“Apa yang—”
Ucapan kebingungan pelayan itu langsung dihentikan Soraya dengan cubitan kecil di lengannya.
“Bantu aku, tolong,” bisiknya nyaris tidak menggerakkan bibir.
Di hadapannya, sebuah senyum penuh kemenangan terbit dari Sabrina. Gadis itu terlihat meneliti penampilan dari sosok lelaki yang dikenalkan Soraya sebagai calon suaminya.
“Kakak berhubungan dengan seorang pelayan?” ucap Sabrina. Seperti biasa, nada bicaranya dibuat lembut, tetapi sarat akan penghakiman.
Sementara itu, suara sumbang lainnya juga terdengar dari yang lain. Mereka kira, Soraya akan mengenalkan sosok lelaki yang lebih kaya daripada Cakra.
Namun, ketika mengetahui pengganti Cakra yang berhasil didapatkan hanyalah seorang pelayan, mereka semua merasa tak terkalahkan.
“Kamu yakin?” tanya Pak Kwong. Ekspresi ragunya semakin kentara.
Soraya tetap tersenyum. “Iya, aku yakin. Dia pilihan terbaik untukku.”
Ia pikir, kebohongannya kali ini akan menyelamatkannya. Namun ternyata, ucapan selanjutnya dari Pak Kwong justru membuat Soraya ketar-ketir.
“Baiklah, kalau memang itu keputusanmu.” Lelaki tua itu menatap lekat pada si pelayan. “Kalian harus menikah setelah pernikahan Sabrina dan Cakra digelar.”
Saat itu, seolah terdengar bunyi guntur di siang hari. Soraya jelas panik, sebab ia tidak menyangka ayahnya akan bertindak demikian.
“Ayah, maksudku—”
“Saya bersedia.” Tiba-tiba saja lelaki yang tengah digamitnya itu berujar. Soraya memelotot, mencoba memberikan kode untuk lelaki itu diam.
Sayangnya, kode tersebut seolah tidak dilihat. Lelaki itu justru terlihat tenang menyanggupi permintaan ayah angkatnya.
“Kalau begitu, bersiaplah. Setelah pernikahan Sabrina, pernikahan kalianlah yang selanjutnya.”
Setelah itu, Pak Kwon meminta pada seluruh penyelenggara pernikahan, juga tamu kembali masuk. Namun, tidak dengan Soraya.
Gadis itu diminta keluar dari ruangan, karena tidak ingin ia kembali menghancurkan pernikahan adiknya.
Tentu, Soraya mengiyakan. Saat ini, lebih baik untuknya keluar dan berbicara empat mata pada calon suami gadungannya.
“Ayo kita keluar dari ruangan ini,” ajak Soraya kepada pelayan itu.
Pelayan itu hanya mengangguk. Soraya membawanya ke samping gedung, di mana tempat tersebut sepi dari hilir-mudik tamu.
Saat suasana dinilai sudah aman, gadis itu kemudian menundukkan badan menghadap lelaki itu. “Maafkan aku, telah menyeretmu dalam masalahku.”
“Tidak masalah,” sahutnya.
Wanita itu memelotot. “Hah, kamu tidak marah?” tanya Soraya kaget.
Padahal dia takut setengah mati kalau pelayan itu akan menuntutnya atau berpikiran macam-macam terhadap Soraya.
Pelayan itu menggelengkan kepalanya, seraya berkata, “Justru aku berharap kamu tidak menarik kembali ucapanmu.”
Pelayan itu tersenyum, sehingga lesungnya di pipinya terlihat.
Bila diperhatikan, penampilan pelayan ini tidak buruk. Tampangnya bahkan cukup rupawan.
Tidak kuat menatap lelaki itu lama-lama, Soraya buru-buru mengalihkan pandangan. “Sayangnya, aku memang tidak berniat serius untuk itu.” Suaranya terdengar lembut, berbeda jauh ketika ia menghadapi keluarga angkatnya tadi.
“Kamu pikir, ayahmu akan membiarkan kamu lolos begitu saja?” tanya lelaki itu dengan pandangan mengarah ke Soraya.
“Aku minta maaf jika perbuatanku membuatmu tersinggung, tapi….” Soraya kemudian merogoh tas pestanya dan mengeluarkan beberapa lembar uang. “Terimalah ini sebagai permintaan maafku. Soal ayahku, biar aku yang akan menjelaskannya.”
Soraya menatap lurus ke arah lelaki itu. Ia terlihat kesulitan membaca ekspresi pelayan itu yang terlampau tenang.
Tetapi, tidak lama kemudian, lelaki itu tersenyum tipis.
