangkat bekerja, kamu terlambat da
Soraya perlahan mendekat ke arah pria tua, berpenampilan necis, serta tongkat di tangan itu. Walau wajahnya sudah dipenuhi kerutan masih memancarkan ketampanan.“Siapa Anda sebenarnya?” tanya Soraya.“Dasar pelayan tidak tahu diri. Mengaku sebagai istri Pak Damar tapi tidak tahu siapa orang yang berdiri di depannya ini,” cerocos Manager.Plak, Kakek tua itu menampar Manager yang tidak tahu sopan santun itu, “Diam!” seru Kakek tua itu.“Namaku, Elio Huang, kakeknya Damar,” ucap Pak Elio dengan lembut, tak lupa pak tua itu mengarahkan tangannya untuk berjabat tangan.Soraya menjadi kikuk saat tahu siapa yang berdiri di depannya itu, dia menjabat tangan kakak itu lalu berkata,” Silahkan duduk,”Pak Elio duduk di sofa ruang tamu, Soraya segera membuatkan teh untuk pria tua itu lalu duduk di sofa seberangnya. Soraya sudah siap kalau mendapatkan kata makian atau hinaan dari Pak Elio saat ini. Soraya meremas kedua tangannya menghadapi Pak Elio.“Tidak usah gugup seperti itu, aku hanya datang