“Aku tidak butuh uang,” tolak lelaki itu. Ia mendorong secara halus tangan Soraya. “Kamu tidak punya pilihan lain, selain melanjutkan kepura-puraan yang kamu buat, Soraya.”
Mata Soraya mengerjap kala mendengar lelaki itu mengucapkan namanya. “Apa maumu?” Keningnya mengerut dalam, menunggu si lelaki menjawab.
“Sama sepertimu, aku juga butuh bantuan seseorang untuk menjadi istriku.”
Mulut Soraya seketika terbuka. Ia tidak menyangka, ternyata ada sosok lain selain dirinya yang juga terlibat dalam kesulitan yang sama. Sama-sama sulit menemukan pasangan; meski untuk Soraya, kasusnya adalah pasangannya direbut adiknya sendiri.
Tidak ingin gegabah, Soraya lantas menggelengkan kepalanya lagi. “Kalau kamu ingin menikah denganku karena aku adalah putri Pak Kwong. Kamu salah besar. Aku bukan putri kandungnya.”
Panjang lebar Soraya menjelaskan, lelaki itu hanya mengangkat sebelah alisnya dan berkata, “Lantas?”
“Kamu tidak akan mendapatkan apa pun.”
Dalam pikiran Soraya, kemungkinan besar mengapa lelaki ini tetap bersikukuh ingin terlibat pernikahan dengannya adalah karena nama belakang Kwon yang ia emban.
Soraya tidak marah. Hanya saja, ia tidak ingin lelaki tersebut salah langkah, jika memang dugaannya benar—lelaki itu ingin menikahinya karena ia berasal dari keluarga berada.
Namun lagi-lagi, Soraya dibuat terperangah kala lelaki itu kembali terlihat menggelengkan kepalanya.
“Kamu benar-benar gadis yang menarik.” Lelaki itu tanpa sadar membuat Soraya merasa terbuai karena pujian spontannya. “Aku tidak peduli dengan itu, aku hanya butuh istri.”
“Dari tadi kamu terus berbicara butuh istri. Apa kamu pikir menikah itu hal mudah?” Soraya mengentakkan kakinya, mulai kesal pada gestur lelaki itu yang terlampau santai.
Beberapa detik, terlihat lelaki itu tengah berpikir. Sebelum kemudian berujar, “Bagaimana kalau kita menikah dengan perjanjian?”
“Itu sama saja dengan menikah kontrak. Aku tidak mau!” jawab Soraya tegas. “Pernikahan buatku adalah hal sakral. Dan aku ingin menikah dengan orang yang aku cintai!”
“Bagaimana kalau menikah dengan orang yang mencintaimu?”
Ucapan lelaki itu tiba-tiba membuat Soraya terpaku. “A-apa maksudmu?”
Pelayan itu terkekeh, “Lupakan.” Tangan lelaki itu mengibas-kibas. “Aku tidak bermaksud mempermainkan pernikahan. Hanya saja, kalau kamu keberatan dengan pernikahan sungguhan, aku tidak keberatan dengan pernikahan perjanjian itu.”
Bagi Soraya, saat ini suasana berubah menjadi panas. Bulir-bulir keringat mulai bercucuran, membuat ia merasa gerah karena situasi yang diciptakan si lelaki.
Soraya berdeham, sebelum kembali menatap lelaki tersebut. “Kita belum mengenal. Aku bahkan baru melihatmu beberapa menit lalu.”
Lelaki itu kembali tersenyum tipis, lalu mengulurkan tangannya. “Perkenalkan, namaku Damar.”
Soraya menimbang-nimbang dengan melihat ke arah uluran tangan Damar. Beberapa detik berlalu, barulah ia juga mengulurkan tangan dan menyambut tangan lelaki itu.
“Soraya.”
Mereka berjabat tangan selama beberapa detik. Waktu yang singkat, tetapi entah mengapa Soraya bisa merasakan lelaki itu begitu yakin pada tawarannya.
“Jadi, bagaimana? Apa kamu bersedia terlibat pernikahan dengan seorang pelayan sepertiku, Soraya?”
Soraya menelengkan kepalanya menatap Damar. “Apa yang aku dapatkan dari menikahimu, Damar?”Lelaki itu mengedikkan bahu, santai. “Kebebasanmu, mungkin?”Sesaat, Soraya terhenyak. Ucapan Damar begitu tepat, seolah lelaki itu sudah tahu kehidupannya.Namun, cepat-cepat ia menggelengkan kepala, mengusir kemungkinan-kemungkinan yang mana sulit terjadi di dunia nyata.Bagaimana pun, menemukan lelaki yang ternyata telah mengagumi sang wanita sejak lama tanpa wanita itu tahu … adalah hal yang sangat tidak mungkin terjadi di dunia nyata!Soraya mengembuskan napas panjang, sebelum menjawab. “Katakanlah aku bersedia. Apa isi perjanjian itu?”Kemudian, Damar terlihat menoleh ke kiri dan kanan, menilai situasi. Terlihat, para tamu mulai kembali memadati aula pernikahan Sabrina. Antreannya bahkan mengular, hingga keluar.“Mau berbicara di luar?” tawar Damar. Lelaki itu kemudian melihat jam di pergelangan tangannya. “Sudah waktunya makan siang.”“Tidak usah. Aku tidak lapar.”Namun kemudian, tiba-t
"Aku setuju.” Damar tersenyum, lalu mengangguk pelan. Mereka berdua lalu berjabat tangan, tanda telah menyetujui perjanjian pernikahan. Meski tidak ada perjanjian secara tertulis—belum, tetapi Soraya yakin, Damar adalah pria yang bisa dipercaya. Tidak hanya itu, Damar bahkan pria yang begitu perhatian. Sebab, sebelum mereka kembali masuk ke Gedung pernikahan Sabrina dan Cakra, pria itu meminta Soraya untuk mengganti bajunya dengan baju yang telah disiapkan oleh pria itu. “Kapan kamu menyiapkannya?” Soraya bertanya saat seorang perempuan yang tebakannya adalah orang suruhan Damar, membawakannya sebuah gaun pernikahan. “Melihatmu menyiapkan semuanya, aku curiga kalau kamu bukan pelayan biasa.” Kerutan di dahi Soraya tidak hilang-hilang ketika bertanya. Banyak kejanggalan yang ia temukan pada Damar, sikapnya dan juga kesiapannya pada pernikahan dadakan mereka. Namun demikian, pria itu hanya tersenyum. “Meski pernikahan ini dadakan, aku ingin istriku memakai gaun semestinya.” Damar me
“Rumah majikan?” ucap Damar sambil mengerutkan keningnya, tetapi tidak lama pria itu kembali bersuara. “Ya, ini rumah majikanku,” ucapnya sambil tertawa.Sontak, Soraya dirundung kepanikan. Ia meraih lengan Damar, menahan pria itu untuk melangkah.“Kamu gila?!” makinya dengan berbisik. “Kenapa tidak bicara dari awal? Kalau gitu, ayo kita cari kontrakan saja. Uangku kayaknya masih cukup untuk cari kontrakan petak beberapa bulan.”Di hadapannya Damar menatap Soraya dengan tatapan lembut, “Tidak usah khawatir, percaya saja padaku.”Meski masih ragu, Soraya akhirnya mengangguk. Sebab, pria itu terlihat begitu yakin, terlebih kala tangan pria itu menggenggam tangannya dan mereka melangkah memasuki rumah mewah itu bersama.“Damar!”Seorang wanita separuh baya yang terlihat masih cantik menyambut mereka dengan tatapan membola. Soraya tebak, wanita itu adalah majikan Damar yang marah karena anak buahnya tidak bekerja dengan baik.Soraya jadi takut kalau Damar akan dipecat dari pekerjaannya. “P
Saat Soraya dan Damar menunggu pukul enam sore untuk bisa makan malam di restoran bawah laut ... Lagi-lagi mereka bertemu dengan dua orang yang paling dibenci.“Mau apa kalian di sini? Numpang foto doang!” ledek Sabrina.“Untuk bisa masuk ke sini harus reservasi dahulu dan hanya orang-orang tertentu yang bisa masuk,” imbuh Cakra.“Kalau belum reservasi untuk apa kami menunggu di sini,” balas Soraya sambil memutar bola mata.Cakra dan Sabrina saling bertatap muka kemudian menertawakan Soraya. “Jangan mimpi kamu Soraya bisa makan di restoran bawah laut ini,” ledek Sabrina. “Kamu tahu, harganya bahkan bisa menghabiskan gajimu setahun.”“Jangan-jangan suamimu yang pelayan itu ingin melamar kerja di sini,” ucap Cakra yang menunjukkan senyuman mengejek. “Sudahlah Soraya kamu tidak akan pernah bisa bersaing dengan kami,” cela Sabrina.Damar kelewat cuek, dia sama sekali tidak menyahut kedua orang yang bermulut lemes itu. Tepat pukul enam sore waktu setempat, seorang executive chef menghamp
Soraya segera memasukkan ponselnya ke tas karena mobil jembutan sudah datang. Sampai di rumah, Soraya mandi dengan air hangat, lalu tidur sampai pagi. Ketika bangun tidur dipagi hari, Soraya tidak melihat Damar berada di sisinya. “Aku sudah lama tidak tidur senyenyak ini,” gumam Soraya seraya melihat ke seluruh ruangan berharap menemukan Damar di ruangan itu. Sepucuk kertas dengan catatan dia temukan di nakas samping tempat tidurnya. “Apa ini?” ucap Soraya penasaran lalu membacanya. “Aku berangkat kerja duluan, tidurmu terlalu nyenyak jadi aku tidak tega membangunkanmu. Sampai jumpa sore nanti,” Soraya senyum-senyum sendiri membaca catatan itu. Ternyata Damar mempunyai sisi tidak tegaan dibalik sikapnya yang dingin. Ponsel Soraya bergetar tanda sebuah pesan masuk dia segera mengeceknya. [“Cepat datang ke butik, apa kamu tidak butuh uang lagi!”] Soraya melempar ponselnya ke kasur, masih teringat jelas bagaimana Pak Kwong dan Bu Amber secara tidak langsung mengusirnya setelah res
Sabrina masih mematung melihat kepergian Damar dan Soraya. Dia bahkan mencubit pipinya untuk membuktikan kalau dia tidak bermimpi.“Ti-dak mungkin, ini tidak mungkin terjadi,” keluh Sabrina.“Soraya bisa mendapatkan Damar Huang, seorang cucu konglomerat di kota ini,” imbuhnya.Sebagian orang mungkin mengetahui nama orang besar saja, tapi jarang mengetahui bagaimana wajah asli orang tersebut.Saat Sabrina tengah frustasi mengetahui fakta bahwa Soraya bisa menikah dengan orang terkaya di kota ini. Soraya justru tengah merasakan kebahagian karena dicintai dengan tulus oleh Damar. Dia bisa merasakan bagaimana rasanya dikhawatirkan seperti ini.“Berikan ponselmu,” pinta Damar sembari mengulurkan tangannya.“Ini, tapi buat apa?” tanya Soraya sambil menyerahkan ponselnya.Damar segera meraih ponsel itu tanpa menjawab pertanyaan Soraya. Pria tampan itu langsung mengetik nomor telponnya dan menyimpan dengan nama “suamiku,” lalu dia menyerahkan ponsel Soraya kembali.“Lain kali kamu mau apapun
Soraya terus melangkahkan kakinya, dia tidak peduli Sabrina terus mengoloknya. Percuma bersuara sekarang, Soraya ingin Sabrina akan diam dan malu pada saat yang tepat.“Huft, menyebalkan sekali,” ucap Soraya sambil menyandarkan punggung pada tembok di sudut tempat janjian dia bertemu Damar.“Sepertinya kamu sangat lelah,” ucap Damar yang tiba-tiba berada di samping Soraya.Soraya langsung memeluk Damar, dia lelah dengan perilaku Soraya hari ini. Walau sudah terbiasa hingga kebal menghadapi penindasan dari Sabrina, tapi hari ini Sabrina ingin seseorang menguatkannya.“Kamu boleh menangis kalau itu bisa membuatmu tenang,” ucap Damar sembari mengusap lembut rambut Soraya. Dilihat dari gelagat Soraya sepertinya dia sangat tertekan.Detik itu juga, Soraya menitikkan air mata dan menangis sesenggukan di pelukan Damar. Kalau biasanya dia menangis sendirian di pojok ranjang usangnya. Kali ini Soraya menangis dipelukan orang yang membuatnya nyaman.“Aku kira, aku kuat, ternyata aku seorang wan
“Bu Maneger,” ucap Soraya lembut. Sebenarnya dia kaget kenapa sepagi ini Bu Manager bisa berada di rumahnya.“Aku tanya padamu sekali lagi. Apa kamu adalah seorang pelayan di rumah ini?” tanya Bu Manager dengan galak.Soraya masih mematung di tempatnya. Dia masih berpikir, kalau dia mengungkapkan identitasnya apakah Bu Maneger itu akan percaya dengan ucapannya.“Kenapa diam saja, cepat kamu beritahu Pak Damar kalau aku sudah datang,” ucap Bu Manager dengan angkuh.“Ada urusan apa sepagi ini ingin menemui Pak Damar?” tanya Soraya.Bu Manager itu menertawakan Soraya, memandangnya sinis karena bertanya seolah dia adalah nyonya rumah. Pasalnya selama bekerja di mall milik keluarga Huang, manager itu belum pernah melihat Soraya sebelumnya.“Itu bukan urusanmu, aku sudah sering ke rumah ini membicarakan soal penjualan di gerai,” jawab Bu Manager dengan angkuh, dia melipat kedua tangannya ke depan seolah menantang Soraya.“Oh, seperti itu. Pak Damar sudah berangkat bekerja, kamu terlambat da